Antara Kukusan dan Halaman Rumah, Sosok Ibu dalam
Puisi-puisi Emi Suy
Agus Manaji
Ikatan tak pernah pudar dan lenyap antara ibu dan
anak: ikatan asimetrik…. Kasih ibu adalah kasih yang melimpah tanpa tuntutan
bagi dirinya, tanpa pertimbangan….1
1/
Kata “Ibu”, barangkali menjadi salah satu kata yang sanggup menggetarkan hati manusia selain kata “Tuhan” dan “Nabi”. Hal ini wajar mengingat kehadiran manusia tak lepas dari perjuangan seorang ibu, mulai dari mengandung bayi dalam kandungan selama kurang lebih sembilan bulan, menyusui dan merawat anak dengan penuh kasih saying hingga besar. Pepatah menyebut, kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Di antara asma Tuhan yang utama dalam islam adalah Ar-rahim, Rahim, dalam bahasa Indonesia ajaibnya bermakna pula sebagai kandungan/uterus tubuh perempuan, lokus dimana si calon bayi selama Sembilan bulan tumbuh dan berkembang bersama dengan sang ibu. Selepas lahir ke dunia dari kandungan, bayi masih bertaut dengan sang Ibu dengan menyusu. Didikan dan kasih sayang seorang ibu semasa kecil akan membekas tak terhapus dalam diri seseorang.
Para Ibu memberi landasan pendidikan pertama, menyeluruh dan
tak terlupakan pada anak-anaknya. Dalam sejarah, para Ibu memainkan peran penting
tak terlupakan dalam kehidupan para Nabi dan manusia agung, seperti Musa, Isa
dan tak terkecuali Nabi Muhammad. Sebagaimana pula Rahmat Tuhan lebih besar
ketimbang murkanya, ketegasan dan kemarahan ibu seringkali lebih bermakna tanda
cinta. Nabi berseru puitis, “Surga terletak di bawah telapak kaki Ibu”. Pengabdian
Uwais al Qarni kepada Sang Ibu mengantarnya kepada maqam spiritual tinggi yang
menggetarkan langit dan penghuninya sehingga membuatnya dikenali oleh Nabi
Muhammad, padahal Nabi dan Uwais belum pernah bersitatap muka sebelumnya. Nabi
menegaskan penghormatan kepada kedua orang tua, khususnya kepada Ibu dalam
hadits masyhur:
Seorang lelaki menemui Rasulullah dan bertanya, “Ya
Rasulullah, siapakah orang yang harus paling kuhormati?” Nabi bersabda,
“Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Siapakah setelah ibuku?” Nabi bersabda,
“Ibumu.” Laki-laki itu bertanya, “Siapakah setelah ibuku?” Nabi bersabda,
“Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Siapakah setelah ibuku?” Kemudian Nabi
bersabda, “Ayahmu.” 2
(Hadits Shahih Bukhari)
Para penyair, khususnya di dunia Islam, banyak mengagungkan sosok Ibu dalam
puisi. Tak terkecuali Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf India:
Siapakah itu, yang menungguku di rumah, berdoa
untukku,
Dan merasa khawatir ketika surat-surat datang
terlambat?
Pada pusaramu akan kutulis pertanyaan ini:
Siapa yang ingat kepadaku dalam sholat malamnya?3
Penyair Indonesia asal Madura, D. Zawawi Imron masih berusia 20 tahun
ketika menulis puisi haru tentang Ibu yang hingga kini masih kerap ia bacakan
di berbagai kesempatan. Kita cuplik gambaran Ibu dalam puisi yang legen itu:
Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu Ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang Ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku 4
Puisi di atas cocok dibaca dengan lantang, dan masih terasa maskulin, setidaknya karena masih tersirat kegagahan pada diksi “bila aku berlayar lalu datang angin sakal”. Puisi ini berkabar, berseru, mengungkap kebanggaan seorang anak lelaki akan keluhuran kasih ibu. Penyair secara apik melakukan interpretasi puitik atas kepahlawanan yang biasanya didominasi oleh kaum lelaki, penuh narasi perebutan kuasa, dan peperangan, ditafsir ulang dengan perjuangan dan pengorbanan seorang ibu untuk anak-anaknya.
