Filosofi Tertawa - Tjahjono Widarmanto

@kontributor 6/18/2023

Filosofi Tertawa

Tjahjono Widarmanto

 


Manusia tak bisa lepas dari tragedi, bahkan kehidupan manusia adalah tragedi itu sendiri. Nietzsche dalam Zarathustra, mengabarkan bahwa manusia begitu dalam didera tragedi dan kesedihan, ”Kulihat sedang datang kesedihan luar biasa tentang manusia. Bahkan mereka yang terbaik pun lelah dengan segala jerih payahnya. Semua ajaran datang, diiringi kepercayaan, semuanya sama saja...”. Begitu dalam penderitaan manusia, sehingga memerlukan jalan untuk tertawa sebagai penyembuh atau setidaknya penyeimbang dari tragedi dan kesedihan yang dialami. Dengan tandas dikatakan oleh Nietzsche, “...Manusia satu-satunya yang menderita begitu dalam, hingga harus menemukan tawa!”

Dalam pemikiran Nuetzche, tertawa mengandung paradoks, di satu sisi tertawa dapat menjadi tempat terjalinnya unsur kesia-siaan, tapi di sisi lain tertawa bisa menjadikan manusia berbahagia, setidaknya menjadikannya sejenak melupakan kesedihan atas tragedinya. Dituliskannya dalam bentuk puisi:

...dalam tawa, segala yang jahat berjalin

namun telah disucikan dan diampuninya

oleh kebahagiaannya sendiri

...

Maka jadilah: manusia menjadi satu-satunya mahluk yang tertawa. Tertawa menjadi salah satu karakteristik (ciri khas) manusia yang tak bisa dilakukan oleh mahluk lain. Tanpa tertawa, jagat kehidupan manusia akan sendu, datar, bahkan muram. Muncullah pameo :tertawa itu sehat. Tertawa menjadi alat pelepasan segala derita, ketegangan, rutinitas atau perasaan yang tertekan. Tertawa menjadi jalan katarsis; pencerahan atau pemurnian rasa setelah terjadi proses sublimasi sebagai dorongan libido melalui bentuk-bentuk yang diterima secara sosial budaya. Pendek kata, tertawa bisa menjadi pembersihan, penyucian, pelepasan dari segala ketegangan, kecemasan, ketidaknyamanan, kegalauan, dan kemarahan.

Objek yang menjadi bahan tawa bisa beraneka ragam. Orang tertawa bisa menertawai diri sendiri, bisa menertawai orang lain, menertawai keadaan, menertawai ketidakadilan, menertawai fenomena, pun menertawai kesedihan itu sendiri. Tertawa memiliki objek yang konkret ataupun abstrak, bahkan tertawa bisa sebagai bentuk kritik.

Untuk tertawa, manusia membutuhkan berbagai upaya untuk membangkitkan rasa humor dalam dirinya. Humor dari kata you-moors yang berarti cairan yang mengalir yang merupakan sifat dari sesuatu yang kompleks yang menimbulkan rangsangan untuk tertawa. Sejak awal dalam proses pembentukan kebudayaannya manusia memunculkan kesadaran humor pun masyarakat Nusantara. Di Jawa, Bali, dan Sunda, dalam pagelaran wayang dikenal punakawan yang bermakna pana atau paham, dan kawan atau teman. Punakawan ini muncul pada adegan gara-gara sebagai selingan yang mengajak para penonton tertawa terbahak-bahak. Para punakawan ini di Jawa terdiri dari tokoh Semar, Gareng, Petruk Bagong, Cangik, Limbuk, Togog dan Mbilung. Dalam wayang golek Sunda tokoh-tokoh punakawannya adalah Semar, Cepot, Dawala dan Gareng. Adapun di Bali dikenal punakawan Tualen, Merdah, Dalem dan Saget.

Cerita-cerita humor yang menertawakan banyak hal pun bertebaran dalam kebudayaan manusia. Mulai dari saat tradisi lisan di Persia dan Timur Tengah ada tokoh Abu Nawas, Nasarudin Hoja, di Indonesia dikenal Kabayan, Pak Belalang, Joko Dolog, Lebai Malang. Kemudian di zaman sesudahnya dan menyebar dengan media film di Eropa dikenal Charlie Caphlin, Grovcho Marx, Rowan Atkisson (Mr. Bean), Stephen Cow (Hongkong), Edy Murphy, Robbin Williams, Mr, Bean, dan lain-lain.

Di Jawa, di tahun 1970-1990-an ada pemicu tertawa yaitu dagelan atau lawakan. Di Yogyakarta dikenal tokoh dagelan Basiyo, Junaedi, Srimulat (Solo, Surabaya), Ateng, Benjamin S (Jakarta), Jojon (Jakarta), Markeso (Surabaya), Kartolo, Basman (Surabaya), kemudian di generasi berikutnya, Mang Gampang, Topan, Lesus (Ngawi), Jogelo, Jorono (Tulungagung), Kirun (Madiun), Warkop (Kasino , Dono, Indro; Jakarta), Cak Lontong, Precil, dan lain-lain.

Tak hanya berupa pertunjukkan lisan, humor juga berkembang dalam bentuk gambar yang disebut karikatur. Secara sederhana karikatur bisa dimaknai sebagai gambar sebuah objek konkret dengan cara melebih-lebihkan untuk memunculkan kelucuan sekaligus kritik. Karikatur pada awalnya adalah perbuatan lelucon iseng Leonardo Da Vinci dan Carraci bersaudara (Agustino, Anni Gale dan Lodovico), kemudian berkembang menjadi genre serius dalam seni lukis melalui tokoh-tokohnya Pier Leone Ghezzi (melahirkan genre karikatur abstrak), James Gillray, Thomas Rowlondson, George Cruikshank, dan Charles Pippo.

Di Perancis, karikatur berkembang menjadi genre seni patung dengan tokohnya Paul ga Vanni, J.J Grandville, Jean-Piere Dantan, Carlo Pellegnino. Berkembang lagi menjadi genre karikatur teatris melalui tokohnya Maurius de Zayas, Ralp Baiton, Ravid Lavenne, dan Edward Sorel.

Kemudian dikenal pula istilah satire. Di Paris, ada seseorang dikenal dengan nama Voltaire (nama yang lebih tenar dibanding nama aslinya Francois Maria Arouet), hidup 1694-1778. Semenjak belia, Voltaire dikenal sebagai anak muda yang terlampau cerdas, brilian, sekaligus humoris tingkat tinggi. Merupakan salah satu pemikir sekaligus penyair, filsuf, dramawan dan sejarawan dalam masa abad pencerahan Perancis. Voltaire dikenal sebagai penulis dengan kritik tajam menyangkut hak-hak manusia dan kebebasan sipil, kebebasan beragama, dan hak mendapatkan pengadilan. Karya-karyanya yang memukau dunia adalah Lettres Philosophiques (1734), Henriade (1728), Epitre a Uranie (1720), The Age of Louis XIV (1732) dan The Essay on the Customs and the Spirit of Nations (1756). Karena sikap dan tulisannya yang kritis, berkali-kali ia diberangus dan dikirim ke penjara Bastille dan diasingkan di Tulle.

            Voltaire mengemukakan kritiknya melalui cara jenaka dalam bentuk satire, yaitu salah satu gaya bahasa sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Dengan kecerdasannya Voltaire mahir menggunakan diksi-diksi lucu untuk menggugat tirani, kehidupan borjuis para bangsawan, fanatisme, dan kekejaman. Melalui satire, Voltaire mengemas kritik menjadi sesuatu yang lucu dan mengundang tawa atau setidaknya senyum kecut. Kendati demikian tetap saja kritiknya dianggap berbahaya.

            Di era digital dan informasi saat ini, satire yang dikenalkan oleh Voltaire ini menjelma menjadi meme-meme, baik yang berbentuk tulisan maupun gambar, jenaka, dan dipopulerkan secara viral oleh media sosial. Istilah meme digunakan pertama kali oleh Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene pada tahun 1976. Ia merujuk meme sebagai “unit tranmisi budaya atau unit tiruan dan replikasi”. Meme dibuat untuk merespons secara kritis berbagai kondisi-kondisi aktual.

Meme mengimitasi, meniru atau memodifikasi hal-hal yang dianggap menyimpang dari kewajaran logika melalui gambar atau tulisan lucu dan tajam. Tokoh-tokoh publik yang kontroversial tindakannya, menjadi sasaran replikasi ini. Meme menjadi satire-satire bentuk baru yang lucu, sarat sindiran dan leluasa bertebaran di berbagai media sosial. Meme menjadi sebuah alternatif kritik yang juga menghibur ketika para pejabat publik politik menjadi tunamoral, tunamalu, dan tunaamanah.

Semua humor di atas merupakan upaya untuk selalu tertawa. Tertawa itu sehat. Tertawa itu garam kehidupan. Dengan tertawa manusia bisa menghibur dirinya sendiri sekaligus melupakan deritanya, menertawakan nasibnya sendiri, menertawakan kebodohan manusia. Melalui tertawa manusia melupakan betapa brengseknya kehidupan!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »