Iftar
Sigit Candra Lesmana
Peluh menetes dari pelipis Rizal. Kaus dalam kemejanya basah. Lampu merah, cuaca panas, tenggorokannya kering. Tumben hari itu tidak turun hujan. Langit cerah dengan sedikit awan dan cahaya matahari yang bersinar tanpa halangan. Ingin rasanya dia segera menerobos lampu merah itu untuk segera tiba di rumah dan merebahkan diri.
“Permisi, Mas,” sebuah
suara tiba-tiba terdengar dari sisi sebelah kanannya.
Seorang pengemis tua
menadahkan tangannya ke arah Rizal. Tampilannya lusuh, dengan kemeja warna putih
yang sedikit menguning dan kotor. Rambutnya yang hitam acak-acakan dengan
sedikit uban. Sementara bagian bawah tubuhnya terbungkus sebuah celana pendek
dengan beberapa robekan kecil. Sedangkan kakinya dibiarkan telanjang, seakan
sudah kebal dengan panasnya aspal di siang hari yang terik.
Refleks Rizal coba
rogoh celananya. Sebuah dompet berbahan kulit imitasi berwarna cokelat kemudian
muncul dari balik saku celananya. Terdapat selembar uang sepuluh ribu rupiah
dan selembar uang lima ribu rupiah di dompetnya. Dan satu kartu Anjungan Tunai
Mandiri dengan saldo menipis.
Agak ragu, uang lima
belas ribu hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi dan sebungkus es teh untuk
berbuka puasa nanti. Jika sebagian uang itu diberikan untuk si pengemis, dia
khawatir tak bisa berbuka dengan lengkap hari ini. Saldo di rekening pun sudah
sangat terkuras. Sialnya, jumlah yang sedikit itu harus dipertahankan
sedemikian rupa agar cukup untuk hidup sampai Rizal mendapat pekerjaan. Entah
sehari, seminggu, sebulan, atau lebih dari itu.
Ingatan ceramah seorang
ustaz yang pernah dilihatnya di YouTube beberapa waktu lalu tiba-tiba muncul
saat dia hendak mengurungkan niatnya. Ustaz itu mengatakan bahwa sedekah yang
utama justru ketika diri sendiri sedang sempit.
“Karena di saat sempit
itulah pengorbanannya jauh lebih besar,” suara ustaz itu terngiang dalam
ingatan Rizal.
Ustaz itu juga
mengatakan bahwa Tuhan sejatinya lebih menilai besarnya pengorbanan daripada
besarnya nominal.
“Uang lima ribu rupiah
tapi merupakan 50 persen dari hartanya yang tersisa maka lebih berat timbangan
pahalanya, disbanding uang sejuta rupiah tapi hanya 0,1 persen dari hartanya,”
Ucap ustaz dalam ingatannya.
Disodorkannya uang lima
ribu rupiah miliknya ke tangan pengemis tua yang menunggu sejak tadi. Uang itu
segera berpindah, tinggal selembar sepuluh ribu rupiah di dalam dompetnya.
Pengemis itu berterima kasih seraya membungkukan badan dan berlalu menuju
pengendara lain.
Lampu segera berubah
menjadi hijau. Bunyi klakson kendaraan di belakang motor Rizal segera
bersahutan. Pertanda semua orang sudah tak sabar ingin segera sampai di tujuan.
Dalam hatinya dia
berdoa semoga dengan pemberiannya kepada pengemis tadi, Tuhan melancarkan
rezekinya sehingga dia bisa segera dapat pekerjaan. Dari kajian ustaz lain yang
dia dengar, waktu puasa adalah waktu yang mustajab untuk berdoa.
Dua bulan lalu Rizal
harus rela kehilangan pekerjaannya. Pabrik camilan tempatnya bekerja berhenti
beroperasi dan didata oleh bank. Pemilik pabrik yang terlilit hutang melarikan
diri keluar kota. Meninggalkan puluhan karyawan yang belum dibayarkan gajinya
selama sebulan. Rizal salah satu dari mereka.
Motor matiknya lalu
dilajukan kesana kemari untuk mencari pekerjaan. Sales, cleaning service,
penjaga toko, kuli bangunan beragam jenis pekerjaan dilamarnya. Gengsi dibuangnya
jauh-jauh. Gelar sarjana ekonomi dari sebuah perguruan tinggi negeri favorit
kini tak penting lagi. Rizal ingin pekerjaan apapun yang penting cukup untuk
hidup dan halal. Tetapi tekad tak pernah cukup untuk mendapat pekerjaan tanpa
adanya orang dalam.
***
Sebuah nasi bungkus
dengan lauk semor jengkol dan orek tempe dan air putih setengah botol sisa
kemarin sudah siap sedia di meja makan. Rizal keluar dari kamar mandi dan
segara menuju kamar untuk berganti pakaian. Sejurus kemudian dia duduk di meja
makan. Bersiap untuk membatalkan puasanya hari ini.
Azan magrib
berkumandang, diteguknya air putih kemasan itu untuk membatalkan puasa
sekaligus membasahi kerongkongan yang telah kering seharian. Dalam hati dia
berharap agar pahala puasa telah ditetapkan baginya hari ini.
“Alhamdulillah,”
ucapnya lirih.
Setelah minum, Rizal
langsung menyantap nasi berlauk semur jengkol dan orek tempe yang aromanya
menggoda sejak tadi. Salat magrib akan ditunaikannya setelah makan, rasa
laparnya sudah tak tertahan.
Di tempat lain, empat
piring nasi, semangkuk besar bakso lengkap dengan mie kuning, semangkuk tumis
kacang panjang, sepiring ikan goreng, sepiring tempe dan tahu goreng, dan
semangkuk besar es blewah telah siap di meja makan. Pengemis tua beserta
keluarga sudah bersiap di meja makan untuk berbuka puasa bersama. Pengemis tua
meminta maaf tak bisa menyajikan menu yang lebih mewah seperti biasanya.
“Hasil hari ini tidak
terlalu banyak, orang ngasihnya sedikit-sedikit, recehan,” katanya sambil
menatap istrinya.
“Tak apa pak, ini saja
sudah cukup, semoga besok lebih banyak orang yang terketuk hatinya untuk
memberi,” ucap istri si pengemis tua yang nampak berusia jauh lebih muda
sembari melempar senyum manis.
Kedua anaknya makan
dengan lahap apa yang disajikan dari hasil jerih payahnya hari ini.
“Alhamdulillah,”
ucapnya lirih.
Jember, 10 April 2023