Membaca Antologi Puisi Panen Beno Siang Pamungkas
Agus Manaji
Sebagai salah seorang eksponen gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman bersama Kusprihyanto Namma juga Triyanto Triwikromo, puisi-puisi Beno Siang Pamungkas telah lama mewarnai perpuisian Indonesia. Saya ingat, ketika masih duduk di bangku sekolah menengah atas, sekitar medio tahun 90-an, pernah membaca puisi Beno di surat kabar seperti Bernas, Republika, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Majalah Ceria, Majalah Anita dan beberapa antologi puisi seperti Serayu. Samar saya ingat larik-larik ringkas kritis penyair menyoroti polusi dan perubahan lingkungan.
Panen, buku
antologi puisi teranyar Beno Siang Pamungkas menghimpun 73 puisi dari rentang
perode tahun 1992 hingga tahun 2023. Dari rentang waktu itu ada tahun-tahun
kosong puisi, contoh tahun 1995, 1996, 1998, 1999, 2003, 2004, 2005, 2006,
2007, 2014 – 2017, taka da puisi berangka tahun tersebut. Boleh jadi penyair
menulis puisi pada tahun tersebut, tetapi tidak memuatnya dalam buku kali ini.
beberapa puisi periode awal mengembalikan memori saya pada puisi Beno Siang
Pamungkas yang saya baca puluhan tahun silam. Di halaman identitas buku
tertulis, cetakan kedua, Februari 2023. Dan buku ini pun memuat 4 puisi
bertarikh 2023. Kita dapat berkesimpulan Penyair Beno masih berpuisi hingga
saat ini, tidak kapok, meskipun telah
berkali-kali jatuh cinta dan patah hati kepada puisi.1
Beragam hal
mengusik perhatian penyair. Beragam peristiwa menjadi inspirasi penyair untuk
menuliskan puisi. Rasanya tidak mungkin membahas semua puisi dalam tulisan
ringkas ini. Saya hanya akan mengangkat beberapa puisi yang menarik saya dan
memaksa saya mengomentarinya. Gaya berpuisi Beno Siang Pamungkas didominasi
ungkapan spontan, larik-larik pendek, sampai taraf tertentu plastis, tajam. Demikian
pun, penyair mencoba gaya berpuisi dengan larik-larik bersusun seperti prosa. Lingkungan
alam menjadi salah satu sumber inspirasi penyair. Puisi Taman Semak Belukar bertarikh 1992 membuka buku ini:
Jangan
ganggu aku mencintai semak
Biarlah
angin laut membuang telvisi dan berita koran
Aku
ingin menjaga sinar matahari, pasir, dan belukar
Luput
dari tanggal radar.
(Puisi Taman Semak
Belukar)
Puisi tampak menunjukkan keberpihakannya kepada alam. Ada
kesan penyair menolak pembangunan atau mungkin eksploitasi alam. Biarlah angin laut membuang televisi dan
berita koran, seru penyair. Diksi televise, berita koran, juga radar
menjadi symbol dari pembangunan ekploitase alam. Bukankah dulu di tahun 90 an
televise dan koran menjadi corong untuk mengabarkan keberhasilan dan janji pembangunan. Keberpihakan penyair pada alam
kembali ditunjukkan lewat puisi Surat Dari Ujung Watu, sekali lagi televise
menjadi lambang kemajuan palsu: Ujung
watu adalah tidur panjang/ Lelap dalam masa lalu/ Tertinggal laju mesin
peradaban/ Dan segala yang bernama kemajuan// Namun di sini ada satu keyakinan
/ Bahwa cinta kami kepada kotak-kotak besi dan kaca/ Tak bisa mengganti rasa
gembira/ Mencinta gunung dan ombak/ Serta sawah dan lading.
Janji dan
derap pembangunan yang berdasar kepada pemikiran dan perencanaan ilmiah penuh
perhitungan, di mata penyair menjadi janji yang mencurigakan. Alih-alih membaca
angka statitik progres pembangunan di pulau Kalimantan, penyair justru menjadi
pembawa berita dari padang luka, dimana pohon-pohon
dieksekusi hingga taka da lagi sisa.
Tanah bengkah. Bumi belah. Borneo menjelma duka belantara. Penyair
menyaksikan pohon terakhir telah dimakamkan dan ia masih mendengar derap
gemuruh marabahaya mendekat. Lalu kemana manusia? Ternyata nasib Tarzan manusia terpenjara pendingin ruangan
dan kotak-kotak kaca. Kita baca berita itu dalam puisi bergaya susun larik
prosa berjudul Borneo, puisi
bertarikh 1993. Kita masih melihat pandangan sikap ini di tahun 2021 dalam
puisi Negeri Abrakadabra: Gunung-gunung
dirobohkan/ Tambang-tambang dikeruk/ Laut tak lagi punya ikan/ Deratan
penganggur semakin panjang.
Kecintaan
pada alam tampak pula pada puisi Cintailah
Burung-burung. Imaji Burung-burung sudah sering digunakan dalam perpuisian
kita maupun perpuisian luar. Penyair-penyair sufi macam Jalaluddin Rumi, dan khusus
Fariduddin Attar lewat karyanya Matiq At Thair2, menjadikan burung
sebagai perlambang jiwa manusia yang mendamba Tuhannya. Cecep Syamsul Hari
tergolong penyair yang berulangkali menggunakan diksi burung dalam puisi-puisinya3,
dan bahkan pernah menautkan diksi burung dengan Attar secara apik dalam puisi
cinta nan liris Kenang-Kenangan. Cecep menggambarkan jiwa pencinta sebagai
‘sayap burung attar yang terbakar’. Penyair Beno Siang Pamungkas mengingatkan
kita manusia untuk menyayangi makhluk Tuhan yang bernama ‘burung’. Cintailah burung-burung, seru penyair, sebab lewat burung-burung, Ia (Tuhan) ingatkan (diri) manusia dan karena lewat
burung-burung Manusia (dapat)
Menemukan (makna) kebebasannya.
Penyair
sesungguhnya manusia eksistensial. Meskipun ia menulis puisi untuk merespon
sesuatu hal, penyair akan memberikan respon khasnya. Penyair tampil orisinil sebagai
dirinya. Kita baca puisi ringkas Arak dan
Sajak berikut :
Sepotong
sajak menyelinap ke dalam tidurku
Secawan
arak memanggil mimpi seorang anak
Ia
bertanya tentang cara doa bekerja
Dan
apa benar tuhan tak pernah tertawa
Puisi ini menarik perhatian saya. Tampak benar keusilan
penyair dalam menyampaikan gagasan dan pertanyaannya. Saya mencoba mengurai dan
memahami puisi ini. Kata ‘Arak’ dan ‘Sajak” tentu saja memberi efek rima akhir
‘jak’, rima ini diperkuat lagi dengan diksi ‘anak’ pada akhir larik kedua. Dua
larik terakhir, yakni larik ke 3 dan 4 juga mempertimbangkan rima. Tapi apakah
kekuatan puisi ini hanya dalam soal rima? Tidak! Puisi ini juga menjadi kuat
karena melalui puisi ini penyair berani menyampaikan pertanyaan yang cukup
subversif. Uniknya (lihai sekali!!??) pertanyaan tersebut dia sampaikan melalui
sepotong sajak yang katanya, menyelinap
ke dalam tidurku. Tetapi apakah benar Si Aku tidur? Mungkin juga tidak,
mungkin Si Aku hanya setengah tak sadar karena meminum arak. Atau dalam tidur
itulah Si Aku meminum arak yang memanggil mimpi seorang anak? Meski terdapat
ambiguitas, yang memang diciptakan oleh penyair, kita membaca lapis-lapis
kesadaran atau ketidaksadaran, untuk sampai pada pertanyaan usil seorang anak dalam mimpi itu : Ia bertanya tentang cara doa bekerja/ Dan
apa benar tuhan tak pernah tertawa. Betapa dalam pengaruh kesadaran di
bawah pengaruh arak sekalipun, penyair dengan sengaja meminjam mulut seorang
anak (yang belum baligh) untuk menanyakan pertanyaan itu!!!
Kenakalan lain diperlihatkan Penyair dalam puisi Pilox. Berseting Gereja Blenduk, Si Aku,
layaknya anak muda nakal, menyemprotkan pilox (cat warna semprot) ke kubah
gereja. Di tempat sakral dimana Tuhan dipuja, gereja, layaknya muda-mudi
berandal membuat grafiti tanda cinta di dinding toilet atau pada batu dan
pepohonan di tempat wisata, ia menggambar perasaan jatuh hati pada Tuhan dengan
grafiti bertulis:
Namaku
dan namaMu
Di
tengahnya kugambar anak panah dan waru
(puisi Pilox)
Tentu saja perilaku iseng melukis graffiti ini mungkin
fiktif belaka, tetapi hal ini tetap memperlihatkan keliaran imajinasi penyair
yang unik. Perilakunya mungkin dusta, tetapi jujur perasaannya.
Beno Siang Pamungkas tampak sekali rileks dalam soal
bentuk. Dengan sikap ini Penyair
menuliskan perenungannya dalam bentuk-bentuk yang berubah-ubah. Meski gaya
bahasa penyair tetap tampak. Suatu kali penyair mengambil bentuk puisi bebas
atau Puisi bentuk prosa (proisi), lalu kemudian di kesempatan laindan tak ambil
peduli dengan bentuk penyek sekali mirip haiku. Jika haiku menampilkan lanskap
alam yang menyentuh perasaan, maka puisi Beno Siang Pamungkas lebih kea rah
kilatan pikiran, perasaan atau kesimpulan. Dalam soal ini, karena
keringkasannya tampaknya kita harus membangun makna referensial4
dengan berinteraksi dengan narasi dan teks di luar puisi tersebut. Jika hanya
menilik tekstual saja, rasanya pembaca akan kesulitan memahami puisi macam ini,
atau mungkin si pembaca justru akan menilai puisi tersebut jelek atau gagal.
Puisi Al Hikam
termasuk ke dalam jenis puisi terakhir. Kita baca utuh puisi ini:
Haruskah
kukata
Bila
di jeda detak jantung pun
Kau
ada
Kata Al Hikam
berasal dari bahasa arab bermakna kebijaksanaan. Tuhan sendiri Mahabijaksana,
Al Hakim. Al Hikam juga merupakan judul kitab
kuning karya ulama sufi masyhur Ibnu Ataillah As Sakandari, seorang sufi
tarekat Sadziliyyah5. Kitab ini berisi ujaran-ujaran, aforisma-aforisma
indah sarat makrifat ilahiah. Tidak mudah untuk memahami kitab ini. Ibnu
Athaillah melalui Al Hikam tiada henti menegaskan kehadiran hamba dan
mengingatkan pentingnya ibadah, khususnya dzikir. Mungkin karena itulah di
Indonesia, dalam masyarakat kultur pesantren kitab ini tergolong kitab khusus. Salah
satu gaya yang sering dipakai Ibnu Athaillah dalam Al Hikam adalah majaz
pertentangan untuk menerangkan posisi ambivalen hamba di hadapan Tuhan. Kiranya
ini juga yang digunakan Penyair dalam sajak ini. Lewat perspektif detak jantung
(dalam biologi: detak jantung berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh) penyair
menyatakan perasaan karibnya dengan Tuhan. Kedekatan yang menimbulkan salah
tingkah, masih menyisa ruang, jarak antara Tuhan dan hamba, sehingga Penyair
mengungkapkan perasaannya justru dengan pertanyaan retorik. Mungkin kesadaran
atau perasaan ini muncul dari penghayatan penyair atas hidup, tapi boleh jadi
karena interaksi Penyair dengan kitab Al Hikam, baik mendaras secara soliter maupun
ngaji ke seorang kiai.
Saya
berteman dengan penyair Beno Siang Pamungkas di media social facebook. Tapi
saya nyaris tidak mengenalnya secara fisik. Siapakah dia? Nama Beno Siang
Pamungkas sendiri terdengar puitik di telinga saya. Puisi Pohon Keluarga mungkin membantu kita mengetahui sedikit banyak
tentang siapa dia. Dalam puisi tersebut kita bias simpulkan bahwa beliau
beretnis tionghoa, etnis yang di negeri ini kerap dipandang dengan curiga oleh
pribumi maupun pemerintah. Penyair berseru, di
tanah yang sulit menerima kami tumbuh seperti pohon lainnya. Puisi Pohon
Keluarga, dengan gaya ungkap prosaic, mengisahkan pohon keluarga yang kian rimbun dan tua, namun tak berbuah, yang
ranting dan cabangnya berserakan. Berlatar pertemuan keluarga bermarga Tjan
sehabis lebaran di lereng gunung Lawu, keluarga besar yang masing-masing
anggotanya dalam keseharian telah terpisah terpencar oleh jarak dan kesibukan
sehingga menjadi alpa dengan wajah daun,
berusaha membaca kembali sejarah keluarga mereka. Berusaha merekatkan anggota
dan memaknai rasa kekeluargaan. Di tengah kesulitan dan problema hidup dari
dalam, juga tantangan rintangan dari luar, anggota keluarga tetap Penyair
menulis dengan ngungun haru:
Ada yang terbata-bata, kadang berurai airmata, sesekali dengan
gelak tawa. Ranting dan cabang yang berserakan itu saling mengaku.
Masing-masing menyimpan rasa bersalah. Juga cinta yang tegang dan tak
terpahami. Kami menjadi alpa dengan warna daun. Dari sejarah yang berawal dari
marga Tjan. Kami menyusun bentangan kawat. Telegram. Dan foto-foto lama.
Kabel-kabel bersilang, menjulur ke balik bukit. kami bertanding melawan gerusan
jam. Melangkah, menyebar biji dan serbuk sari, sebelum mentari padam. Di tanah
yang sulit menerima kami tumbuh seperti pohon lainnya.
(puisi
Pohon Keluarga)
Di cover belakang buku Panen, Achiar M Permana, berpendapat
jika ia lebih menyukai puisi-puisi Beno Siang Pamungkas pada awal-awal periode
kepenyairan, decade 1980 – 1990-an. Menurutnya, puisi-puisi pada periode
tersebut lebih spontan, lebih jujur. Sedang puisi-puisi yang belakangan terasa
ada hasrat untuk “ndakik-ndakik” (lebih rumit atau filosofis). Saya tidak
sepenuhnya sependapat dengan pendapat ini, terutama pendapatnya terakhir.
Factor usia, tingkat kematangan, perubahan gaya hidup, memang tampak
berpengaruh pada puisi Beno Siang Pamungkas belakangan. Spontanitas dan kejujurannya
terlihat lewat wajah yang lain. Puisi-puisinya yang tampak rumit, filosofis,
atau religius, diimbuh sedikit kenakalan menarik untuk dibaca.
Puisi-puisi Beno Siang Pamungkas belakangan, menurut saya,
masih menunjukkan pesona. Untuk seorang penyair yang telah jatuh hati dan patah
hati berkali-kali pada puisi, Beno Siang Pamungkas telah menerima ikhlas puisi
secara apa adanya. Imaji-imaji Penyair, dari yang lugas sampai yang liar dan
nakal, bahkan kadang tampak sungsang, mampu merangsang perasaan dan pemaknaan pembaca.
Selain itu, melalui puisi-puisinya, Penyair membuktikan kepekaannya terhadap perubahan
kesadaran dirinya dan realitas kehidupan sekitarnya. Tak segan-segan pula Penyair menyatakan keberpihakannya.
Muntilan-Jogja, 8 Maret 2023
Note:
1 : Panen, Buku Kumpulan Puisi Beno Siang Pamungkas,
penerbit Cipta Prima Nusantara 2023, di halaman Tentang penulis buku, halaman
88.
2: Mantiq At Thair,
Musyawarah burung sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Penyair Hartoyo Andangjaya, penerbit Pustaka Jaya. Penerjemahan dalam versi
bahasa yang berbeda dilakukan oleh Asep Subhan, Penerbit Pojok Cerpen. Seyyed
Hosein Nasr meluangkan untuk menuis 1 bab tersendiri untuk membahas karya Attar
ini dalam buku Spiritualitas dan Seni
Islam, Terbitan Mizan, cet pertama tahun 1993.
3: ini dapat kit abaca dalam buku antologi puisi Efrosina,
Cecep Syamsul Hari, penerbit Orfeus Books, tahun 2002.
4: Ignas Kleden pernah menyinggung soal ini dalam Sastra
Indonesia dalam 6 Pertanyaan, penerbit Grafiti. Hal 8.
5: terjemahan kitab Alhikm dan syarahnya banyak sekali
beredar di Indonesia. Termasuk KH. Sholeh Darat pernah mensyarah kitab ini
dalam bahasa jawa. Di antara versi yang popular saat ini adalah Kitab Al Hikam
yang diberi syarah oleh Syekh Fadlalla Haeri, seorang ulama amerika.
Tafsir/syarah terasa lebih pas bagi orang modern.