Menikam
Ulu Hati Merawat Akar Tuba
Nurillah
Achmad
Batang mahoni baru melesat ke dalam
tungku tatkala Juhaini mendengar ketokan pintu. Kian lama, gedoran itu kian
nyaring. Perempuan renta itu sampai menjinjing sampir dan bergegas ke depan
sembari membatin, siapa gerangan yang bertamu jam dua pagi begini?
Sesampainya
di ambang pintu, Juhaini memekik tajam saat Safi’ dipapah Bahar. Dari mulut
anaknya itu, tercium aroma menyengat. Bahar menuntun Safi’ yang sempoyongan
sampai kamar depan, sementara Juhaini memilih kembali ke dapur. Di depan tungku
yang asapnya menguar ke seluruh lekuk bubungan, Juhaini menyeka air mata
berulangkali.
Gemuruh
dalam dadanya makin riuh. Nyala tungku masih membara, tapi Juhaini terus
menjejali dengan batang mahoni. Perihnya asap yang menciderai bola mata, tak
seberapa perih mendapati Safi’ yang saban hari mengundang sembilu. Sejak
Juhaini merawat Safi’ seorang diri, sejak itu pula ia memeram derita.
Yakin
jika kayu yang dilesatkan cukup sesak, sementara air dalam kuali takkan asat,
Juhaini memungut ember berisi pakaian kotor di bawah lincak. Kendati tarhim Subuh
masih lama, serta baju yang mesti dicuci tak begitu banyak, Juhaini memilih
beranjak ke kangai yang letaknya agak jauh.
Beberapa
langkah meninggalkan teras, Juhaini mendengar gelagat tak nyaman. Nyalinya ciut
mendapati derap suara kian mendekat. Jalanan hanya diterangi lampu lima watt.
Seketika Juhaini gemetar membayangkan bandit muncul di hadapannya, dan tak lama
kemudian mengalungkan celurit ke leher. Namun, lekas-lekas Juhaini mengusir
bayangan yang berkelabat musabab ia tersadar, tak ada barang berharga yang
sanggup memuaskan bajingan bahkan dari rumah reyotnya itu pun tak tersimpan
apa-apa.
Juhaini
memberanikan diri terus berjalan. Sesekali matanya menaruh awas, dan segalanya
bagai ruh tercerabut dari tubuh, manakala Juhaini mendapati kepala padukuhan
bersama dua lelaki bertubuh kekar menghampiri dirinya. Ketiga lelaki itu tak
melakukan apa-apa, kecuali kepala padukuhan bertanya, apakah Safi’ ada di rumah
atau tidak.
Juhaini
mengerti. Telah tiba waktunya ia menerima nasib sial ke sekian kali. Ia
mengangguk lantas berujar, “Kalau Bapak mau bawa Safi’, tolong biarkan saya
pergi dulu menjauhi rumah.”
Ketiga
lelaki itu manggut-manggut dan menyilakan Juhaini melangkah jauh.
***
Truk-truk
menepi. Sebagian lagi dipaksa putar balik. Para lelaki masih terus berjaga
bahkan susul-menyusul membakar ban di tengah jalan. Sesekali Juhaini menengok
dari jendela tua. Selebihnya ia duduk beralas tembikar, menganyam daun sanur
berbentuk ketupat.
Tiga
hari lamanya, para lelaki itu memblokade jalan. Menghadang truk masuk agar tak
merusak jalan yang baru diaspal. Jalan raya di kecamatan juga ditutup. Mereka
menolak truk masuk wilayah mereka sebab tambang kapur tak bawa berkah apa-apa. Juhaini
memilih diam saat tiap pagi membeli sayur, orang-orang bergunjing penghadangan
jalan.
Dulu,
ia memiliki sepetak sawah di dekat Gunung Kapur. Ketika berembus kabar kalau
sawah lagi diincar untuk pembangunan pabrik hasil tambang, semula ia enggan
melepas sebab hanya sawah itu yang memberinya penghidupan. Tetapi, Safi’
memelas lantaran tawaran amat menggiurkan. Juhaini melepasnya jua. Ratusan juta
ia genggam. Safi’ memintanya tak usah beli sawah anyar sebab usianya kian tua,
baiknya tak usah berurusan dengan pacul dan badik. Begitu seloroh Safi’.
Uang
itu ia serahkan pada anaknya sebagai modal usaha. Entah apa yang dirintis
Safi’, jangankan serupiah untungnya, modal saja tak kembali. Sejak itu, lapis
demi lapis kegetiran ia rasakan dalam jalani lakon kehidupan. Tak heran bila ia
berupaya tuli manakala pagi hari, saat berbelanja sayur, bibir para perempuan berkicau
soal pendapatnya akan tambang kapur yang kini tak bawa manfaat. Sialnya lagi,
para perempuan itu menyindir Juhaini yang tak kunjung beranjak dari melarat
padahal sawahnya telah beralih menjadi lahan pabrik.
Baru
sepuluh ketupat ia anyam, Juhaini mendengar teriakan di depan. Semula ia
mengira para lelaki meneriaki truk yang tak mau balik arah. Tapi ia keliru. Teriakan
itu kian nyaring dan saat menilik ke jendela, Juhaini mendapati Bahar menaruh
sepeda pancal di bawah pohon rambutan.
“Mak…”
teriak Bahar. “Ini aku, Mak. Bahar,” katanya lagi.
Juhaini
bergegas menemui Bahar. Ia tak menyilakan pemuda itu masuk, dan membiarkannya
berdiri di undakan.
“Esok
si Safi’ sudah bebas. Mak Ju mau ikut aku ke lapas, kah?”
Juhaini
melepas napas. Pandangnya berpindah ke arah para lelaki yang menggebuki supir
truk yang bersikukuh menerobos.
“Mak?”
Juhaini
menatap Bahar lalu menggeleng kuat. Ia pun kembali menutup pintu, melanjutkan
menganyam sanur. Seolah tak ada beda antara ada dan tiadanya Safi’, Juhaini
mengisi beras ke dalam anyaman ketupat. Padahal lima tahun lebih ia tak bersua
putranya. Lima tahun ia hanya mendengar kabar Safi’ dari Bahar yang kerap
membesuk sahabatnya.
Juhaini
seolah mati rasa saat keesokan hari, Safi’ benar-benar bebas. Juhaini hanya
mengangguk saat Safi’ menyapa. Selebihnya ia menganyam sanur sembari sesekali
menoleh ke jendela, menatap para lelaki yang masih memblokade jalan.
“Mulai
sekarang, Emak tak usah kerja. Biar aku yang cari uang,” kata si Safi’ yang
ikut duduk di atas tembikar.
Ucapan
itu dibuktikan Safi’ saat dua hari usai kepulangannya, ia menyodorkan beberapa
puluh ribu. Perempuan renta itu tak menolak. Ia belikan ikan nus kesukaan
Safi’. Pun begitu seminggu kemudian, ketika Safi’ menyodorkan beberapa ratus
ribu dan kalung emas. Ia simpan kalung itu di bawah kasur, dan makan pun tak
menyentuh dari hasil pemberian Safi’. Ia makan dari hasil menjual ketupat.
Sebagaimana
laron yang gemar mengerubungi lampu, begitupula dengan bibir para perempuan
saat bertemu di tukang sayur pada pagi hari. Juhaini lagi-lagi berupaya tuli
manakala mereka bergunjing soal Safi’ yang kabarnya meniduri istri kepala
padukuhan saat kematian suaminya belum genap empat puluh hari.
“Mereka
kawin sirri atau bagaimana, Mak?” usut salah seorang perempuan.
Juhaini
membisu. Ia memilih serantang pindang dan meninggalkan uang sepuluh ribu.
Malamnya,
saat ia hendak tidur usai mengisi beras ke dalam anyaman ketupat, Juhaini
mendengar teriakan di depan.
“Mak?
Mak Ju? Ini aku, Mak. Bahar.”
Juhaini
tak jadi menarik selimut. Ia beranjak ke depan dan ketika membuka pintu, ia
mendapati Safi’ sempoyongan. Dari mulutnya menguar aroma menyengat. Bahar
menuntun Safi’ ke kamar depan. Usai memapah dan memastikan kawannya tertidur,
Bahar pamit pulang. Tapi Juhaini menahan.
“Aku
mendengar isu tak sedap. Aku yakin kau juga menciumnya.”
Bahar
diam.
“Kalau
aroma itu terus dibiarkan, bukan tak mungkin bau bangkai akan terus bertahan.”
“Memang
benar Safi’ meniduri istri kepala padukuhan, Mak. Sekarang perempuan itu tengah
berbadan dua.”
Dugaan
Juhaini benar. Ia membiarkan Bahar pulang, sementara dirinya kembali ke kamar.
Tapi belum sempat memejamkan mata, ia kembali mendengar ketukan pintu.
Ia
bergegas ke depan sembari terheran. Mungkinkah Bahar meninggalkan barang? Sayangnya,
sesampainya di pintu, ia terkesiap. Bukan Bahar yang ada di depan mata melainkan
tiga lelaki tegap dan salah seorang dari mereka, wajahnya sama persis seperti
lima tahun silam.
“Safi’
ada di dalam, Mak?”
Juhaini
manggut-manggut.
“Dia
tertangkap CCTV menjambret kalung seorang perempuan yang tengah mengendarai
sepeda. Orang itu terpental ke jalan dan meninggal dunia padahal tengah hamil 5
bulan. Kami juga menerima laporan dari
anak SMA kalau dia digauli Safi’ sepulang sekolah.”
Sejenak
Juhaini menghela napas dalam-dalam. Ia benar-benar lunglai mendapati cerita
kelam.
“Datanglah
esok pagi, Pak. Kalau esok tak mendapati Safi’ di sini, bawalah saya sebagai
penggantinya.”
Seorang
lelaki hendak menyela, tapi dua lainnya mengiyakan dan balik badan. Usai itu,
Juhaini ke kamar Safi’ dan menatap anaknya. Dari saku celana Safi’, tampak
pisau lipat. Ia pungut pisau itu, dan menaruhnya di samping paha. Safi’
menggeliat dan mendapati ibunya di ujung lincak.
Anak
muda itu tersenyum, lalu beralih ke tempat ibunya duduk dan meringkuk ke atas
pangkuan Juhaini bagai bayi hendak menyusu. Agak lama Juhaini memejamkan mata.
Ia elus ubun-ubun anaknya sebagaimana mengelus Safi’ saat masih bayi, dan
merawat seorang diri sebab suaminya mati bunuh diri. Setelah Safi’ dirasa
lelap, Juhaini meraih pisau lipat dan menghunjamkannya ke jantung Safi’. Memang
benar kata orang tua zaman dulu, kalau bukan ibu, siapa yang lebih tahu letak detak
jantung anaknya sendiri?