Senapan
Ruly
Andriansah
Aku meniti anak tangga apartemen
milik seorang laki-laki. Terpaksa. Karena lift tempat ini sedang diperbaiki. Ada
perkara yang sebenarnya wajar dan biasa kutemui dalam keseharianku, tetapi
mendesak, dan kau harus memastikan itu agar tidak melahirkan kesialan
berikutnya. Ketika kau terbiasa dalam rutinitas yang sama sepanjang waktu tetapi
statusnya sontak berubah, kemungkinan besarnya—benda, pekerjaan, atau apapun itu—bisa berujung kecemasan. Siapa saja, barangkali, yang tercebur dalam
situasi seperti ini seringnya keras kepala untuk menuntaskan secepat yang ia bisa.
Napasku lumayan kacau setelah sampai di lantai tertinggi. Dan orang yang
kumaksud kutemukan sedang meniup gelembung di atas balkon kamar, perut dan
kedua sikunya menopang tubuhnya di pagar pembatas. Kulihat buih-buih gelembung
telah beterbangan.
“Gelembung-gelembung
itu seperti sekawanan burung,” ucapku tanpa permisi.
Lelaki itu membalas tanpa menoleh: “Mengembang
dan meletus.”
“Tetapi
burung tidak meletus.”
“Meletus
jika terkena peluru, tapi sayangnya, di kota ini tidak ada pemburu.”
“Mengapa
harus pemburu? Mantan pemburu barangkali bisa saja. Senapan yang menggantung di
tembok kamarmu tidak pernah kau tarik lagi pelatuknya!?”
“Kurasa,
ketika kita melewatkan tarikan napas sebelum bicara, analogi yang kita
buat jatuhnya akan memaksa.”
“Saya
hanya mengucapkan apa yang terlintas saat melihatmu meniup gelembung.”
Lelaki
itu terdiam sebentar sebelum kembali mengocok cairan sabun. Mungkin ingatannya
sedikit terlempar menuju masa silam karena ucapanku. Bukan pertama kalinya juga
ia terdiam ketika kami, aku lebih tepatnya, mulai bicara soal senapan dan
pemburu. Aku sering menduga sesuatu yang berasal dariku dan kuberikan kepada
orang lain sebagai tawar menawar jawaban. Meskipun jawaban itu tidak berasal dari
pertanyaan, atau sumbu apapun yang dapat dinyalakan, kau bahkan bisa memulainya
dari bentuk yang kau kehendaki. Semacam lorong gelap dan kau sudah terbayang
bagaimana ujungnya. Tetapi sebelum kau menemukan cahaya, dinding lorong itu kau
rasakan berbulu dan lembap. Kulitmu begitu peka. Di dalamnya, kakimu terendam genangan
yang sangat dingin dan suara desis hewan melata atau serangga yang mengancam lubang-lubang
di tubuhmu. Ketakutanmu adalah air di lantai lorong itu perlahan naik setinggi
kemaluan. Lalu saat kau keluar menggapai cahaya, kau bebas, namun setengah
badanmu kau temukan lebam dan lecet-lecet. Dan hewan melata yang kau bayangkan
menempel di betis dan pahamu, kini rupanya gemuk gemuk dan tiba-tiba meleleh
sebab terpanggang panas cahaya. Meskipun kau sudah terlepas dari gerombolan hewan
itu, taring-taring beracunnya masih menancap. Sementara kemaluanmu, jelas
tersumbat oleh cairan dingin yang mengental. Dalam kasusku, hingga saat ini aku
masih terjebak kegelapan yang sama. Setiap aku mulai menduga apa yang keluar
dari diriku sebagai bayaran untuk mendapatkan jawaban orang lain; lorong-lorong
selanjutnya sudah menganga di depan.
Sejujurnya,
balkon apartemen lelaki ini adalah tempat yang cukup tenang untuk bermalas-malasan,
tetapi aku sudah kehabisan waktu jika akan mengobrol lebih lama. Ada kucing yang
mengamankan diri di atas kursi kayu. Mendengkur pulas. Aku mengambilnya dan mengelus
bulu-bulunya yang kuning keemasan dengan tiga pola melingkar yang dipisahkan garis-garis
putih. Dalam keadaan meringkuk di tanganku, kucing
itu masih enggan juga membuka mata.
“Bagaimana
penampilan anak-anak?”
“Cukup
memuaskan, mereka terlatih seperti bertahun tahun.” Lelaki itu meletakkan wadah
gelembung lalu memandangku. Ia dengan santai menanggapi, meski demikian, ada
yang ganjil dan sulit diartikan dari pertemuan mata kami berdua.
“Benarkah?
Saya harap begitu.”
“Asalkan
mereka diberikan kepercayaan dan kita melakukan yang terbaik, semuanya akan
berjalan lancar. Aku menjamin itu.” Ia mendekat ke arahku dan mencopot kucing
yang kugendong. Kucing itu meronta melepaskan diri, baru tersadar dari mimpi-mimpi,
rohnya seakan terjun dari langit.
“Hei,
biarkan saya yang....” Aku sungguh terjepit dalam situasi ini. Tanganku gemetar,
selangkanganku menggigil, dan punggungku basah selain karena cuaca yang cukup
panas. Aku tidak tahu pasti, tetapi ini sering terjadi ketika selangkanganku
menggigil, aku menginginkan sesuatu yang lain. Jelas bukan yang itu. Bercinta
atau semacamnya telah menjadi konsep yang mencemaskan di dalam diriku. Tidak
semua persoalan bisa diselesaikan dengan menimpa tubuh satu sama lain. Jauh di
dalam diriku aku sudah membangun benteng kokoh sejak remaja, dan benteng itu
terbukti ampuh melewati segala musim. Hingga kemungkinan aku terjatuh dalam
aktivitas seks, aku bisa pikir-pikir terlebih dahulu. Tetapi memang, kuakui
bahwa seks memiliki ruang mandiri yang tidak bisa terisi oleh aktivitas tubuh
lainnya. Salah satu kesadaran manusia yang posisinya sulit tergeser oleh secanggih
apapun teknologi. Meski manusia menciptakan berbagai alat bantu atau mainan
seks, hasrat menyentuh tubuh utuh dari spesiesnya adalah hal yang sulit
terhindarkan. Peradaban menjadi lebih mudah karena aktivitas seks, setiap kota
yang ramai dengan arus ekonomi stabil; di sudut tertentu, kemungkinan ada
tempat pelacuran. Maka sangat sulit menemukan nasib seks umat manusia hingga tereduksi
atau benar-benar di ambang batas mengkhawatirkan. Sampai
hari ini aku memercayai itu.
“Kau
mengusik jadwal tidur siang kucingku. Mau kubuatkan teh untuk mengendurkan urat
syaraf? Kebetulan selepas pementasan kemarin, salah seorang wali murid memberiku
beberapa kantung Ocha,” tawarnya.
Andai
ia tahu, jika mengelus kucing adalah caraku menyembunyikan kepanikan yang terus
mendesak dari dalam diriku. Kalimat yang mampu kuucapkan dan ia tanggapi ini hanya
formalitas. Keparat, sadarlah lebih cepat. Hapus rias ketenangan dari wajahmu
itu.
Aku
tidak membalas tawarannya, namun ia berjalan gontai memasuki pantri minimalis
yang terhubung langsung melalui pintu geser. Aku terpaksa mengikuti lalu duduk
di kasurnya. Tempat tidurnya tidak terlalu berantakan, hanya ditimpa tiga
bundel majalah Nasional Geografi dan naskah-naskah fotokopi yang dijilid
sembarangan. Di atas meja kerja, asbak peraknya dipenuhi
puntung rokok berbau tengik karena siraman bir. Kuduga sebelum mengurus
gelembung, ia telah menenggak beberapa
botol. Dan jarang sekali orang menjadi mabuk karena minum bir, hanya akan
membuat tubuh lebih bersemangat dan sering terkencing. Selain bau tengik, aroma
kamarnya berbau obat pembasmi serangga. Kendati ia tinggal di apartemen, namun
hampir semua perabotan kamarnya berbahan dasar kayu, jadi sewaktu-waktu rayap
pasti mendekat. Aku kurang mengerti juga, mengapa disebut obat pembasmi jika
itu adalah ancaman bagi serangga bahkan manusia.
Dari
sekian benda di kamarnya, yang paling berkesan, tentu
senapan yang pernah kami gunakan berburu saat masih aktif di klub
menembak. Senapan angin model PCP seri Benjamin Marauder OD 38. Aku punya satu,
sebab kami membeli model yang sama dan dari toko yang sama pula. Tidak ada
bedanya dengan alasan mengapa kau memakai kaos couple atau tidak sama
sekali. Popor senapan itu terbuat dari kayu mangga hutan. Bukan kualitas
terbaik tetapi aku menyukai larasnya yang tidak terlalu panjang, hanya 60 cm,
dengan berat total senapan sekitar 4 kilogram. Dulu semasa di universitas kami
berdua adalah penembak yang cukup andal, sampai akhirnya tanganku kaku karena
jarang berlatih. Aku sangat percaya diri dengan kemampuan menembakku. Kini kemampuanku
terlelap dalam kesadaranku, jujur, aku ingin melatihnya sekali lagi. Singkatnya
setelah kami lulus, kami memutuskan membuka sanggar teater yang modalnya
menghabiskan seluruh tabungan pernikahan. Sebetulnya ada banyak pilihan waktu
itu, misalnya membuka bar atau restoran, setidaknya upaya yang lebih
menguntungkan. Maksudku, semua orang pasti membutuhkan makanan atau tempat
minum-minum. Dan kota yang kami tinggali selalu dibanjiri arus pendatang yang
besar. Terutama mahasiswa dan angkatan muda, bahkan sampai hari ini, kota yang
kami tinggali tidak pernah kekurangan anak muda. Mereka datang dan pergi, gairah
di kota ini selalu meremajakan diri. Namun, lelaki yang dulunya akan menjadi
calon suamiku itu justru lebih tergoda meraba peruntungan. Percuma jika
pembelajaran di departemen seni sama sekali tidak terpakai, ujarnya. Itu masa-masa
sulit untuk menerima peluang terbaik sebuah rencana. Dan Setiap aku mengingat
ketidakberdayaanku, aku terseret ke dalam perasaan yang memalukan.
...
“Ayolah,
kenapa terburu-buru. Semuanya tidak seburuk yang kau pikirkan.” Ia tiba membawa
dua cangkir teh berukuran sedang, memasang alasan agar aku memasung diri
menemaninya.
“Terima kasih. Tetapi saya tidak ada waktu untuk minum teh.”
“Kalau
begitu akan kuambilkan bir dingin, kau tidak bisa menolaknya, kan?”
Lelaki
itu tersenyum dan kembali menuju dapur. Tak lama kemudian ia membawa nampan
berisi bir Heineken, gelas, dan alat membuka botol. Ia menuangkannya untukku. Setelah
bir itu mengalir dalam tubuhku, aku merasakan kesegaran dan perasaan yang jauh
lebih bersahaja.
“Saya
harus mengatakannya.”
“Sebentar,
kau ingin mengatakan bagian yang mana?”
“Keduanya.
Bir dingin dan yang terpenting alasan saya kemari. Saya kira kamu sudah tahu
dan itu bukanlah kabar burung. Bulan depan saya akan menikah.”
“Ah,
jadi bukan tentang sanggar, ya. Baguslah, aku senang mendengarnya. Tidak ada
yang mencegatmu. Termasuk aku atau siapa saja yang kau anggap berpotensi
menghambat keinginan mulia. Selain itu, aku juga mengenal pribadi Noah secara
dekat. Tidak ada masalah denganku. Noah akan menjadi suami yang dapat
diandalkan, kau pasti memercayakan banyak hal kepadanya.”
“Tentu.
Meski cukup sulit pada awalnya, namun memang baiknya terputus darimu, dari anak-anak
dan segala urusan sanggar. Dan saya pikir yang tersulit, saya harus meninggalkan
kota ini selepas mengurusi berkas dan administrasi lain. Setelah menikah, kami
akan bekerja di luar negeri sekaligus saya akan mengambil kelas doktor.”
“Negara
mana?”
“Jerman,
di kota Freiburg.”
Lelaki
itu memeriksa kantong celananya, ia menemukan bungkus rokok kemudian meloloskan
batang yang terbalik, keberuntungan. Membakarnya dengan lembut. Apa yang
spesial dari cara orang menghisap rokok, kurasa lelaki ini telah menjawabnya. Hembusan
demi hembusan ia lakukan amat cermat.
“Ooh,
menurutku itu pilihan terbaik, bukankah sudah seharusnya? Kau memang berhak
atas semua itu.”
“Lantas
bagaimana dengan dirimu? Saya tidak lagi mengerti, setelah cara-caramu
sebelumnya.” Aku memastikan kembali keyakinan lelaki itu.
“Begini,
maksudku....” Ia memutar rokoknya dan menjentikkannya dua kali sebelum menarik
napas panjang.
“Aku
tidak keberatan dan kau lebih tahu tentang dirimu. Syukur jika tahu sedikit
tentangku. Mengenai sanggar? Jangan diambil pusing, sanggar akan berjalan seperti
biasanya. Dan kupastikan kau menerima bagianmu.”
“Saya
tidak ingin membicarakan yang itu.”
“Maksudnya?”
“Cinta!
Kamu belum juga sadar atas maksud kedatangan saya.”
“Nad,
sebentar lagi kau akan hidup bersama Noah.”
“Saya
tahu, tapi entahlah jauh dalam kejujuran saya. Saya masih mencintaimu.”
“Nadya,
aku tetap dalam pendirianku sejak pertama kita memulai. Dan janjiku terhadap
Noah mana mungkin kucederai begitu mudahnya. Kau sudah memercayainya. Tak ada
alasan bagiku untuk kembali memikirkan apa yang telah
usai.”
“Itu
keputusanmu! Bukan keputusan bersama.”
“Bahkan
pada hari menjelang kau memperkirakan kebahagiaan, kau masih orang yang berhati-hati.
Manis, kau manis sekali, Nad” Aku mengenyahkan pujiannya yang terakhir, seperti
sebongkah es purba dari masa lalu dan mencair saat terkena bandang panas, kesadaranku
tentang lelaki itu seutuhnya sama sekali tidak dapat kutangkap.
“Kau
ingin apa sebetulnya?”
“Saya hanya ingin memegang senapanmu untuk kali
terakhir!”
Yogyakarta, 2023