Sepasang
Tangan Ajaib
Prima Yuanita
Jika suatu saat kau menunaikan tugasmu, Nona, sempatkanlah datang ke desa kami! Desa yang terbentang di sepanjang Mahakam; yang saban hari dilewati tongkang-tongkang batubara namun listrik selalu padam; yang penduduknya gemar bermandian di tepian dan menjadikannya tempat pembuangan; yang pemerintahnya berlaku tenang dan menyambut tamu-tamunya dengan secangkir teh hangat beserta gorengan bersaus kacang.
Dan
jika kau telah datang, ketika jelang siang, jangan lupa singgah ke warung makan
kami! Warung kami berdiri di depan pertigaan jalan—di samping kanan sebuah
penginapan, di samping kiri tempat berkumpulnya feri.
Segala
macam olahan ikan akan kami tawarkan. Kau wajib mencobanya! Koki-koki kami
piawai meracik rempah-rempah yang kami tanam untuk memoles binatang-binatang
itu agar menjadi santapan yang menggiurkan air liur.
Sesekali
kau harus mencicipi sambal ikan haruan kami dengan bubuhan nanas yang akan
memberikan sensasi asam pedas yang segar. Atau kau mau yang lain? Ada nila, bawal,
gurame, patin, udang, layang? Semua lengkap kami sajikan!
Dari
selentingan kabar yang beredar, kaulah yang menggantikan lelaki yang tahun lalu
dikejar orang-orang lantaran honor mereka yang belum diberikan.
“Oh,
rumahnya sekarang pindah ke laut! Ke tempat bini mudanya!” kata pegawai
kecamatan sewaktu kau ingin menemui lelaki tersebut. Dan kau pun bingung karena
kau berpikir tak ada laut di tempat kami. Dan kau semakin bingung karena tak
mungkin ada orang yang bisa tinggal di dalam lautan.
“Ya
sungai itulah laut kami!” tambah perempuan paruh baya yang aroma parfumnya
semerbak menjelajahi ruangan, sementara kau hanya manggut-manggut. Dan baru
setelahnya kau tahu bahwa kawasan di sekitar Mahakamlah yang disebut laut.
Alangkah
sayang waktu itu kau tak singgah ke desa kami. Kau hanya menandaskan tiga jam
harimu di ulu, di kota kecamatan, selepasnya, bersama kedua rekan kantormu
kembali ke kota kabupaten. Dan kau berjanji pada kami, kelak ketika masa
pengawasan tiba, akan menginjak kecamatan kami lagi. Tentu saja, seharusnya,
desa kami masuk dalam daftar yang akan kaukunjungi.
Tapi,
Nona, belum juga kau datang, air sungai kami pasang. Cairan serupa susu cokelat
itu menggenang dan menenggelamkan separuh dari ketinggian rumah-rumah panggung.
Hanya atap-atap yang gagah bertahan. Ruas-ruas jalan terendam, bak ampas kolak
yang tersembunyi di dalam kuah santan. Ini banjir musiman. Setiap tiga tahun
sekali air bah akan meruah.
Sebagian
dari kami di laut—begitu kami menyebut—akan mengungsi ke darat. Namun tidak
sedikit pula yang masih bertahan di rumah yang terkepung banjir. Ini bukanlah
sesuatu yang berlebihan untuk dikhawatirkan. Kami sudah bermandi garam atas
peristiwa demikian. Tidak masalah. Anak-anak suka melihat ikan yang berlimpah.
Mereka berenang di tengah-tengah sambil berjoget-joget, bernyanyi-nyanyi dan
tertawa girang. Setiap rumah tiada luput memiliki perahu: kami bisa mendayung
dan berenang. Jadi kami tidak perlu takut. Bukankah seharusnya tiada yang lebih
menyeramkan daripada sebuah kebodohan?
Ah, tentu kau lebih jeli untuk hal
demikian. Kau seorang pelajar yang terdidik dengan baik semestinya. Dan betapa
kami sudah tidak sabar ingin bertemu. Kami ingin menyambutmu. Kami ingin
melihat dengan kedua mata kami sendiri seorang perempuan yang, mereka bilang, memiliki
sepasang tangan ajaib. Katanya, berkat bantuan tanganmu itulah, banyak gedung baru
berdiri di daerah mereka.
Andai
kami bisa meminjam tanganmu, Nona, barangkali kami akan membangun sekolahan di
depan lapangan sepak bola yang kini serupa danau. Anak-anak kami harus ke luar
desa demi menuntut ilmu. Terkadang mereka mogok sekolah dan memilih menjadi
buruh penangkap ikan atau penyadap karet lepas.
“Kami
ini butuh uang untuk makan. Sekolah tak kasih makan, yang ada perut kami malah
keroncongan,” kata mereka lalu melenggang pergi dari rumah. Dan sayangnya
kebanyakan orang tua hanya bungkam, seolah mengizinkan jika anak-anak mencari
uang dengan hasil keringat mereka sendiri.
“Asal
ada uang segala bisa dikerjakan! Tak pentinglah apa itu sekolah! Nyatanya bubuhan yang pada sekolah juga kembali
nganggur di rumah!” teriak salah satu dari mereka.
Mereka
banyak berbicara. Tak sepertimu yang, mungkin, sedikit berucap namun banyak
bertindak. Tentu saja dengan kedua tangan ajaib itu, pasti kau bisa melakukan
banyak hal.
Dan
kini kami sedang menanti keajaiban tanganmu itu, Nona.
Mereka
bilang kau akan tiba pada hari Selasa. Lalu mereka menyuruh kami menghias
warung makan dengan gorden berumbai-rumbai, memanggang berupa macam ikan,
membuat kue bingka kentang, dan menyiapkan perahu untuk menjemputmu di
perbatasan.
“Apa
ia akan datang? Banjir semakin tinggi. Rumah-rumah mulai dinaikkan,” kata salah
satu dari kami.
“Harus
ada beberapa bukti yang dilampirkan. Ia pasti datang bersama rombongan!” sahut
yang lain.
Dan
begitulah perbincangan panjang digelar di warung makan. Kami berkisah tentangmu
dengan wajah yang cerah. Debar-debar itu mulai bertebaran di jantung kami. Kami
akan segera berjumpa denganmu dan melihat sepasang tangan ajaib itu dan
berharap mendapat keajaiban dari sepasang tanganmu.
Angin
berkesiur lembut menyapu kulit kami yang gersang. Air bah sudah mencium lantai
ulin warung makan di bagian depan, bagian dalam berundak 100 sentimeter jadi
masih aman. Meski demikian kami tetap waspada andai esok air akan memasuki ruang
dalam.
Setelah
berjam-jam menunggu kami mulai jemu. Bahkan hingga langit memuntahkan
serbuk-serbuk hitamnya ke sekitar desa, kau tidak juga lekas datang. Kami
menghubungi orang di perbatasan untuk memastikan apa kau benar-benar tidak
datang.
“Tidak
ada! Tidak ada rombongan yang datang,” jawab orang itu dengan suara
pecah-pecah.
Perlahan
wajah-wajah kami mengusam. Peluh kami menjenuh. Makanan-makanan di meja dingin
dan mengering. Kami lelah dan satu persatu berpulangan ke rumah dengan perahu.
Warung makan lengang dan dikunci tepat jam sembilan malam.
Saat
itu kami sangat kecewa padamu, Nona! Sangat kecewa. Namun berangsur rasa itu
memudar ketika kami mendengar kabar bahwa sekolahan yang kami idam-idamkan akan
dibangun tahun depan.
Kami
terlampau gembira hingga kami lupa bahwa kami pernah kecewa. Bahkan kami tak
peduli ketika kami tahu dokumenmu dulu sudah terisi lengkap tanpa kaukunjungi
desa kami.
Itulah
kenapa orang-orang menyebut tanganmu ajaib. Ternyata tanganmu, Nona,
benar-benar ajaib. (*)