Sapta Arif
(1)
Hidup seperti apa yang kau inginkan Sardiman?
Pertanyaan itu pernah meluncur mulus dari mulut Dewanti. Namun, dalam lorong
ingatannya, Dewanti tidak pernah menemukan jawaban. Kini mereka terpisah oleh
jarak yang begitu jauh. Sardiman telah menikah dan mungkin saja telah hidup
bahagia. Keadaan yang berbanding terbalik dengan Dewanti.
Satu sore, lima tahun silam Sardiman
mendapat kabar dari Sarwono, kalau Dewanti bunting. Tak ada yang tahu, siapa
bapak dari anak dalam kandungannya. Sebagai pemain lama, Dewanti seharusnya
bisa berjaga.
Perempuan tetaplah perempuan, begitu
kata Sarwono. Bagaimanapun, mereka memiliki sifat alami yang terpendam dalam
dirinya yang purba: menjadi ibu, beranak, mengurus suami, hingga pekerjaan
rumah tangga. Meski hal-hal semacam itu ditolak mentah-mentah oleh Dewanti
remaja. Apakah itu dalih yang ia buat untuk mengembara? Mencari duit? Tentu
saja tidak. Sebagai anak kades yang pernah menjabat dua kali, Dewanti terlihat
tidak akan kehabisan uang. Tapi tak ada yang tahu roda nasib Won, ucap Sardiman
di telepon. Sarwono tidak habis pikir, Dewanti si bunga desa bertualang
melayani laki-laki dari kota.
Sejak percakapan telepon dengan
Sarwono, Sardiman berusaha keras mencari kabar Dewanti. Upaya ini menggiringnya
kembali ke masa lalu. Pulang ke desa, bertemu teman-teman lama, sekaligus
menemui cinta pertamanya.
(2)
“Dalam teori tipologi kepribadian Spranger ada enam
tipe kepribadian manusia. Kurasa kau adalah manusia estetis.” ucap Nani pada
kekasihnya. Mereka berada di kafe Arjes. Secangkir kopi tubruk beradu dengan Caffe
Latte. Setumpuk urusan perkuliahan, bertarung dengan bara keinginan yang
membuncah.
“Kalau kamu?”
“Oh, tentu si rasionalis. Segala
sesuatu harus terukur pakai ini,” Nani menunjuk pelipis dengan jari telunjuk.
“………dan ini.” ia memperlihatkan kalkulator di layar ponsel. Lekas angka-angka
berlarian dari ponsel menyeruduk mata si lelaki. Mengawini Nani bukanlah hal
mudah. Apalagi bapaknya dikenal berwatak sekeras batu.
Si lelaki mengambil ponsel Nani
perlahan. Kemudian menutupnya di meja. “Tidak harus semua hal harus diukur
dengan angka apalagi diteorikan.” Nani mengangkat alis, tangan kanannya melepas
kaca mata. Si lelaki paham betul, ada perubahan dalam kelopak mata Nani. Ia nekat
menggenggam tangan Nani.
“Apakah cinta juga butuh kalkulasi? Apa
butuh teori para ahli? Bukankah perasaan ini anugerah Tuhan yang tidak bisa
diukur apalagi diteorikan.”
Sejak saat itu, mereka kerap bersama
layaknya sepasang kekasih. Meski tak ada kesepakatan di antara mereka, perasaan
itu mengalir bak aliran sungai. Makin lama, aliran itu semakin deras. Hingga
hujan perasaan cinta mereka pun buncah di kamar kos lantai tiga. Nani hamil. Bapaknya
meradang. Mereka lekas dikawinkan.
(3)
“Aku menyesal dan berutang maaf pada Mba Nani, Mas.
Mulai hari ini, aku tidak mungkin menemuimu lagi. Cukup, jangan hubungi aku
lagi Mas.” sambungan telepon terputus. Sardiman mematung menatap kalender
dengan angka-angka berwarna hitam. Lambat laun angka-angka itu mengabur,
seperti bergerak-gerak, menari-nari dalam kepalanya. Pandang matanya lekas
memudar.
Ingatan Sardiman mengembara pada
pertemuan di suatu sore. Langit masih berwarna oranye, angin berembus pelan
menggoyang batang pohon bambu hingga berbunyi. Dewanti tinggal di desa, bagi
Sardiman desa ini bak lorong masa kecil yang gelap. Ia pernah menjadi pecundang
sebelum hidup di kota. Meski ia begitu benci ingatan masa kecil apalagi
keluarganya, ia tidak bisa serta merta membenci Dewanti. Perempuan ini seperti
bandul yang mengikat hatinya ke mana pun ia pergi. Sardiman sudah beristri,
tetapi tetap membawa bandul cinta pertamanya.
“Setelah semua yang terjadi, aku ingin
menikah, beranak, dan pergi ke luar negeri.” ucap Dewanti.
“Aku bisa menafkahimu dan anak dalam
kandunganmu itu.” sanggah Sardiman.
“Tapi kau tidak bisa menawar perasaan
istrimu, Mas.…..”
(4)
Lamunan Sardiman buyar saat sebuah mobil sedan Corolla
abu-abu keluaran tahun 1994 masuk ke halaman rumah. Seorang perempuan keluar,
menenteng dua tas belanjaan. Gegas Sardiman menghampirinya.
“Aku ketemu Ibu di pasar Mas,” Sardiman
merebut dua tas belanjaan Nani. Perempuan ini menatap suaminya nyelonong
berjalan ke dalam rumah. “Mas!” teriakan Nani tidak membuat Sardiman berhenti.
Beberapa bulan belakangan, Nani
merasakan sesuatu yang aneh dalam rumah tangganya. Hubungan ranjang begitu
hambar dan seringkali percakapan berujung pertengkaran. Pada suatu malam ia
mendapati suaminya terbangun dengan badan yang dipenuhi keringat dingin.
Wajahnya pucat pasi. Manakala Nani hendak memeluk, tangannya ditepis dengan
halus. Sardiman bangkit dan duduk di depan cermin rias Nani. Sepanjang sepuluh
tahun pernikahan mereka, Nani tak pernah melihat wajah Sardiman sekacau ini.
Seperti gabungan dari rasa takut, gelisah, dan bingung yang bercampur baur. Nani
melihat biji hitam di matanya. Tatapan asing itu lekas menyambar mata Nani.
“Kenapa kau tak kunjung hamil Nani?”
suaranya terdengar kering, seperti bunyi yang timbul dari gua di sebuah tempat
yang dilanda kemarau panjang.
Dalam tubuh Nani terasa aliran yang
deras dan panas menuju ke ubun-ubun kepala. Kurang dari satu detik, kepalanya
serasa pening dan berat. Telinganya berdenging. Perutnya tiba-tiba terasa aneh,
mual. Nani membalas tatap wajah Sardiman dengan raut yang tak kalah kacau. Wajah
seseorang yang seharusnya membahagiakan, kini begitu memuakkan. Nani bangkit
dari tempat tidur. Masih memakai gaun tidur yang tipis, ia menyambar jaket dari
cantolan baju belakang pintu kamar. Mengambil kunci mobil dan kunci rumah. Lalu,
suara sedan tua meraung meninggalkan halaman rumah. Sardiman hanya menonton
dari celah korden jendela kamar di lantai dua.
(5)
Satu hal yang tak pernah diperhitungkan oleh Nani soal
pernikahan adalah soal momongan. Impian ini sudah ia kubur jauh sebelum
mengenal Sardiman. Terlebih, ia terbelit masa lalu yang kelam. Amat kelam.
Seharusnya ia sadar, sebagai
perempuan rasionalis perkara cinta bukanlah sesuatu yang mudah. Wajah Nani
lembut, tapi tatap matanya tajam. Ketika Sardiman menyelam di kedalaman mata
Nani, ia menemukan tekad dan keinginan yang membara. Ada guratan tipis di pipi
seperti lesung pipit. Namun, tidak membuat wajahnya terkesan manis. Guratan
tipis itu adalah muara cinta pertama Sardiman. Baginya, saat pertama kali
bertemu dengan Nani, ia membaca sebuah perjuangan penuh pedih air mata untuk
sampai di titik mereka bertemu.
Nani dibesarkan oleh sosok laki-laki
berwatak keras. Tohar, bapak Nani, adalah seorang lelaki yang terbuang. Sejak
pecah tragedi 65, Kakek Nani ditangkap dan tak pernah kembali. Tohar menikah
tujuh tahun kemudian. Laki-laki itu amat keras kepala. Nani lahir saat bapaknya
berjuang dalam persidangan ujian skripsi. Sidang berhasil dimenangkan, tetapi
laki-laki itu kalah memperjuangkan hidup. Istrinya meninggal saat melahirkan
Nani. Bidan enggan menangani kelahiran bayi yang ditengarai sungsang. Dua rumah
sakit di pusat kabupaten menolak atas alasan yang tak pernah dijelaskan. Nani
lahir di atas mobil pick up.
Siang itu, di pertigaan Pasar
Bubrah, orang-orang berkerumun, tapi tak seorang pun berani membantu. Mbok
Mirah duduk terkulai di samping perempuan yang telah hilang kesadaran. Di
pangkuannya yang bersimpah darah ada bayi kecil menangis. Seorang laki-laki
yang masih berpakaian rapi menerobos kerumunan. Di hadapan matanya, ia
menyaksikan Lek Diman memaki orang-orang dengan sumpah serapah. Ia mengumpat
dan bersumpah pada Tuhan, bapak mereka bukan antek PKI.
Tubuh Tohar lemas seketika. Istrinya
terkulai tanpa napas.
(6)
Bukan tanpa sebab, Sardiman amat membenci keluarganya.
Terutama bapak, Sarpin. Di desa bapaknya kerap dipanggil mbah Sarpin. Selain
dikenal sebagai tentara, Mbah Sarpin juga akrab dengan hal-hal gaib. Konon berkat
dua susuk yang dipasang di kedua kaki, Sarpin berhasil menjadi yang tercepat
dalam seleksi Akabri. Begitu juga saat berenang, kedua kakinya begitu cepat dan
tangkas. Meski tidak memiliki jabatan tinggi, Sarpin tetaplah tentara yang
dipandang terhormat di desa. Ia dipercaya menjadi salah satu petugas militer
yang turut membersihkan desa-desa dari para antek PKI setelah tragedi 65. Sudah
tidak bisa dihitung berapa desa yang ia sambangi. Tak terhitung pula berapa nyawa
yang dihilangkannya.
Sarpin tetaplah manusia yang tak
luput akan khilaf. Setiap bertugas, Sarpin memiliki kebiasaan mengambil barang
yang dianggapnya unik dari rumah yang digrebek. Di kamar Sarpin, terdapat
sebuah lemari kaca yang berisi barang-barang tersebut. Baginya, setiap barang
memiliki cerita. Setiap barang adalah sarana nostalgia di masa jaya.
Melihat barang-barang antik
terpajang di kamar bapaknya, Sardiman selalu merasakan perasaan yang aneh. Tiap
kali Sardiman lewat kamar bapaknya, ia seperti mendengar suara tangis yang
begitu menyayat. Pernah satu kali Sardiman nekat membuka kamar itu. Sarpin
tengah duduk memandang lemari pajangan sambil tersenyum. Kebencian yang asing
itu lahir saat kali pertama bapaknya bercerita.
“Ia todongkan golok. Pak Gimin,
temen bapak kaget. Bapak langsung tendang tangannya, golok lepas terlempar. Tanpa
ampun, bapak tendang lagi si bajingan itu sampai mental! Langsung nabrak
tembok, dan pingsan. Dari belakang, Pak Gimin nembak! Dor!”
“Kamu harus jadi orang hebat!
Minimal kaya Bapakmu ini.” sambil menepuk dada dan tersenyum bangga. Sarpin
tidak menyadari di balik anggukan anaknya tersimpan bara kebencian.
Sifat penyayang ibunya menurun
secara indentik pada Sardiman. Sardiman kecil begitu lemah dan cengeng. Dari
pada memperkuat otot tubuh, ia kerap menghabiskan waktu di rumah Dewanti. Kakek
buyut Dewanti dikenal sebagai juru ketik Belanda. Budaya membaca dan menulis
mengakar kuat di keluarga Dewanti. Ada sebuah ruangan khusus berisi banyak buku
yang kerap disambangi Sardiman. Bersama Dewanti, mereka berdua seringkali
menghabiskan waktu sepulang sekolah hingga adzan maghrib berkumandang.
Saat itu, Bapak Dewanti masih
menjabat sebagai kepala desa. Hubungan mereka rumit. Di satu sisi, Sarpin
melarang anaknya main ke rumah kepala desa, di sisi lain, berkat Bapak
Dewanti-lah anak Sarpin bisa lolos dari olok-olok teman-temannya.
(7)
Setelah sepuluh tahun tak bertemu, Tohar melihat putri
semata wayangnya berdiri di ambang pintu. Watak kerasnya luluh seketika. Dengan
bibir bergetar, ia memanggil berulang kali nama istrinya. “Oalah, Nani, senduk
wis mulih.”
Tidak ada yang bisa melarang Tohar
menggunakan nama Nani—istrinya—sebagai nama putri semata wayangnya. Tubuh Nani
lemas dalam pelukan bapaknya. Ia berupaya keras melupakan masa kelam di
hidupnya.
“Sudah kubilang, semua laki-laki itu
brengsek!” tutur Tohar tanpa sedikit pun keraguan. Dengan lembut Tohar menuntun
Nani ke kamar. Melakukan hal yang sama, seperti yang pernah Tohar lakukan pada
putrinya, dua puluh tahun silam. Sepanjang malam, berhari-hari, hingga Nani
remaja dipaksa mengugurkan kandungannya tiga kali.
(8)
“Hidup seperti apa yang kau inginkan Sardiman?” dada
Dewanti kembang kempis. Di seberang telepon Sardiman terdiam.
Ada gumpalan sesal di hati Dewanti yang
menyumbat napas. Suara isak tersengal. Dadanya amat nyeri. Sudah dua bulan
sejak anaknya lahir, ia harus rajin memompa asi yang terbuang sia-sia.
Kini sesal di dadanya kian menggumpal.
Ia berada di sebuah kapal penampungan. Nasibnya kian tak pasti, untung benar
biro penyaluran tenaga kerja yang ia bayar masih mau memberikan kesempatan
nelpon. Meski tak ada makan siang gratis, Dewanti harus menggadai kebebasan
demi mendengar suara cinta pertamanya. []