Seorang Tabib yang Datang dari Negeri Jauh
Arif Purnama Putra
“Bagi siapa
yang bisa mematahkah jari kelingkingku ini, silakan maju!” sambil mengacungkan
jari, Buya Gaek begitu marah di tengah masyarakat yang ramai di balai desa.
...
Buya Gaek tinggal di Singkulan, desa
yang jauh dari pusat kecamatan di daerah kami kerap disebut sebagai rumah
persembunyian orang-orang celaka yang gagal di rantau. Tentu pantas juga bila
cerita itu berkembang di luar kabupaten kami, karena tidak dipungkiri pula
daerah ini sering dijadikan tempat pemutus kaji oleh mereka yang menuntut ilmu,
terlebih ilmu kebal dan sejenisnya. Singkulan adalah satu-satunya desa yang
paling masyhur dalam persoalan itu, ditambah pula di desa ini dua sisi gelap
dan terang nyaris sama-sama tersohor; Buya Gaek dan Lin Tomo.
Lin Tomo terkenal dengan sebutan ‘tabib cino’ itu datang dari negeri jauh, begitu
barangkali cerita orang-orang mengenal Lin Tomo. Dia tidak sipit ataupun datang
dari cina sana, atau keturunan cina yang mewarisi ilmu tabib secara
turun-temurun. Dulu, Singkulan masuk ke dalam kabupaten Kerinci, setelah
pemekaran akibat pecahnya perang saudara lantaran permainan politik antek-antek
Belanda yang masih bercokol di daerah pesisiran ini. Nyatanya sepeninggal
kebangkrutan tambang emas Belanda di daerah Salido Painan, mereka akhirnya
berpindah ke Muaro Padang dengan dalih diusir, padahal mereka sudahlah
mengalami kebangkrutan yang tak tertolong lagi. Mau mengadu ke pihak kerajaan,
tidaklah mungkin. Akhirnya mereka membuat sandiwara, yang dikenal dengan sandiwara
Batangkapeh. Dimana semua pembesar-pembesar seantero Bandar Sepuluh
dikumpulkan untuk melengserkan kekuasaan yang saat itu dipegang kendali
Kerajaan Inderapura dibawah naungan Kesultanan Aceh.
Lin Tomo adalah nama pemberian dari
seorang Datuk yang suatu waktu anaknya disembuhkan oleh Lin Tomo. Karena ia
sudah berjanji akan memberikan gelar kepada siapa yang bisa mengobati anaknya,
akhirnya Lin Tomo mendapatkan gelar itu sebagai tabib yang ahli dalam
pengobatan tradisional, sehingga Lin Tomo disemat kepadanya. Tentu beralasan
mengapa nama tersebut yang dipilih, pasalnya pada zaman raja-raja dulu, pernah
seorang cino daratan datang dalam sayembara yang dibuat raja Inderapura.
Sayembara itu guna meminimalisir penyebaran wabah campak, semacam penyakit
kulit yang menimbulkan bintik-bintik di kulit. Wabah yang penyebarannya sangat
cepat, nyaris setengah dari masyarakat pada masa itu terjangkit. Lin Tomo yang
datang dari Cina daratan itu ikut menyumbang keahliannya sebagai tabib.
Sampai-sampai ia diberi tanah oleh raja dan diperistrikan pula.
Kisah itulah yang beredar ke segala
penjuru, sehingga Lin Tomo begitu masyhur dalam pengobatan tradisional.
Sedangkan Buya Gaek hanyalah seorang petani yang kalau sedang masa paceklik
beralih profesi sebagai pandai besi. Selain itu, ia juga kerap diundang ke
acara-acara syukuran, sesekali mengisi khotbah jumat. Di Singkulan, segala memang
nampang beradu-adu antara spiritual; buya dan dukun. Buya Gaek juga dikenal
sebagai anak dari guru mengaji di Singkulan, namun Buya Gaek tidaklah membuka pengajian
di rumahnya sebagaimana dulu ayahnya, tidak pula aktif ceramah masjid ke masjid.
Itu yang membuat ia tidak pernah mendapatkan pengakuan secara langsung dari
masyarakat, karena belum pernah membuktikan ilmunya secara nyata di hadapan orang banyak. Ia hanya berusaha
mendoakan saja bila orang-orang meminta kesembuhan kepadanya. Berbeda jauh
dengan Lin Tomo dan kawan lain yang seprofesinya. Mereka kalau sudah malam
jumat, pasti melakukan ritus-ritus yang dihadiri orang banyak, katanya
menyambut arwah leluhur yang menjelma ke dalam tubuh.
Sebagian masyarakat juga memercayai
bahwa Lin Tomo adalah dukun keturunan. Di Singkulan, orang-orang masih
memercayai betul hal-hal seperti itu, karomah dukun turunan melebihi doa dari
orang siak seperti Buya Gaek. Tetapi hari itu bukan lagi tentang dua sisi
tersebut. Di siang yang nyalang, saat para petani istirahat sehabis panen padi.
Tiba-tiba seorang anak menghampiri Buya Gaek, mengabarkan bahwa ia diundang Lin
Tomo untuk mendoa syukur atas rumah barunya yang sudah selesai dibangun. Tentu
saja Buya Gaek mengiyakan itu, toh, selama ini Lin Tomo tidak pernah ada
masalah dengan Buya Gaek. Buya Gaek pun demikian, ia tidak pernah
mempermasalahkan urusan orang-orang di kampung yang tiba-tiba sudah menjadi
dukun saja, sudah bisa saja mengobati berbagai macam penyakit.
***
Malam itu Buya Gaek mendatangi rumah
Lin Tomo, semuanya tampak khidmat dan suka cita. Anak-anak
riang bermain sambil menggenggam cemilan yang disediakan oleh tuan rumah. Buya
Gaek duduk sendiri. Tak lama berselang Blawar menghampirinya dan bertanya apa
alasan Buya Gaek mau datang ke rumah Lin Tomo. Buya Gaek menjawab sependeknya,
bagaimana pula menolak orang yang sedang bersyukur atas capaiannya. Kemudian duduk pula di sampingnya
Mawas.
“Gimana,
Gaek, seduduk pula kita malam ini, ya.”
“Eh, namanya
juga sekampung, mana bisa tak bersua.” Jawab Buya Gaek sambil menggulung
tembakaunya.
“Ilmu Buya
Gaek jauh di atas Lin Tomo, Was. Jangan pandang sebelah mata.” Tambah Blawar.
“Waik, jadi beliau yang santing itu?”
tanya Mawas serius.
“Kan Mawas
itulah, gajah di pelupuk mata tak nampak.” Sambil memalingkan wajah,
Blawar tertawa.
“Awak ini
siapalah, cuma petani yang sehari-hari sibuk memikirkan makan buat besok.”
Jawab Buya Gaek dan beranjak dari tempat duduknya menuju ke dalam rumah.
Setelah acara berlangsung khidmat,
tak ada bahasan selain tentang proses pembangunan rumah Lin Tomo. Rumah yang
dikerjakan kebut itu cukup besar dengan kamar pasien tiga ruang, kamar tamu
yang besar dua. Sedangkan kamar Lin Tomo dan keluarga agak ke belakang. Pria
yang sudah tidak muda itu memang tak begitu akrab dengan Buya Gaek, malam itu
mereka juga tidak duduk berdekatan ataupun mengobrol hangat sebagaimana tuan
rumah dan tamu. Tetapi Lin Tomo tidak pula menyindir-nyindir obrolan lain,
meski umumnya yang datang malam itu adalah kawan-kawan seprofesinya yang sangat
bertentangan dengan Buya Gaek. Bagaimana tidak, Buya Gaek adalah satu-satunya
orang di Singkulan yang menolak zakat dari orang yang berprofesi sebagai dukun.
Di Singkulan, zakat diberikan langsung oleh mereka yang berzakat kepada
penerima. Buya Gaek sejak lama sudah menolak itu, ia pun tidak memberikan
alasan mengapa menolak. Nyaris setiap tahun mereka berusaha mengantarkan zakat
ke rumah Buya Gaek, namun ia tetap menolak. Pernah suatu hari zakat itu
diterima anak sulungnya tanpa sepengetahuannya, Buya Gaek marah besar sampai-sampai
ia memberi sang anak dua pilihan; kembalikan zakat atau minggat. Jelas sang
anak tak berkutik.
Itulah mengapa banyak dari mereka
yang berseberangan dengan Buya Gaek. Banyak dari mereka yang hadir
mempertanyakan mengapa Buya Gaek pula yang jadi pendoa di rumah Lin Tomo. Tapi
bagaimana lagi, Lin Tomo punya nama besar, mana pula berani dukun Singkulan menentangnya.
Satu-satunya yang berani menolak Lin Tomo hanyalah Buya Gaek. Tapi pada
hari-hari baik, Buya Gaek tak pernah menolak kalau diajak. Misalnya seperti
acara malam itu, atau gotong royong yang acap diarahkan Lin Tomo.
Setelah semua tamu pulang, Buya Gaek
yang datang karena dijemput anak Lin Tomo agak kemalaman pulang. Sebelum
pulang, Lin Tomo mengajak Buya Gaek duduk berdua di halaman depan. Lin Tomo
mengajak Buya Gaek bekerja dengannya sebagai pendoa. Jadi setelah pengobatan
dilakukan Lin Tomo, Buya Gaek mendoakan pasien-pasien itu.
“kau sudah
tau jawaban dariku, Lin. Saya rasa ini percakapan yang tidak perlu kita
lanjutkan. Sebaiknya panggil anakmu dan antarkan saya pulang.”
“Jangan
sentimen begitu, Buya, maksudku bukan mengajakmu menjadi tabib atau dukun. Tapi
setidaknya rumah ini juga melantunkan doa-doa ayat suci, bukan semata mantra-mantra
saja.”
“Bukankah
dalam mantramu juga menyebut nama Tuhan dan nabi?” tanya Buya Gaek tenang.
“Aih... jangan bawa ke sana, Gaek. Itu
lain cerita.” Lin Tomo menaikan nada suaranya.
“Sudahlah,
panggil anakmu, sudah larut ini, besok mau ke sawah soalnya.”
***
Tidak banyak yang mengetahui
percakapan Lin Tomo dan Buya Gaek malam itu, apa lagi soal tawaran Lin Tomo
kepada Buya Gaek. Setelah malam itu, semua nampak janggal dan canggung. Buya
Gaek yang biasanya kerap dibawa orang kampung bekerja ke sawah tidak lagi dapat
bagian. Prosesi mendoa di acara-acara pun tidak lagi menggunakan jasa Buya
Gaek. Ia mulai bingung, namun tidak berusaha mencari tau apa sebenarnya yang
sedang terjadi. Buya Gaek tau betul masyarakat Singkulan disamping percaya
terhadap mistik dan mitos amat tinggi, tetapi juga masih memegang teguh warisan
para guru terdahulu bahwa Tuhan adalah gaib dan segala doa juga dapat terkabul.
Hampir setahun setelah malam di
rumah Lin Tomo, Buya Gaek memang kosong mengisi acara-acara mendoa, apa lagi
diajak bekerja ke sawah masyarakat Singkulan. Begitu juga dengan mengisi
khotbah jumat. Ia terpaksa menghabiskan waktunya sebagai pandai besi dan
menjual hasil kerjanya ke pasar-pasar di luar Singkulan. Memang melelahkan,
tetapi anak sulungnya cukup tau diri dan ikut bersama sang ayah. Jadi tidak ada
pilihan lagi baginya berleha-leha, kalau tak kerja akan susah makan. Buya Gaek
sudah memberitahu sang anak bahwa mereka tidak mempunyai keluarga yang banyak
di Singkulan, desa yang nyaris berada di hulu itu memang membuat Buya Gaek jauh
dari kerabatnya. Namun ia percaya, bahwa mendiang ayahnya memaksa untuk
bermukim di sana beralasan. Itu sebabnya sang ayah mencarikan jodoh di desa
Singkulan. Sebab, setelah sering sakit-sakitan, mendiang ayahnya terpaksa
dibawah pulang ke kampung untuk dirawat. Alih-alih jadi tongkat estafet, Buya
Gaek harus kalah dengan keadaan.
Tiba-tiba suatu petang menjelang
magrib, anak Lin Tomo datang ke rumah Buya Gaek. Ia kabarkan bahwa sang ayah
sudah empat bulan sakit. Kata anaknya, sang ayah memang mempunyai riwayat
penyakit perut, namun sebulan ini perutnya tidak sakit. Tapi beliau tetap
merasakan sakit di tubuhnya. Tapi tidak tau bagian mana. Tidak makan nasi
selama dua minggu, hanya minum air putih saja. Buya Gaek tidaklah terkejut, ia
menyuruh anak Lin Tomo mencarikan daun bunga raya dan tujuh helai daun sitawar
dan sidingin, kemudian baca alfatihah dan dua kalimat syahadat. Anak Lin Tomo
tertegun, lalu beranjak pulang dengan murung.
Buya Gaek menyimpan risau dengan
keadaan Lin Tomo. Pria yang juga merupakan sumando dari Buya Gaek itu
rupanya sedang sakit parah, pantas saja beberapa bulan belakangan tidak
terlihat di balai desa. Biasanya sekali sebulan ia akan berada di balai desa
untuk memberikan arahan kepada masyarakat untuk gotong royong atau agenda
lainnya. Menurut cerita anak Lin Tomo, setelah dari balai desa empat bulan
lalu, sang ayah diajak Blawar mengobati, yang katanya salah satu kerabatnya
karena Blawar tidak sanggup mengobati pasien tersebut. Sudahlah dicoba berbagai
macam obat, tapi tetap tak mempan. Pasien yang datang dari negeri Inderapura, negeri
yang dikenal tempat raja-raja berdaulat pada masanya. Seorang wanita muda yang
terjangkit penyakit, menurut anak Lin Tomo itu penyakit cacar, sebab pasien
tersebut sudah nginap di rumahnya beberapa hari. Namun lantaran pasien tak
nyaman dengan bau menyan dan bunga, ia minta dipulangkan. Tak berselang
beberapa hari setelah pasien itu pulang. Lin Tomo jadi susah tidur, makan juga
tidak mau. Sudah banyak pula ritus-ritus dilakukan setiap malam, hasilnya tetap
nihil.
Paginya Buya Gaek menuju rumah Lin
Tomo dan melihat keadaan Lin Tomo yang makin tak karuan, ia lihat Lin Tomo
duduk di teras rumah sambil nyinyir sendiri, padahal tidak ada lawan bicara.
Buya Gaek menepuk pundaknya dan seketika Lin Tomo ketakutan histeris kemudian
lari bersembunyi. Lalu anaknya menghampiri Buya Gaek dan menyebutkan berita
yang beredar bahwa semuanya adalah ulah Buya Gaek. Anak Lin Tomo bercerita
bahwa setelah malam mendoa itu, ayahnya membakar habis jimat-jimat yang sudah
disediakan untuk pengobatan. Katanya malam itu, ia akan fokus pada pengobatan
murni tradisional tanpa jimat dan memanggil leluhur. Hari-hari selanjutnya ia
tidak lagi menerima pasien banyak, kadang ia menolak, hanya terkena di hatinya saja yang diterima. Itu pula alasan Blawar dan kawan seprofesi ayah
mengira perubahan sang ayah karena hasut dari Buya Gaek. Sehingga sebagian
masyarakat yang meminta pengobatan kepada ayah mengarah ke Blawar dan lainnya,
di sanalah Blawar menceritakan bahwa ilmu ayah sudah hilang diambil Buya Gaek,
karena ayah takut dengan Buya Gaek, karena Buya Gaek lah dukun sebenarnya. Tapi,
tidak ada yang tau pasien terakhir ayah ketika itu adalah anak seorang alim
ulama, orang siak dari negeri Inderapura.
Seketika Buya Gaek bergegas ke balai
desa, di sanalah masyarakat melihat kelindan amarah Buya Gaek, tak pernah
sekalipun ia semarah itu, sampai membuang tuah.
“Bagi siapa
yang bisa mematahkah jari kelingkingku ini, silakan maju!” sambil mengacungkan
jari, Buya Gaek begitu marah di tengah masyarakat yang riuh. Seketika semua
diam, anjing saja berani menyalak. Aku memandang wajah mamakku, kulihat
nyala dan nyalang sayangnya. Oh, segala menderu dan tersudu dalam dada.
Catatan:
Sepuluh Bandar di daerah Pesisir Selatan, Sumatra Barat (Minangkabau) dibawa kekuasaan Kerajaan Inderapura
Dukun keturunan adalah orang yang dimasuki arwah leluhur
Sumando: Suami saudara perempuan
Mamakku: Saudara lelaki dari ibu