Ia dan Lelucon - Jelsyah Dauleng

@kontributor 4/16/2023

Ia dan Lelucon

Jelsyah Dauleng

 


Bahkan sang pelawak memiliki kekhawatiran tentang suatu saat leluconnya tak ditertawai. Tapi karena ia bukan pelawak, maka ia tak meminta tawa, dan merasa bingung dengan perlakuan yang ia terima. Seperti, hidupnya telah menjadi lelucon bagi orang yang tak mengenal dirinya.

Ia di dunia. Berusaha menjadi lebih baik untuk keluarga dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Banyak hal yang disukainya, tak banyak yang menarik perhatian untuk dibenci. Maka orang-orang yang tahu tentangnya, juga berlomba-lomba untuk dekat dengannya, seperti bersama membuat impian yang ia harap selalu terwujud atau sejalan dengan rencana yang ia tulis.

Ia disukai. Tapi karena suatu hari, ia mendapat suatu ujian, maka ia kebingungan. Rencananya menjadi berantakan dan ia ketahuan telah menjadi dalang dari kerugian Negara. Dan karena suatu hal, ia menganggap tuduhan ini sebagai lelucon. Menyalahkan dirinya adalah sebuah penghinaan, pencarian kambing hitam, dan tentunya mencemarkan nama baiknya. Dan orang-orang di luar sana, malah mencoba mengerti seakan mereka tahu jelas bagaimana kehidupan nyatanya.

Sekarang ini, ia merasa hidupnya sedang ditelanjangi oleh banyak pihak. Mau tidak mau, otaknya yang pintar harus mencoba mencari jalan kebenaran agar ia bisa lulus dari ujian yang sepertinya adalah termasuk mata pelajaran kemunafikan. Ia lalu berfikir, untuk berpura-pura bodoh. Ah, tidak, satu-satunya jalan adalah dengan meladeni Si Pemberi Ujian dan coba menelusuri jalan pikiran mereka.

Dan ia mengemukakan beberapa fakta.

Fakta pertama, ia sebenarnya adalah seorang penolong. Ia suka membagi apa yang ia peroleh, maka ia yakin akan dipertahankan oleh banyak pihak. Kedua, ia mendapat sokongan dari atas, maka tak sepantasnya ia dipojokkan. Ketiga, orang-orang luar sana mengerti pekerjaannya, maka ia yang telah dipilih memang seharusnya mendapatkan banyak keuntungan dengan banyaknya urusan bangsa.

Maka karena ketidakmampuannya untuk memahami mengapa ia dijadikan bersalah, ia mendatangi seorang ahli yang terkenal sebagai penyelesai masalah. Ia disambut dengan sangat baik. Dan dengan segera ia mengutarakan maksud kedatangannya. “Tolong bantu saya,” katanya.

Si Ahli hanya menganggukkan kepala, seperti sudah tahu setiap detail yang terjadi. “Memang apa yang tidak kamu sukai?”

Ia menggaruk dahi, lalu menjawab, “saya hanya tidak suka dengan orang-orang yang menuduh, padahal saya tidak bersalah.”

“Jadi bagaimana kamu ingin saya menyelesaikan masalahmu?” Si Ahli bertanya lagi. “Kamu sudah tahu kan syarat kerja saya?”

“Syarat?”

“Tentu,” Si Ahli menganggukkan kepala. “Seperti, saya hanya bisa menghapus ingatan sekali saja, menulis ulang kembali isi pikirannya, lalu menciptakan perasaan yang baru. Jadi?”

Ia lalu berpikir, mana yang bisa ia pilih. Mungkin menciptakan perasaan adalah hal yang masuk akal. Maka permintaannya adalah ia menginginkan agar Si Pemberi Ujian mendapat rasa takut pada dirinya. Ia pun pulang setelah Si Ahli menyanggupi.

Dan bak sebuah keajaiban, keesokan harinya, ia mendapati dirinya telah terbebas dari tuduhan tak berdasar. Ia tersenyum, penuh kebebasan.

Meski entah kenapa keberuntungannya tidak bertahan lama, karena entah mengapa orang-orang mulai melihatnya dengan tatapan jijik, ditambah tertawa sinis. Ia terpuruk. Kenapa orang-orang begitu jahat pada dirinya, kembali menuduhnya telah berbuat buruk karena ia terbebas, maka ia kembali mendatangi Si Ahli. “Semua orang,” gumamnya, gemetaran.

“Kenapa?” tanya Si Ahli.

“Saya ingin semua manusia merasa kasihan pada diri saya yang begitu lemah ini,” ia berkata.

“Baiklah,” Si Ahli merasa itu hal yang mudah.

Maka ia mendapati dirinya menjadi buah bibir sekali lagi. Ia merasa orang-orang mulai menaruh simpati pada dirinya. Tak ada lagi yang melihatnya. Tak ada yang mencerca dirinya.  Perahan tidak ada lagi yang memperhatikan ia yang selalu ingin tampil di depan. Dan tak ada lagi merasa ia bisa diandalkan.

“Kenapa seperti ini?” teriaknya pada Si Ahli.

“Bukankah ini yang kamu inginkan?”

“Ini buruk. Saya ingin orang-orang memperhatikan saya sebagai orang yang baik, bukan mengabaikan. Ayolah, kalau seperti ini, lebih baik sekarang tolong hapus pikiran mereka tentang kejadian yang telah lalu,” ia meminta.

 “Kenapa?”

“Dengan begitu, tidak ada lagi yang akan mempermasalahkan perbuatan saya yang telah mereka anggap salah,” ia menjawab dengan mata berkaca-kaca. “Jadi tolong hapuskan pikiran orang-orang yang mengenal perbuatan saya,” katanya dan dengan begitu tidak akan ada lagi bukti atau tindakannya di masa lalu yang akan menyebabkan dirinya jatuh dari dunia ini.

Si Ahli mengerutkan hidung. Meski begitu, ia paham saja, soalnya semua yang datang padanya memang punya banyak keinginan, setidaknya orang di hadapannya itu masih masuk akal saja, menurutnya.  “Ini cara yang terakhir,” gumamnya, sambil menggelengkan kepala.

Ia lalu kembali ke kantor. Dan betapa anehnya ketika tidak ada yang menyapanya. Barulah saat ia memperkenalkan diri dan memperlihatkan kartu nama dan membuat orang segera tersadar dengan wajah bersalah karena mereka baru saja bersikap tidak sopan pada pimpinan. Tapi ia masih bisa bernafas lega, ia tidak akan dihukum, dan mulai sekarang ia hanya perlu memperbaiki semuanya.

Sempurna. Tidak ada yang perlu ia khawatirkan lagi, pikirnya meski pertanyaan muncul di kepalanya saat ia masuk ke ruangan. Ia mendapati seseorang yang katanya telah membuat janji dengannya, yang memiliki ruang ini. Melihat wajahnya, ia langsung mengenali si pria sebagai sang pemimpin di kantor pemberi ujian. Meski kenal, ia yakin pria itu tidak pernah bertemu langsung dengannya, terlebih punya urusan langsung. Jadi, tidak mungkin ada pengaruh dari perbuatan Si Ahli. Ia memutuskan bertanya, mengenai maksud kedatangannya.

“Kudengar Anda bisa membantu saya?” Si Pria memajukan kepala. Tangannya bertautan di atas meja, saling menenangkan jarinya.

Mendengar suaranya, ia tahu si pria sedang dalam masalah. Beberapa kali ia juga mendapat sanjungan, pujian, dan segala jenis yang membuat sudut bibirnya terangkat.

“Saya melihat data Anda di kantor tadi pagi dan saya langsung ke sini.”

Ia mencoba menebak apa yang terjadi, Si Pria tidak mengenal ia dan kemampuan Si Ahli tentu terjangkau pada si pria.  Tapi berikutnya ia terkejut dengan kalimat si pria berikutnya.

“Saya pikir Anda seharusnya bersalah,” Si Pria seperti menyembunyikan senyum sinisnya. “Tapi karena anda masih di sini, saya pikir Anda bisa bantu saya.”

Ia berdehem. Lalu didapatilah bahwa Si Pria ternyata mendapat tuduhan serupa yang dialamatkan padanya. Mereka senasib. Dan akhirnya mau tak mau, ia mengusulkan Si Ahli pada si pria, setidaknya masalahnya tidak perlu mencuat.

Ia tak perlu lagi mengkhawatirkan apa pun, termasuk keluarganya. Karena setiba di rumah, ia mendapati tatapan penuh pertanyaan dari anak-anaknya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »