Merayakan
Kesepian
Aldi Rijansah
Kau bangun dengan tubuh yang belum sepenuhnya pulih dan
lelah yang masih mendera. Menggeliat perlahan bagai cacing kehabisan nutrisi,
berusaha menyeret tubuhmu dari atas kasur putih empuk dengan malas dan setengah
mengantuk. Kau melihat beker di atas meja, dan sadar, ini baru pukul setengah
tiga pagi. Sejenak kau termenung dalam kamarmu yang gelap. Cahaya remang-remang
dari luar masuk lewat jendela yang gordennya sedikit terbuka.
Masih dalam keadaan telanjang, kau menyalakan
lampu dan masuk ke kamar mandi dan menyalakan shower, membasahi diri dalam air yang dingin. Diam memeluk diri
dalam pancuran yang membuat menggigil, dan sejenak bertanya-tanya kenapa matamu
panas, apa kau sekarang sedang menangis atau ini hanya karena air yang masuk ke
mata.
Kau dipecat kemarin dan karena hal
inilah kau lebih tidak bersemangat dibanding biasanya. Kau masih ingat dengan
jelas, ketika kemarin kau menghadap ke ruangan bos dan setelah banyak basa basi
dia mengatakan: kamu adalah seorang yang ulet
dan pekerja keras. Kami yakin kamu akan segera mendapat pekerjaan yang lebih
baik di tempat lain. Bakatmu terlalu berharga untuk hanya bekerja di perusahaan
ini. Maaf mengatakan ini, tapi kamu diberhentikan.
Dia mengatakan diberhentikan, yang
bermakna tidak bergerak, jeda, istirahat. Sinapsis di kepalamu membutuhkan
sepersekian detik untuk mengurai apa yang telah terjadi, untuk sampai ke
kesimpulan: PHK (untuk makna halusnya). Dipecat untuk makna biasanya. Ditendang
keluar untuk makna kasarnya. Bosmu terlalu banyak membuang napas untuk makna
kalimat yang demikian sederhana. Oh, koreksi, mantan bosmu.
Kau mengambil sebotol sampo Sunsilk
hitam untuk keramas, tapi baru sadar bahwa isi botol itu telah habis dan kau
lupa membeli lagi. Tak dapat keramas menggunakan sampo, kau lalu mengambil
sebatang sabun mandi dan mengikis sedikit permukaannya dengan kuku, meremasnya
hingga berbusa, lalu kau gunakan seolah adalah sampo pada rambutmu.
Sehabis mandi, kau perhatikan kamar
yang berantakan, pakaian-pakaian kotor bertumpuk yang belum dicuci pada
keranjang, kaleng-kaleng Coca-cola dan bir Bintang yang berserakan, dan kemeja
dan bra yang tergeletak sembarang.
Lapar, kau bertanya-tanya, apakah
mesti memasak sekarang atau memakan roti isian selai stroberi basi di dalam kulkas. Keduanya tak ada
beda bagimu, sama saja. Toh juga, ketika hati seseorang sedih, semua rasa makanan
sama saja. Sama-sama tak lezat di lidah.
Tapi kau lebih memilih pilihan
pertama, memanaskan air, mengeluarkan wortel dan cabai dan kol dari kulkas,
memotong-motong dengan tangkas. Sementara menunggu air yang kau panaskan
berbuih. Kau menyalakan TV dan mengganti saluran secara acak. Pada salah satu
saluran sedang ditayangkan film lama yang dibintangi oleh Barry Prima, yang
berperan sebagai seorang pria kekar yang dapat menghancurkan sebuah bangunan
hanya dengan tangan kosong.
Segera terdengar suara air mendidih, membuka
tutup panci, memperhatikan uap-uap air yang menempel. Termenung, kau mematikan
kompor dan menghentikan segala aktifitas. TV kau biarkan tetap menyala. Kau
mengenakan sweter dan keluar apartemen.
Ibumu pernah mengatakan jika jiwamu
sedang merasa lelah, yang kau butuhkan bukan istirahat, melainkan tamasya.
Perkataan konyol menurutmu, tapi nasihat itulah yang sekarang kau lakukan. Berjalan
di dini hari yang gelap dan dingin.
Di depan sebuah toko roti yang belum
buka, kau melihat seorang pria gelandangan tua tidur dengan nyenyak,
dengkurannya yang merdu dan berirama membuatmu cemburu sebagai seorang yang
jarang sekali mendapatkan tidur pulas. Kau bertanya-tanya, bagaimana mungkin
seseorang yang tidak memiliki apapun, yang mengais-ngais sisa makanan di tempat
sampah, yang dipandang sebagai hama pengganggu oleh setiap orang yang
melihatnya, dapat memiliki tidur yang benar-benar nyenyak.
Pada momen seperti inilah kau ingat
masa lalu, ketika hidup di desa, miskin serta jarang makan makanan yang enak.
Tapi kau selalu hidup dengan nyaman, tak ada yang kau khawatirkan atau membuatmu
tak bahagia.