Penghormatan penyair laki-laki akan berbeda dengan penyair perempuan atas sosok Ibu. Penyair perempuan lebih menghayati peran Ibu, mengalami fase-fase biologis dan psikologis yang sama sebagai perempuan. Seorang anak perempuan kelak juga menjadi seorang ibu, meski mungkin bukan ibu biologis, tetapi keibuan kepada orang-orang di lingkungannya. Kondisi ini sedikit banyak berpengaruh pada perpuisian penyair perempuan. Dari pespektif inilah maka buku puisi Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami (IMNMUK) menjadi menarik untuk dibaca. Emi Suy, Sang Penyair, menyadari kebenaran kutipan di muka tulisan ini, tiada akan mampu membalas pengorbanan Sang Ibu. Ikatan relasi antara ibu dan anak adalah abadi, namun asimetris. Dan Emi sekedar ingin mencatat ibu sebagai sosok perempuan tangguh, ingin mengungkapkan rasa cintanya kepada ibu. Seperti D. Zawawi Imron, Emi juga mencatat dalam bagian “Salam Penyair”: Apapun yang dilakukan Ibu, di mataku Ibu adalah pahlawanku.
2/
Buku IMNMUK terdiri atas 3 bagian, bagian pertama “Ibu Menanak Nasi”, kedua “Hingga”, bagian ketiga “Matang Usia Kami”. Bagian pertama “Ibu Menanak Nasi” terdiri atas 10 puisi, dimana 9 puisi bertemakan ibu dan sebiji puisi bertema ayah.
Sosok ibu dengan apik dan karib digambarkan penyair dalam puisi “Kukusan”. Kita simak selengkapnya puisi
ini:
Kukusan
Di kukusan bamboo, menghitam
dibakar bara dan doa, begitu tenang
Ibu menanak usia
kami, hingga matang
di malam mendidih, di siang perih
ibu pelan-pelan menua, bagai kukusan
menampung segala, ringkih dan perkasa
sesekali meneguk
airmatanya
sendiri
Benda “kukusan” sebagai salah satu alat dapur berbahan bilah-bilah bambu berbentuk kerucut untuk menanak nasi, dalam keluarga tradisional, tentunya lekat dalam keseharian seorang ibu. Lewat majas hiperbola, penyair menyebut jika yang membakar saat menanak nasi bukan hanya “bara api” tetapi juga “doa ibu” yang tenang dan khusyuk. Pengorbanan dan pengasuhan ibu digambarkan lewat metafora “Ibu menanak usia kami”. Demikian sepanjang waktu, di malam mendidih, di siang perih, Ibu pun menua, sebagaimana kukusan yang sering ia gunakan: “bagai kukusan/ menampung segala, ringkih dan (sekaligus) perkasa”. Pedih perih perjuangan Ibu demi anak-anaknya kadang memaksanya untuk “sesekali meneguk/air matanya/ sendiri”.
Perjuangan seorang ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak-anaknya menjadi lebih berat ketika sosok ayah tiada. Uniknya banyak perempuan yang tegar mandiri setelah ditinggal suaminya, entah karena sang suami meninggal atau karena alasan lain. Berkebalikan dengan ini, seorang lelaki banyak yang taktahan ditinggal istrinya, untuk kemudian menikah dengan perempuan lain. Sebagai orang tua tunggal, seorang ibu terpaksa berperan ganda juga sebagai ayah. Kenyataan seperti ini menjadikan perjuangan seorang ibu dalam mengasuh anak-anaknya menjadi lebih berat, hingga sosok ibu menjadi lebih tangguh, agung dan kudus dalam pandangan anak-anaknya.
Dalam halaman “Salam Penyair”, Emi berbagi latar pengalaman keluarganya. Dekapan hangat ayah hanya dirasakan Emi sekejap saja. Sang Ayah berpulang menghadap Sang Kholik saat Emi berusia tiga bulan. Demikian, pengalaman personal penyair akan ibunya menjadi lebih kental karena peran ganda sosok ibu, selain lembut penuh kasih sekaligus tegas, tangguh perkasa. Gambaran ini yang muncul dalam larik berikut ini: “di malam mendidih, di siang perih/ ibu pelan-pelan menua, bagai kukusan/ menampung segala, ringkih dan perkasa”.
Pengorbanan penuh kasih seorang ibu pada anak dan keluarganya melahirkan metafora-metafora keteduhan. Dalam puisi “Ibu”, dengan subjudul “:Pamudji”, setelah menyatakan keteduhan kasih ibu lewat “matamu teduh hujan” penyair seakan menautkan harapan dan sifat kasih Ibu dengan (ke-rahim-an) Tuhan, “tapi kau selalu yakin: Tuhan tak pernah luput mengirim….”. Pada puisi ringkas berjudul nama Sang Ibu, Pamudji, Penyair kembali menggambarkan kasih dan pengorbanan Ibu pada anak-anaknya lewat metafora yang lagi-lagi domestic. Emi berseru ringkas tak terbantah: Sumur di musim kemarau/airnya kutimba/tak habis-habis!
Diksi “sumur” juga muncul pada bait pertama sajak “Ibu” karya D Zawawi Imron. Sebagaimana galib kita tahu, sumur dengan mata airnya, tempat sumber air bagi kebutuhan hidup sehari hari. Sumur melambangkan sumber air hayat dan kasih saying seorang ibu. Menariknya, tampaknya Emi cukup istiqomah menggunakan diksi “sumur” untuk menggambarkan sosok ibu. Setidaknya diksi ini telah muncul 2 kali dalam puisi sebelumnya, yakni dalam buku Alarm Sunyi5 dan Api Sunyi6.
Pada puisi “Tuhan Kecil” dengan sub judul Ibu Pamudji, nama ibu Sang penyair, sosok ibu digambarkan dua kali. Setelah bait pertama, sosok ibu digambarkan sebagai “sungai-sungai di wajahmu mengalirkan cinta”, diksi sumur muncul pada bait kedua: “ibu, kedua matamu sumur mata air kasih saying tak mengenal kering…”. Bait ketiga puisi ini, seolah menjadi kesimpulan puisi, penyair berseru: “ibu, engkau tuhan kecil pintuku menuju surga”.
Pada puisi “ibu”, judul puisi sama dengan persis dengan puisi yang telah
kita singgung di atas, hanya saja tanpa subjudul, Emi berusaha menafsir kasih
sayang ibu lagi-lagi dengan diksi “sumur”:
Senyummu adalah sumur tua
yang kerap kutimba cinta…
(bait pertama)
Tawa ibu adalah sumur tua
sumber mata air penyembuh luka
ketika kemarau sedang menyapa hatiku…
(bait kedua)
Bait keempat puisi ini, Emi tampaknya satu barisan dengan D Zawawi Imron dan mengamini sabda Nabi: “maka engkaulah ibu/ jawaban paling dahulu/ ketika seorang bertanya/ siapa orang terbaik sedunia”.
Seorang anak perempuan kelak
kemudian dewasa dan menjadi seorang Ibu. Ia akan membangun keluarganya sendiri,
mungkin merantau, tinggal terpisah dengan Sang Ibu, ayah dan kakak adiknya. Lalu,
memiliki anak, dan menjadi seorang Ibu! Emi menghayati kenyataan ini, ia
berkeluarga, memiliki anak dan Sang Ibu pun telah lanjut usia. Puisi “Bukan Hutang” menggambarkan adegan, di satu kesempatan, mungkin saat sang Ibu
sakit, penyair menyuapi bubur kepada Sang Ibu. Perasaan haru meliput hati,
Penyair menginsyafi kekurangan diri sebagai seorang anak hingga berbisik lugu
di telinga sang Ibu:
“Ibu, aku ingin terus memelukmu selama
usiaku, lalu membasuh kakimu
saban pagi dan sore
meski aku tahu tak akan pernah bisa
melunasi utangku padamu”
Sang Ibu menjawab seraya tersenyum:
“Nak, apa yang kuberikan padamu
bukanlah utang
melainkan kasih saying,
sebab ibu bukanlah pedagang”
Jawaban dan senyum sang Ibu menyadarkan penyair (yang juga perempuan) sebagai seorang Ibu. Senyum Ibu, metafora untuk kasih sayang, sifat melindungi dan pengorbanan seorang Ibu. Demikian, senyum ini kemudian diwarisi penyair: Senyum yang terus kurias di wajah/hingga kini/ untuk anak-anakkku. Puisi ini mungkin senafas dengan puisi Emi lain “Kembali ke Ibu” dalam buku Ayat Sunyi7, dimana ia berseru: “Jika kuhabiskan semua waktu untuk merawatmu/ tetap saja tak cukup membalas air susu dan semua pengorbananmu”
3/
Seorang anak tumbuh kembang menjadi dewasa, kemudian berkeluarga, mandiri dengan pasangan hidup, dan terpisah dari ibunya. Namun, pengalaman semasa dalam pengasuhan orang tua, khususnya ibu, meninggalkan membekas dalam pada diri sang anak. Pada momen-momen tertentu, seperti saat seseorang tengah terpuruk, atau saat momen perayaan idul fitri yang simbolik menghimbau manusia kepada (asal-usul) kefitrian, seorang manusia tak kuasa menahan rindu, akhirnya pulang (kampung), bertemu dengan keluarga asal, ibu dan ayah, serta kakak dan adiknya. Perasaan ini muncul dalam puisi “Rumah Ibu”: “memasuki pekarangan rumahmu/ aku tertegun di halaman// melihat dan mendengar/ burung masa lalu/ yang terus berkicau// lalu aku ingat/ satu-satunya burung di rumah/ yang kurawat”.
Si Aku Penyair belum lagi memasuki rumah, baru sampai di halaman, namun suasana pekarangan rumah telah mampu menggugah pengalaman masa lampaunya sebagai “burung masa lalu yang terus berkicau”. Uniknya ingatan ini segera bertaut dengan kenyataan sekarang . Penyair ingat pada “satu-satunya burung di rumah yang kurawat”. Kiranya tak berlebihan jika imaji “burung” tak lain melambangkan “anak” atau bahkan “jiwa manusia” itu sendiri.
Kehidupan manusia dewasa, terpisah dengan keluarga asal, terpisah dari ibunya,
membangun keluarga sendiri, terlibat dalam dunia kerja yang penuh masalah dan
tantangan, seringkali membuat seseorang tersesat kehilangan arah dan berlumur
dosa. Di saat seperti ini, seseorang kerap kali merindu dan memerlukan untuk
mudik dan bertemu sang ibu. Sosok Ibu yang teduh penuh kasih, meski tanpa hujah
penuh nalar berdalih, dapat menjadi penyembuh luka hati dan jiwa manusia. Puisi
“Jarum-jarum Hujan”, lagi-lagi berlatar “halaman rumah ibu” menyajikan dengan
apik perasaan dan pengalaman ini:
Di halaman rumah ibu
aku mandi
agar jarum-jarum hujan
menjahit luka kepalaku
yang lama terbentur
tembok-tembok kota.
Hanya di halaman rumah ibu, “jarum-jarum hujan” mampu “menjahit luka kepala”, menyembuhkan kembali nalar akal sehat manusia yang rusak atau sesat.
Penyair lagi-lagi menggunakan diksi “halaman rumah” atau yang semakna dengan ini, “pekarangan rumah”. Hal ini menarik, halaman rumah tentu saja bukan dalam rumah, halaman rumah masih wilayah teritori rumah, tetapi sudah di luar rumah. Halaman rumah berbatasan dengan dunia luar. Diksi ini menarik karena muncul dalam dua puisi yang, menurut saya, mengisyaratkan kepulangan atau mudik penyair setelah dewasa berkeluarga mandiri. Imaji halaman rumah menjadi symbol halaman tempat bermain anak di bawah pengawasan orang tua. Di halaman inilah, orang tua, sang ibu memberi kebebasan, memberi kepercayaan pada si anak untuk merdeka berbain di bawah pengawasannya. Di sisi lain, dalam perspektif sang anak, selain bermain, di halaman inilah si anak bisa belajar dewasa, menjenguk dunia luar yang penuh tantangan, dimana ke sanalah kelak si anak akan hidup mandiri.
Di rumah ibu, penyair kembali kepada orang tuanya. Setiap manusia yang
pulang ke rumah, kembali menjadi anak dari orang tuanya. Bagaimanapun mandiri
seseorang, di hadapan kasih sayang orang tua, seseorang adalah anak manusia.
