Antara Bara di Rumah
Muntasir dan di Dada Kohar
Hilmi Faiq
Tampilan Kohar berubah. Setiap keluar rumah dia sekarang memakai
baju serba putih. Jika bukan gamis atau koko, dia memakai kain panjang serupa
jubah. Lalu kepalanya selalu berpeci atau bahkan serban. Tangan kanannya
hampir tak pernah lepas dari kalung panjang beruntai biji kayu kadang biji batu
yang dia sebut tasbih. Wajahnya tampak lebih bersih karena dia tak lagi
berkumis, tetapi membiarkan bulu-bulu pada janggutnya memanjang dan terawat
sehingga terlihat rapi.
Banyak warga
kampung Wuluh senang dengan perubahan tampilan pada diri Kohar. Mereka merasa
lebih aman karena dengan berubahnya tampilan Kohar itu berarti berubah perilakunya.
“Penjara telah mengubah hidupnya. Semoga Kohar tidak mabuk-mabukan dan menelan
pil setan itu lagi,” kata Yu Am, penjual gulai ayam kepada Yu Marni di pasar
Wuluh selepas Kohar melintas dan melempar senyum.
Kohar anak tunggal
mendiang Haji Nawawi, guru ngaji di kampung Wuluh. Sehari-hari bekerja sebagai
nelayan lantaran sejak kecil tak begitu berminat duduk lama-lama di bangku
sekolah. Tak hanya itu. Tatkala anak-anak seusianya duduk rapi di belakang meja
menderas kitab suci di pagi atau sore hari, Kohar lebih banyak di laut. Laut
seolah selalu memanggilnya untuk terus bermain. Biasanya menjelang magrib dia
baru pulang dengan baju basah kuyub dan menenteng plastik yang kadang berisi
kerang, kadang berisi anak-anak rajungan.
Begitu agak besar,
tatkala otot-ototnya lumayan bisa diandalkan, Muntasir, seorang juragan sekaligus
kapten kapal mengajaknya berlayar. Dalam usianya yang masih belasan tahun,
Kohar sudah menyinggahi beberapa pulau, setidaknya pernah bersandar di Bandar
Lampung dan Bawean, dua tempat yang teramat jauh untuk anak seusia dia. Melaut
membuatnya riang. Apalagi saat pulang dia mengantongi beberapa lembar uang dan menenteng
ikan pemberian juragan. Kenikmatan melaut dan uang membuatnya makin susah
dibujuk untuk belajar.
Haji Nawawi pun tak
bisa berbuat banyak. Dia berprinsip, anaknya adalah anak zaman yang punya keleluasaan
untuk menikmati hidup. Tapi tampaknya Haji Nawawi lengah. Ada yang dia tak tahu karena
diam-diam setelah mendapat bayaran, Kohar menelan karnopen yang sesaat dapat
menghilangkan pusing setelah berjam-jam dilamun ombak di lautan. “Minum saja
biar bisa tidur,” begitu semula Muntasir kepada Kohar tatkala ombak setinggi
dua sampai tiga meter berulang kali memukul lambung kapal berisi dua belas
orang itu hingga terguncang hebat. Saat itu, musim hujan baru datang.
Makin hari,
karnopen menjadi santapan wajib bagi awak kapal. Ketika laut bersahabat dan
bermurah memberi rezeki lebih, kapal Muntasir membawa pulang berton-ton ikan
segar. Sebelum kapal bersandar, dia membuka kantong plastik seukuran tas pinggang
yang penuh karnopen lalu membagikannya kepada seluruh anak buah kapal. Mereka
berebut seperti anak kecil mendapat tawaran permen. Sesaat kemudian mereka
mengoceh dengan tatapan aneh sebari bersandar di dinding-dinding kapal. Soal
bongkar ikan, urusan petugas lelang ikan. Pokoknya awak kapal tak boleh diganggu
karena sedang menikmati hidup setelah berjuang melawan mau di tengah laut.
Muntasir rupanya
menjadikan karnopen sebagai penghasilan sampingan. Kalian salah menduga jika
dua rumah megah dan delapan kapal itu hasil dari laut. Itu semua dia bangun dari
butir-butir karnopen. Tatkala agin barat bertiup kencang dan menghalau nelayan
melaut, dia mengedarkan karnopen dari kapal ke kapal. Nelayan-nelayan miskin
yang pusing diomeli istri lantaran tak punya lagi tabungan, memilih melarikan diri dari
kenyataan dengan menelan karnopen. Toh bisa utang dulu dibayar nanti saat angin
mereda dan hasil laut melimpah. Mereka inilah pasar potensial bagi Muntasir. Seluruh
awak kapalnya dia manfaatkan sebagai pengedar sementara dia bandar. Muntasir
menjadi salah satu bandar besar di pesisir utara laut jawa, dari Rembang sampai
Lamongan. Sebagian besar awak kapal tak bisa menghindar lantaran terjerat utang
ke juragan. Berbeda dengan Kohar yang senang-senang saja mengedarkannya.
Apalagi dia bebas menelan karnopen gratisan. Kohar bukan hanya anak buah
Muntasir dalam menangkap ikan, juga dalam mengedarkan obat-obatan.
Kegilaan Kohar
terhadap karnopen lambat laun menggeser cintanya kepada laut. Tanpa
sepengetahuan Muntasir, Kohar mencari tahu pemasok karnopen dan memesan dalam jumlah
besar. Nama Kohar cukup tenar di kalangan bandar karnopen lantaran nama besar
Muntasir, sehingga dia mudah saja mendapat kepercayaan.
Kerajaan bisnis
karnopen Kohar lambat laun membesar seolah tak terbendung. Tatkala ayahnya,
Haji Nawawi, meninggal, dia makin agresif melebarkan sayap lantaran merasa tak
ada lagi yang menghalanginya. Pelanggan-pelanggan Muntasir pun pelan-pelan dia
masuki dengan menawarkan harga lebih rendah.
“Bos, sudah saatnya
kita mengambil tindakan,” kata seorang anak buah Muntasir.
Muntasir yang duduk di kursi menatap televisi itu mengelus
dagunya tanpa mengalihkan pandangan. Sesaat kemudian dia raih rokok yang sedari
tadi perlahan menjadi abu di tepi asbak. Dia isap pelan lalu dengan gerakan
yang sangat terukur, kepalanya menengadah sembari menghembuskan kepulan asap.
“Jadi bagaimana,
Bos?” si anak buah bertanya lagi.
“Sudah seberapa
berbahaya dia?”
“Sepertiga pasar
kita sudah dia ambil, Bos.”
“Oke. Kita tunggu
sampai Jumat depan. Semoga dia tak lagi jadi gangguan.”
***
Pagi yang muram. Mendung bergelayut dari ujung
timur sampai barat cakrawala. Gerimis tipis sejak subuh tadi tampaknya belum
menunjukkan akan berhenti. Setidaknya hingga tengah hari nanti. Para nelayan
duduk bersila berselimut sarung di warung-warung kopi di dekat pantai
menyaksikan perahu mereka diayun ombak seperti bayi yang dininabobokan ibu. Di
genggaman mereka, sebutir dua butir karnopen siap mereka telan untuk mengurangi
kepahitan hidup.
Pagi yang muram.
Suara sirene menyalak dari arah jalan raya, makin lama makin memekakkan telinga
tatkala dua mobil polisi berhenti di depan sebuah warung. Dua posisi berseragam
segera keluar sambil mencabut pistol, sementara empat lainnya, ada yang keriting
dan ada yang berambut sebahu berkaus oblong, tak kalah sigap keluar mobil dan
segera berlari ke arah warung.
Terjadi kegaduhan
dalam warung. Suara gedebuk barang-barang jatuh di susul jeritan seorang
perempuan menjadi latar. Beberapa detik kemudian, dua polisi mencengkeram lengan seorang pria
berkulit cokelat dengan kumis tebal yang tangannya sudah mereka borgol. Polisi
itu menggiring pria tadi dan menenggelamkannya ke dalam kabin mobil lalu
membawanya pergi. Dialah Kohar.
Para nelayan gusar.
Kohar ditangkap polisi karena menyimpan narkoba. Bukan karnopen, tapi setengah
kilogram sabu.
Jaksa menuntut
Kohar hukuman seumur hidup, tapi majelis hakim memvonisnya tujuh tahun penjara
dan denda tujuh ratus juta rupiah. Kepada wartawan, Kohar bilang akan
menjalaninya sebagai bentuk penghormatannya kepada lembaga pengadilan. Gaya
bicaranya sudah seperti politisi saat ditangkap KPK. Itu dia pelajari dari
tivi.
***
Warga menilai
penjara telah mengembalikan Kohar ke jalan semestinya. Sebagai anak mendiang
Haji Nawawi, warga masih berharap Kohar bersedia menggantikan posisi ayahnya
sebagai guru ngaji. Tampaknya Kohar bersedia meskipun tidak terang-terangan
mengucapkannya secara lisan. Sekarang dia lebih sering di masjid. Suatu kali khatib
dari kampung sebelah yang semestinya mengisi khotbah Jumat, berhalangan. Jamaah
mendorong Kohar menggantikannya. Dari cara dia mengaji beberapa waktu lalu,
jamaah yakin Kohar bisa. Dengan bahasa tubuh malu-malu, Kohar naik mimbar. Jamaah
lega karena dugaan mereka benar. Kohar fasih mengutip hadis maupun ayat kitab
suci. Sejak saat itu, Kohar makin sering naik mimbar juga mengisi kajian rutin
setiap malam Jumat.
Jamaah senang
lantaran merasa Kohar memberi penyegaran dalam setiap kajiannya. Dia berani
mengungkit-ungkit pasal yang selama ini meresahkan mereka, yakni peredaran
karnopen. Banyak anak usia belasan tahun mulai menelan karnopen sehingga lupa
diri, lupa keluarga. Yang agak tua, lupa anak istri. Tak terhitung lagi jumlah
kecelakaan di jalan gara-gara karnopen. Misalnya gara-gara karnopen, ada warga
naik sepeda motor di jalan raya tapi pikiran sedang berada di surga, berakhir
mati menabrak toko sepeda.
“Kita harus
mengakhiri semua ini. Pemerintah tidak mampu bertindak karena sudah menjadi
bagian dari mafia. Para bandar menyogok polisi agar mereka diam saja,” kata
Kohar, pelan tapi menyulut bara di dada jamaah.
“Tetapi bagaimana
caranya, Ustaz?” tanya seorang jamaah. Sejak menggantikan khotib untuk khotbah
tempo hari, satu dua jamaah mulai memanggil Ustaz kepada Kohar. Kohar tidak
menampik juga tidak meminta. Kali ini dia tersenyum lalu mengelus jenggotnya.
“Ini memang tidak
bisa dilakukan seorang diri atau hanya dua tiga orang. Harus bersama.
Ramai-ramai. Semakin banyak yang ikut, semakin bagus.”
Jamaah
manggut-manggut lalu Kohar menjelaskan lebih detail tentang rencana yang sudah
lama ada di benaknya. Jamaah dia minta mendaftar nama-nama yang selama ini
mereka curigai sebagai bandar atau pengedar. Lalu nama-nama itu akan dipilih
sesuai dengan tingkat kekuasaan terhadap pasar karnopen. Setidaknya mereka
mempunyai lima nama yang perlu diperangi dan ditumpas jaringannya.
***
Mendung tipis memayungi Kampung Wuluh.
Rembulan nyaris purnama nan pucat mengambang di cakrawala. Debur ombak laut
tenggelam oleh suara takbir seratusan orang berpakaian serba putih berarak ke
arah timur sambil membawa obor yang katanya merayakan kelahiran Nabi. Sampai di
mulut gang yang dipayungi pohon asem, mereka berbelok ke kanan. Sekitar seratus
meter kemudian mereka berhenti di depan rumah megah berlantai dua. Mereka lalu
berteriak-teriak.
“Muntasir, keluar…!!!”
“Kalau tidak keluar, rumahmu kami bakar.”
“Ayo keluar!”
Seorang perempuan tergopoh-gopoh keluar rumah
sembari menggendong anak usia tiga tahun. Dia istri Muntasir.
“Di mana suamimu?” tanya seorang dari
gerombolan tadi.
“Tidak tahu. Dia tak ada di rumah.”
“Kamu jangan bohong.”
“Beneran, dia tak ada di rumah.”
Laki-laki tadi menatap nanar istri
Muntasir, lalu tangan kanannya memberi kode yang disusul dengan pelemparan obor
ke rumah Muntasir. Istri Muntasir menjerit-jerit. Api terus meluas hingga atap.
Mendung makin pekat oleh asap tebal dari rumah Muntasir.
Tiba-tiba pintu rumah yang berselimut api
itu terbuka. Seorang pria berkaus oblong putih dan bersarung berlari sembari
terbatuk-batuk.
“Bunuh, dia!”
“Bunuh!!!”
“Bakar!!!”
Kohar yang sedari tadi di belakang barisan
merangsek maju menghalang-halangi orang mendekati Muntasir. Dia lalu
menyelimuti Muntasir dengan sajadah agar padam api di punggungnya.
“Ingat-ingatlah apa yang kamu lakukan kepadaku dulu,” bisik Kohar.
Green Village Bintaro 14-17
Februari 2021
Catatan:
Karnopen: sebutan warga pesisir terhadap Charnoven