Menyelamatkan
Generasi dari Event Sastra Komersial
A.
Warits Rovi
Dalam
esainya di Jawa Pos (29/10/22) Anindita S. Thayf menyebut
bahwa legitimasi merupakan semacam objek buruan bagi sebagian sastrawan agar
karyanya menempati posisi yang terhormat dan terpandang. Sastrawan yang
mempunyai hasrat memburu legitimasi akan terus mencari patron-patron responsif
melalui lembaga kesenian, komunitas, kritikus, dan lain sejenisnya. Menurut
Dita, hal tersebut akan memacu tumbuhnya gerakan feodalisme dalam sastra yang
memuarakan relasi mereka ke dalam segmen; tuan dan sahaya. Sekadar menambah
pernyataan Dita, hal lain yang ditimbulkan dari hasrat memburu legitimasi itu
adalah menjamurnya hasrat komersial dari beberapa orang di luar sastra atau
bahkan—bisa jadi—pegiat sastra itu sendiri. Yang namanya hasrat komersial tentu
patokannya adalah untung-rugi dan tentu saja bakal mengesampingkan hal paling
esensial dalam sastra yaitu kualitas.
Sebagaimana yang jamak dimafhumi, sastra merupakan
lensa representatif yang bisa memotret dinamika dan dialektika zaman dari
berbagai sisi, mulai dari yang kasatmata hingga yang abstrak. Karya sastra
secara substantif hadir menjadi suara dan realitas sosial dari lingkungan sastrawan
itu hidup. Herder (dalam Atmazaki, 1990: 44) menjelaskan bahwa karena karya
sastra dipengaruhi oleh lingkungannya, maka karya sastra merupakan ekspresi
zamannya sendiri. Berangkat dari hal itu, pada prinsipnya sastra merupakan
ranah penting dari sekian roda lokomotif kebudayaan dan kehidupan—atau lebih
tepatnya gerak zaman—yang dalam prosesnya harus steril dari hal-hal yang
sifatnya sekadar spekulasi demi terget kepuasan profitabilitas belaka yang
berangkat dan berdasar pada hasrat komersial.
Ranah sastra memang bukan “lahan basah”
sebagaimana ranah lain yang potensial dan membuka lebar pintu kemungkinan untuk
menambah pundi-pundi rupiah. Tapi bagi sebagian spekulan, mereka tak ingin
mengabaikan ranah ini begitu saja; sebagai wilayah holistik yang suci dari
sentuhan praktik komersialisasi. Upaya pasang kail tetap dilakukan guna
memancing bagian-bagian profit yang ada di dalamnya, tentu saja “kail’ yang
mereka lempar didesain secara adaptif sehingga tampak spesial dan seolah
sebagai jalan pintas ke arah pencapaian sastra itu sendiri. Bisa mungkin mereka
diam-diam telah melakukan riset tersembunyi dengan menggali informasi seputar profil pelanggan, ukuran, trend, profitabilitas pasar,
hingga struktur biaya industri dalam dunia sastra, sehingga salah satu kegitaan
yang dilaksanakan biasanya berupa event kepenulisan yang disulap seolah jalan
praktis menuju pencapaian.
Beberapa penulis pemula yang punya
idealisme menggebu untuk cepat jadi sastrawan kerap tak berpikir logis dalam
memperjuangkan karyanya demi cepat terpublikasi dan mendapat legitimasi.
Publikasi memang merupakan salah satu jalan proses kreatif yang berposisi
sebagai jembatan penghubung antara kreator dan pembaca agar nantinya ada timbal
balik berupa apresiasi dan hal lain yang berorientasi pada perbaikan mutu
karya. Publikasi biasanya terelelisasi melaui media dan lomba-lomba. Karena
berfungsi sebagai “jembatan”, mestinya ia harus kokoh dan mengedepankan
nilai-nilai subjektivitas dalam raga yang independen serta jauh dari praktik
komersialisasi. Selain publikasi, adalah legitimasi sebagimana yang saya sebutkan
di atas.
Orang-orang yang punya hasrat komersial
akan bergerak cepat menyusun strategi dengan mengadakan event sastra yang
didesain seolah peduli perkembangan sastra, padahal sejatinya hanya untuk mengeruk keuntungan dari event tersebut;
mereka melempar makanan seolah kasihan kepada ikan-ikan, padahal dalam makanan
itu ada tajam mata kail yang justru akan membuat si ikan sengsara.
Event sastra yang demikian biasanya
digandrungi oleh penulis-penulis pemula. Mereka tak berpikir makna idealisme
substantif selain hanya demi karyanya cepat terpublikasi, dikenal pembaca, jadi
juara, dan mendapat legitimasi. Spirit untuk mencapai semua itu pada akhirnya
membuat si penulis memenuhi seabrek persyaratan yang biasanya punya tendensi
yang menguntungkan bagi penyelenggara semisal wajib follow akun instagram,
like, dan menandai banyak teman, wajib subscribe, like, dan komen sebuah kanal
YouTube, dan lain sebagainya.
Selain persyaratan yang menggunung,
biasanya ada uang registrasi yang membuat si penulis mesti merogoh kocek dengan
perasaan sedikit pahit. Seabrek persyaratan dan adanya registrasi itu pada
akhirnya hanya diganjar hadiah yang tak wajar, sudah demikian, sebagian event
sastra—terutama seleksi buku antologi—juga mewajibkan peserta membeli buku.
Syukur-syukur jika kurasi karyanya betul-betul melahirkan karya yang bermutu
lewat seleksi lihai tangan juri yang kompeten, yang paling miris jika hasil
kurasi karyanya hanyalah karya picisan yang jauh dari esensi sastra yang
hakiki. Karya-karya yang sekadar hasil ayakan yang berdasar pada strategi
komersial tanpa memperhatikan kaidah kesusastraan yang mestinya jadi patokan
penilaian.
Jika event tersebut digandrungi generasi
muda dan buku hasil kurasinya menjadi kiblat mereka dalam berkesusastraan, maka
tak menutup kemungkinan pada akhirnya bangunan sastra tanah air akan rapuh,
menyusut, dan tidak memiliki energi kompetitif di ranah global. Karya sastra
yang seharusnya eksis sebagai potret perjalanan zaman dan corong kebudayaan
bakal tercemar dan mengalami disfungsi; sekadar tatahan teks-teks lebay
dan omong kosong. Tentu siapa pun tak rela hal itu terjadi. Maka jika hendak
menyelamatkan sastra, selamatkanlah generasi kita dari event sastra komersial
yang kerap menghaturkan sebentuk makanan lezat tapi di dalamnya menyimpan mata
kail.
Jangan biarkan generasi kita jadi
ikan-ikan bodoh yang kerap mendekat kail itu; alih-alih mengunyah sebentuk
kenikmatan, tapi malah berujung petaka.