Filosofi Tertawa
Tjahjono Widarmanto
Manusia tak
bisa lepas dari tragedi, bahkan kehidupan manusia adalah tragedi itu sendiri. Nietzsche
dalam Zarathustra, mengabarkan bahwa manusia begitu dalam didera tragedi dan
kesedihan, ”Kulihat sedang datang
kesedihan luar biasa tentang manusia. Bahkan mereka yang terbaik pun lelah
dengan segala jerih payahnya. Semua ajaran datang, diiringi kepercayaan,
semuanya sama saja...”. Begitu dalam penderitaan manusia, sehingga
memerlukan jalan untuk tertawa sebagai penyembuh atau setidaknya penyeimbang
dari tragedi dan kesedihan yang dialami. Dengan tandas dikatakan oleh Nietzsche,
“...Manusia satu-satunya yang menderita
begitu dalam, hingga harus menemukan tawa!”
Dalam pemikiran Nuetzche, tertawa mengandung paradoks,
di satu sisi tertawa dapat menjadi tempat terjalinnya unsur kesia-siaan, tapi
di sisi lain tertawa bisa menjadikan manusia berbahagia, setidaknya
menjadikannya sejenak melupakan kesedihan atas tragedinya. Dituliskannya dalam
bentuk puisi:
...dalam tawa, segala
yang jahat berjalin
namun telah disucikan dan diampuninya
oleh kebahagiaannya sendiri
...
Maka jadilah: manusia menjadi satu-satunya mahluk yang
tertawa. Tertawa menjadi salah satu karakteristik (ciri khas) manusia yang tak
bisa dilakukan oleh mahluk lain. Tanpa tertawa, jagat kehidupan manusia akan
sendu, datar, bahkan muram. Muncullah pameo :tertawa itu sehat. Tertawa menjadi alat pelepasan segala derita,
ketegangan, rutinitas atau perasaan yang tertekan. Tertawa menjadi jalan
katarsis; pencerahan atau pemurnian rasa setelah terjadi proses sublimasi
sebagai dorongan libido melalui bentuk-bentuk yang diterima secara sosial
budaya. Pendek kata, tertawa bisa menjadi pembersihan, penyucian, pelepasan
dari segala ketegangan, kecemasan, ketidaknyamanan, kegalauan, dan kemarahan.
Objek yang menjadi bahan tawa bisa beraneka ragam.
Orang tertawa bisa menertawai diri sendiri, bisa menertawai orang lain,
menertawai keadaan, menertawai ketidakadilan, menertawai fenomena, pun
menertawai kesedihan itu sendiri. Tertawa memiliki objek yang konkret ataupun
abstrak, bahkan tertawa bisa sebagai bentuk kritik.
Untuk tertawa, manusia membutuhkan berbagai upaya
untuk membangkitkan rasa humor dalam dirinya. Humor dari kata you-moors yang berarti cairan yang
mengalir yang merupakan sifat dari sesuatu yang kompleks yang menimbulkan
rangsangan untuk tertawa. Sejak awal dalam proses pembentukan kebudayaannya
manusia memunculkan kesadaran humor pun masyarakat Nusantara. Di Jawa, Bali,
dan Sunda, dalam pagelaran wayang dikenal punakawan
yang bermakna pana atau paham,
dan kawan atau teman. Punakawan ini
muncul pada adegan gara-gara sebagai
selingan yang mengajak para penonton tertawa terbahak-bahak. Para punakawan ini
di Jawa terdiri dari tokoh Semar, Gareng, Petruk Bagong, Cangik, Limbuk, Togog
dan Mbilung. Dalam wayang golek Sunda tokoh-tokoh punakawannya adalah Semar,
Cepot, Dawala dan Gareng. Adapun di Bali dikenal punakawan Tualen, Merdah,
Dalem dan Saget.
Cerita-cerita humor yang menertawakan banyak hal pun
bertebaran dalam kebudayaan manusia. Mulai dari saat tradisi lisan di Persia
dan Timur Tengah ada tokoh Abu Nawas, Nasarudin Hoja, di Indonesia dikenal Kabayan,
Pak Belalang, Joko Dolog, Lebai Malang. Kemudian di zaman sesudahnya dan
menyebar dengan media film di Eropa dikenal Charlie Caphlin, Grovcho Marx,
Rowan Atkisson (Mr. Bean), Stephen Cow (Hongkong), Edy Murphy, Robbin Williams,
Mr, Bean, dan lain-lain.
Di Jawa, di tahun 1970-1990-an ada pemicu tertawa
yaitu dagelan atau lawakan. Di Yogyakarta dikenal tokoh dagelan Basiyo,
Junaedi, Srimulat (Solo, Surabaya), Ateng, Benjamin S (Jakarta), Jojon
(Jakarta), Markeso (Surabaya), Kartolo, Basman (Surabaya), kemudian di generasi
berikutnya, Mang Gampang, Topan, Lesus (Ngawi), Jogelo, Jorono (Tulungagung),
Kirun (Madiun), Warkop (Kasino , Dono, Indro; Jakarta), Cak Lontong, Precil, dan
lain-lain.
Tak hanya berupa pertunjukkan lisan, humor juga
berkembang dalam bentuk gambar yang disebut karikatur. Secara sederhana
karikatur bisa dimaknai sebagai gambar sebuah objek konkret dengan cara
melebih-lebihkan untuk memunculkan kelucuan sekaligus kritik. Karikatur pada
awalnya adalah perbuatan lelucon iseng Leonardo Da Vinci dan Carraci bersaudara
(Agustino, Anni Gale dan Lodovico), kemudian berkembang menjadi genre serius
dalam seni lukis melalui tokoh-tokohnya Pier Leone Ghezzi (melahirkan genre
karikatur abstrak), James Gillray, Thomas Rowlondson, George Cruikshank, dan
Charles Pippo.
Di Perancis, karikatur berkembang menjadi genre seni
patung dengan tokohnya Paul ga Vanni, J.J Grandville, Jean-Piere Dantan, Carlo
Pellegnino. Berkembang lagi menjadi genre karikatur teatris melalui tokohnya
Maurius de Zayas, Ralp Baiton, Ravid Lavenne, dan Edward Sorel.
Kemudian dikenal pula istilah satire. Di Paris, ada
seseorang dikenal dengan nama Voltaire (nama yang lebih tenar dibanding nama
aslinya Francois Maria Arouet), hidup 1694-1778. Semenjak belia, Voltaire dikenal sebagai anak muda yang
terlampau cerdas, brilian, sekaligus humoris tingkat tinggi. Merupakan salah
satu pemikir sekaligus penyair, filsuf, dramawan dan sejarawan dalam masa abad pencerahan
Perancis. Voltaire dikenal sebagai penulis dengan kritik tajam menyangkut
hak-hak manusia dan kebebasan sipil, kebebasan beragama, dan hak mendapatkan
pengadilan. Karya-karyanya yang memukau dunia adalah Lettres Philosophiques (1734), Henriade (1728), Epitre a Uranie (1720), The Age of Louis XIV (1732) dan The Essay on the Customs and the Spirit of
Nations (1756). Karena sikap dan tulisannya yang kritis, berkali-kali ia
diberangus dan dikirim ke penjara Bastille dan diasingkan di Tulle.
Voltaire mengemukakan kritiknya
melalui cara jenaka dalam bentuk satire, yaitu salah satu gaya bahasa sindiran
terhadap suatu keadaan atau seseorang. Dengan kecerdasannya Voltaire mahir
menggunakan diksi-diksi lucu untuk menggugat tirani, kehidupan borjuis para
bangsawan, fanatisme, dan kekejaman. Melalui satire, Voltaire mengemas kritik
menjadi sesuatu yang lucu dan mengundang tawa atau setidaknya senyum kecut.
Kendati demikian tetap saja kritiknya dianggap berbahaya.
Di era digital dan informasi saat
ini, satire yang dikenalkan oleh Voltaire ini menjelma menjadi meme-meme, baik yang berbentuk tulisan
maupun gambar, jenaka, dan dipopulerkan secara viral oleh media sosial. Istilah
meme digunakan pertama kali oleh Richard
Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene
pada tahun 1976. Ia merujuk meme
sebagai “unit tranmisi budaya atau unit tiruan dan replikasi”. Meme dibuat untuk merespons secara
kritis berbagai kondisi-kondisi aktual.
Meme mengimitasi, meniru atau memodifikasi hal-hal yang
dianggap menyimpang dari kewajaran logika melalui gambar atau tulisan lucu dan
tajam. Tokoh-tokoh publik yang kontroversial tindakannya, menjadi sasaran
replikasi ini. Meme menjadi
satire-satire bentuk baru yang lucu, sarat sindiran dan leluasa bertebaran di
berbagai media sosial. Meme menjadi
sebuah alternatif kritik yang juga menghibur ketika para pejabat publik politik
menjadi tunamoral, tunamalu, dan tunaamanah.
Semua humor di atas merupakan upaya untuk selalu
tertawa. Tertawa itu sehat. Tertawa itu garam kehidupan. Dengan tertawa manusia
bisa menghibur dirinya sendiri sekaligus melupakan deritanya, menertawakan
nasibnya sendiri, menertawakan kebodohan manusia. Melalui tertawa manusia
melupakan betapa brengseknya kehidupan!