Pertunjukan
Teater
Ahmad Asror
Sebelum memasuki panggung, para aktor
berkonsentrasi menghapal naskah dan adegan selama pertunjukan. Para pemain
musik sudah berkerumun di tempatnya. Tukang lampu menyelesaikan sebatnya untuk satu-dua
hisap. Sebantar lagi penonton masuk dan tidak ada celah untuk bergurau.
Setengah jam lagi layar berkembang, dan aku akan membuka adegan pada babak ke
tiga.
Latihan selama tiga bulan
untuk peran seorang petugas keamanan kurang dari sepuluh menit harus
benar-benar aku maksimalkan. Dengan pakaian dinas warna cokelat dan sepatu lapangan,
aku akan beradu peran dengan tokoh seorang pelacur. Aku sudah melatih libidoku
agar segera naik, dan menahannya agar tidak kebablasan. Penonton beringas dan
sekejap gedung pertunjukan menumpahkan gelak tawa.
Pertunjukan selesai pada
pukul sepuluh malam, dan itu adalah pementasanku ke tiga kali selama menjadi
mahasiswa di Kota Semarang. Sebagai mahasiswa jurusan pendidikan, namun keikut-sertaanku dalam
komunitas teater telah mengajariku berbohong kepada diriku sendiri. Di panggung
teater aku bebas melepaskan emosi yang mengendap dan liar. Namun itu jauh lebih
baik ketika aku harus tempatkan pada orang lain yang tidak ada sangkut pautnya.
Setelah hari pementasan,
artinya sebentar lagi akan libur semester. Pada liburan semester sebelumnya,
aku bersama mahasiswa lain penerima beasiswa pemerintah mengadakan kegiatan
pengembangan bahasa di Kediri selama dua minggu atau sebulan. Tidak untuk kali
ini, liburan semester lima akan kugunakan untuk berkeliling dari kota ke kota.
Menyapa puncak gunung. Target yang pernah aku catat adalah menaklukan semua
gunung di Jawa Tengah sebelum umur tiga puluh tahun.
Rapat evaluasi pementasan
dijadwalkan lusa, tepat sehari setelah ujian akhir semester mata kuliah
evaluasi pendidikan. Kampus tampak lengang, tak ramai seperti biasanya. Mungkin
yang berlalu-lalang adalah mahasiswa akhir, atau yang ada keperluan dengan
denda perpustakaan. Aku pun tak ada niatan untuk pulang ke rumah. Aku akan
menetap enam minggu di Semarang sebelum memutuskan untuk pulang hanya sekadar
tidur barang semalam. Seperti biasanya, aku berencana tidak datang pada rapat
evaluasi dan sudah memutuskan untuk bermalam di puncak Merbabu.
Perlengkapan terakhir
sudah masuk pada tas gunung enam puluh liter. Sebelum berangkat tidak lupa
berdoa bersama ketiga temanku. Tiba-tiba smartphone-ku berdering, dan
dua pesan tak terbaca. Pesan dari nomor tak tersimpan, aku pikir bukan hal
penting. Tanpa aku angkat. Perjalanan ke atas awan di mulai setelah salat asar.
Sampai di pos pendaftaran,
temanku menuju loket untuk melakukan simaksi. Aku mencoba membuka smartphone,
dan mengecek pesan yang terlewat. Pesan itu berisi ajakan untuk pulang. Kalau
sudah liburan, datanglah ke sini, mumpung pamanmu ada di Jawa, namanya Sariadi,
ini nomornya. Begitulah pesan tertulis ditutup nama pengirim. Bapakmu. Pesan
itu tak kubalas sampai perjalanan menaklukan Merbabu ke tiga kali selesai.
Dua hari berikutnya, baru
aku balas pesan tersebut. Kutulis seperti ini, aku sudah libur semester, dan
akan aku pertimbangkan untuk berlibur ke sana. Pesan kembali terbalas. Pamanmu
di sana sampai minggu depan. Jangan terlalu mepet, akan kupesankan tiket
penerbanganmu bersamanya. Setelah itu tak ku balas lagi pesannya dan aku
memilih berkeliling kota untuk melepas penat.
Aku masih belum yakin
pesan tersebut dikirim kepada alamat yang betul atau salah tujuan. Sebentar aku
mengingat-ingat, aku tidak mengingat apapun. Terakhir perjumpaan dengan ayahku
kalau tidak salah adalah ketika kelas tiga sekolah dasar, dan sekarang usiaku
dua puluh satu. Aku masih ingat betul postur tubuh lelaki yang kurus, berambut
pendek, dan sisanya terlihat samar. Sore pukul empat, ia memberi uang tiga ribu
rupiah kepadaku lantas pamit. Aku pikir ia tamu ibuku. Keesokan harinya aku
baru mengerti kalau lelaki itu adalah ayahku. Aku hanya tahu kalau ia bekerja
dan menetap di luar Jawa. Itu saja.
Pada akhirnya aku tetap
memutuskan untuk datang ke sana. Penasaranku mengalahkan segalanya. Aku mencoba
menghubungi paman Sariadi untuk bertemu. Ternyata tiket pesawat menuju Ternate
sudah di pesan untuk tiga orang, aku, paman Sariadi, dan bibiku yang ikut serta
untuk bekerja di sana. Kami bertemu di Bandara Juanda. Seperti sepasang magnet,
kami mencocokkan foto untuk berkenalan.
Perjalanan ke tempat tinggal
ayahku memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Menumpang mini bus ke Surabaya,
naik pesawat, menyeberangi selat Halmahera, dan dilanjut perjalanan dua jam
dengan mobil. Gunung Gamalama tampak gagah, dan diriku yang semakin ciut.
Di perjalanan aku tak
banyak berbicara dengan paman. Aku baru mengenalnya, dan apa pula yang perlu
aku bahas. Aku lebih banyak tidur, dan berbicara sendiri. Alam seindah ini baru
saja menyelinap di dalam mataku. Ah, uang seribu lekas aku keluarkan dari
dompet. Aku persis di punggung Pahlawan Nasional yang gagah berani, Kapitan
Pattimura.
Sekira jam lima sore,
langit sudah gelap. Aku cek jam di tangan dan di smartphone. Aku baru
menyadari perbedaan waktu untuk pertama kali. Paman turun dari mobil. Aku juga
mengikuti turun sebentar mengucap salam dengan keluarganya dan melanjutkan
perjalanan ke rumah. Ya, rumah. Aku akan pulang ke rumah. Meskipun aku masih
mengawang apa sebenarnya arti rumah bagiku. Jaraknya sekitar lima
menit. Paman mengisyaratkan sopir untuk berhenti tepat di depan sekolah dasar.
Rumah warna merah dengan toko baju.
“Kau akan temui wanita
setengah baya memberhentikanmu di pinggir jalan,” ucapnya.
Tidak banyak rumah terlihat
di sepanjang jalan. Sebentar satu-dua rumah, sebentar hutan. Bahkan aku hitung,
jarak antar rumah sekitar satu menit hingga dua menit laju mobil. Pohon kelapa
berbaris rapi menyambut kedatanganku. Juga beberapa kerbau dan kambing di
beberapa sudut.
Seperti peramal, persis di
depan sekolah dasar ada seorang wanita setengah baya. Wajahnya dan pakaiannya tertutup
gelap, seorang lagi lelaki dengan tinggi serupa. Tidak lain. Tapi terlihat
lebih berisi daripada dugaanku. Aku turun dari mobil dan disambut dengan
pelukan dan air mata menyertai. Wajahnya sangat bahagia tersorot lampu mobil.
Aku segera masuk dan berkenalan dengan mereka.
Tidak ada percakapan yang
aku mulai selama dua hari menginap. Namun, dengan telaten ibu tiriku mengajari
dan menawarkan ini-itu. Pada hari ketiga aku kalah, dan memulai percakapan
untuk pertama kalinya. Aku lebih sering berbicara dengan ibu tiriku,
membantunya memasak, memotong ayam, dan menjaga dagangan di pasar. Sebab pasar
di daerah Wasile tidak buka setiap hari. Bongkar-pasang setiap dua hari sekali,
dan berpindah satu pasar ke pasar lainnya.
Sudah hampir dua minggu
aku tinggal di rumah. Aku belum juga berbicara dengan ayahku. Entah kenapa,
seperti asing bagiku. Sekali pagi, ia menyapa dan menanyakan kabar. Setelah
itu, tak ada percakapan. Aku pun sibuk kembali ke
pasar. Aku berjaga di pasar bersama ibu dan kedua saudaraku. Ayah berjaga di
rumah.
Sampai pada hari terakhir,
aku tetap saja belum menemukan tokoh aku dalam keluarga ini. Aku terlalu serius
bermain peran. Tapi ini bukan sedang bermain teater. Dalam bermain teater
kecocokan harus dibangun pada setiap tokoh, dan aku sudah berusaha. Aku belum
kenal mereka sebelumnya. Rasanya aku tidak perlu memerankan tokoh anak dalam
cerita ini, dan mereka pun tidak perlu memerankan tokoh keluarga. Tidak perlu
menghapal naskah dan adegan. Tidak perlu pemusik dan penata cahaya, dan tidak
perlu penonton. Aku telah berbohong pada diriku sendiri untuk ke sekian
kalinya.
Semarang, 2023