Kritik Jokpin dalam Kaleng-Kaleng Khong Guan - Akhmad Idris

@kontributor 6/11/2023

Kritik Jokpin dalam Kaleng-Kaleng Khong Guan

Akhmad Idris  



Puisi dapat disebut sebagai jenis karya sastra yang paling indah gegara olah kreasi gaya bahasa dan pilihan katanya, namun satu hal lain (bahkan menurut saya adalah hal terpenting) yang tak boleh hilang adalah unsur penyadaran di dalamnya. Puisi sudah seyogianya menghidangkan sajian-sajian yang tidak seharusnya terjadi, tidak melulu hal-hal yang semestinya terjadi. Potret-potret kesenjangan sosial, ketakberdayaan masyarakat kecil, hingga praktik hegemoni penguasa adalah beberapa contoh fenomena yang tidak boleh luput dari mata penyair. Selaras dengan yang disampaikan Chairul Harun (1982) dalam tulisannya yang berjudul Sastra sebagai Human Control, bahwa karya sastra dengan kekhasannya dapat membongkar segala penyimpangan dengan tujuan menguji kesadaran manusia⸻dalam hal ini berarti pembaca. Harapannya adalah ketika pembacaan telah rampung, muncul sebuah pertanyaan terhadap diri sendiri: mengapa semua ini bisa terjadi? Hal semacam inilah yang disajikan oleh Joko Pinurbo dalam Perjamuan Khong Guan.

Negara, Politik, dan Kelalaian Manusia

Puisi-puisi Joko Pinurbo selalu tampak sederhana, tetapi selalu ada yang membekas di sanubari setiap satu judul puisi usai dibaca. Ada dorongan untuk membacanya ulang sekali lagi, hanya untuk memastikan bekas jejak yang tersisa pasca-pembacaan yang pertama. Pada akhirnya memberikan penyadaran, lalu menggumam: Iya juga, ya. Agaknya hal ini yang dimaksud oleh Chairul Harun tentang karya sastra sebagai kontrol manusia. Hal ini saya temui pada puisi yang berjudul Malam Minggu di Angkringan. Di dalamnya ada sebuah larik yang berbunyi seperti ini,

Mau minum kopi atau minum aku?/Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal/sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa (halaman 15-16)

Tampak kesederhanaan kata yang dipilih oleh Jokpin memang disengaja untuk membuat pembacanya mudah memahami kandungan kritik di dalamnya. Punggung negara tidak sehangat punggung manusia. Punggung negara dingin perkasa, tak terkalahkan dan hanya menerima kepatuhan. Memang negara tidak seperti manusia yang memiliki hati nurani dan memiliki punggung yang hangat untuk bersandar. Dari sudut mata saya, kurang lebih Jokpin ingin berujar, manusia-manusia di angkringan jauh lebih hangat daripada negara yang tampak berwibawa.

Hal ini mengingatkan saya pada konsep hegemoni yang disampaikan oleh Antonio Gramsci, bahwa hegemoni bukanlah dominasi. Hegemoni adalah persetujuan yang ‘memanfaatkan’ kepemimpinan politik untuk mendapatkan kepatuhan dengan ‘sukarela’⸻atau dalam arti lain, dengan ketakberdayaan atau ketakmampuan melawan. Wujud fenomena sejenis ini diekspresikan oleh Jokpin dalam puisi lainnya yang berjudul Wawancara Kerja. Berikut kutipannya,

Saya ingin bekerja sebagai nomor rekening yang bertugas menampung kelebihan gaji pimpinan dan pegawai yang sebenarnya tidak layak mereka terima. Saya tidak perlu digaji (halaman 21)

Di tengah kebahagiaan para pimpinan dan pegawai yang mendapatkan gaji berlimpah dari uang rakyat, nyatanya ada seseorang yang mewakili suara rakyat, yang ingin menyuarakan kegelisahannya. Di tengah ‘kesukarelaan’ para rakyat dalam menggaji pimpinan dan pegawai yang tidak bekerja secara layak, tetap ada salah satu rakyat yang ‘tidak sukarela’ menggaji para pimpinan dan pegawai. Puisi semacam inilah yang dimaksud Sapardi Djoko Damono dalam Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Sapardi mengungkapkan bahwa satu-satunya hal yang perlu dilakukan para penulis saat ini adalah lebih bersungguh-sungguh dalam memotret permasalahan masyarakat di sekitarnya. Penulis saat ini harus mampu menemukan nilai sekaligus makna realita sosial di sekitarnya yang nantinya digunakan sebagai dasar untuk mengekspresikan kritik lewat karya sastra.

Selain tentang politik dan negara, Jokpin juga mencipta puisi sederhana sarat makna tentang kelalaian manusia pada yang tidak terhingga. Puisi tersebut memiliki judul yang sangat panjang menurut standar ukuran judul yang lazim, yakni Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya. Berikut kutipannya,

Tuhan, ponsel saya rusak dibanting gempa/Nomor kontak saya hilang semua/Satu-satunya yang tersisa ialah nomorMu/

Tuhan berkata: Dan itulah satu-satunya nomor yang tak pernah kausapa (halaman 32)

Puisi ini singkat saja, namun meninggalkan perenungan yang tidak singkat. Puisi ini cukup dibaca kurang dari satu menit, namun membekas dalam kejaran waktu yang terus berdecit. Singkat saja puisi ini: Semua yang sering berkomunikasi mendadak hilang jejak ketika musibah besar terjadi. Satu yang tak pernah hilang adalah Tuhan, sayangnya Tuhan lah yang tak pernah disapa. Puisi selesai, namun pertanyaan terus berkecamuk di dalam kepala: Sejauh inikah aku dengan Tuhan? Seabai inikah aku dengan Tuhan? Bukankah Tuhan tak sedikitpun abai menjaga kehidupanku? Bukankah Tuhan tak sekalipun lupa terhadap hamba-Nya? Pertanyaan ini terus menghantui dalam waktu yang tidak diketahui kapan akan berhenti.

Puncak pertanyaannya adalah sekuat inikah sihir sebuah puisi?


Surabaya, 29 Mei 2022

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »