Gelita
Malam Pecah Berwarna Jingga
Dion
Rahmat Prasetiawan
Gelap
gelita malam di Siak itu pecah oleh sinar lentera yang tampak dari ujung malam sana.
Seorang lelaki paruh baya membuka pintu depan rumahnya. Rambutnya yang beruban
kusut masai, dan sarung terlilit pada bahu lengan kirinya. Tangannya menentengi
lentera. Terdengar sedikit bunyi gemeretak dari atap seng pondok rumah itu.
Menandakan air hujan sebentar lagi akan turun dari langit. Ia menyeka debu-debu
tanah yang menempel pada bajunya. Dari tirai kamar keluar seorang wanita paruh
baya. Tubuhnya mengenakan mukena dan kusut masai lantaran dibawa tidur. Wanita
itu mengocok matanya dan menguap.
“Ada rapat musyawarah di musala tadi.” Kata lelaki itu
pada istrinya.
Istrinya tidak menjawab. Hanya diam berjalan ke kamar
mandi. Dan kembali lagi ke hadapan suaminya dengan muka yang telah lebih cerah.
Lelaki itu menunjukkan sebuah benda berwarna kuning cokelat seperti bongkahan
batu.
“Apa itu?”
“Emas.” Jawab suaminya.
Terkesiap istrinya mendengar hal itu, matanya kemudian
menjalang.
“Ya, Allah.” Ucap istrinya seperti hendak beriang
kagum.
Saat ingin menengok lebih dekat. Suaminya tersadar akan
benda itu terasa ganjil, lantaran tidak terlalu kelihatan. Ternyata ada
sebercak cairan kental merah kehitaman. Disekanya cepat-cepat lalu ia berikan
kepada istrinya. Membiarkan istrinya puas-puas melihat benda kecil itu.
Tapi insaf juga istrinya. “Dapat dari mana ini?”
“Kita mesti berangkat besok ke Payakumbuh. Sebelum jalan-jalan
ditutup oleh tentara. Nanti susah. Aku tak perlu lagi berharap akan hasil kebun
pisang itu milik Tuk Dalah lagi.” Suaminya berkata lirih.
“Lewat mana kita pulang abang? Kenapa tiba-tiba begini?
Emas ini dapat dari mana?”
***
Siang harinya sebelum malam itu. Di ruang istana.
Lelaki tua, bercambang putih, dan berjanggut putih, mengenakan peci berwarna
kuning. Tubuhnya terbungkus pakaian koko polos putih, dan sebuah lencana
tersangkut di dada kirinya. Wajahnya gugup. Melangkah mondar-mandir di hadapan
potret ratu Belanda Wilhelmina yang terpampang di ruang tamu istana. Kemudian
ia berhenti dan membalikkan badannya.
“Maaf, Yang Dipertuan Agung, Tuan Sultan Panglima, ada
hamba resahkan keadaan begini. Terasa menyesakkan dada.”
Ia bicara kepada seorang pemuda, yang sedang duduk
tenang di tengah ruang tamu istana itu. Di atas kursi kebesarannya. Tapi ia tak
memandang apa pun di ruangan itu. Ia hanya tercenung pada tubuhnya sendiri
melalui sebuah cermin besar di hadapannya tergantung pada atas tirai pintu
ruangan. Melihat dirinya duduk di atas kursi yang berukirkan lekukan gelombang
air. Terlihat indah dan berlapis emas.
“Datuk, aku ingin mereka percaya pada kita,” Sultan
Panglima itu berkata tenang, “dan Demi Allah bila sangka buruk perbuatan kita
terhadap rakyat, maka terkutuklah kita. Terhanyutlah Melayu di atas sungai
Jantan di depan istana ini.”
“Patik Tuanku Sultan Panglima, bagaimana kita
meyakinkan rakyat. Kekuasaan kita hampir habis dan benar-benar habis ke
dasar-dasarnya. Setelah Belanda, Jepang, Kemudian…”
“Republik? Pidato Bung Karno menyatukan kita semua.”
“Tapi ideologinya, kita tahu beberapa waktu terakhir
ini, orang-orang sudah mulai tak percaya pada para sultan.” Tanpa sadar Datuk
mulai meninggikan nada bicaranya. “Belum lagi permogokan pekerja. Panen sawit
berhenti sejak pagi kemarin!” Ia terkaget kemudian memelankan nada bicaranya,
“ah, maafkan hamba Tuanku Sultan Panglima. Hamba terbawa hanyut oleh kegusaran
hamba. Astagfirullahalazim.”
“Tunggu saja Tuanku Syarif Kasyim kembali.”
***
Tiada sadar Sultan Panglima telah tertidur di atas
kursi emasnya. Dan tiba-tiba terbangun. Ia
lihat Datuk telah lenyap di ruangan itu. Malam di luar Istana telah turun.
Ruangan itu hanya dirinya sendiri. Diterangi sebuah bohlam besar.
Sewaktu hendak bangkit dari kursi emasnya ia merasa
aneh Badannya terasa diberati oleh beban hatinya yang tak enak dan gusar. “Ya
Allah mungkin hamba terlalu cemas oleh apa yang dikatakan Datuk.” Ia berkata
sendiri ke langit seakan ia bicara dengan Tuhannya langsung.
Dari luar terdengar keriuhan suara orang banyak.
Cahaya jingga kemerahan masuk melalui ventilasi istana. Pintu terbuka dari
ujung pintu depan. Terdengar suara makian dan cacian, dan bantingan
barang-barang.
“Pengkhianat!”
“Pemerah!”
“Lenyapkan penindas! Allahu Akbar!” Pekik orang-orang
saling sambut.
Orang-orang masuk memenuhi ruangan istana dengan
memegang suluh, lampu, parang, pacul dan sebagainya. Mengobrak-abrik. Sultan
Panglima tetap duduk di kursi emasnya dengan gemetar dan pucat mukanya lantaran
gugup.
“Panglima Sultan,” desis seseorang mendekatinya antara
kerumunan. Panglima Sultan menyelidik wajah yang berbicara padanya karena
silau. Tampak wajah Datuk.
“Datuk ada apa ini?”
“Tuanku Sultan sebaiknya ikut dengan kami keluar
sekarang.”
“Sudahlah Pak Camat, kita bunuh saja!” Sela orang di belakangnya
dengan penuh dengki.
“Beliau memanggilmu Camat?”
Datuk tak menjawab pertanyaan Sultan Panglima, tapi
wajahnya yang tua itu kelihatan gelagapan lantaran tersesaki massa yang
berdesak seperti kerumunan serigala lapar. Mencoba juga menenangkan yang lain. Semakin
sesak di tempat duduk Sultan Panglima.
Tiba-tiba di belakang Sultan Panglima, terayun Pacul
ke kursinya hingga merobek tubuhnya. Darah berleleran di antara
bongkahan-bongkahan emas dari pecahan kursi yang berserakan. Datuk lari
melepaskan diri dari himpitan. Ia merasakan mual. Lalu muntah di sudut ruangan
istana.
Gelita malam pecah berwarna jingga oleh suluh-suluh.
Tampak oleh seseorang wanita paruh baya, di sebuah sumur cincin halaman depan
rumahnya ia sedang mengambil wudhu. Melalui kejauhan –dari ufuk hulu sana di
atas rimbunan pohon yang hitam oleh gelap.
“Meriah kelihatannya acara setelah setahun kemerdekaan…
Mungkin abang ikut perayaan juga barangkali di sana…”
***