Katarsis Kerakusan dan Ketulusan - S. Prasetyo Utomo

@kontributor 6/25/2023

Katarsis Kerakusan dan Ketulusan

S. Prasetyo Utomo



Puisi yang ditulis Riri Satria dan Emi Suy menjadi menarik untuk saya analisis dalam esai ini setelah digubah Ananda Sukarlan dalam musik Tembang Puitik Volume 7. Kita mengenal Ananda Sukarlan sebagai lulusan master di bidang musik dari Royal Conservatory of the Hague di Den Haag, Belanda, dengan predikat summa cumlaude. Tak kepalang tanggung, The Sydney Morning Herald Australia memberikan predikat sebagai “one of the world’s leading pianists at the forefront of championing new piano music

            Bagi Ananda Sukarlan, “puisi itu musik, dan musik itu puitis”. Karena itu, wajar bila melalui puisi lahirlah berbagai inspirasi untuk musik. Ia merasa berterimakasih terhadap para penyair besar yang telah memberi inspirasi untuk menulis banyak sekali musik. Dalam rangka Hari Puisi Sedunia, 21 Maret 2023, Ananda Sukarlan menerbitkan buku Tembang Puitik Volume 7. Di antara lagu-lagu Ananda Sukarlan diangkat dari berbagai puisi karya penyair Umbu Landu Paranggi, Chairil Anwar, Triyanto Triwikromo, Heru Joni Putra, Emi Suy, Riri Satria, Naning Scheid, dan Soekarno.

Dua penyair yang saya bicarakan dalam esai ini adalah Riri Satria dengan puisi “Dialog Sesama Virus Korona tentang Koruptor” dan Emi Suy dengan puisi “Rindu”. Eksplorasi kedua penyair ini sungguh berbeda. Riri Satria merupakan penyair yang memanfaatkan kekuatan nalar, dan menemukan ketajaman diksi untuk menyampaikan satire, paradoks, dan bahkan sarkasme. Emi Suy lebih melakukan eksplorasi pada kedalaman batin, empati humanisme, dan menceburkan diri pada diksi yang bermuatan nilai rasa, kontemplasi, bahkan solilokui.  

                                      ***

Kekuatan puisi Riri Satria terletak pada konstruksi pilihan kata untuk mencapai makna yang ingin disampaikan. Saya merasakan benar bahwa ia bermain-main dengan pilihan kata yang bernas untuk mencapai ungkapan-ungkapan paradoks, simulakra, dan alienasi terhadap nasib manusia mutakhir bangsa ini. Ia memasuki kehidupan milenial dengan problematika yang dihadapi, dan menuangkannya dalam ungkapan-ungkapan yang dikemas melalui satire.

            Dalam puisi “Dialog Sesama Virus Corona tentang Koruptor”, Riri Satria bermain-main dengan paradoks, simulakra, dan sarkasme itu: Bro, rupanya ada yang lebih sadis dari kita/ Namanya koruptor, virus dari segala virus!/ Kita tak sebanding dengannya// Mereka memanfaatkan kita/ Dengan cara mencekik leher sesama/ Yang sudah sengsara// Ada yang mengembangkan vaksin dan obat/ untuk membasmi kita/ bukan mereka/ Kini kita menyesal kan menjadi virus? Harusnya kita/ menjadi mereka saja//.

Kata-kata yang dimanfaatkan Riri Satria diambil dari kehidupan manusia yang rakus, serakah, dan kehilangan kepekaan hati nurani. Kata-kata tidak lagi dikemas dalam simbol. Ia memunculkan pasemon dan metafora. Dengan kata-kata sarkastis ini penyair menyingkap dunia simulakra, kepalsuan yang disembunyikan di hadapan masyarakat. Penyair lebih bermain-main dengan nalar, yang membawanya pada hasrat untuk menghujat tokoh-tokoh yang tak tersentuh hukum dan keadilan kekuasaan. Telah tercipta alienasi penyair dengan tokoh-tokoh yang mestinya menjadi panutan dalam masyarakat. Karena itu, diperlukan kata-kata lugas untuk mencipta katarsis mengenai perilaku rakus harta dan kuasa.

            Membaca puisi Emi Suy, saya menemukan berbagai diksi yang terkesan menghadirkan ketenangan jiwa. Saya teringat akan pernyataan Cassirer bahwa ketenangan karya seni adalah paradoksalnya, sebagai ketenangan yang dinamis, sebab karya seni menampilkan konflik batin yang dalam dan beraneka ragam. Karya seni tidak semata-mata memberikan kepada kita perasaan (emotion), melainkan yang lebih penting justru gerakan (motion).

