Menikam Ulu Hati Merawat Akar Tuba - Nurillah Achmad

@kontributor 3/26/2023

Menikam Ulu Hati Merawat Akar Tuba

Nurillah Achmad



Batang mahoni baru melesat ke dalam tungku tatkala Juhaini mendengar ketokan pintu. Kian lama, gedoran itu kian nyaring. Perempuan renta itu sampai menjinjing sampir dan bergegas ke depan sembari membatin, siapa gerangan yang bertamu jam dua pagi begini?

Sesampainya di ambang pintu, Juhaini memekik tajam saat Safi’ dipapah Bahar. Dari mulut anaknya itu, tercium aroma menyengat. Bahar menuntun Safi’ yang sempoyongan sampai kamar depan, sementara Juhaini memilih kembali ke dapur. Di depan tungku yang asapnya menguar ke seluruh lekuk bubungan, Juhaini menyeka air mata berulangkali.

Gemuruh dalam dadanya makin riuh. Nyala tungku masih membara, tapi Juhaini terus menjejali dengan batang mahoni. Perihnya asap yang menciderai bola mata, tak seberapa perih mendapati Safi’ yang saban hari mengundang sembilu. Sejak Juhaini merawat Safi’ seorang diri, sejak itu pula ia memeram derita.

Yakin jika kayu yang dilesatkan cukup sesak, sementara air dalam kuali takkan asat, Juhaini memungut ember berisi pakaian kotor di bawah lincak. Kendati tarhim Subuh masih lama, serta baju yang mesti dicuci tak begitu banyak, Juhaini memilih beranjak ke kangai yang letaknya agak jauh.

Beberapa langkah meninggalkan teras, Juhaini mendengar gelagat tak nyaman. Nyalinya ciut mendapati derap suara kian mendekat. Jalanan hanya diterangi lampu lima watt. Seketika Juhaini gemetar membayangkan bandit muncul di hadapannya, dan tak lama kemudian mengalungkan celurit ke leher. Namun, lekas-lekas Juhaini mengusir bayangan yang berkelabat musabab ia tersadar, tak ada barang berharga yang sanggup memuaskan bajingan bahkan dari rumah reyotnya itu pun tak tersimpan apa-apa.

Juhaini memberanikan diri terus berjalan. Sesekali matanya menaruh awas, dan segalanya bagai ruh tercerabut dari tubuh, manakala Juhaini mendapati kepala padukuhan bersama dua lelaki bertubuh kekar menghampiri dirinya. Ketiga lelaki itu tak melakukan apa-apa, kecuali kepala padukuhan bertanya, apakah Safi’ ada di rumah atau tidak.

Juhaini mengerti. Telah tiba waktunya ia menerima nasib sial ke sekian kali. Ia mengangguk lantas berujar, “Kalau Bapak mau bawa Safi’, tolong biarkan saya pergi dulu menjauhi rumah.”

Ketiga lelaki itu manggut-manggut dan menyilakan Juhaini melangkah jauh.

***

            Truk-truk menepi. Sebagian lagi dipaksa putar balik. Para lelaki masih terus berjaga bahkan susul-menyusul membakar ban di tengah jalan. Sesekali Juhaini menengok dari jendela tua. Selebihnya ia duduk beralas tembikar, menganyam daun sanur berbentuk ketupat.

            Tiga hari lamanya, para lelaki itu memblokade jalan. Menghadang truk masuk agar tak merusak jalan yang baru diaspal. Jalan raya di kecamatan juga ditutup. Mereka menolak truk masuk wilayah mereka sebab tambang kapur tak bawa berkah apa-apa. Juhaini memilih diam saat tiap pagi membeli sayur, orang-orang bergunjing penghadangan jalan.

            Dulu, ia memiliki sepetak sawah di dekat Gunung Kapur. Ketika berembus kabar kalau sawah lagi diincar untuk pembangunan pabrik hasil tambang, semula ia enggan melepas sebab hanya sawah itu yang memberinya penghidupan. Tetapi, Safi’ memelas lantaran tawaran amat menggiurkan. Juhaini melepasnya jua. Ratusan juta ia genggam. Safi’ memintanya tak usah beli sawah anyar sebab usianya kian tua, baiknya tak usah berurusan dengan pacul dan badik. Begitu seloroh Safi’.

            Uang itu ia serahkan pada anaknya sebagai modal usaha. Entah apa yang dirintis Safi’, jangankan serupiah untungnya, modal saja tak kembali. Sejak itu, lapis demi lapis kegetiran ia rasakan dalam jalani lakon kehidupan. Tak heran bila ia berupaya tuli manakala pagi hari, saat berbelanja sayur, bibir para perempuan berkicau soal pendapatnya akan tambang kapur yang kini tak bawa manfaat. Sialnya lagi, para perempuan itu menyindir Juhaini yang tak kunjung beranjak dari melarat padahal sawahnya telah beralih menjadi lahan pabrik.

            Baru sepuluh ketupat ia anyam, Juhaini mendengar teriakan di depan. Semula ia mengira para lelaki meneriaki truk yang tak mau balik arah. Tapi ia keliru. Teriakan itu kian nyaring dan saat menilik ke jendela, Juhaini mendapati Bahar menaruh sepeda pancal di bawah pohon rambutan.

            “Mak…” teriak Bahar. “Ini aku, Mak. Bahar,” katanya lagi.

            Juhaini bergegas menemui Bahar. Ia tak menyilakan pemuda itu masuk, dan membiarkannya berdiri di undakan.

            “Esok si Safi’ sudah bebas. Mak Ju mau ikut aku ke lapas, kah?”

            Juhaini melepas napas. Pandangnya berpindah ke arah para lelaki yang menggebuki supir truk yang bersikukuh menerobos.

            “Mak?”

            Juhaini menatap Bahar lalu menggeleng kuat. Ia pun kembali menutup pintu, melanjutkan menganyam sanur. Seolah tak ada beda antara ada dan tiadanya Safi’, Juhaini mengisi beras ke dalam anyaman ketupat. Padahal lima tahun lebih ia tak bersua putranya. Lima tahun ia hanya mendengar kabar Safi’ dari Bahar yang kerap membesuk sahabatnya.

Juhaini seolah mati rasa saat keesokan hari, Safi’ benar-benar bebas. Juhaini hanya mengangguk saat Safi’ menyapa. Selebihnya ia menganyam sanur sembari sesekali menoleh ke jendela, menatap para lelaki yang masih memblokade jalan.

“Mulai sekarang, Emak tak usah kerja. Biar aku yang cari uang,” kata si Safi’ yang ikut duduk di atas tembikar.

Ucapan itu dibuktikan Safi’ saat dua hari usai kepulangannya, ia menyodorkan beberapa puluh ribu. Perempuan renta itu tak menolak. Ia belikan ikan nus kesukaan Safi’. Pun begitu seminggu kemudian, ketika Safi’ menyodorkan beberapa ratus ribu dan kalung emas. Ia simpan kalung itu di bawah kasur, dan makan pun tak menyentuh dari hasil pemberian Safi’. Ia makan dari hasil menjual ketupat.

Sebagaimana laron yang gemar mengerubungi lampu, begitupula dengan bibir para perempuan saat bertemu di tukang sayur pada pagi hari. Juhaini lagi-lagi berupaya tuli manakala mereka bergunjing soal Safi’ yang kabarnya meniduri istri kepala padukuhan saat kematian suaminya belum genap empat puluh hari.

“Mereka kawin sirri atau bagaimana, Mak?” usut salah seorang perempuan.

Juhaini membisu. Ia memilih serantang pindang dan meninggalkan uang sepuluh ribu.

Malamnya, saat ia hendak tidur usai mengisi beras ke dalam anyaman ketupat, Juhaini mendengar teriakan di depan.

“Mak? Mak Ju? Ini aku, Mak. Bahar.”

Juhaini tak jadi menarik selimut. Ia beranjak ke depan dan ketika membuka pintu, ia mendapati Safi’ sempoyongan. Dari mulutnya menguar aroma menyengat. Bahar menuntun Safi’ ke kamar depan. Usai memapah dan memastikan kawannya tertidur, Bahar pamit pulang. Tapi Juhaini menahan.

“Aku mendengar isu tak sedap. Aku yakin kau juga menciumnya.”

Bahar diam.

“Kalau aroma itu terus dibiarkan, bukan tak mungkin bau bangkai akan terus bertahan.”

“Memang benar Safi’ meniduri istri kepala padukuhan, Mak. Sekarang perempuan itu tengah berbadan dua.”

Dugaan Juhaini benar. Ia membiarkan Bahar pulang, sementara dirinya kembali ke kamar. Tapi belum sempat memejamkan mata, ia kembali mendengar ketukan pintu.

Ia bergegas ke depan sembari terheran. Mungkinkah Bahar meninggalkan barang? Sayangnya, sesampainya di pintu, ia terkesiap. Bukan Bahar yang ada di depan mata melainkan tiga lelaki tegap dan salah seorang dari mereka, wajahnya sama persis seperti lima tahun silam.

“Safi’ ada di dalam, Mak?”

Juhaini manggut-manggut.

“Dia tertangkap CCTV menjambret kalung seorang perempuan yang tengah mengendarai sepeda. Orang itu terpental ke jalan dan meninggal dunia padahal tengah hamil 5 bulan. Kami juga menerima laporan dari  anak SMA kalau dia digauli Safi’ sepulang sekolah.”

Sejenak Juhaini menghela napas dalam-dalam. Ia benar-benar lunglai mendapati cerita kelam.

“Datanglah esok pagi, Pak. Kalau esok tak mendapati Safi’ di sini, bawalah saya sebagai penggantinya.”

Seorang lelaki hendak menyela, tapi dua lainnya mengiyakan dan balik badan. Usai itu, Juhaini ke kamar Safi’ dan menatap anaknya. Dari saku celana Safi’, tampak pisau lipat. Ia pungut pisau itu, dan menaruhnya di samping paha. Safi’ menggeliat dan mendapati ibunya di ujung lincak.

Anak muda itu tersenyum, lalu beralih ke tempat ibunya duduk dan meringkuk ke atas pangkuan Juhaini bagai bayi hendak menyusu. Agak lama Juhaini memejamkan mata. Ia elus ubun-ubun anaknya sebagaimana mengelus Safi’ saat masih bayi, dan merawat seorang diri sebab suaminya mati bunuh diri. Setelah Safi’ dirasa lelap, Juhaini meraih pisau lipat dan menghunjamkannya ke jantung Safi’. Memang benar kata orang tua zaman dulu, kalau bukan ibu, siapa yang lebih tahu letak detak jantung anaknya sendiri?

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »