Menyambut
Alarm Sunyi 3.0: Memaknai Sunyinya Emi Suy
Riri Satria
Alarm Sunyi adalah sebuah buku kumpulan puisi yang menjadi salah satu tonggak sejarah atau milestone dalam perjalanan kepenyairan Emi Suy. Pada tahun 2017, ketika edisi pertama buku ini diluncurkan, ternyata buku ini banyak mendapatkan sambutan. Setidaknya ada dua hal yang saya catat saat itu. Pertama, buku ini yang menjadi tiket Emi Suy mengunjungi Ubud Writers and Readers Festival 2017 di Ubud, Bali. Kedua, pada buku ini ada sebuah kalimat dalam puisi Emi Suy yang menjadi terkenal, bahkan dikutip di mana-mana, termasuk dalam sebuah film, yang menjadi ciri khas Emi Suy, yaitu “perempuan mesti bisa menjahit, setidaknya menjahit lukanya sendiri”.
Saya mengenal Emi Suy sejak tahun 2011, namun baru mengenal dengan baik tahun 2015. Perjalanan kepenyairan Emi Suy bukannya jalan yang mulus. Emi jatuh bangun dalam perjalanan itu, dan itu membuatnya semakin tangguh. Alarm Sunyi adalah bukti ketangguhan itu pada tahun 2017 dan kemudian dapat dianggap sebagai salah satu buku puisi yang sukses di Indonesia.
“Buku Alarm Sunyi ini lahir tidak mulus, banyak kejadian yang mendahuluinya, bahkan pernah berada dalam kebimbangan antara menerbitkannya atau tidak. Namun semua berhasil diselesaikan dengan baik, dan bahkan Alarm Sunyi banyak mendapatkan sambutan”, demikian Emi mengatakan kepada saya pada suatu kesempatan beberapa tahun yang lalu.
Buku ini menjadi pijakan awal untuk Emi mengeksplorasi sunyi dan kemudian menghasilkan dua buku puisi setelah ini dan membentuk Trilogi Sunyi yang terdiri dari Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), serta Api Sunyi (2021). Emi mendapatkan Anugerah dari Perpustakaan Nasional RI sebagai salah satu buku puisi terbaik pada tahun 2019, dan itu adalah bukti kerja kerasnya mengeksplorasi diksi sunyi ke dalam puisi.
Bagaimana kita memaknai sunyi dalam puisi Emi Suy? Apakah Emi merupakan tipikal manusia yang sunyi alias kesepian dalam hidupnya? Kalau melihat kesehariannya, tentu kita harus tepis jauh-jauh pemikiran itu. Emi adalah sosok yang sangat bersosialisasi dan jauh dari kesan soliter atau menyendiri. Jadi apa makna sunyi dalam hal ini?
“But silence is infinity”, demikian tulis penyair asal Amerika Serikat, Emily Dickinson (1830-1886). Lalu Thomas Carlyle (1795-1881), seorang filsuf asal Skotlandia menulis, “Speech is of time, silence is of eternity”. Keduanya mengatakan bahwa sunyi (silence) adalah keabadian (eternity) serta tidak berhingga (infinity). Melalui jalan sunyi, bisa jadi seseorang itu sedang menuliskan suatu keabadian serta menyatukan dirinya dengan semesta yang tak berhingga. Kurang lebih demikian.
Bagaimana dengan penyair Emi Suy? “Sunyi itu misteri penuh kejutan, saya memilih jalan sunyi sebagai daya ungkap untuk memadamkan segala gejolak”, demikian ungkap Emi. Namun, menurut saya, sunyinya Emi bukanlah sunyi yang penuh keterasingan fisik. Itu adalah sunyi yang penuh gejolak. Ia muncul dalam lebih dari seratus kumpulan puisi bersama, serta kerap kali membacakan puisinya dalam berbagai acara atau festival sastra di Indonesia. Jelas ini bukan jalan yang sunyi, melainkan jalan penuh hiruk-pikuk atau silence with the crowd.
Diksi sunyi yang menjadi ciri khas Emi sering disalahpahami menjadi loneliness, padahal bukan! Sunyi versi Emi dalam puisi-puisinya adalah silence yang bermakna kejernihan menangkap suara-suara tak terdengar (hidden and unspoken words) melalui “mensunyikan diri”. Sunyinya Emi Suy adalah silence seperti yang dibahas oleh Emily Dickinson dan Thomas Carlylee di atas, serta Justin Zorn dan Leigh Marz dalam buku mereka yang berjudul Golden: The Power of Silence in a World of Noise (2022), di mana sunyi atau silence bermakna how to go beyond the ordinary rules and tools of mindfulness. Bahkan jika kita tarik ke referensi yang lebih tua, maka sunyinya Emi Suy juga seperti sunyinya Helena Petrovna Blavatsky dalam bukunya The Voice of the Silence (1889), dimana silence dimaknai sebagai jalan mendapatkan spiritual enlightenment dengan tujuan uplifting all of humanity.
Itulah sunyinya Emi Suy yang saya pahami setelah mengenalnya semakin baik. Melalui Alarm Sunyi, Emi bukan ingin mengajak kita bertapa menyepi di pergunungan, bukan demikian, namun sejenak menjaga jarak dengan hiruk-pikuk dinamika kehidupan. Melalui sunyi, Emi ingin mengajak kita menuliskan suatu keabadian serta menyatukan dirinya dengan semesta, supaya bisa melakukan eksplorasi batin, berdialog dengan diri sendiri, menangkap suara-suara alam yang penuh wisdom untuk kehidupan ini, sejalan dengan makna silence versi Justin Zorn dan Leigh Marz.
Sebagai sahabat yang memahami sosok Emi lebih dekat, demikianlah makna sunyi yang saya tangkap dari Emi. Bisa dikatakan saya melakukan pendekatan dengan metodologi penelitian etnografi terhadap Emi – yaitu mengamati dari dekat melalui interaksi langsung - dan mencoba memahami makna sunyi tersebut dalam keseharian aktivitas Emi Suy, serta melalui berbagai dialog dengannya. Makanya saya tidak heran jika Emi mengeksplorasi diksi sunyi ini sampai menjadi tiga buku puisi yang dinamai Trilogi Sunyi. Bahkan kumpulan puisi dalam bukunnya Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (2022) pun tidak terlepas dari diksi sunyi ini, karena buat Emi, sunyi bukanlah sebuah diksi semata, melainkan juga jalan kesehariannya dalam pengertian silence, bukan loneliness. Bisa dikatakan buat Emi, silence is the ideology.
Sunyinya Emi Suy adalah sunyi yang membawa kita membawa kita secara jernih dan hening memaknai fenomena di sekitar kita, fenemena alam, bahkan memahami Semesta Raya. Menurut Emi, hanya dengan mensunyikan diri – bahkan di tengah keramaian – semua suara-suara itu menjadi nyaring terdengar, suara-suara yang disebut hidden and unspoken words, atau juga wisdom words, yang kemudian dia tuangkan ke dalam puisi. Jadi Emi adalah corong atau “juru bicara” dari suara-suara alam tersebut yang dia tuangkan ke dalam puisi, lalu disimak dan menggugah pembacanya,
Emi juga mengungkapkan bahwa dia kerap melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang bersejarah. Dia menelusuri gedung-gedung tua, museum, dan sebagainya, lalu diabadikan melalui jepretan kamera. “Gedung-gedung tua itu berkata dalam sunyinya, lalu saya abadikan menjadi puisi”, demikian lanjut Emi, masih terkait dengan sunyi. “Namun di tengah keramaian manusia, sering saya merasa terasing, sunyi di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Ini pun saya abadikan ke dalam puisi”. Ini mempertegas kemiripan makna sunyi Emi dengan sunyinya Helena Petrovna Blavatsky yaitu sebagai jalan mendapatkan spiritual enlightenment dengan tujuan uplifting all of humanity.
Saya mengamati bahwa Emi adalah sosok pembelajar yang baik dalam proses kepenyairannya, dan mencatat berbagai kemajuan dalam setiap fase yang dilewatinya. Dalam berbagai kesempatan ngobrol santai sambil menikmati kopi sore dengan Emi, dia selalu mengatakan bahwa ini adalah sebuah karunia Tuhan yang luar biasa kepadanya dan selalu dia syukuri.
Ya, menurut saya Emi banyak memiliki tacit knowledge ketimbang explicit knowledge dalam berpuisi dan proses kepenyairannya. Saya sering mengatakan kepada Emi, “you are poetic street smart, Emi”. Saya menduga, ideologi sunyi itu yang memberikan tacit knowledge kepada Emi, yaitu menangkap pembelajaran dari universitas kehidupan seperti yang sering disampaikannya kepada saya.
Selamat untuk terbitnya edisi ketiga buku
kumpulan puisi Alarm Sunyi pada tahun 2023 ini, Emi Suy. Tetaplah
mengeksplorasi rasa menjadi puisi untuk mewarnai dan mengawal kehidupan. All
the best!
Bogor, April 2023