Kalau
Bukan Tembakau, pada Siapa Kami Mengadu Nasib?
I/
Jerit tangis Juhaini seakan terdengar
ke seluruh sudut padukuhan. Belum lagi sederet gunjingan yang seolah sengaja menambah
serunai kemalangan. Randu menguat-nguatkan mata, memandangi seonggok tubuh tak
bernyawa di hadapannya. Bibirnya amat gemetar manakala jemarinya memungut
secarik kertas di saku kemeja ayahnya. Ia memberanikan diri membuka lipatan
kertas, kendati lengkingan tangis sang ibu, kian lama kian pilu.
Randu, Anakku.
Telah sampai waktuku di ujung tak terbatas di mana doa dan kenangan
yang hanya mampu menjamahku di sini. Aku warisi engkau sebuah kenyataan bila
hidup tiada berharta, maka engkau akan rentan diinjak dan dicampakkan orang.
Seberapa terang pelita yang kau nyalakan di bawah gantang, bila kau tak berdiri
di atas kaki sendiri, maka pada dasarnya kau bersembunyi.
Randu, Anakku tercinta. Dalam jalani lakon hidup di bumi ini,
kadang-kadang engkau akan menang, tapi tak jarang juga kalah. Bila saat ini kau
mendapatiku tertunduk dan menyerah, itu sebab aku gagal bertarekat teguh dengan
tembakau.
Ratusan buntalan tembakau yang tertolak gudang, adalah bukti betapa
mati tak cukup sekadar dibungkus kain kafan. Keraskanlah rahangmu, Randu, lalu
temui siapa yang mesti kau temui.
Juhaini
tergopoh-gopoh hendak merebut surat di tangan Randu. Namun, remaja tanggung itu
menepis dan meminta bantuan seorang perempuan memegangi ibunya. Juhaini meraung-raung mendapati Randu berjalan
meninggalkan jenazah suaminya yang belum dimandikan.
Di
halaman, Randu mengedarkan pandang ke sekeliling. Orang-orang yang berkerumun
menatapnya kebingungan. Tatapan Randu pada akhirnya jatuh terhadap seorang
lelaki di bawah pohon cermih. Randu menemui lelaki itu saat orang-orang
menatapnya keheranan.
“Dengan
apa aku mesti bayar utang Bapak, Lek?”
Lelaki
di hadapannya tak menyahut. Ia hanya memegangi pundak Randu dan menunjuk arah
rumah.
“Tapi
Bapak meninggalkan surat ini dan aku mesti menemuimu, Lek,” kilah Randu sembari
menunjukkan kertas.
Lelaki
itu menatapnya lekat dan tak menyentuh surat.
“Mengajilah,
Randu, mengajilah. Itu jauh lebih baik daripada kau berdiam di sini.”
“Tapi
dengan apa aku mesti bayar utang Bapak padamu, Lek?”
Sejenak
lelaki itu menarik napas dalam-dalam lalu menoleh ke arah tumpukan tembakau
yang berserakan. “Ratusan buntalan tembakau yang menjadi penyebab bapakmu mati
gantung diri, akan kubawa sebagai pengganti utangnya.”
II/
Amuk
serapah sang ibu pada ayahnya tak lagi bisa dihindari. Bahkan suara piring
beling yang dibanting ke dinding juga tak kuasa ayahnya halangi. Asan mengintip
di balik pintu sembari menatap bibir mungil ibunya yang menyebut segala nama binatang
tanpa tedeng aling-aling.
“Kau
itu lelaki, tapi tak laki!” seru sang ibu. “Mestinya kau ambil sertipikat tanah,
bukan buntalan tembakau yang jelas-jelas tak ada harga!”
Ayahnya
tak menyahut. Lelaki itu seolah membiarkan istrinya mengamuk dan mencak-mencak
tak keruan. Bahkan saat dituding sebagai banci, ayahnya tak menimpali.
“Butakah
matamu melihat harga? Tembakau kita sendiri tak laku, tapi kenapa kau melunasi
utang orang dengan tembakau pula?”
Asan mulai gemetar, saat ayahnya yang semula
tak mengindahkan, kini berdiri lantas berlari ke arah sang ibu dan
menggamparnya berulang-ulang. Usai itu, ayahnya menyeret dan menendang sang ibu
sampai-sampai perempuan itu tersudut di pojok dapur.
“San!
Asan!” teriak ayahnya.
Asan
berlari-lari dan berlagak seolah tak melihat apa yang terjadi pada orang tuanya.
“Beli
bensin di sebelah dan bawa ke halaman.”
Asan
memberanikan diri menatap ayahnya. Tapi lelaki itu malah menggertaknya dan
meminta Asan lekas-lekas ke warung tetangga.
Berlarilah
Asan sembari membawa uang dua belas ribu dan sesekali mendongakkan langit,
memohon pada Lah Ta’ala agar ayahnya tak membakar diri atau membakar sang ibu.
Sesampainya
di halaman, ayahnya merenggut botol bensin dari Asan dan menyiramkannya pada
tumpukan tembakau yang tak terbilang jumlahnya. Usai menyulut dengan batang
korek api di mana kobaran api membubung tinggi, sang Ayah bergegas ke arah tumpukan
tembakau yang lain.
Asan
begidik melihat kilat amarah di mata ayahnya yang serupa nyala api neraka.
Orang-orang yang melintas tak berani menghentikan saat ayahnya mengambil satu demi
satu buntalan tembakau dan melemparkannya ke tengah-tengah kobaran. Asan yang
tak kuasa mendapati ayahnya merapal murka, akhirnya berlari ke belakang rumah.
III/
Derasnya
arus kangai tak menciutkan nyali Asan. Bahkan ketika tali temali yang
merekatkan jembatan bambu telah koyak dimakan usia, Asan memberanikan diri
menyeberang guna menjauhi rumahnya. Sialnya, baru saja tiba di seberang,
orang-orang menyambutnya lewat pertanyaan, betapa tembakau telah membuat
ayahnya bersikap tak waras.
Asan
tak menyahut. Ia terus berjalan ke arah lapangan. Sebuah layangan putus tampak
terbawa angin. Tanpa galah, Asan berlari-lari dan mengikuti layangan itu
berlabuh. Tak ada yang mengejar selain Asan. Anak itu cukup mudah menjangkau
layangan yang terjatuh di belakang dapur rumah orang.
Usai
memungut layangan dan menggulung sisa senar ke reranting, Asan mendapati isak
tangis di dapur rumah itu. Seketika Asan mencari-cari celah lubang gedhek dan mengintip.
“Tak
ada lagi yang bisa diharapkan di sini, Kak. Gudang-gudang tutup. Tak ada
pekerja. Sementara kita harus tetap makan dan berutang,” seru seorang perempuan
paruh baya, sementara lelaki di hadapannya hanya tertunduk lunglai.
“Aku
hendak ke balai desa, Kak. Mau buat akta. Usai itu, aku buat passport dan terbang ke Taiwan. Nanti,
bila sudah cukup uang, aku akan pulang ke sini. Atau kau bisa ke Korea sebab
lelaki bila ingin jadi TKI, mesti bayar dulu sebagai modal kerja.”
Perempuan
paruh baya itu berdiri. Lelakinya berusaha menghalang.
“Sudah
cukup utang kita menikam tubuh tiap hari. Bila dibiarkan, bukan tak mungkin
tanah ini pindah tangan.”
Perempuan
itu menyingkirkan lengan sang suami dan bergegas keluar sembari membawa plastik
hitam. Asan berlari ke arah kangai dan berusaha melupakan apa yang ia
dengar barusan.
Desau
angin membelintang saat perempuan itu merambat pelan meniti jembatan batang
bambu. Berulangkali ia berucap zikir saat nyalinya ciut mendengar derasnya arus
menghantam batu-batu padas.
Sesampainya
di ujung jembatan, matanya terkesiap mendapati asap membubung. Orang-orang
hilir mudik. Tapi perempuan itu tak peduli. Ia memilih lajur kanan, melewati
gumuk dan menjejakkan kaki pada tumpak belukar sebelum akhirnya tembus ke
pematang belakang balai desa.
“Temuilah
Kades di depan. Mintalah tanda tangan sekarang,” kata Bu Carik sembari
menyodorkan formulir pembuatan akta.
Perempuan
itu mengangguk lantas menuju kursi sofa yang berada di balai depan di mana sang
Kades tampak sibuk berbincang di gawai.
“Kamu
mau ke mana mau buat akta?” ujar sang Kades meski gawainya masih menempel di
telinga. “Ke Malaysia atau Arab?”
“Taiwan,
Pak.”
Sejenak
si Kades menatapnya lekat.
“Gudang
tembakau tutup semua, Pak. Tak ada tempat buat saya.”
Si
Kades lekas-lekas mengambil pena di saku kemeja, membubuhi tanda tangan lantas
menunjuk arah Carik.
“Halo?
Iya. Iya. Kumpulkan wartawan sekarang juga.”
IV/
Ocehan
Juhaini soal harga tembakau, dan segala macam utang yang berkelindan, tumpah
ruah ke segala sudut ruangan bagai anak panah lepas dari busur. Kepala Desa
mencoba menenangkannya, namun Juhaini kembali merutuki sang suami yang
memilih menanam tembakau alih-alih cabai.
Saat
Kades menyodorkan amplop tebal sebagai pertanda bela sungkawa, Juhaini kian
meraung-raung. Perempuan itu kian menjerit, memukul dadanya sendiri
berulang-ulang sampai akhirnya ia pingsan. Di depan rumah duka, beberapa wartawan
tampak menunggu di bawah pohon cermih. Mereka berlarian saat melihat sang Kades
selesai melayat dan keluar dari rumah duka.
“Ini
adalah bukti betapa rumus menanam tembakau tak ubahnya berjudi. Bila untung
bisa naik haji, tapi bila buntung bisa gantung diri.”
“Bagaimana
solusinya, Pak? Bukankah sebagian besar petani di kampung ini bergantung pada
tembakau?” kata seorang wartawan senior.
Sang
Kades berdehem tiga kali. Ia membetulkan kerah baju yang sebetulnya masih rapi.
“Sawah-sawah
para petani akan kami beli dan kami jadikan desa ini sebagai desa wisata.
Setidaknya, sawah mereka pasti laku tinggi sebelum akhirnya berubah menjadi
lahan huni.”
Orang-orang
tercekat. Para wartawan tersenyum. Namun, seorang wartawan yang agaknya masih
baru bekerja menyeletuk.
“Kalau
mereka tak lagi punya lahan, lantas dengan apa mereka bekerja ke depannya,
Pak?”
Sang
Kades terdiam. Ia menoleh ke arah bendaharanya dan menatap garang. “Mengapa kau
undang wartawan macam begini?”
V/
Gemeretak
ngilu pada dadanya masih tak usai. Randu menatap nanar sang Kades yang tampak
sibuk diwawancarai wartawan di halaman. Surat peninggalan bapaknya masih ia
genggam bersamaan dengan amplop putih pemberian sang Kades. Kendati begitu,
Randu telah menulis surat balasan yang entah bagaimana ia kirim pada ayahnya.