Sial! Ucapmu dalam hati. Kenapa kenangan indah selalu muncul ketika
kau tidak dapat lagi membuat kenangan indah yang sama.
Tak berselang lama, kau temukan kotak
kardus dengan kucing yang mendiaminya. “Pasti anak kucing yang ditelantarkan
pemiliknya.” Dugamu. Melewatinya begitu saja.
Kau ingin tidak peduli, tapi ketika
setiap kau melangkah, juga adalah setiap meong yang disuarakan si kucing, kau
bimbang untuk pergi dan kembali ke arah kotak kardus itu. “Aku hanya akan
melihatnya sebentar saja.” Janjimu pada diri sendiri.
Kau melihat ke dalam kotak kardus itu
dan menemukan lima ekor anak kucing hitam sedang mendongak ke arahmu. Cahaya
tiang lampu jalan yang remang-remang menyinari sepuluh pasang mata mungil yang
menatap ke arahmu dengan polos. Matamu menatap mata mungil mereka. Mata mungil
mereka balik menatap matamu. Kau iba pada mereka, pada kawanan yang dipisahkan
dari induknya itu. Kau menjulurkan tangan untuk mengelus kepala mereka, dan
lima ekor anak kucing itu tidak menolak serta merasa nyaman untuk membiarkanmu
mengelus mereka.
“Sungguh aneh, melakukan hal sederhana
seperti ini entah kenapa membuat suasana hatiku jadi lebih baik. Seolah menjadi
ibu bagi seorang anak.” Ucapmu. Walau kau
sendiri belum pernah melahirkan seorang bayi,
ralatmu dalam hati.
“Apakah pemilik kalian membuang
kalian?” ucapmu masih sambil mengelus kepala kelima ekor anak kucing itu. “Aku
juga mengalami hal yang sama. Kita hidup di dunia di mana seseorang dapat digantikan
dengan mudah, atau dalam kasus kalian dan aku, dibuang dengan mudah. Aku
dibuang dari perusahaan tempatku bekerja meski aku sudah empat tahun bekerja
keras untuk mereka. Dan kalian dibuang oleh pemilik kalian yang merasa jumlah
kalian terlalu banyak.” Kau putuskan untuk duduk di trotoar jalan dan memangku
kotak kardus itu. “Keparat memang lelaki tua gendut itu. Memecatku meski aku
telah mendonasikan segala waktu dan tenaga untuk gaji yang tak seberapa.”
Para kucing hanya membalasmu dengan
suara mengeong. Tapi bagimu ini jawaban untuk kata-kata seperti: kau benar, tentu saja, bodohnya lelaki itu.
“Benarkan, apa aku bilang,” kau terus
berbicara pada kelima anak kucing hitam. Dan kucing-kucing itu juga terus
mengeong ke arahmu. “Dia pasti akan menyesal karena telah memecatku. Perusahaan
itu pasti sedang merasa rugi kehilangan pegawai berdedikasi sepertiku.
Pertemuan ini pasti adalah takdir, takdir yang mengakibatkan aku dipecat dari
perusahaan tempatku bekerja sehingga dapat bertemu dengan kalian. Tenang saja,
aku akan menyelamatkan kalian yang telah menyelamatkan hatiku.” Kau bangkit
berdiri sambil mengangkat kotak kardus itu. “Sudah kuputuskan.”
Hah, apa yang kau putuskan? Kau tak
pernah memutuskan apa pun. Tak ada kucing yang ditelantarkan atau gelandangan
yang tidur nyenyak. Bahkan kau sendiri belum melangkah keluar apartemen dan
berada di jalan. Kau masih di sana. Di apartemenmu. Duduk di sofa termenung
menatap layar TV. Layar televisi itu sendiri tak menayangkan apa pun selain gambar
mozaik ribuan semut abu-abu.
Semua fragmen yang terjadi dari kau
mulai keluar pintu apartemen hanyalah adegan reka-ulang bongkar-pasang yang kau
tonton di film-film lama yang kau gabungkan. Satukan. Menjadi sebuah cerita
mengenaimu yang dimainkan di kepala.
Kau sendiri tak nyata, hanya karakter
rekaan.
Bahkan dirimu dan kamar apartemen itu
dan dunia di mana kau berada, tak lebih terdiri dari susunan huruf-huruf Times
New Roman 12 yang disusun dan dimampatkan dalam sebidang cerita fiksi.
Kemudian boom. Kompor gas di dapur meledak.
Tapi tak ada api yang membakar, yang ada hanya bidang yang lenyap, yang dimakan
oleh dunia yang putih. Datar dan bersih. Kau berusaha lari menyelamatkan diri.
Ke balik pintu. Keluar.
Di luar tak ada apa-apa. Di depanmu
hanya ada dunia putih. Dunia putih di belakang dan di depan yang berusaha memutihkan
satu sama lain. Kau terjebak di tengah. Kehabisan hitam.