Antara Kukusan dan Halaman Rumah, Sosok Ibu dalam Puisi-puisi Emi Suy - Agus Manaji

@kontributor 7/16/2023

Antara Kukusan dan Halaman Rumah, Sosok Ibu dalam Puisi-puisi Emi Suy

Agus Manaji

 


Ikatan tak pernah pudar dan lenyap antara ibu dan anak: ikatan asimetrik…. Kasih ibu adalah kasih yang melimpah tanpa tuntutan bagi dirinya, tanpa pertimbangan….1

 

1/

Kata “Ibu”, barangkali menjadi salah satu kata yang sanggup menggetarkan hati manusia selain kata “Tuhan” dan “Nabi”. Hal ini wajar mengingat kehadiran manusia tak lepas dari perjuangan seorang ibu, mulai dari mengandung bayi dalam kandungan selama kurang lebih sembilan bulan, menyusui dan merawat anak dengan penuh kasih saying hingga besar. Pepatah menyebut, kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Di antara asma Tuhan yang utama dalam islam adalah Ar-rahim, Rahim, dalam bahasa Indonesia ajaibnya bermakna pula sebagai kandungan/uterus tubuh perempuan, lokus dimana si calon bayi selama Sembilan bulan tumbuh dan berkembang bersama dengan sang ibu. Selepas lahir ke dunia dari kandungan, bayi masih bertaut dengan sang Ibu dengan menyusu. Didikan dan kasih sayang seorang ibu semasa kecil akan membekas tak terhapus dalam diri seseorang.

Para Ibu memberi landasan pendidikan pertama, menyeluruh dan tak terlupakan pada anak-anaknya. Dalam sejarah, para Ibu memainkan peran penting tak terlupakan dalam kehidupan para Nabi dan manusia agung, seperti Musa, Isa dan tak terkecuali Nabi Muhammad. Sebagaimana pula Rahmat Tuhan lebih besar ketimbang murkanya, ketegasan dan kemarahan ibu seringkali lebih bermakna tanda cinta. Nabi berseru puitis, “Surga terletak di bawah telapak kaki Ibu”. Pengabdian Uwais al Qarni kepada Sang Ibu mengantarnya kepada maqam spiritual tinggi yang menggetarkan langit dan penghuninya sehingga membuatnya dikenali oleh Nabi Muhammad, padahal Nabi dan Uwais belum pernah bersitatap muka sebelumnya. Nabi menegaskan penghormatan kepada kedua orang tua, khususnya kepada Ibu dalam hadits masyhur:

Seorang lelaki menemui Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang harus paling kuhormati?” Nabi bersabda, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Siapakah setelah ibuku?” Nabi bersabda, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya, “Siapakah setelah ibuku?” Nabi bersabda, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Siapakah setelah ibuku?” Kemudian Nabi bersabda, “Ayahmu.” 2

(Hadits Shahih Bukhari)

Para penyair, khususnya di dunia Islam, banyak mengagungkan sosok Ibu dalam puisi. Tak terkecuali Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf India:

Siapakah itu, yang menungguku di rumah, berdoa untukku,

Dan merasa khawatir ketika surat-surat datang terlambat?

Pada pusaramu akan kutulis pertanyaan ini:

Siapa yang ingat kepadaku dalam sholat malamnya?3

Penyair Indonesia asal Madura, D. Zawawi Imron masih berusia 20 tahun ketika menulis puisi haru tentang Ibu yang hingga kini masih kerap ia bacakan di berbagai kesempatan. Kita cuplik gambaran Ibu dalam puisi yang legen itu:

Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan

namamu Ibu, yang kan kusebut paling dahulu

lantaran aku tahu

engkau ibu dan aku anakmu

 

bila aku berlayar lalu datang angin sakal

Tuhan yang Ibu tunjukkan telah kukenal

 

Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala

sesekali datang padaku

menyuruhku menulis langit biru

dengan sajakku 4

Puisi di atas cocok dibaca dengan lantang, dan masih terasa maskulin, setidaknya karena masih tersirat kegagahan pada diksi “bila aku berlayar lalu datang angin sakal”. Puisi ini berkabar, berseru, mengungkap kebanggaan seorang anak lelaki akan keluhuran kasih ibu. Penyair secara apik melakukan interpretasi puitik atas kepahlawanan yang biasanya didominasi oleh kaum lelaki, penuh narasi perebutan kuasa, dan peperangan, ditafsir ulang dengan perjuangan dan pengorbanan seorang ibu untuk anak-anaknya.

Penghormatan penyair laki-laki akan berbeda dengan penyair perempuan atas sosok Ibu. Penyair perempuan lebih menghayati peran Ibu, mengalami fase-fase biologis dan psikologis yang sama sebagai perempuan. Seorang anak perempuan kelak juga menjadi seorang ibu, meski mungkin bukan ibu biologis, tetapi keibuan kepada orang-orang di lingkungannya. Kondisi ini sedikit banyak berpengaruh pada perpuisian penyair perempuan. Dari pespektif inilah maka buku puisi Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami (IMNMUK) menjadi menarik untuk dibaca. Emi Suy, Sang Penyair, menyadari kebenaran kutipan di muka tulisan ini, tiada akan mampu membalas pengorbanan Sang Ibu. Ikatan relasi antara ibu dan anak adalah abadi, namun asimetris. Dan Emi sekedar ingin mencatat ibu sebagai sosok perempuan tangguh, ingin mengungkapkan rasa cintanya kepada ibu. Seperti D. Zawawi Imron, Emi juga mencatat dalam bagian “Salam Penyair”: Apapun yang dilakukan Ibu, di mataku Ibu adalah pahlawanku.

2/

Buku IMNMUK terdiri atas 3 bagian, bagian pertama “Ibu Menanak Nasi”, kedua “Hingga”, bagian ketiga “Matang Usia Kami”. Bagian pertama “Ibu Menanak Nasi” terdiri atas 10 puisi, dimana 9 puisi bertemakan ibu dan sebiji puisi bertema ayah.

Sosok ibu dengan apik dan karib digambarkan penyair dalam puisi “Kukusan”. Kita simak selengkapnya puisi ini:

Kukusan

 

Di kukusan bamboo, menghitam

dibakar bara dan doa, begitu tenang

Ibu menanak usia kami, hingga matang

 

di malam mendidih, di siang perih

ibu pelan-pelan menua, bagai kukusan

menampung segala, ringkih dan perkasa

 

sesekali meneguk

airmatanya

sendiri

 

Benda “kukusan” sebagai salah satu alat dapur berbahan bilah-bilah bambu berbentuk kerucut untuk menanak nasi, dalam keluarga tradisional, tentunya lekat dalam keseharian seorang ibu. Lewat majas hiperbola, penyair menyebut jika yang membakar saat menanak nasi bukan hanya “bara api” tetapi juga “doa ibu” yang tenang dan khusyuk. Pengorbanan dan pengasuhan ibu digambarkan lewat metafora “Ibu menanak usia kami”. Demikian sepanjang waktu, di malam mendidih, di siang perih, Ibu pun menua, sebagaimana kukusan yang sering ia gunakan: “bagai kukusan/ menampung segala, ringkih dan (sekaligus) perkasa”. Pedih perih perjuangan Ibu demi anak-anaknya kadang memaksanya untuk “sesekali meneguk/air matanya/ sendiri”.

Perjuangan seorang ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak-anaknya menjadi lebih berat ketika sosok ayah tiada. Uniknya banyak perempuan yang tegar mandiri setelah ditinggal suaminya, entah karena sang suami meninggal atau karena alasan lain. Berkebalikan dengan ini, seorang lelaki banyak yang taktahan ditinggal istrinya, untuk kemudian menikah dengan perempuan lain. Sebagai orang tua tunggal, seorang ibu terpaksa berperan ganda juga sebagai ayah. Kenyataan seperti ini menjadikan perjuangan seorang ibu dalam mengasuh anak-anaknya menjadi lebih berat, hingga sosok ibu menjadi lebih tangguh, agung dan kudus dalam pandangan anak-anaknya.

Dalam halaman “Salam Penyair”, Emi berbagi latar pengalaman keluarganya. Dekapan hangat ayah hanya dirasakan Emi sekejap saja. Sang Ayah berpulang menghadap Sang Kholik saat Emi berusia tiga bulan. Demikian, pengalaman personal penyair akan ibunya menjadi lebih kental karena peran ganda sosok ibu, selain lembut penuh kasih sekaligus tegas, tangguh perkasa. Gambaran ini yang muncul dalam larik berikut ini: “di malam mendidih, di siang perih/ ibu pelan-pelan menua, bagai kukusan/ menampung segala, ringkih dan perkasa”.

Pengorbanan penuh kasih seorang ibu pada anak dan keluarganya melahirkan metafora-metafora keteduhan. Dalam puisi “Ibu”, dengan subjudul “:Pamudji”, setelah menyatakan keteduhan kasih ibu lewat “matamu teduh hujan” penyair seakan menautkan harapan dan sifat kasih Ibu dengan (ke-rahim-an) Tuhan, “tapi kau selalu yakin: Tuhan tak pernah luput mengirim….”. Pada puisi ringkas berjudul nama Sang Ibu, Pamudji, Penyair kembali menggambarkan kasih dan pengorbanan Ibu pada anak-anaknya lewat metafora yang lagi-lagi domestic. Emi berseru ringkas tak terbantah: Sumur di musim kemarau/airnya kutimba/tak habis-habis!

Diksi “sumur” juga muncul pada bait pertama sajak “Ibu” karya D Zawawi Imron. Sebagaimana galib kita tahu, sumur dengan mata airnya, tempat sumber air bagi kebutuhan hidup sehari hari. Sumur melambangkan sumber air hayat dan kasih saying seorang ibu. Menariknya, tampaknya Emi cukup istiqomah menggunakan diksi “sumur” untuk menggambarkan sosok ibu. Setidaknya diksi ini telah muncul 2 kali dalam puisi sebelumnya, yakni dalam buku Alarm Sunyi5 dan Api Sunyi6.

Pada puisi “Tuhan Kecil” dengan sub judul Ibu Pamudji, nama ibu Sang penyair, sosok ibu digambarkan dua kali. Setelah bait pertama, sosok ibu digambarkan sebagai “sungai-sungai di wajahmu mengalirkan cinta”, diksi sumur muncul pada bait kedua: “ibu, kedua matamu sumur mata air kasih saying tak mengenal kering…”. Bait ketiga puisi ini, seolah menjadi kesimpulan puisi, penyair berseru: “ibu, engkau tuhan kecil pintuku menuju surga”.

Pada puisi “ibu”, judul puisi sama dengan persis dengan puisi yang telah kita singgung di atas, hanya saja tanpa subjudul, Emi berusaha menafsir kasih sayang ibu lagi-lagi dengan diksi “sumur”:

Senyummu adalah sumur tua

yang kerap kutimba cinta…

(bait pertama)

Tawa ibu adalah sumur tua

sumber mata air penyembuh luka

ketika kemarau sedang menyapa hatiku…

(bait kedua)

Bait keempat puisi ini, Emi tampaknya satu barisan dengan D Zawawi Imron dan mengamini sabda Nabi: “maka engkaulah ibu/ jawaban paling dahulu/ ketika seorang bertanya/ siapa orang terbaik sedunia”.

Seorang anak perempuan kelak kemudian dewasa dan menjadi seorang Ibu. Ia akan membangun keluarganya sendiri, mungkin merantau, tinggal terpisah dengan Sang Ibu, ayah dan kakak adiknya. Lalu, memiliki anak, dan menjadi seorang Ibu! Emi menghayati kenyataan ini, ia berkeluarga, memiliki anak dan Sang Ibu pun telah lanjut usia. Puisi “Bukan Hutang” menggambarkan adegan, di satu kesempatan, mungkin saat sang Ibu sakit, penyair menyuapi bubur kepada Sang Ibu. Perasaan haru meliput hati, Penyair menginsyafi kekurangan diri sebagai seorang anak hingga berbisik lugu di telinga sang Ibu:

“Ibu, aku ingin terus memelukmu selama

usiaku, lalu membasuh kakimu

saban pagi dan sore

meski aku tahu tak akan pernah bisa

melunasi utangku padamu”


Sang Ibu menjawab seraya tersenyum:

 

“Nak, apa yang kuberikan padamu

bukanlah utang

melainkan kasih saying,

sebab ibu bukanlah pedagang”

 

Jawaban dan senyum sang Ibu menyadarkan penyair (yang juga perempuan) sebagai seorang Ibu. Senyum Ibu, metafora untuk kasih sayang, sifat melindungi dan pengorbanan seorang Ibu. Demikian, senyum ini kemudian diwarisi penyair: Senyum yang terus kurias di wajah/hingga kini/ untuk anak-anakkku. Puisi ini mungkin senafas dengan puisi Emi lain “Kembali ke Ibu” dalam buku Ayat Sunyi7, dimana ia berseru: “Jika kuhabiskan semua waktu untuk merawatmu/ tetap saja tak cukup membalas air susu dan semua pengorbananmu”

3/

Seorang anak tumbuh kembang menjadi dewasa, kemudian berkeluarga, mandiri dengan pasangan hidup, dan terpisah dari ibunya. Namun, pengalaman semasa dalam pengasuhan orang tua, khususnya ibu, meninggalkan membekas dalam pada diri sang anak. Pada momen-momen tertentu, seperti saat seseorang tengah terpuruk, atau saat momen perayaan idul fitri yang simbolik menghimbau manusia kepada (asal-usul) kefitrian, seorang manusia tak kuasa menahan rindu, akhirnya pulang (kampung), bertemu dengan keluarga asal, ibu dan ayah, serta kakak dan adiknya. Perasaan ini muncul dalam puisi “Rumah Ibu”: “memasuki pekarangan rumahmu/ aku tertegun di halaman// melihat dan mendengar/ burung masa lalu/ yang terus berkicau// lalu aku ingat/ satu-satunya burung di rumah/ yang kurawat”.

Si Aku Penyair belum lagi memasuki rumah, baru sampai di halaman, namun suasana pekarangan rumah telah mampu menggugah pengalaman masa lampaunya sebagai “burung masa lalu yang terus berkicau”. Uniknya ingatan ini segera bertaut dengan kenyataan sekarang . Penyair ingat pada “satu-satunya burung di rumah yang kurawat”. Kiranya tak berlebihan jika imaji “burung” tak lain melambangkan “anak” atau bahkan “jiwa manusia” itu sendiri.

Kehidupan manusia dewasa, terpisah dengan keluarga asal, terpisah dari ibunya, membangun keluarga sendiri, terlibat dalam dunia kerja yang penuh masalah dan tantangan, seringkali membuat seseorang tersesat kehilangan arah dan berlumur dosa. Di saat seperti ini, seseorang kerap kali merindu dan memerlukan untuk mudik dan bertemu sang ibu. Sosok Ibu yang teduh penuh kasih, meski tanpa hujah penuh nalar berdalih, dapat menjadi penyembuh luka hati dan jiwa manusia. Puisi “Jarum-jarum Hujan”, lagi-lagi berlatar “halaman rumah ibu” menyajikan dengan apik perasaan dan pengalaman ini:

Di halaman rumah ibu

aku mandi

 

agar jarum-jarum hujan

menjahit luka kepalaku

 

yang lama terbentur

tembok-tembok kota.

 

Hanya di halaman rumah ibu, “jarum-jarum hujan” mampu “menjahit luka kepala”, menyembuhkan kembali nalar akal sehat manusia yang rusak atau sesat.

Penyair lagi-lagi menggunakan diksi “halaman rumah” atau yang semakna dengan ini, “pekarangan rumah”. Hal ini menarik, halaman rumah tentu saja bukan dalam rumah, halaman rumah masih wilayah teritori rumah, tetapi sudah di luar rumah. Halaman rumah berbatasan dengan dunia luar. Diksi ini menarik karena muncul dalam dua puisi yang, menurut saya, mengisyaratkan kepulangan atau mudik penyair setelah dewasa berkeluarga mandiri. Imaji halaman rumah menjadi symbol halaman tempat bermain anak di bawah pengawasan orang tua. Di halaman inilah, orang tua, sang ibu memberi kebebasan, memberi kepercayaan pada si anak untuk merdeka berbain di bawah pengawasannya. Di sisi lain, dalam perspektif sang anak, selain bermain, di halaman inilah si anak bisa belajar dewasa, menjenguk dunia luar yang penuh tantangan, dimana ke sanalah kelak si anak akan hidup mandiri.

Di rumah ibu, penyair kembali kepada orang tuanya. Setiap manusia yang pulang ke rumah, kembali menjadi anak dari orang tuanya. Bagaimanapun mandiri seseorang, di hadapan kasih sayang orang tua, seseorang adalah anak manusia. Penyair bersimpuh di pangkuan ibu, dan merasakan juga belaian sang ayah yang telah tiada. Puisi “Hening Kening” melukiskan hal ini:

Di pangkuan ibu

aku kembali bayi

 

tangan ayah dari surga

mengelus rambutku

 

dan hening

mengecup keningku

Setelah seseorang hidup mandiri, membangun keluarga bersama pasangan hidupnya, benda kenang-kenangan pemberian ibu akan menjadi semacam jimat dan pelipur gundah hati dan kerinduan pada sang ibu. Benda semacam ini akan memberi sugesti perasaan dekat dengan sang ibu. Pada saat seperti ini,ingatan akan sosok ibu kembali terang dan lekat, dan petuah ibu kembali menjadi pegangan penguat semangat hidup. Emi bercerita kepada kita:

setiap malam,

aku tarik selimut usang

dari masa lalu

hadiah ibu

di ulang tahun ketujuh

 

dan masih gema bisiknya

sebelum aku lelap

 

“tidurlah, nak

Ibu rela jadi bulan

yang dihadiahkan malam

untuk kelam”.

 

Bait terakhir dalam kurung tanda “…” tercetak miring barangkali bukan suara asli sang ibu, tapi gambaran ini menjadi ikhtiar penyair untuk terus mengagungkan kemuliaan pengorbanan ibu pada anak-anaknya.

4/

Hal lain yang juga menarik dari 9 puisi Emi Suy rasanya puisi pertama dalam buku ini, puisi pembuka yang mengawali bagian pertama “ibu mananak nasi”, yakni puisi “Tekad Jadi Penyair”. Keputusan seseorang untuk menjadi penyair adalah keputusan eksistensial, karena penyair sesungguhnya makhluk perenung serupa filsuf. Meski kerap menggunakan imaji, metafora dan permajasan, namun penyair mendamba kesejatian. Puisi lahir dari kenyataan, lewat perenunganan, bukan dari ruang hampa, karenanya puisi sejatinya suara lain kejujuran. Di tengah peradapan yang berpotensi mengelabui manusia, menjadikan penyair begitu sunyi. Demikian, maka masuk akal jika Emi kemudian merasa perlu mengadukan keputusan dirinya menjadi penyair kepada sang ibu, salah satu titik sumber kehadiran manusia :

sejak kerap

jadi tumbal puisi

 

aku bertekad

jadi penyair, Ibu

 

agar taka da lagi manis kata

yang dijual pada gula.

5/

Di muka kita menyandingkan puisi Emi dengan puisi penyair lelaki D Zawawi Imron. Kini, sebagai sedikit komparasi, kita berpaling pada puisi-puisi Penyair Abidah El Khalieqy8 yang juga menulis sejumlah puisi tentang ibu. Puisi Abidah tampil dalam nada gemuruh, hiperbolis dalam arakan menggelegak dan berkibar. Puisi-puisi Abidah penuh sesak diksi-diksi agamis bahkan sufistik, seperti pepujian, fitrah, baqa, iman, sajadah, langit dan rebana. Hal ini, sebagaimana dugaan Toeti Heraty, karena Abidah berasal dari latar belakang dunia pesantren yang agamis. Kita simak petikan-petikan puisi Abidah berikut:

Ibuku laut berkobar

gemuruhnya memanggil-manggil namaku

di bukit purnama pepujian

berjalinan rindu memadat

menyala gelegak kasmaran

yang terus meruah

berkibar lembar gairah

mengiring bulanku singgasana

fitrahku kembali menghirup udara

dari persekutuan

embun baqa

(puisi “Ibuku Laut Berkobar”)

 

Di pelukan masa kanakku

wajahmu ibu, membuka kelopak bunga

seribu lilin berjajar di langit

kunang-kunang menabuh rebana

       (puisi abidah “Kunang-kunang Menabuh Rebana”)

 

Ibuku mendaki badai

membeli kelahiranku dengan maut

(puisi “Ibuku Mendaki Badai”

Berlainan gaya ungkap perpuisian Abidah, meski sama-sama kerap menampilkan hiperbola dalam menggambarkan sosok ibu, namun imaji-imaji pilihan Emi tampil dalam nada rendah, lembut namun khusyuk. Emi lebih memilih diksi feminin dan domestic keseharian perempuan seperti sumur, menjahit, halaman rumah, pekarangan rumah, selimut, dipan, kukusan, menanak. Gaya ungkap nada rendah Emi lebih dekat kepada perpuisian penyair Nora Septi Arini9. Kita simak petikan puisi berikut ini:

Mengecup wangimu adalah caraku menipu rasa rindu

jika wangimu adalah doa

maka akan kusebut namamu, Ibu

agar lebih wangi dari kerinduanku

(puisi “Rindu Ibu”)

6/

Dalam buku-buku terdahulu, Emi telah menulis tentang Ibu, namun puisi puncak perenungannya tampil pada buku terakhir ini, Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami, yakni puisi “Kukusan” dan puisi “Pamudji”. Diksi-diksi dalam Puisi “kukusan” begitu lekat dan karib dalam menampilkan sosok Ibu yang agung, tangguh, ringkih, penuh kasih dan pengorbanan pada anak-anaknya. Sedang puisi “Pamudji” seolah ungkapan dan pengakuan rasa hutang takterbayar seorang anak pada ibunya yang langsung dan tiada dalih. Produktivitas berkarya Emi begitu luar biasa. Ia berada satu gerbong terdepan bersama penyair perempuan muda Indonesia lainnya seperti Mutia Suksma, Iin Parliani, Naning Scheid atau Nora Septi Arini.

 

Emi Suy, Penyair Perempuan Sunyi, telah berbagi pengalaman dan perasaannya lewat puisi. Jika dalam buku-buku terdahulu, setidaknya pada trilogi sunyi, Emi menghayati sunyi sebagai alarm yang mengingatkan, menjaga api sunyi sebagai api gerak kehidupan, dan kemudian menginsyafi sunyi sebagai ayat-ayat penyadaran, serupa ayat Tuhan pemberi petunjuk, maka tampaknya perjalanan dan pencarian sunyi mengantar Emi pada Ibu, pada asal usul kehadirannya, pada rasa hutang tak terbayarkan pada Sang Ibu. Demikian sosok ibu dalam pembacaan saya yang serba ringkas, semoga tidak mengeruhkan pembacaan orang lain.

Muntilan, 29 Juni 2023.

 

Bahan bacaan:

1: Seserpih Pinang Sepucuk Sirih, Bunga Rampai Puisi Wanita, Penyunting dan     Pendahuluan oleh Toeti Heraty, Pustaka Jaya, th 1979, hal 23. 

2: Ringkasan Shahih Al-Bukhari, susunan Imam Az-Zabidi, penerjemah Cecep Syamsul Hari, penerbit Mizan, cet XI tahun 2004, hal 846.                                               

3: Jiwaku adalah Wanita, Aspek Feminin dalam Spiritualitas Islam, Annemarie Schimmel, Penerbit Mizan, 1998, halaman137.

4: Puisi Ibu, dalam antologi Madura, Akulah Darahmu, D. Zawawi Imron, Penerbit Grasindo 1999.

5: Alarm Sunyi, Kumpulan puisi Emi Suy, cet pertama Juli 2017, cet ketiga April 2023. Dalam buku ini, sejauh pembacaan saya yang serba sedikit dan selintas, terdapat dua puisi tentang (dana tau menyebut setidaknya) menyebut ibu, yakni puisi “Tuhan Kecil” dan puisi “Damai”.

6: Api Sunyi, kumpulan puisi Emi Suy, Teras Budaya, tahun 2020. Dalam buku ini, sejauh pembacaan saya yg serba minim terdapat 3 puisi bertemakan (dana tau menyebut setidaknya) ibu, yakni puisi”Jendela Hati Ibu”, puisi “Ibu”, dan puisi “Ibu Api”.

7: Ayat Sunyi, Kumpulan puisi Emi Suy, penerbit basabasi, th 2018.

8: Selendang Pelangi, 17 Penyair Perempuan Indonesia, editor Toeti Heraty, penerbit Indonesia Tera, th 2006, halaman 115 – 127.

9: Jejak Trembesi, antologi puisi Nora Septi Arini, penerbit Interlude, tahun 2022.

 

 

 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »