Menekuri Proses Kreatif Sastra Pesantren dalam Puisi
Penyair Santri
Muhammad Ghufron
“Ajarkanlah
putra-putrimu sastra, agar jiwa-jiwa mereka hidup”.
Demikianlah al-Faruq (pembeda) Khalifah Umar bin Khattab suatu kali
berujar. Kehadiran sastra adalah semburat yang ampuh menerangi segala persoalan
hidup yang hampir kehilangan maknanya. Sastra adalah entitas yang sublim.
Karena itulah, seperti ucapan Martin Heidegger, …dan tugas seorang sastrawan
yang sangat relevan dan fungsional ialah mengembalikan makna hidup pada
kemanusiaan.
Barangkali,
alasan macam inilah yang menjadikan sastra tetap hidup dalam sebuah institusi
keagamaan tertua di nusantara, yakni pesantren. Dalam beberapa titimangsa
terakhir, sastra tumbuh tidak hanya menjadi sebuah pengajaran dalam kurikulum
madrasah di pesantren, melebihi itu ia telah menjadi bagian dari horizon yang
menyelimuti laku keseharian para santri.
Pada
puisi “Penyair Santri”, yang terpublikasi pada halaman puisi sastramedia.com
(1/15/2023), Khairuzzaman NT dengan cukup sublim menautkan pergumulan santri
dengan sastra, khususnya di Pondok Pesantren Annuqayah, di mana puisi tersebut
lahir.
Penyair
Santri
Abdul
dan ahmad
Rajin
menulis puisi
Di
sela ngajinya yang padat
Anak-anak
puisi semakin meloncat
Keduanya
sama-sama percaya
Puisi
akan membuatnya abadi
Setidaknya
dalam puisinya sendiri
Aku
ingin mengabdikan diri
Kata
abdul
Setidaknya
pada puisi
Ahmad
mengamininya
Meski
puisi baginya
Hanya
ruang kecil
Untuk
menutup kebosanan
Ia
tetap mengerjakan tugas dengan sungguh
Menyetorkan
hafalan tanpa gemuruh
Sambil
lalu menyapu halaman pondok
Di
sudut hatinya, agar tak ada tembok
Annuqayah,
2022
Inklusivitas Pesantren
dan Ruang Kreativitas yang Membebaskan
Dalam
dinamika wacana sastra pesantren, Annuqayah mendapat julukan sebagai “pondok
sastra” (Horison/ Juli/ 2022). Di sanalah sastra diajarkan secara intensif.
Komunitas-komunitas sastra, kelompok teatrikalisasi puisi, perpustakaan, dan
media terus digalakkan. Majalah Esensi, edisi No.3, Tahun 2014, pernah memuat
deskripsi bagaimana proses kreatif para santri Annuqayah yang setidaknya
dipengaruhi oleh lima hal: melubernya buku kumpulan puisi, munculnya jurnal dan
tabloid yang dibiayai oleh komunitas sastra, maraknya kegiatan diskusi sastra,
munculnya komunitas dan sanggar, serta faktor lomba. Inklusivitas macam ini
turut andil dalam menciptakan ruang kreativitas yang membebaskan bagi para santri.
Inklusivitas
pesantren Annuqayah telah menjadi rahim bagi lahirnya penyair santri dalam
kurun beberapa waktu terakhir. Tersebutlah nama-nama penyair seperti M. Faizi,
Raedu Basha, A’yat Khalili, Muhammad Ali Fakih, Zainul Muttaqin, Sofyan RH
Zaid, Bernando J. Sujibto, Sengat Ibrahim, merupakan jebolan dari pesantren
ini. Para penyair santri muda terus tumbuh bermunculan dengan karakter
kepenyairannya yang khas, yakni menautkan dimensi nilai-nilai etis dan estetis.
Di
satu sisi, Pengajaran gramatika bahasa di pesantren serupa Nahwu-Sharaf, sastra
Arab, retorika (Balagah), ilmu tentang aturan main sastra Arab klasik (‘arudh),
menjadi bekal prinsipiel bagi para santri memahami ajaran Islam seperti Al
Quran, Hadits, Fiqh, Tasawuf. Melalui bekal tersebut, paradigma keilmuan para
santri kian inklusif, termasuk dalam menggumuli teks-teks sastra. Di sisi lain,
Zammiel El-Muttaqien dalam Akar Tradisi Sastra Pesantren di Kompas Jatim
(2005), menyebut bahwa salah satu ciri khas keilmuan di pesantren kalau tidak
menggunakan medium puisi, biasanya disampaikan dengan cara puitis.
“Penyair
Santri” seolah mendedahkan mata kita sejenak menekuri proses kreatif sastra di
pesantren. // Abdul dan ahmad/ rajin menulis puisi/di sela ngajinya yang
padat/ anak-anak puisi semakin meloncat//. Iklim pesantren yang mengekang,
tak membuat suatu pengalaman momen puitik tertanggal begitu saja. Ia mesti
terabadikan. “...//Keduanya sama-sama percaya/ puisi akan membuatnya abadi/
setidaknya dalam puisinya sendiri//. Keyakinan untuk ‘abadi’, membuat puisi
tak akan pernah lekang di ingatan para santri, senantiasa digumuli secara arif
dalam suatu proses kreatif yang terus eksis.
Tanpa berpretensi melebih-lebihkan, ada
semacam keyakinan bahwa selain mengabadi, puisi menjadi salah satu ruang paling
subtil mendekatkan diri pada yang liyan, suatu ikhtiar untuk menghubungkan yang
imanen dengan yang transenden. “... //aku ingin mengabdikan diri/ kata
abdul// setidaknya pada puisi // ”. Mengabdi pada puisi pada akhirnya juga
menjadi sebentuk cara bagi seorang santri mengabdi pada Tuhan .“Inilah cara
bagi saya untuk mengabdi pada Tuhan dan tanah air”, ujar penulis Amerika cum
intelektual publik, Paul Goodman tentang puisi.
Meski
‘mengabdi pada puisi’, kewajiban untuk mengabdi pada pesantren juga menjadi
identitas mereka. “...// Ia tetap mengerjakan tugas dengan sungguh/
Menyetorkan hafalan tanpa gemuruh/ Sambil lalu menyapu halaman pondok/ Di sudut
hatinya, agar tak ada tembok//”. Penggalan ini menyiratkan bahwa dalam
tradisi pesantren menaati peraturan dan mengerjakan kebaikan lainnya seperti
‘menyapu halaman’ dianggap menjadi sebentuk ikhtiar menggapai dimensi barokah
(bertambahnya kebaikan), sebaliknya bertindak makar justru akan menghalangi
mereka menggapai dimensi itu.
Konvergensi
antara nilai etis dan estetis pada puisi di atas merupakan perwujudan sublim
dari kehidupan pesantren. Reflektif dengan penuh kebersahajaan naratif yang
padu berhasil mendedah khalayak sastra tentang sebuah dendang jiwa seorang
santri. Pembaca diajak berkelana menekuri proses kreatif santri dengan dunia
sastra di pesantren dengan segala keunikan dan keajekannya.
Bukan tidak mungkin, dalam beberapa waktu ke
depan, sastrawan dengan latar belakang pendidikan pesantren akan terus
bermunculan. Kita mengharapkan kemunculan tersebut sebagai penanda bahwa karya
sastra masih dan akan terus eksis di pesantren. Sebab, eksistensi sastra di
pesantren tidak lagi dipandang sebagai entitas yang dangkal, melebihi itu
meminjam terminologi Raedu Basha dalam Sastrawan Santri: Etnografi Sastra
Pesantren, telah menjadi satu-satunya pengejawantahan relung jiwa manusia
sastrawan santri dalam suatu “art”.
Dengan demikian, sublimasi muatan makna dalam
karya-karya mereka diharapkan menjadi semacam oase yang menyejukkan di tengah gelimang
hidup yang kian banal, paradoks, dan manipulatif. Dengan kata lain, karya-karya
sastra mereka tampil sebagai sebuah strategi dakwah termutakhir yang terus
berjalin-kelindan dengan nilai kemanusiaan. Aguk Irawan MN dalam sebuah
Muktamar Sastra di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo pada 18-20
Desember 2018 menyampaikan bahwa pesantren dan karakter sastranya adalah salah
satu unsur budaya yang punya strategi efektif untuk membentengi masyarakat dari
pelbagai hal negatif; termasuk terjerumusnya masyarakat ke dalam budaya massa
dan radikalisme. Semoga.