Macapat Lontar Yusuf: Akar Tradisi Lebaran Masyarakat Suku Osing Banyuwangi - Rissa Churria

@kontributor 4/23/2023

Macapat Lontar Yusuf: Akar Tradisi Lebaran Masyarakat Suku Osing Banyuwangi

Rissa Churria



Setelah berpuasa sebulan lamanya, umat Islam memetik sebuah momen bahagia yang bernama Idul Fitri dna dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia dengan sukacita. Tradisi perayaan Idul Fitri di masing-masing daerah tentu berbeda-beda. Meriah dan semaraknya jelas tetap terasa meski tak sama.

Saat saya kecil dulu saat yang paling ditungguRadalah tradisi memberikan amplop berisi uang pecahan baru pada anak-anak yang berkunjung ke rumah-rumah tetangga atau kerabat. Sampai hari ini saya masih menyimpan beberapa uang pecahan baru semasa kecil dulu, ada pecahan 100 Rupiah kertas bergambar perahu layar, 500 Rupiah gambar monyet, dan lain-lain. Saya senang menyimpannya sebagai kenangan. Tradisi itu akan tetap dipertahankan sampai hari ini. Banyuwangi tanah kelahiran saya adalah tanah penari penuh tradisi dan mitos, serta adat istiadat yang masih dijunjung tinggi oleh suku Osing. Momen Lebaran atau Idul Fitri hari kedua atau tanggal 2 Syawal adalah salah satu yang ditunggu oleh banyak orang yaitu perayaan "Barong Ider Bumi". Ketika mudik ke Banyuwangi saat Lebaran, saya senantiasa menyempatkan untuk menghadiri upacara Barong Ider Bumi.

Barong Ider Bumi merupakan ritual pengusir bahaya dan permohonan kesuburan kepada Sang Maha Kuasa. Selain itu, upacara ini dipercaya sebagai ritual pensucian diri dari segala kesalahan yang dilakukan selama setahun dan penyembuhan terhadap wabah penyakit. Tradisi ini telah berjalan selama puluhan tahun, secara turun temurun dari generasi ke generasi. Kata ider bumi merupakan penggabungan dari dua kata yaitu ider dan bumi. Ider berarti berkeliling kemana-mana, dan bumi artinya jagat atau tempat berpijak. Dari kedua kata tersebut dapat dimengerti bahwa Ider Bumi merupakan kegiatan mengelilingi tempat berpijak yaitu bumi. Jadi, sesuai dengan namanya, inti dari ritual Barong Ider Bumi adalah mengarak barong memutari desa.

Masyarakat Banyuwangi terutama suku Osing mengarak sesosok Barong berkeliling desa. Barong merupakan tokoh mitologi yang disakralkan. Barong dianggap sebagai raja dari para arwah dan simbolisasi kebaikan. Pengarakan barong berkeliling desa dimaksudkan untuk mengusir kejahatan, hawa nafsu, dan keburukan yang menghalangi datangnya keberuntungan dan kemakmuran bagi segenap masyarakat desa.

Berdasarkan cerita yang saya dengar secara turun temurun, asal usul upacara Barong Ider Bumi bermula dari masyarakat suku Osing Banyuwangi terutama masyarakat Desa Kemiren  yang  terkena pageblug atau wabah penyakit. Saya jadi ingat musim Korona atau Covid-19 yang menghabisi banyak nyawa. Bedanya saat itu dunia kedokteran dan laju informasi tidak seperti saat ini, sehingga pageblug benar-benar sulit untuk diatasi. Banyak orang yang pagi sakit sorenya meninggal, malamnya sakit lalu pagi meninggal. Ini tidak hanya terjadi kepada manusia, binatang ternak pun juga terserang penyakit. Ratusan hektar sawah juga diserang hama sehingga menyebabkan gagal panen, dan tidak ada hasil bumi saat itu.   

Dalam keadaan mencekam seperti itu warga pun mengadakan tirakatan dan berdoa memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa dipimpin oleh pemuka agama dan tetua adat setempat. Akhirnya, salah seorang tetua adat yang bernama Mbah Buyut Cili mendapatkan wangsit atau petunjuk lewat mimpi. Dalam mimpinya, untuk mengusir penyakit dan hama yang melanda desa, penduduk harus mengadakan selamatan kampung dengan menggelar ritual arak-arakan Barong untuk menolak bencana yang melanda masyarakat Suku Osing.   

Barong mahluk mitologi  dibuat oleh seseorang yang menggunakan kostum dengan topeng dan aksesoris yang merupakan penggambaran hewan yang menakutkan. Barong ini dipercaya oleh masyarakat Osing memiliki kemampuan untuk mengusir roh jahat. Masyarakat Suku Osing percaya dengan melakukan Barong Ider Bumi, kehidupan setahun mendatang akan membahagiakan.

Upacara adat leluhur ini digelar sebagai bentuk syukur pada Yang Kuasa atas karunia-Nya yang telah memberikan ketentraman dan kemakmuran kepada warga desa, selain juga tradisi itu dipercaya dapat menghilangkan bala bencana atau tolak bala.  Dalam kepercayaan masyarakat Osing, Barong ini dirasuki roh leluhur sehingga dia bergerak dengan sendirinya, maka harus diikuti oleh seorang gambuh atau pawang.

Sejak saat itulah, ritual mengarak Barong yang kini disebut Barong Ider Bumi menjadi tradisi warga suku Osing Kemiren. Setiap tanggal 2 Syawal, pada pukul 14.00 atau pukul 2 siang. Ini bukan tanpa alasan, bagi masyarakat Osing Banyuwangi angka dua adalah simbol ciptaan Tuhan, di mana sesuatu di dunia ini diciptakan Tuhan secara berpasang-pasangan, seperti siang malam, laki-laki perempuan, langit bumi, sehat sakit, dan seterusnya.

Masyarakat Osing pantang melakukan tradisi ini di luar waktu yang ditentukan tersebut karena dipercaya malah akan mendatangkan bencana atau musibah bagi masyarakat. Bila waktunya digeser atau diubah maka dipercaya akan mendatangkan kematian pada keluarga yang melestarikan barong, dan itu pernah terjadi sehingga masyarakat suku Osing Banyuwangi tidak berani melanggarnya.

Dalam ritual Barong Ider Bumi tersebut, Barong wajib diarak keliling desa dengan diiringi nyanyian macapat atau tembang Jawa kuno yang berisi doa dan pemujaan kepada nenek moyang dan Tuhan untuk menolak bahaya yang bisa mengancam desa atau wilayah Banyuwangi pada umumnya. Jenis macapat yang dibaca disebut macapat Yusuf / Mantra Lontar Yusuf yang bernafaskan Islam. Mantra lontar Yusuf ini dipercaya memiliki energi positif bagi kehidupan di desa dan masyarakat. Dan tidak sembarang oleh didaulat membaca macapat, namun hanya pewaris kitab lontar berisi macapat tersebut.

Salah satu contoh kutipan Macapat Lontar Yusuf adalah sebagai berikut:

 

PUPUH VII

DURMA

 

Tan kocapa

Tiada diceritakan lagi

 

Wong wadon iku dening wang

Tentang wanita itu

 

Ana kocapa malih

Ada kisah lagi

 

Putêri nateng Temas

Putri dari Temas

 

Namanira Jaleka

Yang bernama Zulaikha

 

Wayah sangang taun malih

Saat berusia sembilan tahun

 

Kusumaningrat

Sang putri bunganya jagat

 

Ayu kasubeng bumi

Cantik di seluruh dunia

 

Sugih êmas

Berlimpah emas

 

Ratna widuri murwendah

Intan berlian yang indah

 

Yaya ibu nira sih

Dikasihi ayah bundanya

 

Winoring sakarsa

Dipenuhi segala kehendaknya

 

Tan wani-wani malanga

Tiada berani menentangnya

 

Yèn ana yunireng putêri

Jika sang putri memiliki kehendak

 

Tinurut sira

Semua dituruti

 

Dening kang yaya bibi

Oleh ayah bundanya

 

Sebenarnya Lontar Yusuf ini ditulis dalam bentuk Arab pegon dengan bunyi kurang lebih seperti yang tertulis di atas. Pupuh ini adalah bentuk sastra lisan suku Osing kuno yang masih dibaca oleh masyarakat Osing dalam setiap acara-acara apapun, termasuk pernikahan, khitanan,  ngarak gandrung, dan acara adat lainnya.

Dalam pelaksanaan mengarak Barong, ada beberapa rombongan yang mengiringi Barong saat berkeliling desa. Di barisan depan adalah beberapa tokoh adat yang membawa bokor atau semacam wadah terbuat dari kuningan di mana warga Osing Kemiren menyebutnya Lukiran atau Sembur utik-utik. Acara diawali ritual sembur utik-utik, yakni ritual melempar atau menyemburkan uang logam yang dicampur beras kuning dan bunga. Melempar uang logam dalam ritual ini melambangkan usaha warga untuk membuang atau melempar sial dari Desa Kemiren. Sembur utik-utik itu berisi uang logam pecahan Rp 100 bercampur beras kuning serta bunga sembilan warna. Jumlah uang logam tersebut tepat Rp 99.900, hal ini berhubungan dengan  hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi "Allah menyukai jumlah-jumlah yang ganjil." Serta merujuk pada sebutan nama baik Allah Asmaul Husnayang berjumlah 99.

Lalu ada barisan tujuh orang nenek-nenek yang mengenakan selendang berwarna putih dengan corak garis hitam yang disebut Selendang Solok. Saat mengikuti iring-iringan barong, nenek-nenek tersebut sambil mengunyah sirih atau nginang/nyusur bercampur kapur gamping atau kapur sirih yang biasa dilakukan dalam masyarakat sejak dulu untuk menjaga dan merawat gigi agar kuat dan awet.

Sebelum Barong diarak keliling desa, para sesepuh memainkan angklung di balai desa untuk memulai ritual. Setelah itu, seluruh warga Desa Kemiren keluar rumah lalu mulai berbaris mengarak Barong yang diawali dari pusaran (gerbang masuk) desa ke arah Barat menuju tempat mangku barong (pintu keluar desa) sejauh dua kilometer. Di sepanjang arak-arakan ini, tokoh adat menebarkan sembur utik-utik yang sudah dipersiapkan. Selain warga, para sesepuh juga ikut berjalan mengarak Barong tersebut sambil membawa dupa dan melafalkan doa-doa untuk keselamatan seluruh warga.

Setelah upacara Ngarak Barong usai, ada prosesi upacara Sebagi Gong dan puncak acara yakni selamatan dengan menggunakan tumpeng atau disebut juga dengan tumpeng sewu dengan lauk khas pecel pitik atau ayam kampung yang dibakar dengan dicampur bumbu kelapa seperti bumbu urap/trancam sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta yang telah memberikan keberkahan dan rizki yang melimpah.

Puluhan bahkan ratusan tumpeng dengan lauk pecel pitik ditata rapi berjajar di sepanjang jalan. Masyarakat dan pengunjung yang menyaksikan ritual sakral itu juga turut diajak kenduri karena setiap rumah membuat tumpeng yang sengaja disuguhkan untuk dinikmati warga lain yang hadir. Tumpeng membanjiri seluruh desa maka tradisi itu diberi nama tumpeng sewu, seolah ada seribu tumpeng sedesa. Tumpeng sewu ini step terakhir setelah Barong Ider Bumi yaitu kenduri dan selamatan. Kita bisa bayangkan bila dalam satu kampung di setiap rumah menyiapkan satu tumpeng saja bagaimana riuh dan meriahnya lebaran di Banyuwangi.

Barong Ider Bumi dan Tumpeng Sewu sampai saat ini tetap lestari juga sebagai maskot Banyuwangi setelah Gandrung, dengan Macapat Lontar Yusuf sebagai akarnya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »