Istri dan Metamorfosisnya
: Puisi “Bon Belanja Istriku”-Rori Aroka Rusji
Johan Arda
Tidak ada
tempat pergi dan pulang, selain rumah. Tempat menanak semua kebahagiaan. Tempat
mengiris kesedihan agar usai sesampainya di rumah. Dan, kebahagiaan serta
kesedihan tersebut tidak lepas dari kerja sama antara ayah dan ibu/suami dan istri,
sebagai tiang dan atap sebuah rumah. Suami memang memikul tugas untuk bagaimana
agar rumah tangga yang dipimpinnya tetap sejahtera. Dia memikirkan apa pun cara
tungku tetap menyala, pisau tetap berminyak, lauk di meja makan tetap terhidang.
Namun, bagaimana jika tiada akal lagi dengan apa meja makan akan diisi?
Begitulah yang disiratkan Rori Aroka
Rusji dalam puisinya “Bon Belanja Istriku” (sastramedia.com, 2023). Dari
pembuka puisinya saja sudah terlihat kerut kening suami (atau Rori sendiri)
saat terhenyak melihat istrinya. Belum selesai ia mengucek matanya, istrinya sudah bermesraan dengan pisau di dapur. Bakda
subuh, aku tercengang, melihat istri sedang berduaan di dapur. Pisau yang
sengaja aku beli untuknya agar dia menjadi orang yang paling kejam di dapur.
Menghabisi nyawa setiap binatang yang akan dia hidangkan.
Rori menggambarkan loyalitas seorang istri (atau
istrinya sendiri) yang menjadi pokok penting dalam puisinya dengan gamblang.
Memang, sosok istri yang dipakai adalah istri sigap nun idaman zaman sekarang. Istri
yang bisa memasak apa saja yang tampak di matanya, istri yang tahu kapan suami
dan anak-anaknya harus makan, istri yang bahkan “merendang senyum dan menghidangkannya di meja makan”.
Berbicara soal cara Rori
menghidangkan puisinya, penceritaan naratif cenderung dipilihnya serta
pembahasaan/metafora yang tidak berbelit-belit. Dari awal hingga akhir kita
tidak menemukan kata yang sukar dimaknai, akan tetapi
kesederhanaan bahasa itulah yang menjadi daya pikat Rori melalui
puisi-puisinya. Seperti yang banyak juga termaktub di kumpulan puisinya
“Nyanyian Pupang” (Penerbit Purata, 2021).
Tipografi atau tata letak yang
dimainkan sekilas seolah-olah Rori membuat puisinya menjadi cerita. Cerita yang
singkat. Dia mengawali dengan “latar belakang” bagaimana istrinya siaga
subuh-subuh di dapur. Di pertengahan, dia menyelipkan dialog-dialog untuk
menggamblangkan pembicaraan antar tokoh (suami dan istri) pada puisi. Lalu,
dengan “manis” puisi ditutup kembali dengan sebuah paragraf, yang (menurut
saya) sebuah amanat penting di puisinya.
Namun, saya menangkap puisi kali ini
lebih diantarkan kepada sebuah pasangan/keluarga yang bahagia dengan kesederhanaannya,
tapi miris dengan lauk apa yang harus dimakan sehari-hari.
Suatu ketika dia memasak bon belanja dari
pasar pagi, tentu saja aku balas dengan senyuman lagi, karena senyuman sedang
berusaha memenuhi setiap bon belanja rumah kami.
“Makin lama, hasil peluhmu semakin tidak
berharga saja di pasar.” Tentu saja aku akan memegang tangannya dan menjawab
kalau cinta kita tidak boleh digadai ke pasar pagi.
Suami yang terus mengobati hati
istri dengan senyumannya. Rori di pertengahan puisi ini berpesan bahwa
kehidupan rumah tangga tak sebahagia di akal dominan anak muda sekarang; nikah
muda, pesta mewah, berumah minimalis (tapi modern), punya anak lucu, dan
bahagia selamanya.
Tidak! Rori dengan tersirat berkata demikian. Lihatlah
si istri yang sejak awal pernikahan hanya bisa merendang dan mengiris senyum. Ungkapan demikian adalah ketiadaan,
kemirisan, kehampaan rumah tangga yang berpotensi terjadi.
Di balik semua tantangan itu semua,
berbahagialah pria yang memiliki istri dapat bermetamorfosis menjadi apa saja
di rumah. Rori menyampaikan kebahagiaan (nya barangkali)
memiliki seorang istri yang serba bisa. Kepiawaian istri meramu apa saja
cukuplah untuk menjadi pengobat hati di rumah. Tidak cuma itu, bahkan ketika
bon belanjaan pun kosong, alias tidak ada uang untuk membeli/mengisi bon
belanja, seorang istri yang piawai bisa menjadikan senyumnya untuk mengisi bon
belanja. Karena senyuman sedang berusaha
memenuhi setiap bon belanja rumah kami.
Alhasil,
pada bait akhir, Rori menjelaskan apa saja tugas/pikiran yang menjadi tanggung
jawab antara sang suami dan sang istri.
Aku baca bon belanjanya dengan ingatan: pada
hari pertama kami menikah, aku hanya memintanya untuk membantai semua
binatang yang ada di kulkas. Dan jangan ikut campur memikirkan bagaimana cara
agar kulkas itu tetap berisi.
Sependek pengalaman yang saya lihat,
sulit untuk legowo memasak apa saja
yang ada. Sebab, jika hanya minyak dan bawang yang ada, apakah masih mampu
kerongkongan menelannya? Namun, itulah daya magis cinta dalam penutup puisi
Rori. Dia hanya berpesan kepada pasangan suami istri di mana pun, bahwa cukup
istri menanak dan memasak apa saja yang telah ada di dapur. Tidak payah
mencari-cari muasalnya. Sebab, biarkan suami yang bertungkus-lumus memikirkan
cara agar kulkas itu tetap berisi,
agar rumah tangga senantiasa kenyang.
Karena kita punya tugas dan tanggung jawab yang
berbeda untuk membangun kebahagiaan.
***
Padang, 24 Maret 2023