Jika Puisi adalah Waktu
Wawan Kurniawan
Belakangan saya banyak menulis tentang waktu, baik cerpen atau puisi. Saya bahkan membaca kembali buku Stephen Hawking, The Brief History of Time. Membaca buku itu, tidak lain untuk mencari perspektif berbeda tentang bagaimana konsep waktu dan beberapa hal yang mungkin bisa dikembangkan. Saya mencurigai diri saya sendiri, dorongan itu hadir lantaran saya tidak lagi mampu mengendalikan kuasa waktu yang ada di pikiran. Sulit sekali rasanya untuk menikmati suasana sekarang atau momentum yang tengah terjadi di sekitar kita. Dalam sebuah wawancara, Billy Collins menyebut bahwa puisi adalah waktu. Di wawancara itu, dia bercerita tentang carpe diem.
Betapa puisi mengajak kita untuk menyelami ruang yang tengah kita jalani. Carpe diem yang berasal dari bahasa Latin, artinya “Nikmatilah hari ini” merupakan sebuah filosofi penting. Kita diajak untuk tak perlu terlalu khawatir tentang masa lalu atau masa depan. Konsep ini menggarisbawahi pentingnya menghargai waktu dan kesempatan yang ada di hadapan kita. Rumitnya kehidupan sering membuat kita dilanda perasaan cemas, bahkan bisa berakibat depresi. Sebab itu juga, saya merasa dorongan saat menulis tentang waktu sepertinya adalah naluri untuk bertahan di tengah serangan waktu yang berkuasa di pikiran. Bukankah ini bisa jadi ruang tersendiri antara pembaca dengan puisi?
Jika belajar dari Billy Collins, kita bisa melihat jalan kepenyairannya yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Diksi yang sederhana dan mudah diterima pembaca, membuatnya jadi salah seorang penyair yang terkenal di Amerika Serikat, hingga beberapa negara lainnya. Salah satu rahasia Billy Collins adalah dengan menganggap puisi sebagai ruang untuk bercakap dengan diri sendiri.
Sayangnya, di tengah gempuran teknologi dan berbagai hiburan masa kini, puisi bukanlah pilihan prioritas untuk dinikmati. Orang-orang lebih memilih melakukan hal-hal yang memberikan efek langsung atau kesenangan yang tampak jelas. Puisi, tampaknya begitu samar dan sulit terukur bagi kebanyakan orang. Penjualan buku puisi juga tergolong rendah dibandingkan dengan jenis buku lainnya. Sebab itulah, menjadi penyair butuh kesadaran lebih untuk melihat situasi yang terjadi. Pergulatan manusia dan waktu tentu akan terus berlangsung, dan di tengah dari semua itu, puisi bisa mengisi kekosongan yang ada pada diri kita.
Seringkali puisi dianggap sebagai permainan bahasa atau kata yang rumit, lapis makna sulit untuk disentuh dan dipahami. Namun sebenarnya, puisi yang kadang tidak kita pahami atau rumit itulah yang menawarkan kemungkinan lain. Sesuatu yang kemungkinan dapat menghidupkan dan menggerakkan waktu dalam diri kita sendiri. Proses kita menikmati atau meresapi puisi menjadi apa yang dijelaskan Billy Collins bahwa puisi adalah waktu. Meski setiap orang punya pandangan yang berbeda terkait waktu, namun di puisi kita bisa bertualang dan merekonstruksi ulang perasaan dan pikiran kita.
Carpe diem barangkali sulit bagi kita hari ini. Ketakutan akan masa depan, bayang-bayang masa silam yang belum tuntas, perlahan menumpuk jadi beban psikologis yang menyiksa. Membaca puisi, setidaknya mampu menawarkan pembaca dunia yang berbeda. Puisi dengan segala diksi, metafora, rima, dan berbagai piranti yang ada di dalamnya, sejatinya adalah salah satu temuan terbaik yang dihasilkan manusia.
Saat saya menulis tentang waktu, saya secara tidak langsung tengah menyusun kembali suasana psikologis yang rapuh. Mendesain ulang pikiran hingga mampu terhubung dengan perasaan atau sebaliknya. Kerja-kerja yang ditawarkan puisi, sebenarnya mewah untuk kita yang hari ini telah hancur digerus perkembangan zaman yang cepat. Tanpa sadar, kita akan kehilangan sesuatu yang berharga, yaitu pemaknaan atas waktu. Mengapa kita tidak kembali menikmati hari atau waktu yang ada dalam hidup kita?
Gerak kerja yang mengutamakan produktivitas hingga seorang pekerja tidak punya pilihan selain lembur jelas akan tersiksa. Di sisi lain, mereka tidak mampu melepaskan diri dari jerat yang telah menimpa mereka. Rasanya, rumit membayangkan berbagai upaya agar kondisi itu lekas lenyap dan setiap orang bisa menikmati waktunya dengan bebas. Pada akhirnya, kita terperangkap dengan ritme atau kondisi yang menimpa kita. Nasib dari kita masing-masing berbeda dan memiliki tingkat kesulitannya masing-masing. Akan tetapi, manusia secara naluriah akan terus bergerak mencari hal-hal yang mampu menyelamatkan mereka. Puisi, jelas adalah pilihan dari sekian banyak pilihan lainnya.
Membayangkan jika suatu saat, masyarakat kita menjadikan buku puisi sebagai hal yang mereka syukuri, kita mungkin bisa berharap untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Hingga hari itu tiba, para penyair tetap akan menulis dan para pembaca akan tetap mencoba menikmati puisi-puisi yang ada. Meski saya kerap kali optimis bahwa pembaca akan tumbuh dan perlahan mencintai kata-kata, realitas masih lebih sering menghantam keyakinan saya. Harapan ini tidak akan terwujud jika masalah seperti akses buku yang belum merata, ongkos kirim buku yang mencekik di daerah luar Jawa, perpustakaan yang tidak memadai, serta berbagai masalah perbukuan lainnya yang tidak dibenahi.
Hidup yang singkat ini, sebaiknya kita
nikmati dengan penghayatan yang luar biasa. Membaca puisi bisa jadi perayaan
yang sederhana namun bisa dilakukan setiap orang. Jika puisi adalah waktu, kita
bisa bebas membaca dan menyelami berbagai makna kehidupan yang kita jalani. Di
sisi lain, seperti yang dikatakan Billy Collins, puisi membawa kita pada
percakapan intim dengan diri sendiri. Saat-saat itulah, kehidupan lebih
bermakna dan memiliki harapan baru untuk terus diperjuangkan. Berhasil atau
tidak, nasib mungkin punya istimewanya sendiri. Dan jika waktu adalah puisi,
apa yang akan ditulis Stephen Hawking dalam bukunya itu?*