Sapta Arif N.W.
Pesan Universal Tokoh Utama ala Jessica Brody
Keberadaan karya
sastra sebagai refleksi realitas memang benar adanya. Malah kadangkala kita
membayangkan sebuah kehidupan ideal yang ada di dalam karya sastra. Meski
seringkali, dari karya sastra pula kita menemukan konflik permasalahan yang
bahkan tidak pernah kita bayangkan di kehidupan nyata. Itulah sebabnya, ketika
menelurkan karya, seorang sastrawan tidak main-main dalam melakukan riset.
Diperlukan renungan hingga melancong ke tempat jauh untuk menemukan yang sesuatu
disebut dengan ilham. Tidak sampai di situ, untuk merangkai jalinan kalimat
yang enak dan apik, mereka harus berjibaku dengan beragam hal. Mulai dari
kesulitan teknis, hingga non teknis. Jadi, jika pun, seorang penulis tidak
memikirkan pesan/ amanat dalam proses kreatifnya, sesungguhnya secara otomatis
telah tersemat dalam karya. Menyatu seperti bagian tubuh telur yang berisi
cangkang, putih telur, dan kuning telur.
Dalam seni menulis cerita, peran tokoh utama atau akrab disebut dengan
tokoh protagonis memiliki peran vital dalam jalannya cerita. Jessica Brody,
dalam buku “Save The Cat! Writes a Novel” edisi terjemahan penerbit Noura,
mengatakan bahwa hero/ tokoh utama adalah panduan penulis untuk berjalan menuju
dunia fiksinya. Si tokoh utama inilah yang akan digunakan pembaca untuk melacak
kemajuan cerita.
Ketidaksempurnaan karakter tokoh utama seolah menjadi pakem menciptakan
karakter yang kuat. Mari kita simak tokoh Ahmadi si Kumis tebal yang
menyebalkan dalam novel ‘Lampuki’ karya Arafat Nur. Melalui sudut pandang
narasi dari tokoh Tengku, Arafat Nur menceritakan bagaimana tabiat buruk
Ahmadi. Penulis berdarah Aceh ini menciptakan bias mengenai siapa tokoh
protagonisnya. Apakah Ahmadi atau si narator? Dalam menjalani hidup, Ahmadi seringkali
menemukan kesulitan-kesulitan. Selain karena dia adalah seorang pemberontak, tabiat
buruknya menjadikan Ahmadi dijauhi warga desa. Belum lagi karakter istrinya
yang tak kalah kejam dan menyebalkan.
Mari kita juga menengok tokoh Ajo Kawir dalam novel ‘Seperti Dendam
Rindu Harus Dibayar Tuntas’ karya Eka Kurniawan. Tokoh utama digambarkan
sebagai lelaki maskulin yang sayangnya memiliki ‘aib’. Burungnya tidak bisa
berdiri! Hal ini menciptakan konflik internal di batin Ajo Kawir. Hingga
puncaknya, dia diselingkuhi oleh istrinya. Iteung—istri Ajo Kawir—hamil!
Sedangkan Ajo Kawir tak bisa ‘ngaceng’. Kita juga mengenal sosok Jeng Yah
garapan Ratih Kumala dalama Gadis Kretek. Atau sosok Magi Diela dalam Perempuan
yang Menangis kepada Bulan Hitam garapan Dian Purnomo. Dan masih banyak lagi
contoh karakter dalam novel yang berhasil digambarkan secara matang oleh
penulisnya.
Secara ringkas, Jessica Brody berargumen bahwa tokoh utama yang baik
adalah tokoh yang benar-benar ‘layak diceritakan’. Lalu apa indikator tokoh itu
layak diceritakan? Pertama, tokoh utama harus memiliki masalah. Masalah yang
terjadi pada tokoh utama tidak harus dalam permasalahan secara fisik atau
eksternal. Novel yang memiliki daya ulik yang dalam, biasanya menyuguhkan konflik
batin yang kuat. Atau Jessica Brody menyebutnya dengan si tokoh utama yang memiliki
kekurangan dan harus memperbaikinya. Permainan konflik psikologi tokoh acapkali
menjadi senjata penulis dalam meramu jalinan kisah.
Kedua, keinginan. Keinginan berkaitan tujuan yang akan dikejar oleh
tokoh utama. Ketiga, kebutuhan. Yang ketiga ini berkaitan erat dengan pelajaran
hidup yang mesti disadari. Atau lebih hemat dikatakan begini, tokoh utama yang
layak diceritakan adalah tokoh yang memiliki masalah, namun berkeinginan
menyelesaikan masalahnya, hingga dia menyadari satu hal penting dalam dirinya
di akhir cerita.
Pembaca Haruki Murakami akrab dengan pola tiga babak dalam bercerita.
Pola ini diakuinya diadaptasi dari penulis yang difavoritkan, Raymond Chandler.
Pola tiga babak ala Murakami dikenal sebagai berikut: kehilangan, mencari, dan
menemukan hal baru. Kehilangan dalam hal ini berkenaan dengan konflik internal
tokoh utama. Novel-novel Murakami dikenal memiliki konflik pencarian jati diri
yang kuat. Di samping gesekan anak konflik yang saling anyam membentuk konflik
utama yang kompleks.
Baik pola Murakami maupun Jessica Brody, kita menemukan satu persamaan
bahwa konflik internal yang kuat diperlukan penulis untuk membangun kekuatan
cerita. Kekuatan karakterisasi dari pengarang tentu sudah menjadi hal yang
wajib. Dalam bukunya, Jessica Brody malah menurunkan konflik internal ini
menjadi sepuluh pelajaran universal yang bisa dijadikan opsi oleh calon
penulis.
Pertama, pengampuan. Baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.
Kedua, cinta, yaitu bisa cinta pada diri sendiri, cinta keluarga atau cinta
romantis. Ketiga, penerimaan, bisa terhadap diri sendiri, orang lain, pada
dunia, atau bahkan pada Tuhan. Keempat, keyakinan, bisa pada diri sendiri, pada
orang lain, pada dunia, atau bisa juga pada Tuhan. Kelima, ketakutan. Dalam hal
ini tokoh akan menghadapinya, menaklukannya, dan bisa juga menemukan keberanian
sejati. Keenam, kepercayaan. Ketujuh, ketahanan hidup. Kedepalapan, penaklukan
ego. Kesembilan dan kesepuluh adalah tanggung jawab dan penebusan.
Pelajaran universal yang dikemukakan Jessica Brody ini berkaitan erat
dengan kebutuhan internal atau kebutuhan batin tokoh. Sebuah kebutuhan yang
awalnya tidak disadari hingga menciptakan solusi-solusi yang bersifat semu. Hingga
tokoh itu belum menyadari nilai pelajaran universal yang dihadapi/
didapatkannya maka kisahnya tidak akan menemukan ujung cerita. Jessica Brody
mengatakan bahwa tokoh utama yang baik adalah dia yang mengalami transformasi
diri. Perubahan internal pada diri tokoh utama dalam hal ini layak untuk
digarisbawahi. Maka, secara otomatis jika kita berbicara transformasi diri, nilai
atau pesan kehidupan sudah pasti melekat. Begitulah cara pengarang menyisipkan
nilai/ pesan/ amanat dalam ceritanya. []