Ia dan Lelucon
Jelsyah Dauleng
Bahkan sang pelawak memiliki kekhawatiran
tentang suatu saat leluconnya tak ditertawai. Tapi karena ia bukan pelawak,
maka ia tak meminta tawa, dan merasa bingung dengan perlakuan yang ia terima.
Seperti, hidupnya telah menjadi lelucon bagi orang yang tak mengenal dirinya.
Ia di dunia. Berusaha menjadi lebih baik untuk
keluarga dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Banyak hal yang disukainya,
tak banyak yang menarik perhatian untuk dibenci. Maka orang-orang yang tahu
tentangnya, juga berlomba-lomba untuk dekat dengannya, seperti bersama membuat
impian yang ia harap selalu terwujud atau sejalan dengan rencana yang ia tulis.
Ia disukai. Tapi karena suatu hari, ia mendapat
suatu ujian, maka ia kebingungan. Rencananya menjadi berantakan dan ia ketahuan
telah menjadi dalang dari kerugian Negara. Dan karena suatu hal, ia menganggap
tuduhan ini sebagai lelucon. Menyalahkan dirinya adalah sebuah penghinaan,
pencarian kambing hitam, dan tentunya mencemarkan nama baiknya. Dan orang-orang
di luar sana, malah mencoba mengerti seakan mereka tahu jelas bagaimana
kehidupan nyatanya.
Sekarang ini, ia merasa hidupnya sedang
ditelanjangi oleh banyak pihak. Mau tidak mau, otaknya yang pintar harus
mencoba mencari jalan kebenaran agar ia bisa lulus dari ujian yang sepertinya
adalah termasuk mata pelajaran kemunafikan. Ia lalu berfikir, untuk
berpura-pura bodoh. Ah, tidak, satu-satunya jalan adalah dengan meladeni Si
Pemberi Ujian dan coba menelusuri jalan pikiran mereka.
Dan ia mengemukakan beberapa fakta.
Fakta pertama, ia sebenarnya adalah seorang
penolong. Ia suka membagi apa yang ia peroleh, maka ia yakin akan dipertahankan
oleh banyak pihak. Kedua, ia mendapat sokongan dari atas, maka tak sepantasnya
ia dipojokkan. Ketiga, orang-orang luar sana mengerti pekerjaannya, maka ia
yang telah dipilih memang seharusnya mendapatkan banyak keuntungan dengan
banyaknya urusan bangsa.
Maka karena ketidakmampuannya untuk memahami
mengapa ia dijadikan bersalah, ia mendatangi seorang ahli yang terkenal sebagai
penyelesai masalah. Ia disambut dengan sangat baik. Dan dengan segera ia
mengutarakan maksud kedatangannya. “Tolong bantu saya,” katanya.
Si Ahli hanya menganggukkan kepala, seperti
sudah tahu setiap detail yang terjadi. “Memang apa yang tidak kamu sukai?”
Ia menggaruk dahi, lalu menjawab, “saya hanya
tidak suka dengan orang-orang yang menuduh, padahal saya tidak bersalah.”
“Jadi bagaimana kamu ingin saya menyelesaikan
masalahmu?” Si Ahli bertanya lagi. “Kamu sudah tahu kan syarat kerja saya?”
“Syarat?”
“Tentu,” Si Ahli menganggukkan kepala.
“Seperti, saya hanya bisa menghapus ingatan sekali saja, menulis ulang kembali
isi pikirannya, lalu menciptakan perasaan yang baru. Jadi?”
Ia lalu berpikir, mana yang bisa ia pilih.
Mungkin menciptakan perasaan adalah hal yang masuk akal. Maka permintaannya
adalah ia menginginkan agar Si Pemberi Ujian mendapat rasa takut pada dirinya.
Ia pun pulang setelah Si Ahli menyanggupi.
Dan bak sebuah keajaiban, keesokan harinya, ia
mendapati dirinya telah terbebas dari tuduhan tak berdasar. Ia tersenyum, penuh
kebebasan.
Meski entah kenapa keberuntungannya tidak
bertahan lama, karena entah mengapa orang-orang mulai melihatnya dengan tatapan
jijik, ditambah tertawa sinis. Ia terpuruk. Kenapa orang-orang begitu jahat
pada dirinya, kembali menuduhnya telah berbuat buruk karena ia terbebas, maka
ia kembali mendatangi Si Ahli. “Semua orang,” gumamnya, gemetaran.
“Kenapa?” tanya Si Ahli.
“Saya ingin semua manusia merasa kasihan pada
diri saya yang begitu lemah ini,” ia berkata.
“Baiklah,” Si Ahli merasa itu hal yang mudah.
Maka ia mendapati dirinya menjadi buah bibir
sekali lagi. Ia merasa orang-orang mulai menaruh simpati pada dirinya. Tak ada
lagi yang melihatnya. Tak ada yang mencerca dirinya. Perahan tidak ada lagi yang memperhatikan ia
yang selalu ingin tampil di depan. Dan tak ada lagi merasa ia bisa diandalkan.
“Kenapa seperti ini?” teriaknya pada Si Ahli.
“Bukankah ini yang kamu inginkan?”
“Ini buruk. Saya ingin orang-orang
memperhatikan saya sebagai orang yang baik, bukan mengabaikan. Ayolah, kalau
seperti ini, lebih baik sekarang tolong hapus pikiran mereka tentang kejadian
yang telah lalu,” ia meminta.
“Kenapa?”
“Dengan begitu, tidak ada lagi yang akan
mempermasalahkan perbuatan saya yang telah mereka anggap salah,” ia menjawab
dengan mata berkaca-kaca. “Jadi tolong hapuskan pikiran orang-orang yang
mengenal perbuatan saya,” katanya dan dengan begitu tidak akan ada lagi bukti
atau tindakannya di masa lalu yang akan menyebabkan dirinya jatuh dari dunia
ini.
Si Ahli mengerutkan hidung. Meski begitu, ia
paham saja, soalnya semua yang datang padanya memang punya banyak keinginan,
setidaknya orang di hadapannya itu masih masuk akal saja, menurutnya. “Ini cara yang terakhir,” gumamnya, sambil
menggelengkan kepala.
Ia lalu kembali ke kantor. Dan betapa anehnya
ketika tidak ada yang menyapanya. Barulah saat ia memperkenalkan diri dan
memperlihatkan kartu nama dan membuat orang segera tersadar dengan wajah
bersalah karena mereka baru saja bersikap tidak sopan pada pimpinan. Tapi ia
masih bisa bernafas lega, ia tidak akan dihukum, dan mulai sekarang ia hanya
perlu memperbaiki semuanya.
Sempurna. Tidak ada yang perlu ia khawatirkan
lagi, pikirnya meski pertanyaan muncul di kepalanya saat ia masuk ke ruangan.
Ia mendapati seseorang yang katanya telah membuat janji dengannya, yang
memiliki ruang ini. Melihat wajahnya, ia langsung mengenali si pria sebagai
sang pemimpin di kantor pemberi ujian. Meski kenal, ia yakin pria itu tidak
pernah bertemu langsung dengannya, terlebih punya urusan langsung. Jadi, tidak
mungkin ada pengaruh dari perbuatan Si Ahli. Ia memutuskan bertanya, mengenai
maksud kedatangannya.
“Kudengar Anda bisa membantu saya?” Si Pria
memajukan kepala. Tangannya bertautan di atas meja, saling menenangkan jarinya.
Mendengar suaranya, ia tahu si pria sedang
dalam masalah. Beberapa kali ia juga mendapat sanjungan, pujian, dan segala
jenis yang membuat sudut bibirnya terangkat.
“Saya melihat data Anda di kantor tadi pagi dan
saya langsung ke sini.”
Ia mencoba menebak apa yang terjadi, Si Pria
tidak mengenal ia dan kemampuan Si Ahli tentu terjangkau pada si pria. Tapi berikutnya ia terkejut dengan kalimat si
pria berikutnya.
“Saya pikir Anda seharusnya bersalah,” Si Pria
seperti menyembunyikan senyum sinisnya. “Tapi karena anda masih di sini, saya
pikir Anda bisa bantu saya.”
Ia berdehem. Lalu didapatilah bahwa Si Pria
ternyata mendapat tuduhan serupa yang dialamatkan padanya. Mereka senasib. Dan
akhirnya mau tak mau, ia mengusulkan Si Ahli pada si pria, setidaknya
masalahnya tidak perlu mencuat.
Ia tak perlu lagi mengkhawatirkan apa pun,
termasuk keluarganya. Karena setiba di rumah, ia mendapati tatapan penuh
pertanyaan dari anak-anaknya.