Sihir Mata Penari Perut - S. Prasetyo Utomo

@kontributor 11/27/2022

Sihir Mata Penari Perut

S. Prasetyo Utomo

 


“APA yang akan kaulakukan setelah bebas dari penjara?” tanya Baba1), pensiunan polisi, pada Anka, anak lelakinya. Hampir berakhir masa penjara Anka.

“Aku mau menikahi Azqila.”

“Nikah dengan seorang penari perut?” Pensiunan polisi itu terbelalak, menahan diri. Ia tak menduga sama sekali bila anak sulungnya akan menikahi penari perut itu. Ia pernah bertemu Azqila di penjara, ketika gadis itu menengok Anka. Yang paling menakjubkan dari seluruh penampilannya adalah sihir mata gadis itu – menaklukkan siapa pun yang memandanginya. Tatapan mata itu serupa tenung.    

“Apa yang salah dengan seorang penari perut?”

Pensiunan polisi memandangi anak sulungnya, yang seminggu lagi akan dibebaskan dari penjara kota kecil Konya. Ia dulu menembak Saad di pelataran Mevlana Cultural Centre. Ia tak suka pada imigran gelap asal Suriah yang seringkali menggoda Akila, adiknya. Tetapi bidikan Anka tidak tepat. Peluru mengenai bahu kanan Orhan Fatih – lelaki setengah baya – yang berjalan di sisi Saad. Orhan Fatih terjatuh. Tidak mati. Lelaki setengah baya itu dibawa ke rumah sakit dan dapat diselamatkan. Anka ditangkap polisi, diadili, dan dipenjara.  

Seminggu lagi Anka bebas dari penjara. Pensiunan polisi itu tak pernah menduga bila anak lelakinya ingin menikahi Azqila, seorang gadis penari perut di Hodja Pasha, Istambul. Azqila, anak angkat perempuan tua,  pemilik ladang delima di Pamukkale, dekat kota tua Hierapolis. Gadis itu mengembara ke Istambul untuk menjadi bintang tari perut.  

“Kau tak punya pandangan gadis lain?” tanya pensiunan polisi.

“Apa yang salah dengan Azqila? Ia setia menungguku bebas dari penjara.”

“Tidak ada yang salah padanya,” tukas pensiunan polisi itu. “Aku bahkan mengenal ibu angkatnya. Perempuan tua itu pernah berkunjung ke Mevlana Museum. Kami bertemu dan berbincang-bincang. Malam harinya ia sempat nonton pergelaranku mementaskan tari sema di Mevlana Cultural Centre. Ia kagum pada tarianku.”

Pensiunan polisi itu bekerja sebagai satuan pengamanan di Mevlana Museum. Ia juga seorang penari sema di Mevlana Cultural Centre, pentas tiap Sabtu malam. Ia tak bercerita pada Anka, bila malam itu ia pulang bersama ibu angkat Azqila dari Mevlana Cultural Centre. Ia mentraktir makan etli ekmek 2), dan minum ayran 3), sebelum mengantarkan perempuan tua itu ke hotel tempatnya menginap.

                                                     ***   

AGAK gugup pensiunan polisi saat melakukan perjalanan dari Konya ke Pamukkale dengan mengendarai sedan tua. Ia masih tangguh menyetir mobil, bertiga dengan Anka dan Akila. Pensiunan polisi itu telah ditinggalkan istrinya yang lari dengan lelaki lain, tinggal di ladang gandum Pamukkale. Ia menempuh perjalanan selama lima jam untuk mencapai kawasan ladang delima dekat kota tua Hierapolis. Tampak hamparan pegunungan seputih kapas. Ladang delima orang tua angkat Azqila tak jauh dari peninggalan kuil, arena teater, tembok kota dan kuburan batu serta air panas yang mengalir bening sepanjang waktu.

Tepat siang hari mobil tua pensiunan polisi memasuki pelataran rumah orang tua angkat Azqila. Pensiunan polisi dan Akila mengantarkan Anka untuk melakukan lamaran. Mereka membawa seserahan: bingkisan tekstil, paket coklat, baki silver berukir tempat dua cincin, dan bunga untuk Akila.  

Seorang lelaki yang dituakan di Pamukkale memasukkan cincin ke jari manis Anka dan Azqila. Kedua cincin itu diikat dengan pita merah. Lelaki yang dituakan itu menggunting pita merah. Pensiunan polisi sempat mengamati wajah Azqila, dan terkesima melihat sepasang mata gadis itu memancarkan sihir yang menaklukkan siapa pun yang memandanginya. Sihir mata gadis itu menenggelamkan ketangguhan jiwa tiap lelaki untuk takluk padanya. Pensiunan polisi itu tak tergoda sihir mata gadis penari perut yang paling dikagumi di Hodja Pasha Istambul. Ia tersenyum samar. Senyum itu seperti telah meluruhkan seluruh kekuatan sihir mata Azqila, yang segera menghindar dari wajah calon mertuanya. Azqila tak berani berlama-lama bertatapan dengan pensiunan polisi. Takut bila semua kedok penaklukkannya pada setiap lelaki terbongkar.

Pensiunan polisi itu kini paham, kenapa anak lelakinya tak bisa menghindar untuk menikahi Azqila. Sihir mata penari perut itu seperti memancarkan roh dewi-dewi kota tua Hierapolis.  

                                                                        ***

MALAM hari setelah melamar Azqila, pensiunan polisi tak pulang ke Konya. Ia mengikuti kehendak Anka yang ingin menginap di sebuah hotel untuk menyaksikan pertunjukan tari perut Azqila. Pemilik hotel telah memanfaatkan kepulangan Azqila ke Pamukkale untuk menarik banyak tamu datang ke kafe dan restorannya, sebelum mereka menonton pertunjukan tari perut.

            Ruang pertunjukan hotel yang cukup luas dipenuhi tamu-tamu, kebanyakan lelaki, dengan aroma raki 4) yang tercium pekat. Ketika lampu dipadamkan, Azqila muncul di panggung dengan rok terbelah, menampakkan kakinya yang ramping. Tiap orang tersihir penampiliannya. Hentakan darbuka 5) dan gesekan dawai biola mengiringi tarian Azqila. Bergetar bahu, dada, dan perut. Tubuhnya melikuk-liuk. Jari-jemari lentik bertepuk-tepuk ritmis di atas kepala. Pinggulnya berguncang-guncang mengikuti hentakan darbuka. Rambutnya disibak sesekali. Tengkuknya licin dibintiki keringat. Rekah bibir dan sihir mata gadis itu memacu detak jantung tiap lelaki yang memandanginya.

            Tubuh pensiunan polisi bergetar. Ia melihat lelaki setengah baya yang melarikan istrinya berada di deretan kursi penonton. Di tangan lelaki setengah baya itu tergenggam sebotol raki. Sepasang matanya terbakar birahi. Tak pernah berhenti menatapi tiap getar tubuh Azqila, dan sesekali terangkat tubuhnya, ingin meraih penari perut itu. Wajahnya memerah, mabuk raki yang ditenggaknya dari botol.

            “Lihat, Baba, itu lelaki yang melarikan Anne 6),” bisik Akila, yang memancing kemarahan Anka.

            “Biar kuhajar hidungnya!”

            “Jangan buat keributan di sini,” pinta pensiunan polisi.

            Lelaki setengah baya yang melarikan istri pensiunan polisi itu bangkit dari duduknya. Ia memburu Azqila yang turun panggung, dan tanpa malu, membujuk penari perut itu, “Ayo, temani aku tidur!”

            Lelaki setengah baya itu menghalangi langkah Azqila. Gadis itu tak bisa meneruskan langkah. Anka meminta lelaki setengah baya untuk memberi jalan Azqila. Tetapi lelaki setengah baya itu tetap merayu Azqila. Tercium aroma raki dari mulutnya. Tak bisa menahan diri, Anka memukul muka lelaki setengah baya. Keras. Lelaki setengah baya itu terpental. Terkapar. Bangkit lagi. Marah. Anka memukul untuk kedua kali. Lebih keras. Lelaki setengah baya itu tergeletak. Anka menginjak lehernya.

            “Kubunuh kau!” seru Anka geram. “Kaubawa lari Anne, sekarang calon istriku mau kauganggu!”

            Pensiunan polisi mencegah Anka agar tak melakukan aniaya terhadap lelaki setengah baya. Anka tampak geram dan beringas. Pensiunan polisi itu meredakan kemarahan anak lelakinya yang tak terkendali. Azqila surut. Gemerlap sepasang matanya memudar. Ia berlindung di balik tubuh kekar Anka, yang tampak sangat perkasa.  

                                                                    ***  

PAGI menjelang pulang ke Konya, pensiunan polisi sempat berenang. Ia makan pagi, berkemas-kemas, dan Azqila datang dengan taksi. Membawa sekeranjang buah delima. Pensiunan polisi memandang wajah Azqila dan tak lagi memancarkan sihir mata. Sepasang mata gadis itu teduh. Apa yang terjadi padanya?

Anka menyambut Azqila.  

 “Aku akan berhenti menjadi penari perut,” kata Azqila dengan penampilan yang lebih tenang. Sepasang matanya lebih tenteram.

“Kau akan cari kerja?”

“Tidak. Aku akan menjadi penari sema. Di Hodja Pasha, aku bisa pentas penari sema.”

Tak percaya dengan penampilan Azqila, pensiunan polisi mencari-cari sihir sepasang mata seorang bintang tari perut di Hodja Pasha. Sihir mata itu telah padam.

Pensiunan polisi mengemudikan sedan tua meninggalkan hotel dengan perasaan yang ringan. Dilihatnya Anka dan Akila berwajah lebih tenang. Mereka meninggalkan hotel, hamparan bukit seputih kapas, ladang-ladang delima, dan reruntuhan kota tua.

Sepanjang jalan pensiunan polisi itu masih mengenang sepasang mata Azqila yang bening, tenang, dan menenteramkan. Bukan lagi sepasang mata dengan sihir yang dirasuki roh dewi-dewi kuil purba.

                                                            ***

                                                                                                   Pamukkale, Juli 2022 /

                                                                           Pandana Merdeka, November 2022

 

Catatan

1)      Baba                = ayah

2)      Etli ekmek       = roti berisi daging, serupa pizza, khas Konya.

3)      Ayran              = minuman yang terbuat dari yogurt dan susu

4)      Raki                 = minuman keras Turki, disuling dari buah anggur atau plum.

5)      Darbuka          = perkusi sejenis gendang dari Timur Tengah

6. Anne                 = ibu

  

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »