Bahasa dan Apa-Apa yang
Tak Sekadar Hanya
Polanco S. Achri
I
Sebuah pertanyaan begitu betah menetap di kepalanya,
sebuah pertanyaan tentang pentingkah pelajaran bahasa bagi seorang manusia.
Amatlah lekas dia bisa berkata bahwa pelajaran bahasa itu penting dan berguna. Akan
tetapi, ketika pertanyaan tersebut dilanjutkan dengan pertanyaan kenapa atau
seberapa penting nilainya, seketika dia mendapati bahwa alasan di kepalanya tak
genap cukup kuat dan berdaya. Dulu, di kepalanya, pertanyaan yang demikian
hanya sejenak hinggap dan sejenak pergi. Akan tetapi, semenjak nasib yang getir
berhasil memaksanya menjadi seorang sarjana sastra, lantas dengan keras
menyeretnya menjadi seorang guru bahasa pada sebuah sekolah menengah kejuruan
di barat kota-madya, pertanyaan itu jadi begitu betah menetap di kepalanya yang
tak lagi diizinkan gondrong oleh tempat kerja; menetap di kepalanya dan
berdesakan dengan soalan tentang puisi, prosa-fiksi dan naskah drama.
Dalam beberapa kesempatan, dia sering mendapati
orang-orang berkata: Untuk apa pula belajar bahasa jika sudah bisa menulis,
membaca, dan berbicara? Dan sebab mendapati ucapan dan pernyataan yang
demikian, dia pun menyadari bahwa persoalannya, yang pertama-tama, setidaknya
ada pada soalan pemahaman bahasa. Betapa, selama ini, dia kerap mendapati bahwa
orang-orang memahami bahwa bahasa tak lebih dari sekadar alat komunikasi
belaka. Dia beranggapan, tidaklah genap salah bila memahami bahasa sebagai alat
komunikasi antarmanusia. Akan tetapi, betapa dengan demikian, pikirnya, seseorang
telah menempatkan bahasa pada wilayah yang tak semestinya: menempatkan bahasa
pada wilayah perkakas dan benda-benda! Oleh karena itu, dia tak lagi heran bila
telah jamak didengar telinga tentang banyaknya pertanyaan bergunakah pelajaran
bahasa. Dan betapa, kala demikian, dia gemar mengingat buku pengantar Ilmu
Bahasa itu; mengingat buku yang berkata bahwa kehadiran bahasa sebagai alat
komunikasi adalah salah satu fungsi, dari sekian dan sekian fungsi, dan belum menunjukkan
esensi daripada bahasa itu sendiri!
II
Sejak kanak, di samping cerita dewa-dewi, cerita
tentang pangeran dan putri-putri, dia begitu suka pada kisah nabi-nabi; dan
baru belakangan, ketika menempuh pendidikan di jurusan sastra, dia menyadari
bahwa di sanalah dapat ditemukan salah satu alasan kenapa bahasa penting
dipelajari. Dalam kisah Nabi Adam, dia mengingat bahwa sekalian makhluk diminta
bersujud dan memberi hormat kepada Adam; tetapi ada makhluk yang enggan, dan
malah mengajukan tanya. Karenanya, Tuhan meminta sekalian makhluk menyebutkan
nama benda-benda, dan tak ada yang bisa; dan kepada Adam, Tuhan memerintahkan,
dan Adam pun menyebutkan sekalian nama benda-benda dengan begitu lancarnya.
Tentu, dia paham, dan memahami, bahwa kisah itu ada di wilayah keimanan—yang
mana alat takarnya bukanlah hanya soalan rasional. Akan tetapi, dari sana, dia
menyadari tentang soalan yang penting, menyadari bahwa bahasa adalah khas
manusia, adalah yang membuat manusia menjadi tinggi derajatnya dibanding
sekalian makhluk lainnya.
Dia
pun mengingat, selama ini, sekalian orang melihat kerja menamai sebagai suatu
hal yang sederhana. Padahal, kerja menamai tak pernah sesederhana itu. Dalam
menamai, pikirnya, setidak-tidaknya, seseorang harus mengetahui beda dan
samanya, harus mengetahui serupa dan tak serupa sesuatu itu dengan apa. Dan hal
yang demikian, baginya, setidak-tidaknya, telah menunjukkan bahwa manusia
memiliki sesuatu yang dapat disebut akal-budi! Dan, dia pun teringat pada
beberapa buku pengantar Ilmu Bahasa dan Antropologi yang pernah dibacanya di
perpustakaan kota; dan menyebutkan bahwa tiap hewan itu berkomunikasi, tetapi
hanya manusia saja yang berbahasa. Dia paham dan mengerti, selepas membaca buku
yang demikian, bahwa pandangan dari buku tersebut amatlah antroposentris. Akan
tetapi, baginya, pernyataan yang demikian telah menunjukkan setidak-tidaknya
bahwa bahasa adalah khas manusia!
III
Dia pun terbawa pada sebuah novel karya Shion Miura, Merakit Kapal; dan semenjak membaca
novel dan menonton adaptasinya, dia begitu terpukau pada definisi kata atau
lema utara dalam kamus bahasa.
Betapa, dia makin menyadari bahwa tanpa bahasa, manusia tak bisa membedakan
utara dan selatan, timur dan barat; tak bisa membedakan kanan dan kiri, duka
dan bahagia, benci dan cinta. Oleh karenanya, dia pun mengamini ucapan ahli
bahasa itu, mengamini ucapan Saussure, mengamini bahwa dengan bahasa manusia
mengenal dan memeluk realita—memahami realita. Dan karena dia adalah pengarang
fiksi dan drama, dia pun pernah membayangkan tentang bagaimana dunia tanpa
bahasa, tentang bagaimana manusia tanpa bahasa; dan lantas, mengakhiri semacam
pembayangan itu dengan bertanya pada dirinya sendiri:
Apakah sebelum manusia sudah ada konsep duka dan
bahagia?
Dia tak memungkiri adanya kepentingan masyarakat, dan
kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Akan tetapi, dia meyakini, dan
tetap berupaya mencari bukti, bahwa bila manusia benar-benar bisa hidup
sendiri, manusia tetap membutuhkan bahasa. Karenanya, dia beranggapan, dan
berupaya mencari pembuktian, bahwa sebelum menjadi makhluk sosial dan makhluk
pekerja, manusia lebihlah dahulu hadir sebagai makhluk simbol dan lambang.
Tangis bayi dan mantra, pikirnya, meski belum genap dapat dimasukan dalam
pengertian dan kategori bahasa, telah menunjukkan keinginan dari seorang
manusia untuk menyentuh realita, memahami jagatnya, memahami segala
sesuatu—seperti diri dan Yang Ada.
IV
Dia, sebagai seorang yang dipaksa nasib menjadi guru
bahasa, meyakini bahwa pelajaran bahasa berguna bukan sebab fungsinya, tapi
sebab esensi yang membersamainya. Baginya, pelajaran bahasa bukan hanya soalan
komunikasi, tapi soal kodrat dan tanggung jawab: konsekuensi menjadi manusia!
Dengan bahasa, manusia mengembangkan kodratnya; manusia menjadi wakil Tuhan di
dunia, dan karenanya manusia tak boleh merusak dan menghancurkan, melainkan
mesti hadir untuk memahami dan menata dunia dengan bahasa, melakukan kerja
kodifikasi yang bukan hanya berakhir pada data. Sederhananya, meski jelas tak
pernah sederhana, pikirnya, manusia mestilah mengelola: merawat dan membawa pada
tingkat yang luhur mulia.
Bahasa,
baginya, sama pentingnya dengan kesadaran akan kemanusiaan. Manusia yang sadar
adalah manusia yang berbahasa. Dan seperti buku yang pernah dibacanya, dia
mengamini bahwa kemampuan berbahasa dapatlah dikata sebagai bukti manusia bisa
menjadi unggul dan mulia—tanpa menghinakan yang lainnya, tanpa merendahkan yang
lainnya. Betapa, dia juga mengamini ucapan profesor antropologi dari kampus
ternama itu, ucapan daripada Tuan Sartono Kartodirdjo, bahwa dengan bahasa,
segala soalan yang sifatnya ide, kesadaran manusia, dan alam pikiran, segala
soalan tentang memori, imajinasi, dan fantasi, distrukturkan! Ah, dan betapa
betah dia memahami bahwa bahasa menciptakan realitas itu sendiri!
Dan
ia pun mengingat ada seorang ahli biologi dari Swiss, Adlof Postmann, pernah
berkata bahwa manusia adalah makhluk hidup yang terlahir dengan prematur—sebab
betapa manusia membutuhkan bantuan induknya untuk bertahan hidup sampai usia
tertentu. Akan tetapi, meski demikian, dia pun memahami bahwa di alam yang
begitu liar bahasa membuat apa-apa yang dipandang-dengar dan rasa manusia jadi
lebih tertata. Bahasa, dengan demikian, membawa manusia pada
penemuan-penemuan—dan membuatnya bertahan di alam yang liar. Dengan bahasa,
ucapnya pada suatu kesempatan, ketika ditanyai seorang kawan, manusia dapat
menjinakkan alam yang liar, menjinakkan pikirannya yang brutal!
V
Akan tetapi, meski manusia begitu merasa unggul dengan
bahasa, dia pun memahami, bahwa bahasa juga punya banyak kekurangan—tak genap
bisa dipakai memahami dunia dan realita. Ada hal-hal yang membuat bahasa
terbatas; dan ada apa-apa yang membuat manusia terbatas. Senantiasa ada yang
luput dan lepas, ucapnya pada suatu kesempatan kala memandang bintang dari
halaman belakang. Namun, dia meyakini, manusia dan bahasa tak pernah berhenti
di sana, dan memang tak pernah demikian adanya; manusia dan bahasa menyadari
bahwa mereka mesti melampaui diri mereka dengan tetap berpijak kepada buminya:
dan mereka mendapati metafora dan metonimia, mereka mendapati sastra-susastra!
Dia
pun segera menuju ruang kerjanya yang dipenuhi rak buku, ruang kerja yang
adalah warisan si mbahnya yang begitu rajin merawatnya serupa ibu kedua. Dia
pun menulis sebuah esai yang hendak dikirimkannya ke sebuah media. Amatlah
sadar bahwa kemampuan bahasanya belumlah punya genap daya, dan mungkin tak
memahamkan sekalian pembaca nantinya. Akan tetapi, sebab keyakinannya kepada
bahasa, dia pun mencoba—dan memikirkan kembali bahasa dan realita, manusia dan
segala kodrat juga tanggung jawabnya dengan dan kepada bahasa. Dia pun begitu
ingin berkata kepada seorang gadis manis yang entah di mana:
Aku mencintaimu dengan segala yang
kupunya. []
(2020—2023)