Penyair bersimpuh di pangkuan ibu, dan merasakan juga belaian sang ayah yang
telah tiada. Puisi “Hening Kening” melukiskan hal ini:
Di pangkuan ibu
aku kembali bayi
tangan ayah dari
surga
mengelus rambutku
dan hening
mengecup keningku
Setelah seseorang hidup mandiri, membangun keluarga bersama pasangan
hidupnya, benda kenang-kenangan pemberian ibu akan menjadi semacam jimat dan
pelipur gundah hati dan kerinduan pada sang ibu. Benda semacam ini akan memberi
sugesti perasaan dekat dengan sang ibu. Pada saat seperti ini,ingatan akan
sosok ibu kembali terang dan lekat, dan petuah ibu kembali menjadi pegangan
penguat semangat hidup. Emi bercerita kepada kita:
setiap malam,
aku tarik selimut usang
dari masa lalu
hadiah ibu
di ulang tahun ketujuh
dan masih gema bisiknya
sebelum aku lelap
“tidurlah, nak
Ibu rela jadi bulan
yang dihadiahkan malam
untuk kelam”.
Bait terakhir dalam kurung tanda “…” tercetak miring barangkali bukan suara asli sang ibu, tapi gambaran ini menjadi ikhtiar penyair untuk terus mengagungkan kemuliaan pengorbanan ibu pada anak-anaknya.
4/
Hal lain yang juga menarik dari 9 puisi Emi Suy rasanya puisi pertama
dalam buku ini, puisi pembuka yang mengawali bagian pertama “ibu mananak nasi”,
yakni puisi “Tekad Jadi Penyair”. Keputusan seseorang untuk menjadi penyair
adalah keputusan eksistensial, karena penyair sesungguhnya makhluk perenung
serupa filsuf. Meski kerap menggunakan imaji, metafora dan permajasan, namun
penyair mendamba kesejatian. Puisi lahir dari kenyataan, lewat perenunganan,
bukan dari ruang hampa, karenanya puisi sejatinya suara lain kejujuran. Di
tengah peradapan yang berpotensi mengelabui manusia, menjadikan penyair begitu
sunyi. Demikian, maka masuk akal jika Emi kemudian merasa perlu mengadukan
keputusan dirinya menjadi penyair kepada sang ibu, salah satu titik sumber
kehadiran manusia :
sejak kerap
jadi tumbal puisi
aku bertekad
jadi penyair, Ibu
agar taka da lagi manis kata
yang dijual pada gula.
5/
Di muka kita menyandingkan puisi Emi dengan puisi penyair lelaki D
Zawawi Imron. Kini, sebagai sedikit komparasi, kita berpaling pada puisi-puisi
Penyair Abidah El Khalieqy8 yang juga menulis sejumlah puisi tentang
ibu. Puisi Abidah tampil dalam nada gemuruh, hiperbolis dalam arakan
menggelegak dan berkibar. Puisi-puisi Abidah penuh sesak diksi-diksi agamis
bahkan sufistik, seperti pepujian, fitrah, baqa, iman, sajadah, langit dan
rebana. Hal ini, sebagaimana dugaan Toeti Heraty, karena Abidah berasal dari
latar belakang dunia pesantren yang agamis. Kita simak petikan-petikan puisi
Abidah berikut:
Ibuku laut berkobar
gemuruhnya memanggil-manggil namaku
di bukit purnama pepujian
berjalinan rindu memadat
menyala gelegak kasmaran
yang terus meruah
berkibar lembar gairah
mengiring bulanku singgasana
fitrahku kembali menghirup udara
dari persekutuan
embun baqa
(puisi “Ibuku
Laut Berkobar”)
Di pelukan masa kanakku
wajahmu ibu, membuka kelopak bunga
seribu lilin berjajar di langit
kunang-kunang menabuh rebana
(puisi abidah “Kunang-kunang Menabuh
Rebana”)
Ibuku mendaki badai
membeli kelahiranku dengan maut
(puisi “Ibuku Mendaki Badai”
Berlainan gaya ungkap perpuisian Abidah, meski sama-sama kerap
menampilkan hiperbola dalam menggambarkan sosok ibu, namun imaji-imaji pilihan
Emi tampil dalam nada rendah, lembut namun khusyuk. Emi lebih memilih diksi
feminin dan domestic keseharian perempuan seperti sumur, menjahit, halaman
rumah, pekarangan rumah, selimut, dipan, kukusan, menanak. Gaya ungkap nada
rendah Emi lebih dekat kepada perpuisian penyair Nora Septi Arini9.
Kita simak petikan puisi berikut ini:
Mengecup wangimu adalah caraku menipu rasa rindu
jika wangimu adalah doa
maka akan kusebut namamu, Ibu
agar lebih wangi dari kerinduanku
(puisi “Rindu Ibu”)
6/
Dalam buku-buku terdahulu, Emi telah menulis tentang Ibu, namun puisi
puncak perenungannya tampil pada buku terakhir ini, Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami, yakni puisi “Kukusan” dan puisi “Pamudji”. Diksi-diksi dalam Puisi “kukusan” begitu lekat dan karib
dalam menampilkan sosok Ibu yang agung, tangguh, ringkih, penuh kasih dan
pengorbanan pada anak-anaknya. Sedang puisi “Pamudji” seolah ungkapan dan
pengakuan rasa hutang takterbayar seorang anak pada ibunya yang langsung dan
tiada dalih. Produktivitas berkarya Emi begitu luar biasa. Ia berada satu
gerbong terdepan bersama penyair perempuan muda Indonesia lainnya seperti Mutia
Suksma, Iin Parliani, Naning Scheid atau Nora Septi Arini.
Emi Suy, Penyair Perempuan Sunyi, telah berbagi pengalaman dan perasaannya lewat puisi. Jika dalam buku-buku terdahulu, setidaknya pada trilogi sunyi, Emi menghayati sunyi sebagai alarm yang mengingatkan, menjaga api sunyi sebagai api gerak kehidupan, dan kemudian menginsyafi sunyi sebagai ayat-ayat penyadaran, serupa ayat Tuhan pemberi petunjuk, maka tampaknya perjalanan dan pencarian sunyi mengantar Emi pada Ibu, pada asal usul kehadirannya, pada rasa hutang tak terbayarkan pada Sang Ibu. Demikian sosok ibu dalam pembacaan saya yang serba ringkas, semoga tidak mengeruhkan pembacaan orang lain.
Muntilan, 29 Juni 2023.
Bahan bacaan:
1: Seserpih Pinang Sepucuk Sirih,
Bunga Rampai Puisi Wanita, Penyunting dan
Pendahuluan oleh Toeti Heraty,
Pustaka Jaya, th 1979, hal 23.
2: Ringkasan Shahih Al-Bukhari,
susunan Imam Az-Zabidi, penerjemah Cecep Syamsul Hari, penerbit Mizan, cet XI
tahun 2004, hal 846.
3: Jiwaku adalah Wanita, Aspek
Feminin dalam Spiritualitas Islam, Annemarie Schimmel, Penerbit Mizan, 1998,
halaman137.
4: Puisi Ibu, dalam antologi Madura, Akulah
Darahmu, D. Zawawi Imron, Penerbit Grasindo 1999.
5: Alarm Sunyi, Kumpulan puisi Emi Suy, cet
pertama Juli 2017, cet ketiga April 2023. Dalam buku ini, sejauh pembacaan saya
yang serba sedikit dan selintas, terdapat dua puisi tentang (dana tau menyebut
setidaknya) menyebut ibu, yakni puisi “Tuhan Kecil” dan puisi “Damai”.
6: Api Sunyi, kumpulan puisi Emi Suy, Teras
Budaya, tahun 2020. Dalam buku ini, sejauh pembacaan saya yg serba minim
terdapat 3 puisi bertemakan (dana tau menyebut setidaknya) ibu, yakni
puisi”Jendela Hati Ibu”, puisi “Ibu”, dan puisi “Ibu Api”.
7: Ayat Sunyi, Kumpulan puisi Emi Suy,
penerbit basabasi, th 2018.
8: Selendang Pelangi, 17 Penyair Perempuan
Indonesia, editor Toeti Heraty, penerbit Indonesia Tera, th 2006, halaman 115 –
127.
9: Jejak Trembesi, antologi puisi Nora
Septi Arini, penerbit Interlude, tahun 2022.