Kritik Jokpin
dalam Kaleng-Kaleng Khong Guan
Akhmad Idris
Puisi dapat disebut sebagai jenis karya sastra yang paling indah gegara olah kreasi gaya bahasa dan pilihan katanya, namun satu hal lain (bahkan menurut saya adalah hal terpenting) yang tak boleh hilang adalah unsur penyadaran di dalamnya. Puisi sudah seyogianya menghidangkan sajian-sajian yang tidak seharusnya terjadi, tidak melulu hal-hal yang semestinya terjadi. Potret-potret kesenjangan sosial, ketakberdayaan masyarakat kecil, hingga praktik hegemoni penguasa adalah beberapa contoh fenomena yang tidak boleh luput dari mata penyair. Selaras dengan yang disampaikan Chairul Harun (1982) dalam tulisannya yang berjudul Sastra sebagai Human Control, bahwa karya sastra dengan kekhasannya dapat membongkar segala penyimpangan dengan tujuan menguji kesadaran manusia⸻dalam hal ini berarti pembaca. Harapannya adalah ketika pembacaan telah rampung, muncul sebuah pertanyaan terhadap diri sendiri: mengapa semua ini bisa terjadi? Hal semacam inilah yang disajikan oleh Joko Pinurbo dalam Perjamuan Khong Guan.
Negara, Politik, dan Kelalaian Manusia
Puisi-puisi Joko
Pinurbo selalu tampak sederhana, tetapi selalu ada yang membekas di sanubari
setiap satu judul puisi usai dibaca. Ada dorongan untuk membacanya ulang sekali
lagi, hanya untuk memastikan bekas jejak yang tersisa pasca-pembacaan
yang pertama. Pada akhirnya memberikan penyadaran, lalu menggumam: Iya juga, ya. Agaknya hal ini yang
dimaksud oleh Chairul Harun tentang karya sastra sebagai kontrol manusia. Hal
ini saya temui pada puisi yang berjudul Malam
Minggu di Angkringan. Di dalamnya ada sebuah larik yang berbunyi seperti
ini,
Mau
minum kopi atau minum aku?/Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan
liberal/sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa (halaman
15-16)
Tampak
kesederhanaan kata yang dipilih oleh Jokpin memang disengaja untuk membuat
pembacanya mudah memahami kandungan kritik di dalamnya. Punggung negara tidak
sehangat punggung manusia. Punggung negara dingin perkasa, tak terkalahkan dan
hanya menerima kepatuhan. Memang negara tidak seperti manusia yang memiliki
hati nurani dan memiliki punggung yang hangat untuk bersandar. Dari sudut mata
saya, kurang lebih Jokpin ingin berujar, manusia-manusia
di angkringan jauh lebih hangat daripada negara yang tampak berwibawa.
Hal ini
mengingatkan saya pada konsep hegemoni yang disampaikan oleh Antonio Gramsci,
bahwa hegemoni bukanlah dominasi. Hegemoni adalah persetujuan yang
‘memanfaatkan’ kepemimpinan politik untuk mendapatkan kepatuhan dengan
‘sukarela’⸻atau dalam arti lain, dengan ketakberdayaan atau ketakmampuan
melawan. Wujud fenomena sejenis ini diekspresikan oleh Jokpin dalam puisi
lainnya yang berjudul Wawancara Kerja.
Berikut kutipannya,
Saya
ingin bekerja sebagai nomor rekening yang bertugas menampung kelebihan gaji
pimpinan dan pegawai yang sebenarnya tidak layak mereka terima. Saya tidak
perlu digaji (halaman 21)
Di tengah
kebahagiaan para pimpinan dan pegawai yang mendapatkan gaji berlimpah dari uang
rakyat, nyatanya ada seseorang yang mewakili suara rakyat, yang ingin
menyuarakan kegelisahannya. Di tengah ‘kesukarelaan’ para rakyat dalam menggaji
pimpinan dan pegawai yang tidak bekerja secara layak, tetap ada salah satu
rakyat yang ‘tidak sukarela’ menggaji para pimpinan dan pegawai. Puisi semacam
inilah yang dimaksud Sapardi Djoko Damono dalam Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Sapardi mengungkapkan bahwa
satu-satunya hal yang perlu dilakukan para penulis saat ini adalah lebih
bersungguh-sungguh dalam memotret permasalahan masyarakat di sekitarnya. Penulis
saat ini harus mampu menemukan nilai sekaligus makna realita sosial di
sekitarnya yang nantinya digunakan sebagai dasar untuk mengekspresikan kritik lewat
karya sastra.
Selain tentang
politik dan negara, Jokpin juga mencipta puisi sederhana sarat makna tentang
kelalaian manusia pada yang tidak terhingga. Puisi tersebut memiliki judul yang
sangat panjang menurut standar ukuran judul yang lazim, yakni Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor
di Ponselnya. Berikut kutipannya,
Tuhan,
ponsel saya rusak dibanting gempa/Nomor kontak saya hilang semua/Satu-satunya
yang tersisa ialah nomorMu/
Tuhan
berkata: Dan itulah satu-satunya nomor yang tak pernah kausapa (halaman
32)
Puisi ini singkat
saja, namun meninggalkan perenungan yang tidak singkat. Puisi ini cukup dibaca
kurang dari satu menit, namun membekas dalam kejaran waktu yang terus berdecit.
Singkat saja puisi ini: Semua yang sering berkomunikasi mendadak hilang jejak
ketika musibah besar terjadi. Satu yang tak pernah hilang adalah Tuhan, sayangnya Tuhan lah yang tak pernah
disapa. Puisi selesai, namun pertanyaan terus berkecamuk di dalam kepala: Sejauh inikah aku dengan Tuhan? Seabai
inikah aku dengan Tuhan? Bukankah Tuhan tak sedikitpun abai menjaga
kehidupanku? Bukankah Tuhan tak sekalipun lupa terhadap hamba-Nya?
Pertanyaan ini terus menghantui dalam waktu yang tidak diketahui kapan akan
berhenti.
Puncak
pertanyaannya adalah sekuat inikah sihir
sebuah puisi?
Surabaya, 29 Mei 2022