Pertunjukan Teater - Ahmad Asror

@kontributor 6/25/2023

Pertunjukan Teater

Ahmad Asror 



Sebelum memasuki panggung, para aktor berkonsentrasi menghapal naskah dan adegan selama pertunjukan. Para pemain musik sudah berkerumun di tempatnya. Tukang lampu menyelesaikan sebatnya untuk satu-dua hisap. Sebantar lagi penonton masuk dan tidak ada celah untuk bergurau. Setengah jam lagi layar berkembang, dan aku akan membuka adegan pada babak ke tiga.

Latihan selama tiga bulan untuk peran seorang petugas keamanan kurang dari sepuluh menit harus benar-benar aku maksimalkan. Dengan pakaian dinas warna cokelat dan sepatu lapangan, aku akan beradu peran dengan tokoh seorang pelacur. Aku sudah melatih libidoku agar segera naik, dan menahannya agar tidak kebablasan. Penonton beringas dan sekejap gedung pertunjukan menumpahkan gelak tawa.

Pertunjukan selesai pada pukul sepuluh malam, dan itu adalah pementasanku ke tiga kali selama menjadi mahasiswa di Kota Semarang. Sebagai mahasiswa jurusan pendidikan, namun keikut-sertaanku dalam komunitas teater telah mengajariku berbohong kepada diriku sendiri. Di panggung teater aku bebas melepaskan emosi yang mengendap dan liar. Namun itu jauh lebih baik ketika aku harus tempatkan pada orang lain yang tidak ada sangkut pautnya.

Setelah hari pementasan, artinya sebentar lagi akan libur semester. Pada liburan semester sebelumnya, aku bersama mahasiswa lain penerima beasiswa pemerintah mengadakan kegiatan pengembangan bahasa di Kediri selama dua minggu atau sebulan. Tidak untuk kali ini, liburan semester lima akan kugunakan untuk berkeliling dari kota ke kota. Menyapa puncak gunung. Target yang pernah aku catat adalah menaklukan semua gunung di Jawa Tengah sebelum umur tiga puluh tahun.

Rapat evaluasi pementasan dijadwalkan lusa, tepat sehari setelah ujian akhir semester mata kuliah evaluasi pendidikan. Kampus tampak lengang, tak ramai seperti biasanya. Mungkin yang berlalu-lalang adalah mahasiswa akhir, atau yang ada keperluan dengan denda perpustakaan. Aku pun tak ada niatan untuk pulang ke rumah. Aku akan menetap enam minggu di Semarang sebelum memutuskan untuk pulang hanya sekadar tidur barang semalam. Seperti biasanya, aku berencana tidak datang pada rapat evaluasi dan sudah memutuskan untuk bermalam di puncak Merbabu.

Perlengkapan terakhir sudah masuk pada tas gunung enam puluh liter. Sebelum berangkat tidak lupa berdoa bersama ketiga temanku. Tiba-tiba smartphone-ku berdering, dan dua pesan tak terbaca. Pesan dari nomor tak tersimpan, aku pikir bukan hal penting. Tanpa aku angkat. Perjalanan ke atas awan di mulai setelah salat asar.

Sampai di pos pendaftaran, temanku menuju loket untuk melakukan simaksi. Aku mencoba membuka smartphone, dan mengecek pesan yang terlewat. Pesan itu berisi ajakan untuk pulang. Kalau sudah liburan, datanglah ke sini, mumpung pamanmu ada di Jawa, namanya Sariadi, ini nomornya. Begitulah pesan tertulis ditutup nama pengirim. Bapakmu. Pesan itu tak kubalas sampai perjalanan menaklukan Merbabu ke tiga kali selesai.

Dua hari berikutnya, baru aku balas pesan tersebut. Kutulis seperti ini, aku sudah libur semester, dan akan aku pertimbangkan untuk berlibur ke sana. Pesan kembali terbalas. Pamanmu di sana sampai minggu depan. Jangan terlalu mepet, akan kupesankan tiket penerbanganmu bersamanya. Setelah itu tak ku balas lagi pesannya dan aku memilih berkeliling kota untuk melepas penat.

Aku masih belum yakin pesan tersebut dikirim kepada alamat yang betul atau salah tujuan. Sebentar aku mengingat-ingat, aku tidak mengingat apapun. Terakhir perjumpaan dengan ayahku kalau tidak salah adalah ketika kelas tiga sekolah dasar, dan sekarang usiaku dua puluh satu. Aku masih ingat betul postur tubuh lelaki yang kurus, berambut pendek, dan sisanya terlihat samar. Sore pukul empat, ia memberi uang tiga ribu rupiah kepadaku lantas pamit. Aku pikir ia tamu ibuku. Keesokan harinya aku baru mengerti kalau lelaki itu adalah ayahku. Aku hanya tahu kalau ia bekerja dan menetap di luar Jawa. Itu saja.

Pada akhirnya aku tetap memutuskan untuk datang ke sana. Penasaranku mengalahkan segalanya. Aku mencoba menghubungi paman Sariadi untuk bertemu. Ternyata tiket pesawat menuju Ternate sudah di pesan untuk tiga orang, aku, paman Sariadi, dan bibiku yang ikut serta untuk bekerja di sana. Kami bertemu di Bandara Juanda. Seperti sepasang magnet, kami mencocokkan foto untuk berkenalan.

Perjalanan ke tempat tinggal ayahku memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Menumpang mini bus ke Surabaya, naik pesawat, menyeberangi selat Halmahera, dan dilanjut perjalanan dua jam dengan mobil. Gunung Gamalama tampak gagah, dan diriku yang semakin ciut.

Di perjalanan aku tak banyak berbicara dengan paman. Aku baru mengenalnya, dan apa pula yang perlu aku bahas. Aku lebih banyak tidur, dan berbicara sendiri. Alam seindah ini baru saja menyelinap di dalam mataku. Ah, uang seribu lekas aku keluarkan dari dompet. Aku persis di punggung Pahlawan Nasional yang gagah berani, Kapitan Pattimura.

Sekira jam lima sore, langit sudah gelap. Aku cek jam di tangan dan di smartphone. Aku baru menyadari perbedaan waktu untuk pertama kali. Paman turun dari mobil. Aku juga mengikuti turun sebentar mengucap salam dengan keluarganya dan melanjutkan perjalanan ke rumah. Ya, rumah. Aku akan pulang ke rumah. Meskipun aku masih mengawang apa sebenarnya arti rumah bagiku. Jaraknya sekitar lima menit. Paman mengisyaratkan sopir untuk berhenti tepat di depan sekolah dasar. Rumah warna merah dengan toko baju.

“Kau akan temui wanita setengah baya memberhentikanmu di pinggir jalan,” ucapnya.

Tidak banyak rumah terlihat di sepanjang jalan. Sebentar satu-dua rumah, sebentar hutan. Bahkan aku hitung, jarak antar rumah sekitar satu menit hingga dua menit laju mobil. Pohon kelapa berbaris rapi menyambut kedatanganku. Juga beberapa kerbau dan kambing di beberapa sudut.

Seperti peramal, persis di depan sekolah dasar ada seorang wanita setengah baya. Wajahnya dan pakaiannya tertutup gelap, seorang lagi lelaki dengan tinggi serupa. Tidak lain. Tapi terlihat lebih berisi daripada dugaanku. Aku turun dari mobil dan disambut dengan pelukan dan air mata menyertai. Wajahnya sangat bahagia tersorot lampu mobil. Aku segera masuk dan berkenalan dengan mereka.

Tidak ada percakapan yang aku mulai selama dua hari menginap. Namun, dengan telaten ibu tiriku mengajari dan menawarkan ini-itu. Pada hari ketiga aku kalah, dan memulai percakapan untuk pertama kalinya. Aku lebih sering berbicara dengan ibu tiriku, membantunya memasak, memotong ayam, dan menjaga dagangan di pasar. Sebab pasar di daerah Wasile tidak buka setiap hari. Bongkar-pasang setiap dua hari sekali, dan berpindah satu pasar ke pasar lainnya.

Sudah hampir dua minggu aku tinggal di rumah. Aku belum juga berbicara dengan ayahku. Entah kenapa, seperti asing bagiku. Sekali pagi, ia menyapa dan menanyakan kabar. Setelah itu, tak ada percakapan. Aku pun sibuk kembali ke pasar. Aku berjaga di pasar bersama ibu dan kedua saudaraku. Ayah berjaga di rumah.

Sampai pada hari terakhir, aku tetap saja belum menemukan tokoh aku dalam keluarga ini. Aku terlalu serius bermain peran. Tapi ini bukan sedang bermain teater. Dalam bermain teater kecocokan harus dibangun pada setiap tokoh, dan aku sudah berusaha. Aku belum kenal mereka sebelumnya. Rasanya aku tidak perlu memerankan tokoh anak dalam cerita ini, dan mereka pun tidak perlu memerankan tokoh keluarga. Tidak perlu menghapal naskah dan adegan. Tidak perlu pemusik dan penata cahaya, dan tidak perlu penonton. Aku telah berbohong pada diriku sendiri untuk ke sekian kalinya.

 

Semarang, 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »