Burung
Yeni
Yeni memelihara burung. Bukan burung
sembarangan, melainkan burung yang tak kasat mata. Setiap pagi tetangga dan
orang-orang yang lewat melihat bagaimana Yeni mengeluarkan sangkar kosong dari
dalam rumahnya, menggantungnya di depan beranda, lantas dengan mata berbinar menjentik-jentikkan
jarinya sambil bersiul-siul. Orang-orang heran sebab mereka tak melihat ada burung
di sangkar itu. Seseorang -yang dulu pernah bekerja di toko kaset- dapat
memastikan bahwa lagu yang selalu disiulkan Yeni adalah lagu “Hati yang Luka”;
yang dulu pernah dilarang Menteri Penerangan. Seseorang itu kemudian
menyampaikan keyakinannya kepada para warga.
Semua warga permukiman itu tahu kalau Yeni adalah mantan penyanyi. Ia
berasal dari Ampenan, di wilayah Nusa Tenggara. Ia berangkat ke ibu kota untuk
ikut audisi. Suaranya bagus. Ia lolos audisi dan tampil di televisi. Namun, ia gugur
sebelum sampai final. Meski begitu, keberhasilannya muncul di televisi membuat karier
Yeni melaju. Ia dapat kontrak rekaman. Sayang, meski sudah dipromosikan
habis-habisan, ternyata lagunya tidak laku. Memang peruntungannya kurang bagus,
sebab di saat bersamaan seorang penyanyi baru juga mengeluarkan lagunya. Penyanyi
itu berpenampilan menarik, dan kisah hidupnya yang konon penuh penderitaan,
membuatnya cepat disukai. Maka tergilaslah karier Yeni dalam waktu yang sama
cepatnya dengan ketika namanya muncul.
Hati Yeni tak luka. Ia terus bernyanyi setiap kali ada tawaran. Namun,
namanya sudah tak bisa dikatrol lagi. Pada pentas terakhirnya, kira-kira
setahun sebelum ia memutuskan mengontrak rumah di ibu kota, tak ada seorang pun
yang datang menonton, meski pertunjukan itu sudah digratiskan. Bahkan meski panitia
sudah menjanjikan hadiah bagi yang mau datang. Itu membuat hati Yeni, akhirnya,
luka. Ia malu pulang ke kampung halamannya. Karena itu ia memilih tinggal di ibu
kota, di sebuah permukiman padat. Sejumlah selebritas yang sudah jarang tampil
kerap menitipkan busana lama mereka ke Yeni dan meminta Yeni menjualkan dengan
syarat Yeni harus menyampaikan bahwa para selebritas itu menjual busana mereka
bukan karena mereka bangkrut, melainkan karena niat mereka untuk beramal. Dari penjualan
busana itu Yeni mendapat penghasilan.
Karena Yeni selalu berlaku sopan, ia diterima dengan baik di permukiman
itu. Sopan tanda orang tunduk pada peraturan, dan peraturan berhubungan dengan kekuasaan.
Dengan begitu, menghormati peraturan, artinya menghormati kekuasaan. Yeni tak
pernah bikin masalah.
Kadang memang ada warga yang bertanya kapan Yeni bakal kawin, tapi
pertanyaan itu jelas sekali dilontarkan sebagai basa basi, tidak serius, tidak
bermaksud mencampuri urusan pribadinya. Yeni pun selalu menjawab: “Sudah ada
rencana. Tinggal menunggu dipinang. Semoga dilancarkan. Mohon doanya.” Dan
orang itu akan menjawab dengan mengucap “amin” sekaligus menutup pembicaraan.
Karena Yeni tak pernah membuat masalah, ketika para warga mengetahui
kebiasaan barunya, tak ada pula yang betul-betul mempermasalahkannya. Sampai, tentu
saja, lagu yang dulu pernah dilarang Menteri Penerangan itu mulai ditandai
sebagai lagu wajib yang disiulkan Yeni.
Seorang petugas yang punya kerabat di permukiman itu mulai sering
terlihat berkunjung. Ia selalu datang pagi-pagi, dan sebelum sampai di rumah
kerabatnya, ia berdiri dulu di sekitar rumah Yeni dan diam-diam mengamat-amati
dengan cermat ketika Yeni mulai bersiul.
Suatu ketika petugas itu bertanya kepada Yeni: “Mbak, kenapa bersiul
seperti itu?” Yeni agak kaget meski kemudian langsung menguasai diri. “Tidak
kenapa-kenapa, Pak. Saya memang suka bersiul. Mari mampir dulu. Saya buatkan
kopi ya?”
“Tidak usah. Saya mau mengunjungi kerabat saya. Omong-omong itu burung
apa?”
“Oh, ini burung biasa saja, Pak. Bukan burung langka. Banyak yang pelihara
burung sejenis ini,” jawab Yeni. Senyumnya mengembang memekarkan aroma pagi
yang sesungguhnya sudah mulai pengap. Petugas itu mengangguk-angguk sebelum
berucap: “Maaf, Mbak. Bisakah Mbak bersiul lagu yang lain? Mbak tahu kan lagu
apa yang Mbak siulkan itu?”
Yeni menjawab: “Tahu, Pak. Tidak boleh ya? Aduh, maaf ya, saya tidak
tahu kalau menyiulkan lagu itu masih dilarang.”
Ketika petugas itu pamit, setelah akhirnya duduk di beranda dan minum
kopi, ia berkali-kali menoleh melihat sangkar burung yang kosong.
Sejak kejadian itu, sebelum bersiul Yeni celingak-celinguk dulu. Bila ia
melihat ada petugas, ia akan bersiul lagu yang lain. Bila ia tak melihat ada petugas,
ia akan kembali menyiulkan lagu yang dulu pernah dilarang Menteri Penerangan
itu. Kebiasaan itu tetap dilakukannya, sampai kemudian Yeni mengetahui kalau petugas
tadi sudah pindah ke permukiman itu. Bukan cuma petugas itu yang pindah, ada petugas
lain yang ikut pindah ke sana. Para warga rata-rata senang ada petugas tinggal
di sekitar mereka. Mereka merasa terlindungi. Kalau misalnya mereka nyaris
terlibat perkelahian di tempat-tempat lain, mereka selalu bilang bahwa mereka
punya kerabat petugas. Biasanya orang yang terlibat perkelahian dengan mereka
akan langsung ciut.
Namun, bagi Yeni, kehadiran petugas-petugas itu membuatnya tidak tenang.
Ia tak bisa lagi menyiulkan lagu yang dulu pernah dilarang Menteri Penerangan
itu. Setiap pagi, ada saja petugas yang berdiri di dekat rumahnya,
mengamat-amatinya. Terpaksa Yeni menyiulkan lagu-lagu lain.
Kenyataan itu tak betul-betul diperhatikan para warga. Mereka lebih
memperhatikan tabiat Yeni yang rajin menggantung sangkar burung, tanpa ada
burung di dalamnya. Meski tak ada alasan kuat untuk menyebut kebiasaan itu
meresahkan, bagi beberapa warga kebiasaan itu meresahkan juga. Mungkin,
sebetulnya, mereka resah karena tak menemukan alasan kuat untuk menyebut
kebiasaan itu meresahkan. Pada akhirnya mereka mengadu kepada Ketua RT.
Suatu pagi Ketua RT berkunjung ke rumah Yeni. Setelah duduk beberapa
saat dan menyeruput kopi sambil mengamat-amati Yeni, Ketua RT berkata: “Maaf,
dik. Itu kan sangkar burung tidak ada isinya, kenapa adik suka bersiul-siul
seakan-akan di sana ada burungnya?”
“Aduh, maaf ya, Pak. Apakah tindakan saya meresahkan Bapak?”
“Sebetulnya tidak,” jawab Ketua RT. “Tapi beberapa warga melapor kepada
saya, dan mendesak saya untuk menanyakan kepada adik.”
“Saya akan menghentikan kegiatan saya kalau memang itu meresahkan. Tapi,
Pak, perlu saya ceritakan bahwa saya punya seorang kakak perempuan yang dulu
pernah kuliah di sini, maksud saya di ibu kota ini. Kakak saya itu hilang.
Waktu itu memang musim demo. Kan jaman reformasi, Pak. Saya tidak tahu kalau
kakak saya suka ikut demo. Soalnya dia orangnya kalem dan pendiam. Tapi
sepertinya kakak saya tidak betul-betul hilang. Buktinya, namanya tidak
tercantum dalam daftar orang-orang yang hilang.”
“Apa hubungannya dengan tingkah laku adik belakangan ini, bersiul-siul
menghadap sangkar yang tidak ada burungnya?”
“Sebetulnya ada burungnya, Pak. Tapi burungnya hilang. Maksud saya,
burungnya jadi tidak terlihat. Saya juga tidak tahu kenapa. Saya menemukan
burung itu dalam keadaan terluka di pinggir jalan. Sepertinya ada orang yang
memburunya. Saya selamatkan dia, terus saya belikan sangkar. Maksud saya untuk
sementara, sebelum saya melepasnya lagi. Begitu dimasukkan sangkar, burung itu
jadi tak terlihat. Meski begitu burung itu sebenarnya ada di dalam sangkar.
Coba Bapak lihat baik-baik.” Yeni menjentik-jentikkan jarinya sambil
bersiul-siul dan sesekali mengamati reaksi Ketua RT. Laki-laki itu merenung
sebentar, lantas pamit.
Sampai beberapa hari kemudian tak ada tindakan apa-apa, baik oleh warga,
maupun oleh Ketua RT. Para warga, selain sibuk bekerja, juga mulai mengalihkan
perhatian mereka pada berita tentang seorang penyanyi yang berpenampilan
menarik. Penyanyi itu dikabarkan punya skandal dengan seorang pejabat tinggi.
Hanya para petugas yang masih rajin mengamat-amati Yeni. Jumlah mereka
semakin banyak. Para warga tak pula memperhatikan kenyataan bahwa jumlah petugas
di permukiman mereka kian banyak, sebab berita skandal pejabat dan penyanyi
berpenampilan menarik semakin panas, bahkan mulai dikaitkan dengan seorang
pejabat yang lebih tinggi kedudukannya. Entah bagaimana kaitannya, yang jelas
desas-desus itu betul-betul menyedot perhatian warga.
Para warga tak pula memperhatikan bahwa seiring meningkatnya jumlah petugas, sangkar burung milik Yeni juga terus bertambah. Bahkan sudah hampir memenuhi rumahnya. Sementara Yeni sendiri tak pernah kelihatan lagi. Cuma siulannya yang sering terdengar. *
Kekalik,
Februari-Oktober 2022