Senapan - Ruly Andriansah

@kontributor 6/18/2023

Senapan

Ruly Andriansah

 


Aku meniti anak tangga apartemen milik seorang laki-laki. Terpaksa. Karena lift tempat ini sedang diperbaiki. Ada perkara yang sebenarnya wajar dan biasa kutemui dalam keseharianku, tetapi mendesak, dan kau harus memastikan itu agar tidak melahirkan kesialan berikutnya. Ketika kau terbiasa dalam rutinitas yang sama sepanjang waktu tetapi statusnya sontak berubah, kemungkinan besarnyabenda, pekerjaan, atau apapun itubisa berujung kecemasan. Siapa saja, barangkali, yang tercebur dalam situasi seperti ini seringnya keras kepala untuk menuntaskan secepat yang ia bisa. Napasku lumayan kacau setelah sampai di lantai tertinggi. Dan orang yang kumaksud kutemukan sedang meniup gelembung di atas balkon kamar, perut dan kedua sikunya menopang tubuhnya di pagar pembatas. Kulihat buih-buih gelembung telah beterbangan.

“Gelembung-gelembung itu seperti sekawanan burung,” ucapku tanpa permisi.

 Lelaki itu membalas tanpa menoleh: “Mengembang dan meletus.”

“Tetapi burung tidak meletus.”

“Meletus jika terkena peluru, tapi sayangnya, di kota ini tidak ada pemburu.”

“Mengapa harus pemburu? Mantan pemburu barangkali bisa saja. Senapan yang menggantung di tembok kamarmu tidak pernah kau tarik lagi pelatuknya!?”  

“Kurasa, ketika kita melewatkan tarikan napas sebelum bicara, analogi yang kita buat jatuhnya akan memaksa.”

“Saya hanya mengucapkan apa yang terlintas saat melihatmu meniup gelembung.”

Lelaki itu terdiam sebentar sebelum kembali mengocok cairan sabun. Mungkin ingatannya sedikit terlempar menuju masa silam karena ucapanku. Bukan pertama kalinya juga ia terdiam ketika kami, aku lebih tepatnya, mulai bicara soal senapan dan pemburu. Aku sering menduga sesuatu yang berasal dariku dan kuberikan kepada orang lain sebagai tawar menawar jawaban. Meskipun jawaban itu tidak berasal dari pertanyaan, atau sumbu apapun yang dapat dinyalakan, kau bahkan bisa memulainya dari bentuk yang kau kehendaki. Semacam lorong gelap dan kau sudah terbayang bagaimana ujungnya. Tetapi sebelum kau menemukan cahaya, dinding lorong itu kau rasakan berbulu dan lembap. Kulitmu begitu peka. Di dalamnya, kakimu terendam genangan yang sangat dingin dan suara desis hewan melata atau serangga yang mengancam lubang-lubang di tubuhmu. Ketakutanmu adalah air di lantai lorong itu perlahan naik setinggi kemaluan. Lalu saat kau keluar menggapai cahaya, kau bebas, namun setengah badanmu kau temukan lebam dan lecet-lecet. Dan hewan melata yang kau bayangkan menempel di betis dan pahamu, kini rupanya gemuk gemuk dan tiba-tiba meleleh sebab terpanggang panas cahaya. Meskipun kau sudah terlepas dari gerombolan hewan itu, taring-taring beracunnya masih menancap. Sementara kemaluanmu, jelas tersumbat oleh cairan dingin yang mengental. Dalam kasusku, hingga saat ini aku masih terjebak kegelapan yang sama. Setiap aku mulai menduga apa yang keluar dari diriku sebagai bayaran untuk mendapatkan jawaban orang lain; lorong-lorong selanjutnya sudah menganga di depan.

Sejujurnya, balkon apartemen lelaki ini adalah tempat yang cukup tenang untuk bermalas-malasan, tetapi aku sudah kehabisan waktu jika akan mengobrol lebih lama. Ada kucing yang mengamankan diri di atas kursi kayu. Mendengkur pulas. Aku mengambilnya dan mengelus bulu-bulunya yang kuning keemasan dengan tiga pola melingkar yang dipisahkan garis-garis putih. Dalam keadaan meringkuk di tanganku, kucing itu masih enggan juga membuka mata.

“Bagaimana penampilan anak-anak?”

“Cukup memuaskan, mereka terlatih seperti bertahun tahun.” Lelaki itu meletakkan wadah gelembung lalu memandangku. Ia dengan santai menanggapi, meski demikian, ada yang ganjil dan sulit diartikan dari pertemuan mata kami berdua.

“Benarkah? Saya harap begitu.”

“Asalkan mereka diberikan kepercayaan dan kita melakukan yang terbaik, semuanya akan berjalan lancar. Aku menjamin itu.” Ia mendekat ke arahku dan mencopot kucing yang kugendong. Kucing itu meronta melepaskan diri, baru tersadar dari mimpi-mimpi, rohnya seakan terjun dari langit.

“Hei, biarkan saya yang....” Aku sungguh terjepit dalam situasi ini. Tanganku gemetar, selangkanganku menggigil, dan punggungku basah selain karena cuaca yang cukup panas. Aku tidak tahu pasti, tetapi ini sering terjadi ketika selangkanganku menggigil, aku menginginkan sesuatu yang lain. Jelas bukan yang itu. Bercinta atau semacamnya telah menjadi konsep yang mencemaskan di dalam diriku. Tidak semua persoalan bisa diselesaikan dengan menimpa tubuh satu sama lain. Jauh di dalam diriku aku sudah membangun benteng kokoh sejak remaja, dan benteng itu terbukti ampuh melewati segala musim. Hingga kemungkinan aku terjatuh dalam aktivitas seks, aku bisa pikir-pikir terlebih dahulu. Tetapi memang, kuakui bahwa seks memiliki ruang mandiri yang tidak bisa terisi oleh aktivitas tubuh lainnya. Salah satu kesadaran manusia yang posisinya sulit tergeser oleh secanggih apapun teknologi. Meski manusia menciptakan berbagai alat bantu atau mainan seks, hasrat menyentuh tubuh utuh dari spesiesnya adalah hal yang sulit terhindarkan. Peradaban menjadi lebih mudah karena aktivitas seks, setiap kota yang ramai dengan arus ekonomi stabil; di sudut tertentu, kemungkinan ada tempat pelacuran. Maka sangat sulit menemukan nasib seks umat manusia hingga tereduksi atau benar-benar di ambang batas mengkhawatirkan. Sampai hari ini aku memercayai itu.  

“Kau mengusik jadwal tidur siang kucingku. Mau kubuatkan teh untuk mengendurkan urat syaraf? Kebetulan selepas pementasan kemarin, salah seorang wali murid memberiku beberapa kantung Ocha,” tawarnya.

Andai ia tahu, jika mengelus kucing adalah caraku menyembunyikan kepanikan yang terus mendesak dari dalam diriku. Kalimat yang mampu kuucapkan dan ia tanggapi ini hanya formalitas. Keparat, sadarlah lebih cepat. Hapus rias ketenangan dari wajahmu itu.  

Aku tidak membalas tawarannya, namun ia berjalan gontai memasuki pantri minimalis yang terhubung langsung melalui pintu geser. Aku terpaksa mengikuti lalu duduk di kasurnya. Tempat tidurnya tidak terlalu berantakan, hanya ditimpa tiga bundel majalah Nasional Geografi dan naskah-naskah fotokopi yang dijilid sembarangan. Di atas meja kerja, asbak peraknya dipenuhi puntung rokok berbau tengik karena siraman bir. Kuduga sebelum mengurus gelembung, ia telah menenggak beberapa botol. Dan jarang sekali orang menjadi mabuk karena minum bir, hanya akan membuat tubuh lebih bersemangat dan sering terkencing. Selain bau tengik, aroma kamarnya berbau obat pembasmi serangga. Kendati ia tinggal di apartemen, namun hampir semua perabotan kamarnya berbahan dasar kayu, jadi sewaktu-waktu rayap pasti mendekat. Aku kurang mengerti juga, mengapa disebut obat pembasmi jika itu adalah ancaman bagi serangga bahkan manusia.

Dari sekian benda di kamarnya, yang paling berkesan, tentu senapan yang pernah kami gunakan berburu saat masih aktif di klub menembak. Senapan angin model PCP seri Benjamin Marauder OD 38. Aku punya satu, sebab kami membeli model yang sama dan dari toko yang sama pula. Tidak ada bedanya dengan alasan mengapa kau memakai kaos couple atau tidak sama sekali. Popor senapan itu terbuat dari kayu mangga hutan. Bukan kualitas terbaik tetapi aku menyukai larasnya yang tidak terlalu panjang, hanya 60 cm, dengan berat total senapan sekitar 4 kilogram. Dulu semasa di universitas kami berdua adalah penembak yang cukup andal, sampai akhirnya tanganku kaku karena jarang berlatih. Aku sangat percaya diri dengan kemampuan menembakku. Kini kemampuanku terlelap dalam kesadaranku, jujur, aku ingin melatihnya sekali lagi. Singkatnya setelah kami lulus, kami memutuskan membuka sanggar teater yang modalnya menghabiskan seluruh tabungan pernikahan. Sebetulnya ada banyak pilihan waktu itu, misalnya membuka bar atau restoran, setidaknya upaya yang lebih menguntungkan. Maksudku, semua orang pasti membutuhkan makanan atau tempat minum-minum. Dan kota yang kami tinggali selalu dibanjiri arus pendatang yang besar. Terutama mahasiswa dan angkatan muda, bahkan sampai hari ini, kota yang kami tinggali tidak pernah kekurangan anak muda. Mereka datang dan pergi, gairah di kota ini selalu meremajakan diri. Namun, lelaki yang dulunya akan menjadi calon suamiku itu justru lebih tergoda meraba peruntungan. Percuma jika pembelajaran di departemen seni sama sekali tidak terpakai, ujarnya. Itu masa-masa sulit untuk menerima peluang terbaik sebuah rencana. Dan Setiap aku mengingat ketidakberdayaanku, aku terseret ke dalam perasaan yang memalukan.

...

“Ayolah, kenapa terburu-buru. Semuanya tidak seburuk yang kau pikirkan.” Ia tiba membawa dua cangkir teh berukuran sedang, memasang alasan agar aku memasung diri menemaninya.

“Terima kasih. Tetapi saya tidak ada waktu untuk minum teh.”

“Kalau begitu akan kuambilkan bir dingin, kau tidak bisa menolaknya, kan?”

Lelaki itu tersenyum dan kembali menuju dapur. Tak lama kemudian ia membawa nampan berisi bir Heineken, gelas, dan alat membuka botol. Ia menuangkannya untukku. Setelah bir itu mengalir dalam tubuhku, aku merasakan kesegaran dan perasaan yang jauh lebih bersahaja.

“Saya harus mengatakannya.”

“Sebentar, kau ingin mengatakan bagian yang mana?”

“Keduanya. Bir dingin dan yang terpenting alasan saya kemari. Saya kira kamu sudah tahu dan itu bukanlah kabar burung. Bulan depan saya akan menikah.”

“Ah, jadi bukan tentang sanggar, ya. Baguslah, aku senang mendengarnya. Tidak ada yang mencegatmu. Termasuk aku atau siapa saja yang kau anggap berpotensi menghambat keinginan mulia. Selain itu, aku juga mengenal pribadi Noah secara dekat. Tidak ada masalah denganku. Noah akan menjadi suami yang dapat diandalkan, kau pasti memercayakan banyak hal kepadanya.”

“Tentu. Meski cukup sulit pada awalnya, namun memang baiknya terputus darimu, dari anak-anak dan segala urusan sanggar. Dan saya pikir yang tersulit, saya harus meninggalkan kota ini selepas mengurusi berkas dan administrasi lain. Setelah menikah, kami akan bekerja di luar negeri sekaligus saya akan mengambil kelas doktor.”

“Negara mana?”

“Jerman, di kota Freiburg.”

Lelaki itu memeriksa kantong celananya, ia menemukan bungkus rokok kemudian meloloskan batang yang terbalik, keberuntungan. Membakarnya dengan lembut. Apa yang spesial dari cara orang menghisap rokok, kurasa lelaki ini telah menjawabnya. Hembusan demi hembusan ia lakukan amat cermat.  

“Ooh, menurutku itu pilihan terbaik, bukankah sudah seharusnya? Kau memang berhak atas semua itu.”

“Lantas bagaimana dengan dirimu? Saya tidak lagi mengerti, setelah cara-caramu sebelumnya.” Aku memastikan kembali keyakinan lelaki itu.

“Begini, maksudku....” Ia memutar rokoknya dan menjentikkannya dua kali sebelum menarik napas panjang.

“Aku tidak keberatan dan kau lebih tahu tentang dirimu. Syukur jika tahu sedikit tentangku. Mengenai sanggar? Jangan diambil pusing, sanggar akan berjalan seperti biasanya. Dan kupastikan kau menerima bagianmu.”

“Saya tidak ingin membicarakan yang itu.”

“Maksudnya?”

“Cinta! Kamu belum juga sadar atas maksud kedatangan saya.”

“Nad, sebentar lagi kau akan hidup bersama Noah.”

“Saya tahu, tapi entahlah jauh dalam kejujuran saya. Saya masih mencintaimu.”

“Nadya, aku tetap dalam pendirianku sejak pertama kita memulai. Dan janjiku terhadap Noah mana mungkin kucederai begitu mudahnya. Kau sudah memercayainya. Tak ada alasan bagiku untuk kembali memikirkan apa yang telah usai.”

“Itu keputusanmu! Bukan keputusan bersama.”

“Bahkan pada hari menjelang kau memperkirakan kebahagiaan, kau masih orang yang berhati-hati. Manis, kau manis sekali, Nad” Aku mengenyahkan pujiannya yang terakhir, seperti sebongkah es purba dari masa lalu dan mencair saat terkena bandang panas, kesadaranku tentang lelaki itu seutuhnya sama sekali tidak dapat kutangkap.

“Kau ingin apa sebetulnya?”

 “Saya hanya ingin memegang senapanmu untuk kali terakhir!”

 

 

Yogyakarta, 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »