Objektifikasi dan
Luka Perempuan dalam Puisi Tafsir
Mata-Mata
Wahid Kurniawan
Kita tahu, karya sastra berperan sebagai cermin sebuah
zaman. Saat membaca karya-karya penulis Indonesia awal abad ke-20, nuansa
perlawanan dan keinginan untuk terlepas dari kungkungan penjajah sangat mungkin
kita dapati. Tema-tema semacam itu bersanding dengan tipikal karya yang
bernuansa keindahan, baik yang dihasilkan dari interaksi penulis dengan alam
sekitar atau perasaannya—kalau kita berbicara mengenai soal karya puisi. Keinginan
merekam apa-apa yang dialami, dilihat, atau seturut pengalaman diri dan
sosio-kultural penulisnya menjadi landasan akan adanya tema-tema tertentu
tersebut. Maka, kita tak perlu terkejut kalau mendapati rekaman zaman dengan
atribut yang diakrabi masyarakat dalam karya yang bertebaran saat ini, misalnya
dalam puisi Tafsir Mata-Mata
(Omong-Omong(dot)com, 2021) karya Nurul Lathifah.
Apa yang ditawarkan
Nurul Lathifah dalam puisinya itu? Kiranya, kita bisa menyebut beberapa
kecenderungan yang menjadi napas utama dari puisi Nurul. Kecenderungan itu
berhubungan dengan pengalamannya sebagai seorang perempuan, termasuk terkait
apa-apa yang melingkupi kehidupan perempuan zaman kiwari. Aspek sosio itu
bersanding dengan pengamatannya atas sekian peristiwa, utamanya yang
berseliweran di media-media. Ia meniupkan pengalaman dan pengamatannya dalam
puisi yang terdiri dari delapan bait, dengan kata kunci Hawa yang menjadi pijakan awal hampir setiap bait.
Di bait pertama, ia
menulis, Jika Hawa tercipta
di dunia pada tahun 2021, ia akan dikecam karena bertelanjang dada/
dan disensor dan dijerat hukuman, oleh mata-mata yang diam-diam menghujatnya;/
mata-mata yang diam-diam memujanya, kadang tak ada bedanya, kadang tak ada redanya.// Nurul berpijak pada kata kunci Hawa, yang dipahami sebagai perempuan pertama yang diciptakan
Semesta, kemudian dilemparkan ke keadaan perempuan di zaman kiwari, tepatnya di
tahun 2021. Keadaan yang dijabarkan dalam tiap larik puisinya menggambarkan
praktik objektifikasi perempuan yang marak terjadi. Perempuan dipandang tak
lebih sebagai objek semata. Nilai mereka bahkan kerap ditopang dari penampilan
mereka. Bahkan, praktik ini sangat tergambarkan dalam pemberitaan media dan
postingan-postingan di media sosial.
Ironisnya, seperti
yang terdapat dalam larik mata-mata yang diam-diam menghujatnya;/
mata-mata yang diam-diam memujanya, masyarakat
yang masih bertendensi patriarkis menjalani diri sebagai penghujat sekaligus
pemuja. Perempuan yang menampilkan diri kelewat seksi, atau berpenampilan
mengundang, menjadi sasaran objektivikasi yang dihujat sekaligus dinikmati.
Masyarakat seringkali mengomentari, bahkan mengatur bagaimana semestinya
perempuan berpenampilan atau berpakaian. Di sisi lain, para lelaki, juga
menjadikan mereka objek kesenangan, bahan candaan, sampai objek fantasi, hingga
membuat mereka jatuh pada praktik pemujaan yang seksis.
Realitas perempuan
kiwari ini tentu tak bisa dipisahkan dari sejarah perempuan dan masyarakat
sendiri. Patriarkisme menjadi pelanggeng praktik objektifikasi, sebab
masyarakat menilai perempuan sebagai makhluk nomor dua. Imbasnya, mereka tak
memiliki kesempatan atau kesan setara atau sebaik yang dikesankan pada diri laki-laki.
Di beberapa daerah, perempuan mesti berperang dengan tuntutan domestik yang
selalu membayanginya, bahwa ruang kerja mereka tak boleh lebih dari kisaran
dapur, sumur, dan kasur. Kendati di daerah lain kesempatan perempuan sudah
mengalami perbaikan, dibuktikan dengan terbukanya akses pendidikan, pekerjaan,
dan posisi politis yang bisa dimasuki; tapi tetap, nilai mereka masih
diposisikan setingkat lebih rendah dari laki-laki.
Nurul menekankan hal
itu di larik lainnya, bahwa nasib mereka yang sekarang seperti
hatinya yang liyan dan lebam memangku luka generasi-generasi sebelumnya. Liyan, kalau menurut terma feminis Prancis, Simone de
Beavouir, mengacu ke situasi the others, yang
dikesampingkan, dinomorduakan. Kesan itu lantas menerakan luka-luka yang membentang
sepanjang zaman. Dahulu, keberadaan mereka dianggap sebagai aib keluarga, bila
kita melihat konteks di zaman Arab Jahiliyah. Selanjutnya, saat mereka sudah
memasuki ruang-ruang di luar domestik, nilai mereka tak lebih sebagai alat
penggerak ekonomi dengan gaji pas-pasan. Masyarakat abad ke-19, saat revolusi
industri sudah mengemuka, membuktikan hal itu. Bahwa memang, emansipasi
perempuan sudah menjamur, tapi keadilan terkait kesejahteraan belum dicapai
oleh semua kelas, terutama mereka yang bergender perempuan.
Keadaan mungkin
membaik di zaman ini, tapi mereka masih belum sepenuhnya lepas dari kungkungan
ketidakadilan. Perempuan hari ini mesti menghadapi bayang-bayang pelecehan
seksual, gaji yang tak cukup, minimnya akses tempat-tempat tertentu, dan segala
jenis praktik keliyanan yang tertuju pada mereka. Praktik ini, sekali lagi,
diakibatkan dari kesan liyan yang ada pada diri mereka, seperti yang ditegaskan
dalam larik tidak pernah utuh harus selalu patuh,
begitulah cerita pelengkap Adam. Kedirian mereka tak utuh, selalu diobjetifikasi.
Mereka mesti selalu patuh, tak semestinya memberontak, melawan, atau memprotes.
Inilah yang diinginkan masyarakat patriarkis. Nilai-nilai itu terlanggengkan di
tengah masyarakat lantaran kesadaran atas rekonstruksi nilai baru belum
disadari oleh setiap pihak.
Kendati begitu, nada
yang disematkan Nurul dalam puisinya tak berpretensi melawan dengan keras atau
marah-marah. Ia menampilkan keadaan kiwari apa adanya, dengan pemilihan diksi
yang gamblang dan jujur. Namun, bukan berarti tidak ada kesan penyentakkan yang
ditimbulkan. Dengan kegamblangan diksinya, Nurul memancing pembaca untuk
menyadari keadaan dan nasib perempuan saat ini. Ia mengambil kata kunci yang
dekat, yaitu Hawa—figur yang hampir
pasti diketahui oleh semua orang. Diksi-diksi yang bernuansa masa kini juga
dianggitnya, seperti diksi followers,
Instagram, atau najis. Penganggitan
diksi itu bisa dipahami untuk menjangkau interpretasi pembaca, hingga maksud
yang ingin dicapai penulis, yaitu penyadaran atas pengamatannya, bisa sampai
tanpa mengalami banyak perubahan tafsir—kendati tafsir lain sangat boleh
diartikan.
Ihwal maksud itu,
kemudian ditegaskan dengan penulisan larik pamungkas di akhir puisi, bahwa “Ia lupa ia adalah perempuan yang
tafsirnya ditulis oleh laki-laki yang rapuh dan ketakutan.” Diksi ia mengacu pada Hawa, yang diasosiasikan sebagai perempuan masa kini. Nurul
menggarisbawahi kalau tafsir atas mereka, dari berbagai aspek, datang dari
perspektif laki-laki. Namun, bukan laki-laki yang tangguh, sebab ia menuliskan
laki-laki yang rapuh dan ketakutan sebagai persamaan bahwa mereka tak
sesuperior yang dikesankan, sebagaimana yang diamini masyarakat (patriarkal). Pemilihan
kata itu membuat akhir puisi ini memiliki maksud: bahwa kendati nasib perempuan
bergelimang luka, kerap diobjektifikasi, dan keberadaan mereka divalidasi oleh
laki-laki; tapi proses rekonstruksi atas stigma itu bisa dilakukan. Dengan
demikian, harapan akan masa depan yang cemerlang dan berkeadilan gender bisa
dicapai.