Dalam puisi “Rindu”, saya sampai pada suatu renungan bahwa perasaan penyair pada ibu telah membangkitkan gerakan untuk menyingkap paradoks akan hakikat ketulusan jiwa: Bu, di sini/ di tanah ini/ kerinduan menjelma jarum-jarum hujan/ menjahit luka – duka di kepala/ yang kerap terbentur tembok kota// Bu, di sini di permenungan ini/ aku mencari sebuah jalan/ jauh di kedalaman dan pedalaman/ paling pelosok/ yang digenangi sunyi yang penuh/ hati yang utuh//.  Dalam ketenangan diksi puisi ini, penyair menulis peristiwa-peritiwa paradoksal dalam kerinduan yang menjelma luka dan duka; dan dalam sebuah pencarian akan hakikat hidup yang utuh, meski di pelosok wilayah yang paling sunyi sekalipun.

            Penyair menyingkap konflik batin antara realitas yang dihadapi dengan suasana batin. Ia menghadirkan peristiwa-peristiwa dalam suasana paradoksal. Dalam diksi yang semula saya kira mengalirkan ketenangan jiwa, ternyata mengandung gerakan yang dinamis. Dengan cara ini penyair melakukan solilokui, untuk mengantarkan katarsis bagi pembaca. Puisi “Kukusan” yang tercantum dalam Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami (2022) yang dinyanyikan artis Vetalia Pribadi diiringi musik piano Ananda Sukarlan, juga menampakkan suasana paradoksal antara perasaan dan gerakan tentang ketulusan jiwa seorang ibu, dalam dialektika batin yang dikekalkan melalui simbol budaya tradisional (kukusan) untuk menciptakan kontemplasi dan katarsis bagi pembaca tentang kematangan jiwa seseorang.   

                                      ***

Yang menjadi pertanyaan kita kini: mengapa puisi Riri Satria dan Emi Suy memberikan inspirasi pada Ananda Sukarlan untuk mencipta lagu? Saya menyingkap tiga hal sebagai latar belakang terpilihnya puisi Riri Satria dan Emi Suy. Pertama, makna puisi mereka menyentuh perilaku masyarakat kontemporer negeri kita. Dengan bahasa yang banal, Riri Satria menyingkap kerakusan, keserakahan, dan kebusukan tokoh-tokoh penguasa yang berperilaku keji untuk kepentingan kekayaan diri sendiri. Emi Suy lebih cenderung mengekspresikan perasaan, renungan, empati kemanusiaan, dan ketulusan jiwa untuk menghadapi pergolakan realitas sosial.

            Kedua, puisi mereka dicipta sebagai katarsis kebusukan perilaku masyarakat. Riri Satria lebih lugas, bermain dalam ranah kekuasaan dan dunia usaha, yang menjadi obsesi manusia metropolitan. Ia menciptakan kritik tajam terhadap akhlak manusia. Sedangkan Emi Suy lebih memanfaatkan tema, suasana, dan pesan moral yang menyentuh akhlak manusia perkotaan dengan segala konflik batin yang paradoksal: kerinduan-keterasingan, ketulusan-duka, kebisingan kota-kesunyian daerah pedalaman, dan materialisme-spiritualisme. Emi Suy seringkali berobsesi pada dunia sunyi untuk mengendapkan makna kegaduhan hidup manusia kosmopolitan.

Ketiga, dalam praktik sosial, puisi Riri Satria dan Emi Suy menjadi katarsis yang tidak saja mengekspresikan keindahan nada, tetapi juga menjadi penawar bagi “luka jiwa” manusia. Puisi “Dialog Sesama Virus Corona tentang Koruptor” yang dicipta Riri Satria dan puisi “Rindu” menawarkan katarsis yang sama: kesadaran akan kerakusan dan sudah waktunya kita mengembalikan ketulusan jiwa. Kesan saya, kedua penyair telah berproses dengan pencarian estetika dan pembebasan kegelisahan persoalan masyarakat zamannya. Riri Satria membebaskan diri dari logosentrisme kekuasaan dan hierarki yang melingkupinya. Luka peradaban dan kekuasaan yang menjadi obsesi penciptaannya diekspresikan melalui bahasa yang meradang. Emi Suy memasuki dunia spiritual untuk mencipta kesadaran manusia perkotaan yang hingar-bingar dalam kebisingan, diekspresikan dengan bahasa yang tenang.      

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »