Tuan Rumah yang Kelima
Iin Farliani
“Kami harus cepat pindah. Malam ini kami ingin tidur di sini,” ucap si
pemuda. Ia memasang sikap duduk tegang. Tetesan air tak henti menetes dari
pakaiannya membentuk genangan di ubin.
Tuan Rumah melihat ke
arah genangan air di kaki sofa. Sesaat dia berpikir rumahnya akan kebanjiran
akibat genangan yang tetesannya terus mengucur dari pakaian si pemuda. Dari
belakang, seorang gadis membawakan handuk. Istri si pemuda mengucapkan terima kasih.
Setelah membalut handuk di tubuhnya, ia lalu menggilir handuk itu ke suaminya. Dengan
gigi gemelutuk menahan dingin, pemuda itu segera menyelimuti kedua bahunya.
“Bukankah berdasarkan perjanjian,
baru satu bulan lagi kalian akan pindah ke rumah ini? Mengapa begitu
tiba-tiba?” Tanya si Tuan Rumah.
Si perempuan dan
suaminya saling memandang. Haruskah mereka menceritakan semuanya? Menceritakan
serinci mungkin alasan kepindahan mereka yang begitu mendadak kepada Tuan Rumah
yang Kelima__ya mereka menyebutnya seperti itu__perihal perilaku
Tuan Rumah Keempat yang hampir membunuh mereka.
Usai menyesap teh
hangat yang disodorkan oleh gadis rumah yang ramah, perempuan itu pun mulai
menyusun cerita lengkapnya. Maka ia mulai bercerita. Tidak hanya riwayat Tuan Rumah
Keempat, tapi dimulai secara berurut dari Tuan Rumah Pertama.
“Tiap kali mengingat
Tuan Rumah Pertama, kakus di rumah sewanyalah yang paling teringat. Ia adalah
seorang duda beranak tujuh. Ia selalu menekankan pada kami bahwa dirinya
memiliki tujuh putri dan itu membuatnya sering mengalami kesusahan untuk
membesarkan mereka. Rumah itu memiliki tiga kamar. Dua kamar untuk tujuh anak
itu. Kamar yang sempit. Sulit membayangkan dua kamar dibagi untuk tujuh putri.
Kami menerima tawarannya. Ia adalah Tuan Rumah yang tidak jujur. Setiap kali
musim hujan, kami begitu menderita. Isi kakus akan meluap, membanjiri ubin
kamar mandi. Bau kotoran sampai ke dapur kami. Kalau sudah begitu tidak akan
ada nafsu makan. Tidak hanya itu, kami tidak bisa tidur tenang kalau malam
turun hujan lebat. Kami sibuk membersihkan kakus, takut kalau kotoran yang
keluar dari sana akan membanjiri juga kamar tidur kami. Inilah sebabnya. Ia
tidak menceritakan kalau sebenarnya parit di depan rumah yang penuh sampah
warga adalah juga tempat saluran pembuangan kakus dari rumah sewa itu. Maka
ketika parit meluap karena banjir, kakus di rumah itu juga akan meluap.
Menjijikkan! Selama beberapa bulan ia menghilang sehingga kami tidak bisa
segera pindah dari sana. Wujud isi kakus yang membanjiri ubin benar-benar
tercetak di ingatan kami dan hanya menimbulkan kebencian tiap kali
mengingatnya.”
Wajah perempuan itu
berubah pucat. Tuan Rumah Kelima memandang khidmat sambil dengan sopan
menawarinya untuk meminum lagi teh hangat yang masih mengepul. Barangkali
kehangatan teh itu akan mengusir jauh-jauh ingatan buruk tentang kakus
menjijikkan itu. Perempuan itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Sesudah
menyesap sekali lagi tehnya, ia kembali bercerita.
“Tuan Rumah Kedua
adalah seorang laki-laki yang sepantaran denganku. Ia sudah menikah dan
memiliki anak. Rumah yang disewakan pada kami berhadapan dengan toko kelontong
miliknya. Hanya dipisahkan jalan yang tak begitu lebar. Beberapa pengendara motor
kadang-kadang lewat di sana. Ia mempekerjakan para remaja lelaki untuk
membantunya mengangkut tabung gas, galon, kardus-kardus makanan, juga
barang-barang pecah belah yang dijual di toko itu. Para remaja itu lebih sering
melepas lelah di teras kecil rumah sewa kami. Teras yang betul-betul kecil.
Hanya terdiri dari dudukan semen tak seberapa lebar yang sebenarnya lebih berfungsi
sebagai pembatas jalan. Tentu mereka dengan mudah menyeberang dari toko
kelontong menuju teras kami yang jaraknya hanya selemparan batu lantas melepas
lelah di situ. Mulanya kami tidak keberatan. Tak ada masalah sama sekali bila
mereka hanya duduk santai di sana. Tetapi mereka sering membuat keributan
sehingga aku dan suamiku tidak bisa beristirahat dengan tenang. Keributan yang
disertai umpatan kotor. Kata-kata paling kotor yang pernah kami dengar
dilontarkan hingga tengah malam. Juga bau asap rokok yang menyesakkan. Kami
sudah sering memperingatkan mereka untuk tidak membuat keributan. Tetapi mereka
tidak mempedulikan. Selama berhari-hari mereka terus saja mengulang keributan
yang sama hingga suatu hari aku berani menghardik, mengancam akan melaporkan
mereka ke polisi. Aku bahkan mengumpat salah satu yang paling dituakan di
kelompok itu dengan sebutan ‘anak bebal dan sial.’ Esoknya kami melihat sampah
bertebaran di teras kecil. Aku kira karena ditiup angin. Tetapi hari-hari
berikutnya sampah semakin bertambah. Membentuk gundukan di teras. Tentu saja
itu ulah seseorang. Sebab dari hari ke hari gundukan sampah itu semakin tinggi
hampir menyamai dada orang dewasa. Sampah itu terdiri dari sisa-sisa barang
kelontong. Suatu hari ketika sedang membersihkan teras, aku melihat ke arah
kelompok remaja yang sedang tertawa-tawa sambil melihat ke arahku dari toko
kelontong. Dan inilah yang mengerikan! Tuan Rumah Kedua terlihat menyembul di
antara kepala para remaja itu. Ia juga tertawa bersama mereka. Tawa bahagia dan
mengejek. Selama ini ia bersikap pura-pura tidak tahu menahu dengan apa yang
terjadi. Belakangan kuketahui sikapnya yang membiarkan ulah para remaja itu
karena ia mempekerjakan mereka dengan hanya memberi upah jajanan dan rokok. Ia
tentu tidak ingin kehilangan tenaga murah demi keberlangsungan toko
kelontongnya. Ia itu kapitalis kecil!”
Perempuan muda itu
mengatur napasnya sejenak. Matanya terlihat berair. Tuan Rumah Kelima mengira
barangkali perempuan itu menjadi sedih sebab tiba-tiba mengingat lagi kejadian
yang tidak mengenakkan itu. Tetapi dengan segera perempuan itu menjadi tenang
kembali dan mulai melanjutkan ceritanya.
“Tuan Rumah Ketiga
adalah seorang kakek yang memiliki rumah besar dan halaman yang luas. Selama
menyewa rumah besarnya, ia tinggal seorang diri di rumah kecil yang letaknya terpisah
rimbun kebun pisang dari rumah sewa itu. Tingkahnya benar-benar aneh. Ia masih
sering memperlakukan rumah yang kala itu disewakan pada kami dengan sikap
seolah-olah ia masih tinggal di rumah itu. Setiap hari ia datang pagi-pagi
sekali untuk menyapu halaman di sana, menyiram tanaman, membongkar bekas
kandang bebek lalu siangnya mendatangkan tukang untuk memperbaiki kandang itu.
Suara gergaji dan palu bertalu-talu di halaman. Membuat waktu istirahat kami
menjadi tidak nyaman. Kami merasa tidak enak menegurnya karena ia orang tua. Dan
yang lebih mencengangkan, tamu-tamu si kakek tetap datang ke rumah sewa untuk
mencarinya alih-alih ke rumah kecil yang kini ditempatinya. Setiap ada tamu
yang datang, aku perlu menjelaskan berulang-ulang bahwa si kakek sudah tidak
tinggal di rumah besar itu sebab telah disewakan kepada kami. Tetapi di
hari-hari selanjutnya tamu-tamu terus berdatangan. Ada yang memanggil dengan
teriakan, menggedor pintu, mengetuk kaca jendela. Ada yang terus memanggil nama
si kakek sambil mengelilingi rumah. Ada juga yang tetap bertahan menunggu dekat
kandang bebek hingga pintu dibukakan. Karena bosan memberi penjelasan yang
sama, setiap ada tamu yang datang kami berlaku hening di dalam rumah seakan
rumah sedang kosong agar mereka lekas pergi. Tetapi esoknya, meski kami pernah
memberitahu pada mereka bahwa si kakek telah pindah ke rumah kecil di seberang,
tamu-tamu terus berdatangan. Hari-hari kami tidak pernah tenang. Akhirnya kami
memutuskan pindah.”
Si perempuan
menunjukkan wajah kelegaan. “Dan inilah cerita terakhir. Tuan Rumah Keempat.
Dari cerita ini barangkali Anda akan mengerti mengapa kami berdua basah kuyup di
hari hujan datang kemari sore ini,” ujarnya. Ia melirik ke arah suaminya yang
mendadak memberi isyarat untuk menggantikannya bercerita sebab ia mengira tentu
istrinya telah lelah sedari tadi. Tetapi si perempuan memberi isyarat penolakan.
Tuan Rumah Kelima masih memandang dengan khidmat. Cerita kemudian dilanjutkan.
“Tuan Rumah Keempat,
tidak jelas apakah ia seorang bujangan tua ataukah telah berumah tangga. Tetapi
desas-desus mengatakan, ia telah menduda lama sekali sejak ditinggal istrinya
pergi ke kota besar serta membawa pula anak-anak mereka. Rumah sewa milik Tuan
Rumah Keempat penuh dengan pohon pepaya dan kelor. Ada juga beberapa jenis
sayuran. Ia Tuan Rumah yang baik. Setidaknya itulah kesan awal yang sampai
padaku. Ia tahu di hari kepindahan itu suamiku sedang tugas di luar kota. Ia
menawarkan bantuan apa saja yang menurutnya barangkali tidak bisa kuatasi
sendiri seperti memperbaiki kop lampu dapur dan memasang lampu kamar mandi atau
menguatkan topangan tiang-tiang jemuran. Aku membiarkannya mengangkut rak-rak
bukuku. Ia semakin sering datang membantu dan menginap di rumah sebelah miliknya.
Sejak ia menginap di rumah sebelah, aku mulai tahu kebiasaannya. Ia suka
memutar musik disko dan berjoget sendiri. Ia bahkan dengan sengaja
mempertontonkannya dengan membuka pintu rumah lebar-lebar. Orang-orang yang
kebetulan lewat tertawa melihat tingkahnya. Setiap hari ia menyetel musik disko
dan berjoget riang. Waktu itu baru tiga bulan kami menempati rumah sewanya.
Suamiku sudah pulang dari luar kota. Suatu hari Tuan Rumah Keempat mendatangi
kami dalam keadaan linglung. Tercium bau tubuh yang menyengat. Ia datang
meminta uang sewa rumah. Aku terkejut. Aku mengingatkannya kalau aku telah
membayar lunas seluruh biaya sewa hingga satu tahun ke depan di hari pertama
kepindahanku. Tetapi ia bersikeras mengatakan belum pernah menerima sepeser pun
uang dariku. Karena ia terus ngotot, aku menudingnya bahwa ialah yang
berpura-pura. Ia mengancam kami, mengeluarkan serangkaian kata-kata kotor yang
membuat tubuhku menggigil ketakutan. Betapa berbanding terbalik sikap yang
telah ia tunjukkan dari kesan pertama!”
Perempuan itu menarik
napas sebentar. “Esoknya musik disko masih terdengar dan kali ini lebih keras.
Benar-benar menyakiti telinga kami. Suamiku ingin memberi teguran. Tetapi betapa
terkejutnya kami ketika keluar, seluruh pohon pepaya dan kelor telah terhempas
ke tanah. Tak ada satu pun yang tak ditebang. Dari kerimbunan batang yang rebah,
Tuan Rumah Keempat muncul sambil mengacung-acungkan parang. Ia hanya mengenakan
celana kolor. Dadanya yang telanjang berkilat oleh keringat. Ia mengeluarkan
seruan yang mengancam dan parang itu diayunkan terus menghadap langit. Meski
petugas keamanan telah memperingatkannya, tetap saja menjelang malam aku tidak
bisa tidur tenang. Ketakutan ini telah berlangsung berhari-hari. Selalu saja
terbayang seandainya tengah malam ia mendatangi kami dengan parangnya. Untuk
itulah kami ingin mempercepat kepergian dari rumah itu. Biar saja barang-barang
kami akan dipindahkan besok.”
Cerita berakhir. Malam
itu pasangan suami istri berkumpul di beranda bersama tuan rumah mereka yang
baru. Si perempuan teringat akan sesuatu yang sejak tadi ingin ia utarakan
dengan ketulusan murni. “Dan Andalah Tuan Rumah yang Kelima. Tuan Rumah baik
hati yang telah sudi menolong kami. Terima kasih atas pengertiannya.” Tuan
Rumah Kelima ialah seorang laki-laki tua bermata kuyu. Dia tak tahu harus
menjawab apa. Tetapi dia merasa senang dengan kehadiran pasangan muda itu.
Suami si perempuan
kemudian menambahkan, “Doakan suatu saat kami bisa memiliki rumah sendiri
hingga tidak perlu lagi berpindah-pindah seperti ini dan mengalami serangkaian
pengalaman tidak mengenakkan dengan tuan rumah yang aneh-aneh.” Pemuda itu
menyunggingkan senyum.
Satu hal yang ingin
Tuan Rumah Kelima katakan kepada pasangan itu bahwa dia merasa cukup senang
karena kesunyian yang telah lama dideritanya terpecahkan oleh kehadiran mereka.
Dia juga ingin memberitahu tentang gadis yang membawa handuk dan nampan teh tadi
bukanlah pembantu rumah seperti yang disangka oleh mereka, melainkan ialah
anaknya sendiri. Anak itu bisu sejak masih bayi. Kesunyian itu dipertebal pula
oleh kematian istri tercintanya. Tetapi dia menyimpan saja ceritanya hingga
esok hari sebab pasangan itu telah siap berkemas akan tidur. Tuan Rumah Kelima
pun bergegas kembali bersama putrinya menuju rumah lama mereka.