Manzil
Syadza
Z. Nufus
Badanku seperti terlempar. Aku
terpaksa bangun dari tidur.
Aku
menoleh ke televisi. Seorang penyiar berita terkenal, Maira Koeswoyo,
membacakan berita mengenai tuntutan warga perkotaan untuk pembukaan lapangan
pekerjaan baru akibat penutupan pertambangan batubara. Aku menghela napas
karena termasuk salah satu warga yang membutuhkan pekerjaan. Tetapi, aku tidak
memilih melakukan demo di depan kantor pemerintah seperti kawan-kawan
seperjuangan.
Tenggorokanku
terasa gatal. Kemudian, aku memilih bangkit lalu menuju dapur untuk mengambil
segelas air. Untungnya aku masih bisa membeli air yang ketersediaannya juga
tergolong langka di kota ini. Aku mengetukkan gelas di meja. “Ahh…lega!”
Enam
bulan sudah berlalu sejak aku mengalami PHK. Ya, aku adalah salah satu karyawan
di perusahaan pertambangan kota ini. Perusahaan yang besar. Beberapa petinggi
perusahaan malah termasuk dalam jajaran pemerintahan negara. Televisi memutar
kembali rekaman orang-orang yang turun ke jalan. Orang tua, muda, hingga
anak-anak aku lihat turut memperjuangkan haknya. Keluhannya sangat jelas
membutuhkan lapangan pekerjaan baru. Orang-orang itu meminta pemberian insentif
sebagai stimulus penggerak perekonomian kembali. Urusan perut memang sudah tak
bisa ditawar.
Sebagai
korban, aku punya pandangan yang sangat berbeda. Menurutku, pihak perusahaan
tidak salah langkah. Tak ada lagi lahan yang dapat dikeruk. Cadangan batubara sudah
habis tepat di tahun ini, 2035. Aku memejamkan mata sembari merebahkan tubuh.
Bayangan wajah Supri mulai terlihat dalam kepalaku. Supri adalah teman dekatku
di kantor. Dia orang yang paling vokal dan berhasil mengajak kawan-kawan lain
untuk turun ke jalan. Kecuali aku. Aku menolak dengan halus. Entahlah, aku
merasa pesimis. Aku merasa telah berkhianat dengan ajaran guruku. Suara beliau
terngiang kembali dalam benakku saat membacakan arti dari sebuah ayat dalam
kitab suci. “Telah tampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Tuhan menghendaki
agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka
kembali ke jalan yang benar.”
Begitulah
penyesalan selalu datang terlambat. Akibat mengabaikan ajaran guruku, aku harus
menganggur hari ini. Rasanya tak ada lagi harapan yang tersisa. Ingatanku melompat
lebih jauh lagi, saat aku menerima pengumuman diterima sebagai karyawan di
perusahaan tambang batubara. Aku tersenyum lebar ketika memberitahukan kabar
ini lewat telepon kepada Mamak. Pertanyaan Mamak hari itu cukup membuatku
tersentak, “Kau yakin mengambil pekerjaan ini, Nak?”
Aku
juga ingat berhasil meyakinkan Mamak. Dugaanku, Mamak bertanya seperti itu
karena aku sangat suka bermain di hutan. Mamak mungkin punya keyakinan aku tak
akan mampu merusak hutan, tempat bermainku, hanya demi uang. Tapi begitulah
manusia. Uang adalah alat tercepat untuk memutarbalikkan hati. Padahal, sepuluh
tahun yang lalu seharusnya aku memilih bercocok tanam saja. Walaupun pada
akhirnya kotaku akan sekarat juga. Karena tak akan kehabisan pekerja yang
bersedia sebagai pengeruk alam, setidaknya aku tak harus dilanda perasaan
bersalah seperti ini.
Aku
melangkah menuju teras balkon. Rasanya malam ini sangat gerah. Sejak tadi mesin
AC sudah menunjukkan suhu yang paling rendah. Tapi, naiknya suhu lingkungan dan
kelembapan semakin menguatkan udara kering di sekitar. Kotaku telah rusak. Dan
aku pun turut ambil bagian di dalamnya.
Telepon
genggamku berdering di atas meja. Aku bergeming. Rasa malas begitu
menggerogotiku hari ini.
“Paling
itu telepon dari Cania.”
Aku
melemparkan pandangan ke langit. Diam-diam berharap kekacauan di luar sana
segera berakhir.
***
Suara
ketukan pintu membangunkanku. Aku merasa enggan untuk melangkahkan kaki ke
depan pintu. Namun, semakin lama aku menunda, frekuensi ketukannya semakin
nyaring.
“Iya,
sebentar!” aku memekik nyaring dari balkon. Kemudian, aku berlari kecil menuju
pintu depan. Saat membuka pintu, kurir itu mencoba tersenyum kepadaku.
Walaupun, aku yakin wajahku tampak kesal padanya.
“Mas,
ini ada paket,” ucap Kurir.
Aku
mengernyitkan dahi sembari menerima paketnya. “Dari siapa?”
Kurir
itu pun memberikan aku selembar kertas sebagai tanda terima. “Kurang tahu, Mas.
Tolong tanda tangan di sini.”
Setelah
aku memberi tanda tangan, kurir pun bergegas memacu motornya kembali. Awalnya,
aku merasa ragu untuk menerima paket ini. Tapi, kalau aku tolak malah akan
memberatkan pekerjaan sang kurir.
Aku
menaruh paket tersebut di atas meja. Kedua mataku tak lepas mengamatinya. Paket
ini tidak terlalu besar. Ukurannya hanya seperti kotak sepatu. Lapisan luarnya
dibungkus dengan plastik berwarna hitam. Hal menarik lain terdapat selembar
kartu ucapan yng ditempel pada bagian luar. Aku mencoba mengambil kartu ucapan
tersebut. Banyaknya lapisan isolasi bening di atas kartu ucapan menyulitkanku
untuk membukanya.
Akhirnya,
kartu ucapan itu dapat dilepaskan dari kotaknya. Aku membaca dengan perlahan. “Untuk
penjaga manzil, masih ada waktu untuk memutar semuanya kembali.”
Rasa
penasaranku terhadap isi paket itu semakin membuncah. Aku bergegas mengambil
gunting di dalam laci meja untuk membuka paket ini. Seberkas sinar terang
keluar memancar saat kotak paket terbuka.
“Paket
apa ini?”
Aku
melompat dari kursi. Perlahan aku melangkah mundur menjauhi meja. Paket ini tak
berisi rangkaian peledak. Tapi, aku merasa bingung dengan sinar terang yang
dipancarkannya. Butuh waktu lama, sinar yang terang itu untuk meredup. Aku
masih takut. Walaupun aku juga mengintip isinya dari kejauhan.
“Bibit
pohon?”
Aku
mengeluarkan bibit tersebut dari dalam kotak lalu membawanya ke atas. Banyak
pertanyaan-pertanyaan muncul dalam kepalaku. Seperti, siapa yang mengirimnya
atau jenis bibitnya.
Kemudian,
aku berlari menuju kamar untuk mengambil buku identifikasi tumbuhan. Aku
belajar biologi di bangku perkuliahan. Hal seperti ini tentu mudah untukku.
Langkah pertama yang aku lakukan adalah melihat bentuk morfologi daun. Aku
menyisir tiap baris kalimat pada halaman dengan teliti. Namun, tak ada satu pun
yang sesuai dengan bibit pohon ini.
Aku
tak menyerah. Langkah kedua yang aku lakukan adalah melihat bentuk akarnya.
Hasilnya tetap sama. Tak ada satu pun keterangan yang dapat membantuku
mengenali bibit pohon ini.
Aku
merebahkan badan kembali. Mataku memandangi langit-langit ruangan. Anehnya, aku
ingin menyalakan televisi. Sebuah gambar muncul di hadapanku. Reporter
perempuan sedang bertanya pada narasumbernya. Aku membaca tulisan di bawah
gambar tersebut. “Kemunculan bibit pohon ajaib.”
Narasumber
bercerita kalau dia mendapatkan bibitnya di pagi ini. Seseorang mengirimkannya
melalui kurir. Dia juga bercerita kalau bibit ajaib itu memancarkan sinar yang
terang. Persis seperti bibit di hadapanku.
Tanganku
bergetar saat memencet tombol pengendali untuk mematikan televisi.
“Mungkinkah
ini bibit yang sama?”
Aku
memutuskan menelepon Supri untuk membantuku menanam ini.
***
Hari
sudah sangat larut. Aku dan Supri belum juga sampai ke rumah Mamak di kampung.
Musibah menimpa kami berdua hingga harus menyerahkan mobil kepada para begal di
sekitar perkebunan sawit ini.
Aku
mengajak Supri untuk duduk sebentar. Supri pun menghentikan langkahnya. “Kamu
baik-baik saja?”
“Iya,
Sup. Mobil itu juga masih harus dibayar cicilannya. Aku senang tak perlu
membayar cicilan lagi karena kejadian ini.”
Supri
mengambil bibit dari genggamanku. “Gara-gara bibit ini. Seberapa yakin kamu
kalau ini bibit sakti?”
“Yakin,
Sup. Ciri-cirinya mirip dan bukan hanya aku saja yang mendapatkan bibit ini di
kota. Kamu bisa lihat, kanan-kiri hanya ada tanaman sawit. Kampung ini harus
mendapatkan tuah yang sama dari bibit itu.”
“Iya,
aku mengerti. Bibit ini sangat bernilai. Aku yakin banyak orang yang mau
membelinya di luar sana.” Supri tak mendebat perkataanku.
Angin
malam terasa menusuk hingga ke tulang. Rasa lelah mulai menghinggapi kami
berdua. Bayang-bayang seberkas sinar terlihat dari kanan. Sinar itu semakin
mendekat. Kemudian, mobil itu berhenti tepat di hadapan kami. Sebuah truk
bermuatan kelapa sawit.
“Kalian
mengalami pembegalan, ya?” Supir itu bertanya pada kami. Dia mengeluarkan
kepalanya dari jendela.
“Iya,
Pak. Kami mengalami musibah,” sahut Supri.
“Ya
sudah, kalian ikut saya. Masih kuat untuk naik, kan?”
Aku
mengangguk. “Kuat, Pak.”
Pak
Sopir menginjak pedal gas dan truk yang kami tumpangi kembali melaju di jalan.
Dia tak bertanya apa-apa pada kami berdua. Namun, sesekali menawarkan minuman
dan beberapa makanan ringan yang dimiliki untuk kami. Supri tertidur. Dia memaksakan diri saat melawan para begal untuk
mempertahankan mobilku.
“Kasihan
sekali kalian berdua. Dari kota ya?”
“Iya,
Pak.”
“Situasi
di kota pasti kacau. Warga di sini juga mengalami kelaparan. Lahan-lahan
pertanian mulai tergerus karena sawit-sawit ini. Tapi, rasanya warga kota
sangat barbar untuk urusan perut ya?”
Aku
menelan ludah. Omongan Pak Sopir itu ada benarnya. Manusia yang katanya
berbudaya itu berubah menjadi manusia rakus yang mengutamakan kepentingannya
sendiri. “Begitulah, Pak. Makanya saya ingin kembali ke rumah untuk bertemu
dengan Mamak.”
“Baiklah,
saya akan mengantarkanmu dan temanmu hingga depan gerbang kampung.”
Keheningan
menyeruak di antara kami. Aku berusaha agar tak tertidur. Rasanya kurang sopan
setelah diberi tumpangan malah tertidur. Tetapi, mrasa kantukku semakin tak
tertahankan. Perlahan, suaranya terdengar sayup-sayup.
***
“Bangun.
Kita sudah sampai.” Supri menggoyangkan tubuhku beberapa kali. Aku mengucek
mata berulang kali. Gerbang kampungku sudah terlihat jelas di depan mata. Aku
langsung turun keluar truk.
“Sup,
kamu tidak ikut?”
Supri
menggeleng. “Aku langsung menumpang balik ke kota. Ingin melanjutkan berdemo.
Tak enak sebagai koordinator malah menghilang.”
“Baiklah.”
Aku
pun berpamitan dengan Pak Sopir dan Supri. Kemudian melanjutkan perjalananku
dengan berjalan kaki ke rumah. Rumahku tak jauh dari gerbang kampung. Rumah
berwarna biru dengan halaman yang luas. Sebelum aku berangkat ke kota, rumahku
sangat rimbun dengan tanaman. Namun, setelah perluasan lahan sawit di kampung
sepertinya mempengaruhi kualitas tanah. Mamak bercerita kalau tanamannya tampak
kerdil dan daun-daunnya sedikit. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur pada
Tuhan saat melihat rumahku terutama melihat Mamak yang sedang menyapu di
halaman. Senyum lebar terpasang di wajahnya.
Mamak
memelukku erat. “Akhirnya, kamu sampai dengan selamat. Mamak sudah menyiapkan
sarapan di meja. Menu kesukaanmu, oseng pakis.”
“Terima
kasih, Mak. Tapi, ada yang harus aku lakukan.”
Mamak
melirik ke arah bibit yang aku bawa. “Soal bibit itu?”
“Iya.”
“Ya
sudah. Mamak mau mandi dulu.” Mamak bergegas masuk ke dalam rumah.
Aku
pun tak sabar langsung membongkar bibit dari dalam tas. Bibit yang aku
dilindungi dengan segenap harta benda berupa mobil cicilan. Perasaan ragu mulai
muncul saat melihat warna polybag yang berbeda. Saat aku membuka paket di
rumah, polybag berwarna kuning. Sekarang berubah menjadi warna hitam. Kecurigaan-kecurigaan
muncul di kepala. Mungkin Supri yang menukarnya. Mungkin juga Pak Sopir.
“Ah, tidak mungkin.”
Kemudian,
aku langsung menggali tanah dengan sekop kecil yang diselipkan pada pagar. Lubang
yang kubuat tidaklah besar. Kira-kira berdiameter 25 cm dengan kedalaman 10 cm.
Aku mengeluarkan bibit pohon tersebut dari polybag dan memasukkannya dalam
lubang. Terakhir, lubang itu aku tutupi lagi dengan tanah di atasnya. Aku
menunggu dengan sabar. Sepuluh menit berlalu, dua puluh menit berlalu, hingga
tiga puluh menit tak ada keajaiban yang muncul di hadapan.
“Mungkinkah
kecurigaanku benar?”
Aku
memungut kembali polybag yang tergeletak di tanah. Mataku mencari informasi
tertentu yang mungkin saja melekat pada polybag.
“Made
In China,” ucapku terbata-bata. Aku geram. Seketika aku ingin sekali meninju
wajah Supri dengan keras.