Dijelaskan
Seperti Apa pun, Kamu Tak Akan Bisa Memahaminya, Bahkan Kalau Dijelaskan
Berkali-Kali Sekalipun
Y Agusta Akhir
Samsa, bocah 7 tahun itu sedang
membayangkan wajah ibu ketika beberapa ekor kucing menyembul dan berloncatan
dari kepala ayahnya, seolah sedang keluar dari sebuah lubang labirin yang telah
berhari-hari mengurung mereka. Itu membuat bayangan ibu kemudian memudar, dan
binatang-binatang itulah yang nyata dalam pandangannya. Seolah tak ada yang
aneh, ia menghitungnya dan semua ada 4 ekor. Mata juling bocah itu
memperhatikan dengan saksama, dan ia merasa mengenali mereka.
Sementara, di
kursi teras ayahnya masih sibuk dengan Dunia Kafka, novel yang sudah
tuntas Samsa baca 4 bulan sebelumnya.
Kucing-kucing
itu mendadak sudah berada di hadapan bocah itu; semua menatap ke arahnya. Dan
saat itu, ia bisa mengingat mereka dengan baik. Goma, seekor kucing torti
berumur satu tahun milik keluarga Koizomi. Mimi, kucing betina yang cantik.
Seekor kucing Siam. Memiliki tubuh ramping, memakai kalung tanda pengenal.
Otsuka, kucing jantan tua berwarna hitam. Kawamura, seekor kucing liar yang
memiliki garis cokelat di tubuhnya. “Mereka sudah mati di tangan Johnni Walker.
Tetapi kenapa mereka berloncatan dari dalam kepala ayah?” gumam bocah itu.
“Samsa, tolonglah
kami!” ucap kucing bernama Mimi. Samsa terkejut kucing itu memanggil namanya.
“Tuan Walker
sedang memburu kami. Tolonglah, Samsa!”
“Tuan Walker?
Bukankah dia sudah mati dibunuh Nakata?”
“Tidak,” sembari
berjalan mendekat ke kaki Samsa, Kawamura berkata. “Orang itu masih hidup.
Barangkali, sebentar lagi akan sampai di sini juga!”
Samsa
membawa kucing-kucing itu ke gudang yang ada di belakang rumah.
“Di
sini, kalian aman!”
“Baiklah.
Kami sungguh berterimakasih atas budi baikmu!” kata Otsaka.
Samsa segera
kembali ke ruang tamu dan melihat ayah masih membaca. Bocah itu ingat dengan
ucapan Kawamura, tetapi sampai ayah menutup buku Dunia Kafka, Jhonni
Walker tak juga muncul, apalagi keluar dari kepala ayah.
***
“Seandainya di kota ini mendadak ada ikan-ikan
yang jatuh dari langit, sampai sekian hari kita akan lauk ikan. Sudah lama kita
tak makan ikan!” ucap sang ayah saat mereka makan malam.
Samsa tak
menyahut. Ayah bisa memahami, bocah itu diam bukan berarti tak mendengar
ucapannya. Namun tak ada lagi kata yang terucap dari mereka sampai makan malam
selesai.
Samsa masuk ke
kamar dan membaca Membunuh Commendatore, Idea yang Menjelma. Hanya beberapa halaman,
dan matanya terasa berat. Tanpa menutup buku tersebut, ia terlelap. Tetapi
tergeragap ketika didengarnya ketukan di pintu beberapa menit kemudian. Ia
sempat melirik jam di dinding. 11.07. Lalu bangkit untuk membuka pintu.
Samsa tersentak
lantaran yang dilihatnya ternyata bukan ayah.
“Selamat malam.
Saya Johnny Walker. Maaf kalau sudah mengganggumu, Samsa!” kata orang itu.
Pistol dalam
genggaman Jhonnie Walker menyita perhatian Samsa. Demikian pula dengan bercak
darah kering di bagian dada dan juga perut orang itu. “Kukira itu bekas tusukan
Nakata!” Samsa berkata dalam hati.
“Samsa, apakah
kamu tahu kucing-kucing buruanku?”
“Tidak ada kucing
di sini,” sahut bocah itu cepat, “ayahku tak menyukai kucing!”
Lelaki itu
tersenyum. Lalu, menyelipkan pistol di antara celana dan perutnya yang tambun.
Ia mengeluarkan
sebungkus Lucky Strike dari saku bajunya, mengambil sebatang,
menyelipkan di sela bibir, dan segera menyalakannya. Mengisapnya dalam-dalam
dan menghembuskannya kembali. Sekejap wajahnya diselimuti segumpal asap. Bau
tembakau segera memenuhi seluruh ruang kamar.
Seperti tak peduli
dengan ucapan Samsa, Jhonnie Wlker berkata, “Kamu pasti sudah membaca Dunia
Kafka. Yang aku buru sekarang ini adalah jiwa mereka, jiwa kucing-kucing
itu!”
Samsa tak
menyahut. Ia melangkah keluar. Jhonnie Walker mengikutinya, setelah bocah itu
melewati pintu.
Samsa menuju ke kulkas
yang ada di dekat televisi. Ia mengambil sebotol guieness dan sekaleng bear
brand, dan membawanya ke ruang tamu, yang ternyata Jhonnie Walker sudah duduk
di sofa sedang membuka 1Q84 jilid
pertama. Samsa berpikir, pasti lelaki pemburu kucing itu mengambilnya dari rak
buku yang ada di ruang tamu.
“Tuan
membutuhkan gelas?” Samsa bertanya sembari menyodorkan botol Guinnes.
Jhonnie Walker
menggeleng, lalu menaruh 1Q84 di
meja, meraih botol itu, membuka tutup botol dengan giginya, lalu menyepahnya
sehingga berputaran di atas meja; terdengar sedikit bising sejenak, sebelum
akhirnya diam sama sekali. Suasana jadi hening. Sementara Samsa pelan menarik ring pull tab kaleng bear brand lalu
menenggaknya seteguk. “Air susu yang tawar,” ucapnya tetapi tidak jelas
tertangkap telinga Jhonnie Walker.
“Saya benar-benar
minta tolong, bawalah kucing-kucing itu kemari. Saya tahu, Samsa
menyembunyikannya!”
“Tak ada kucing di
sini. Ayah saya tak menyukai kucing!” ucap Samsa dengan nada datar. Kaleng bear
brand masih dalam genggamannya.
Samsa kemudian
berkata-kata sendiri seolah tak ada Jhonnie Walker di situ. “Satu-satunya
penghuni rumah ini yang menyukai kucing adalah ibuku, tetapi dia sudah pergi
sekitar tiga bulan lalu. Ibu pergi lantaran ayah membunuh kucing kesayangannya.
Seekor kucing berbulu lebat, hidung pesek, dan mata tajam tampak menyeramkan
tapi sekaligus lucu. Perihal bagaimana ayah menghabisi kucing kesayangan ibu
aku tidak melihatnya sendiri. Hanya ibu yang berteriak-teriak memaki ayah
sembari menangis, dan ayah hanya diam, wajahnya datar, tak ada rasa bersalah,
menyesal, atau bahkan juga terpancing kemarahan ibu. Itu terjadi pada sebuah
pagi di hari Minggu. Dan, beberapa hari setelah itu ibu tak lagi bicara kepada
ayah, sampai kemudian keributan kembali pecah. Ibu berteriak-teriak, dan ayah
jadi terbakar amarah, setelah ibu menyebutnya lelaki anjing. Mereka bertengkar
hebat di depan mataku. Tak ada kontak fisik. Hanya adu mulut tetapi sangat
gaduh dan bising. Ibu membanting piring, gelas, dan benda apa pun yang tergapai
tangannya. Ayah memecahkan cermin lemari dengan tinjunya. Tangannya mengucurkan
darah. Kaca berantakan di lantai. Lalu suara gaduh mendadak diam. Suasana jadi
sangat hening. Tetapi beberapa menit kemudian, ibu keluar dengan sebuah koper.
Itu terakhir kali aku melihatnya!”
Johnny Walker
menenggak Guinnes hitam itu, lalu mengisap rokok yang agaknya sudah tinggal
puntung, sebelum akhirnya mematikannya di asbak.
“Ayolah, Samsa.
Katakanlah yang sebenarnya. Samsa cukup tunjukkan di mana tempatnya. Dan
biarlah saya yang menjemput sendiri kucing-kucing itu!”
“Sebaiknya Tuan
Walker pulang. Tak ada kucing di rumah ini. Ayahku tak menyukai kucing!”
Jhonnie Walker
bersendawa beberapa kali. Lalu berdiri dan bertanya letak kamar kecil. Samsa
hanya menunjukkan dengan telunjuk. Jhonnie Walker berjalan ke arah itu, dan
kembali lagi sekitar tiga menit kemudian dengan rambut dan wajah yang basah.
“Kalau Samsa tak
berkenan menunjukkan kucing-kucing itu, tidak masalah. Cerita yang ditulis Tuan
Murakami tidak akan berubah. Kecuali, perihal kematianku. Sebagaimana Tuan
Samsa lihat, aku masih hidup! Selamat malam!”
Samsa diam dan
hanya melihatnya berjalan menuju ke pintu. “Aku tak ingin kembali ke duniaku!”
ucap Jhonnie Walker ketika meraih gagang pintu “Aku ingin pergi ke Kota Kucing.
Mungkin di sana aku menemukan buruanku, Samsa!”
Samsa tak melihat
Jhonnie Walker benar-benar membuka pintu. Pintu tetap tertutup tetapi lelaki
itu sudah tak ada di sana.
***
Pagi harinya,
Samsa memeriksa gudang, tetapi tak ditemukannya kucing-kucing itu. Ia ingin
mencari mereka, tetapi ayah memanggilnya. Ia bergegas masuk, dan mendapati ayah
duduk di sofa, tepat Jonnny Walker semalam juga duduk. Ayah memegang Dunia
Kafka. “Jonnny Walker menghilang dari cerita ini, Samsa!” ucap ayah.
“Dia pergi ke Kota
Kucing,” sahut Samsa. “Suatu saat, ayah harus membaca cerita itu. Mungkin akan
menemukan Johnny Walker di sana!”
Ayah tampak
bingung, tetapi hanya sekilas saja kebingungan itu menggurat di wajahnya.
Kemudian mereka saling diam. Samsa masih bertanya-tanya kemanakah kucing-kucing
itu menghilang? Apakah mereka kembali ke dalam Dunia Kafka? Apakah mereka pergi ke Kota Kucing, dan karena itulah
Johnny Walker mengejarnya ke sana?
“Samsa,” ayah
membuka suara. Samsa merasa nada suara ayahnya terdengar aneh. “Kupikir inilah
saatnya ayah berterus terang kepada kamu!”
Samsa bergeming,
lebih karena ingin segera mendengar apa yang dikatakan ayah.
“Samsa, sebenarnya
aku bukan ayahmu!”
Samsa kaget,
tetapi hanya matanya yang juling menatap wajah ayahnya.
“Tapi, dia adalah
perempuan yang melahirkan kamu!”
Samsa mengalihkan
pandang pada foto close up ibu ukuran 10R dalam bingkai sederhana yang
menggantung di dinding. Wajah itu sedang tersenyum, dan ia merasa senyum itu
miliknya.
“Aku tak tahu,
siapa ayah kamu. Ini sulit dijelaskan, Samsa! Kalau pun aku jelaskan, kamu tak
akan bisa mengerti, bahkan kalau kujelaskan berkali-kali sekalipun!”
Samsa merasa
pernah membaca kalimat yang diucapkan ayah. Mungkin di cerita Kota Kucing atau di 1Q84 Jilid pertama, atau kedua-duanya. Ia agak lupa. Dijelaskan seperti apa pun, kamu tak akan
bisa memahaminya.
Beberapa menit
mereka saling diam, sampai ayah kembali bersuara, bertanya perihal kaleng Bear
Brand dan botol Guinnes di meja. Samsa mengatakan kalau itu pun sulit dijelaskan
dan dijelaskan seperti apa pun, tak akan bisa dimengerti. Ayah tertawa lirih,
lalu beranjak sambil berkata pelan, “Saatnya kerja!”
Dalam hati, Samsa
kemudian hanya berkata: Mungkin ayah kandungku seekor kecoak. Karenanya, aku
pun sesungguhnya seekor kecoak.
Samsa lalu
membayangkan tubuhnya mendadak mengecil, tumbuh sayap di punggung, lalu terbang
mencari ibu untuk bertanya siapa ayahnya, atau sekadar hinggap di dada ibu,
lalu menyelinap di sana, mengisap puting susunya, yang rasanya mungkin tawar
seperti Bear Brand yang semalam
diminumnya saat bersama Johnny Walker, yang lebih menyukai Guinness.***