Sepak Bola dalam Sejumlah Cerpen Indonesia
Erwin Setia
Sebuah karya sastra tidak pernah
muncul dari ruang hampa. Ia bisa datang dari imajinasi nan liar, perjalanan
panjang sejarah suatu negeri, atau pengalaman pribadi seorang pengarang. Karya
sastra mempengaruhi dan dipengaruhi oleh apa-apa yang ada di sekitarnya. Pada
masa revolusi kemerdekaan Indonesia, umpamanya, banyak bermunculan karya-karya
sastra bertopik revolusi. Demikian pula karya-karya sastra pada zaman itu
memberi pengaruh yang bersifat revolusioner—sedikit maupun banyak—terhadap orang-orang
yang membacanya. Dengan kata lain sastra menangkap gambaran sosial di mana ia
berasal. Di Indonesia masa kini banyak hal berubah. Topik yang populer bergulir
seiring waktu. Di antara banyak hal yang populer dan diakrabi rakyat Indonesia
masa kini adalah olahraga, wabilkhusus sepak bola. Tayangan sepak bola
dan berbagai pernak-pernik terkait olahraga tersebut digemari banyak orang.
Namun, di balik popularitas sepak bola di negeri ini, bagaimanakah peran pengarang
karya sastra terhadapnya?
Secara
umum, tema olahraga tidak banyak muncul dalam karya-karya sastra Indonesia.
Sebagai topik utama maupun sub-topik, olahraga sedikit sekali mendapat tempat. Memang ada beberapa
novel yang menjadikan olahraga sebagai tulang punggung cerita (sebut saja Badminton
Freak karya Stephanie Zen [badminton], Lovasket karya Luna
Torashyngu [bola basket], dan Jalan Lain ke Tulehu karya Zen RS [sepak
bola]), tapi jumlahnya masih jauh dari cukup mengingat betapa populernya
sejumlah olahraga di Indonesia. Dalam hal karya sastra yang membahas sepak
bola, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Ini memunculkan banyak pertanyaan.
Apakah sepak bola tak cukup seksi untuk dijadikan bahan karya sastra? Ataukah
para pengarang Indonesia tak cukup cakap menjadikan sepak bola sebagai dasar
pembuatan karya sastra?
Tentu
perlu penelitian lebih lanjut soal sedikitnya porsi sepak bola dalam
karya-karya sastra Indonesia. Di sini saya hanya ingin mengulas sedikit perihal
beberapa cerita pendek (jenis karya sastra yang paling mudah dicerna bagi para
pembaca—sebab tidak sepanjang novel dan serumit puisi) yang mengangkat tema
sepak bola. Cerpen-cerpen yang saya maksud adalah “Matinya Seorang Pemain
Sepak Bola” (1981) karya Seno Gumira Ajidarma, “Kenangan pada Sebuah
Pertandingan” (2015) karya Sunlie Thomas Alexander, dan “Cerita-Cerita
Ganjil di Lapangan Sepak Bola” (2022) karya Aliurridha. Memang masih ada
cerpen-cerpen lain yang mengangkat tema sepak bola, tapi saya membatasi
pembahasan atas tiga cerpen di atas karena cerpen-cerpen itu cukup memberikan
gambaran kepada kita bagaimana potret sepak bola dalam karya-karya
sastra—khususnya cerpen—Indonesia.
Sepak Bola yang Tragis, Sepak Bola
yang Nostalgis
Dalam
ranah penulisan cerpen, Seno Gumira Ajidarma tidak hanya piawai menciptakan
cerita-cerita soal senja atau cerita-cerita kritik sosial yang merupakan
pengejawantahan dari kredo “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”. Ia
juga pandai mereka cerita bertema olahraga yang jarang diperhatikan penulis
lain. Dalam cerpen “Matinya Seorang Pemain Sepak Bola”, Seno menyinggung
banyak hal. Cerita tentang seorang pesepak bola bernama Sobrat yang tiba-tiba
meninggal sesaat setelah mencetak gol bukan hanya berisi biografi ringkas pesepak
bola yang mulanya dianggap tak berbakat itu. Cerpen itu juga menyuarakan soal
idealisme seorang atlet, kegigihan orang biasa untuk mencapai cita-citanya
sebagai pesepak bola di kala orang-orang meremehkannya.
Yang
menarik Seno secara blak-blakan menyindir masalah pengaturan skor yang marak di
persepakbolaan Indonesia sejak lama. Di salah satu bagian cerita Sobrat
didatangi oleh seseorang yang berusaha menyuapnya untuk sengaja mengalah. Namun
Sobrat menolak suap itu dengan halus. “Saya menjadi tidak berharga ketika
menentukan harga,” katanya. Dan Sobrat adalah orang yang sama yang pernah
mengatakan kepada ibunya tentang alasan ia ingin jadi pesepak bola, “Bermain
bola kita tidak boleh berpikir soal uang, harus ada dedikasi, harus idealis,
biar tidak dibayar kita sumbangkan tenaga untuk bangsa Indonesia. Bermain bola
karena uang, itu namanya pelacuran sport, hanya akan mengundang penyuap.
Pokoknya hidupku akan kuabadikan untuk sepak bola Indonesia.”
Sayangnya,
idealisme dan kecintaan Sobrat terhadap sepak bola tak dapat membuat dirinya
berumur panjang, apalagi abadi. Ia mati di usia 30 tahun, saat dirinya sedang
berada di masa jaya dengan menjadi penyerang produktif. Ketika dirinya
meninggal di tengah lapangan di hadapan ribuan penonton pun kematiannya tidak
menjadi sesuatu yang spesial. Seperti kata Seno di akhir cerpen, “Begitu saja
jantung itu berhenti berdetak. Begitu biasa. Seperti sebuah berita kematian,
yang menyedihkan bagi seseorang, tapi tak berarti sama sekali bagi yang lain.”
Karier sepak bola Sobrat adalah cerita yang tragis. Kehidupan dan kematiannya
tak banyak dipedulikan orang sebagaimana umumnya kehidupan dan kematian atlet
di negeri ini.
Sementara
itu, Sunlie Thomas Alexander menyajikan potret lain seputar persepakbolaan
Indonesia dalam cerpen “Kenangan pada Sebuah Pertandingan”. Cerpen ini
menggunakan sudut pandang tokoh seorang mantan pemain bola tarkam (antar-kampung) yang terpaksa harus datang
lagi ke lapangan sepak bola lantaran anaknya yang bernama Riko merengek minta
diajak menonton pertandingan sepak bola. Ia sebetulnya tidak mau lagi
berdekat-dekat dengan sepak bola setelah kejadian yang dialaminya
bertahun-tahun lampau. Waktu itu, dalam sebuah pertandingan di lapangan yang
jelek, ia membela kesebelasan kampungnya dalam duel sengit melawan kampung
tetangga. Nahas baginya, di akhir pertandingan ia terpeleset sehingga bola yang
seharusnya ia jauhkan dari gawang malah masuk ke gawang timnya sendiri. Tim
kampungnya pun kalah dan ia menjadi bulan-bulanan massa.
Sunlie
menggambarkan suasana selepas gol bunuh diri itu sebagai berikut: “Keributan
pecah di luar lapangan. Sorak-sorai suporter lawan seketika teredam oleh
teriakan-teriakan marah. Sebagian penonton bubar berhamburan. Polisi dan
petugas keamanan sama sekali tak berdaya ketika dengan beringas para pemuda
kampungnya merangsek ke arah suporter lawan. Sebagian menyerbu masuk ke dalam
lapangan. Belum juga sempat ia beranjak bangkit, ia merasa bagian belakang
kepalanya dihantam benda keras.”
Sejak
peristiwa itulah sang tokoh utama dalam cerpen tersebut berhenti bermain bola. Sepak
bola yang ia cintai menjadi sepak bola yang menyisakan trauma. Efek trauma itu
pun terbawa terus sampai tahun-tahun selanjutnya, sampai ia memiliki seorang
anak yang ternyata menyukai sepak bola dan mengajaknya untuk menonton pertandingan
sepak bola. Pada akhirnya yang traumatis dan yang nostalgis pun bersatu.
Trauma dan nostalgia ia rasakan lantaran sepak bola. Dan mungkin banyak orang
yang juga merasakan hal sama terhadap sepak bola.
Sepak Bola yang Humoris, Sepak Bola
yang Mistis
Berbeda
dengan dua cerpen di atas, cerpen “Cerita-Cerita Ganjil di Lapangan Sepak
Bola” karangan Aliurridha ditulis dengan membawa semangat lain. Tidak ada
sesuatu yang tragis atau melankolis dalam cerpen ini. Yang ada adalah humor
melimpah dan olok-olok di sana-sini. Cerpen “Cerita-Cerita Ganjil di
Lapangan Sepak Bola” diawali dengan cerita tokoh aku yang mendapat undangan
bermain bola dari teman lamanya bernama Rahmat. Cerita-cerita ganjil dan penuh
komedi pun dimulai dari situ. Ada cerita tentang orang-orang yang percaya pada
peran ‘orang pinter’ terhadap jalannya sebuah pertandingan, cerita tentang
pemain bola alim yang terpaksa percaya klenik demi kemenangan timnya, dan cerita
tentang perjudian yang lekat dengan sepak bola—bahkan sepak bola kelas kampung!
Aliurridha
menjelentrehkan dengan apik realita sosial dalam persepakbolaan
Indonesia melalui cerpen itu. Dalam cerpen tersebut pertandingan sepak bola
yang dimaksud memang sepak bola kelas kampung, tapi sesungguhnya berbagai perkara
yang disinggung dalam cerpen itu lazim terjadi pula di ranah sepak bola
profesional. Misalnya soal perjudian dalam sepak bola. Meskipun perkembangan
sepak bola semakin maju seiring dengan kian mutakhirnya teknologi, perjudian
tak pernah benar-benar hilang, malah kian subur dan variatif bentuknya. Di sisi
lain hal-hal mistis pun belum sepenuhnya enyah dari persepakbolaan kita.
Nahasnya, perjudian dan klenik bisa tetap hidup di Indonesia, kendati persepakbolaan
di Indonesia sedang mati.
***
Tiga
cerpen karangan Seno Gumira Ajidarma, Sunlie Thomas Alexander, dan Aliurridha
di atas hanyalah secuplik potret sepak bola dalam cerpen-cerpen Indonesia.
Sepak bola dalam cerpen-cerpen tersebut bisa maujud dalam bentuk yang tragis, nostalgis,
maupun humoris. Bisa mengundang tangisan maupun tawa. Tentu masih banyak sisi-sisi
lain dari sepak bola yang dapat dialihkan ke dalam bentuk karya sastra. Ada
banyak hal yang belum dikulik, ada banyak detail yang perlu diberi ruang. (*)