Jika
Dunia Berakhir, Kau Akan Datang, Kan?
: JP Saxe ft Julia Michaels
1.
kita berada di dalam mimpi
rupanya menyenangkan
Ketika dunia mulai menampakkan kejenuhannya, saya terdiam
dan memikirkan hal-hal yang selintas tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Jika
dunia berakhir, Kau akan datang menemui saya, kan?
Saya harap saya tengah berada di sebuah mimpi seorang
gadis kecil. Namun, mimpi ini terlalu tidak menyenangkan baginya yang bahkan
baru saja kehilangan dua gigi depan. Ia harap ia akan terbangun dan menemukan
kedua orang tuanya berlari dan mendekapnya dengan kasih.
“Tidak apa-apa, malam kelam akan segera berakhir. Ini
hanya mimpi kecil.”
Tapi, sayang, ini bukan mimpi.
Dan
rupanya tidak menyenangkan.
2.
banyak
nada yang hilang, entah melompat ke mana
saya
tak bisa bernyanyi
Rumah yang tadinya sepi menyenangkan, tetiba ramai menyesakkan.
Manusia berlalu-lalang masuk dan menyalami. Suara-suara memekakkan telinga,
puji-pujian menenangkan, tangisan menyedihkan, dan entah mengapa terselip tawa
di antara bisingnya bela sungkawa.
Saya berdiri di depan rumah. Tidak ada orang yang
memedulikan kehadiran saya di tengah keramaian. Tampak
mereka sedang duduk di kursi duka. Para laki-laki berdiri menyiapkan segala
yang diperlukan. Sedangkan perempuan tetap di dalam rumah, bersama jenazah yang
terbaring kaku. Saya hanya termangu menatap kerumunan yang tak biasa.
“Sekarang ibunya, ya?” tanya perempuan yang mengenakan
baju hitam dengan garis merah di kedua lengannya. Saya tahu, pertanyaan
itu hanya sebuah awalan untuk membuka percakapan lainnya.
Basi.
“Kasihan, ya.” sahut perempuan baju
hitam lain yang duduk di sebelahnya.
Nah, sudah terlihat ke mana arah percakapan ini akan
mereka bawa.
“Siapa yang pergi dulu waktu
kita
SMP?”
“Adiknya. Akhir SMA, ayahnya ikut pergi.”
“Jadi, sudah tiga kali kita duduk di sini.”
Perempuan baju hitam itu menggeleng, “Aku sudah
empat kali ini, terakhir waktu lulus kuliah, kakaknya pergi.”
“Oh, kecelakaan itu. Aku nggak bisa datang karena
wisuda.”
Keheningan
menyelimuti udara dingin sebentar.
“Tapi aku seneng bisa kumpul
sama kalian lagi.” Keheningan itu menjelma kebahagiaan bagi
mereka.
“Harusnya minggu lalu kamu ikut
ke puncak,
Ris. Ulang tahun anak Ika asyik banget. Anak kamu
pasti suka.”
“Yah, gimana. Anaknya kan cacar air kemarin.”
Mereka mulai membicarakan hal-hal lainnya. Rumah saya
menjadi tempat kumpulan cerita menyenangkan. Pemakaman
selalu menjadi tempat reuni dengan segala tawa manusia.
3.
saya
bersedih atas banyak hal
banyak
hal tidak bersedih atas saya
Pemakaman menjadi tempat terburuk bagi saya, atau semua
orang. Saya memutuskan untuk menyelinap keluar ketika upacara terakhir
satu-satunya keluarga yang saya miliki tengah berlangsung.
Ibuku berpulang hari ini. Saya telah kehilangan
satu-satunya keluarga saya yang tersisa. Seharusnya
seluruh dunia menjadi hitam. Seharusnya tidak ada warna
cerah dan indah. Seharusnya alam mengutus badai untuk
menghitamkan bumi. Namun semua berjalan baik-baik saja, seolah tak terjadi apapun.
Waktu terus saja berputar, pun dengan kehidupan. Tidak
ada yang benar-benar peduli pada kita, ucap saya pada diri saya sendiri. Lantas
kematian macam apa yang telah menanti saya? Tidak
ada yang benar-benar kehilangan saat kita pulang. Tidak. Ada.
Ketika dunia mulai menampakkan kejenuhannya, saya terdiam
dan memikirkan hal-hal yang selintas tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Jika
dunia berakhir, Kau akan datang menemui saya, kan?
Udara
dingin menyerang kedua pundak saya. Dari ujung mata saya,
terlihat seseorang tengah berjalan di samping saya. Oh,
bukan seseorang, melainkan sesuatu. Ia menghentikan langkahnya
dan berdiri di depan saya. Tidak
ada tatapan belas kasihan di wajahnya, tidak seperti orang-orang hari ini. Ia
tersenyum, senyum yang dapat membuat seseorang yang telah mati kemudian hidup
kembali.
“Jika dunia berakhir, Kau akan datang menemui saya, kan?”
Sesuatu itu tersenyum semakin
lebar, mengangguk.
4.
saya
takut pada kematian
kematian
menanti saya di ambang pintu
“Aku akan datang pada orang-orang sepertimu, yang
berharap hanya pada-Ku, yang menangis dan meminta hanya pada-Ku.”
“Walaupun saya mendengarnya dari Engkau sekalipun, saya
masih takut memikirkan kematian macam apa yang telah menanti saya.”
“Seorang nenek sedang merajut kaus kaki kematianmu di
ujung jalan ini”
“Seperti apa rupanya?”
“Kau akan tahu, dan tidak perlu takut padanya”
Saya terdiam. Tampaknya sesuatu
menangkap kegelisahan saya.
“Masa depan penuh dengan ketidakpastian. Asal kau percaya
pada-Ku, kau akan baik-baik saja.”
“Asal saya percaya pada Engkau?”
“Asal kau percaya pada-Ku.”
5.
banyak
nada yang hilang, entah melompat ke mana
saya
tak bisa bernyanyi
tidak
apa-apa,
Tuhan
mengganti nada yang lain
Saya kembali ke rumah yang ramai kerumunan peziarah.
Warga tengah bersiap memakamkan Ibu. Saya ikut membantu.
Saya tahu, masih ada harapan bagi saya untuk menjalani
kehidupan. Asal saya belum bertemu seorang nenek
yang sudah selesai merajut kaus kaki kematian saya, saya akan baik-baik saja.
“Asal saya percaya pada-Mu, saya punya
harapan.”
6.
saya tidak takut
Tuhan
mencintai saya.