Merayakan Kesepian - Aldi Rijansah

@kontributor 7/23/2023

Merayakan Kesepian

Aldi Rijansah



Kau bangun dengan tubuh yang belum sepenuhnya pulih dan lelah yang masih mendera. Menggeliat perlahan bagai cacing kehabisan nutrisi, berusaha menyeret tubuhmu dari atas kasur putih empuk dengan malas dan setengah mengantuk. Kau melihat beker di atas meja, dan sadar, ini baru pukul setengah tiga pagi. Sejenak kau termenung dalam kamarmu yang gelap. Cahaya remang-remang dari luar masuk lewat jendela yang gordennya sedikit terbuka.

Masih dalam keadaan telanjang, kau menyalakan lampu dan masuk ke kamar mandi dan menyalakan shower, membasahi diri dalam air yang dingin. Diam memeluk diri dalam pancuran yang membuat menggigil, dan sejenak bertanya-tanya kenapa matamu panas, apa kau sekarang sedang menangis atau ini hanya karena air yang masuk ke mata.

Kau dipecat kemarin dan karena hal inilah kau lebih tidak bersemangat dibanding biasanya. Kau masih ingat dengan jelas, ketika kemarin kau menghadap ke ruangan bos dan setelah banyak basa basi dia mengatakan: kamu adalah seorang yang ulet dan pekerja keras. Kami yakin kamu akan segera mendapat pekerjaan yang lebih baik di tempat lain. Bakatmu terlalu berharga untuk hanya bekerja di perusahaan ini. Maaf mengatakan ini, tapi kamu diberhentikan.

Dia mengatakan diberhentikan, yang bermakna tidak bergerak, jeda, istirahat. Sinapsis di kepalamu membutuhkan sepersekian detik untuk mengurai apa yang telah terjadi, untuk sampai ke kesimpulan: PHK (untuk makna halusnya). Dipecat untuk makna biasanya. Ditendang keluar untuk makna kasarnya. Bosmu terlalu banyak membuang napas untuk makna kalimat yang demikian sederhana. Oh, koreksi, mantan bosmu.

Kau mengambil sebotol sampo Sunsilk hitam untuk keramas, tapi baru sadar bahwa isi botol itu telah habis dan kau lupa membeli lagi. Tak dapat keramas menggunakan sampo, kau lalu mengambil sebatang sabun mandi dan mengikis sedikit permukaannya dengan kuku, meremasnya hingga berbusa, lalu kau gunakan seolah adalah sampo pada rambutmu.

Sehabis mandi, kau perhatikan kamar yang berantakan, pakaian-pakaian kotor bertumpuk yang belum dicuci pada keranjang, kaleng-kaleng Coca-cola dan bir Bintang yang berserakan, dan kemeja dan bra yang tergeletak sembarang.

Lapar, kau bertanya-tanya, apakah mesti memasak sekarang atau memakan roti isian selai stroberi basi di dalam kulkas. Keduanya tak ada beda bagimu, sama saja. Toh juga, ketika hati seseorang sedih, semua rasa makanan sama saja. Sama-sama tak lezat di lidah.

Tapi kau lebih memilih pilihan pertama, memanaskan air, mengeluarkan wortel dan cabai dan kol dari kulkas, memotong-motong dengan tangkas. Sementara menunggu air yang kau panaskan berbuih. Kau menyalakan TV dan mengganti saluran secara acak. Pada salah satu saluran sedang ditayangkan film lama yang dibintangi oleh Barry Prima, yang berperan sebagai seorang pria kekar yang dapat menghancurkan sebuah bangunan hanya dengan tangan kosong.

Segera terdengar suara air mendidih, membuka tutup panci, memperhatikan uap-uap air yang menempel. Termenung, kau mematikan kompor dan menghentikan segala aktifitas. TV kau biarkan tetap menyala. Kau mengenakan sweter dan keluar apartemen.

Ibumu pernah mengatakan jika jiwamu sedang merasa lelah, yang kau butuhkan bukan istirahat, melainkan tamasya. Perkataan konyol menurutmu, tapi nasihat itulah yang sekarang kau lakukan. Berjalan di dini hari yang gelap dan dingin.

Di depan sebuah toko roti yang belum buka, kau melihat seorang pria gelandangan tua tidur dengan nyenyak, dengkurannya yang merdu dan berirama membuatmu cemburu sebagai seorang yang jarang sekali mendapatkan tidur pulas. Kau bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang yang tidak memiliki apapun, yang mengais-ngais sisa makanan di tempat sampah, yang dipandang sebagai hama pengganggu oleh setiap orang yang melihatnya, dapat memiliki tidur yang benar-benar nyenyak.

Pada momen seperti inilah kau ingat masa lalu, ketika hidup di desa, miskin serta jarang makan makanan yang enak. Tapi kau selalu hidup dengan nyaman, tak ada yang kau khawatirkan atau membuatmu tak bahagia.

Sial! Ucapmu dalam hati. Kenapa kenangan indah selalu muncul ketika kau tidak dapat lagi membuat kenangan indah yang sama.

Tak berselang lama, kau temukan kotak kardus dengan kucing yang mendiaminya. “Pasti anak kucing yang ditelantarkan pemiliknya.” Dugamu. Melewatinya begitu saja.

Kau ingin tidak peduli, tapi ketika setiap kau melangkah, juga adalah setiap meong yang disuarakan si kucing, kau bimbang untuk pergi dan kembali ke arah kotak kardus itu. “Aku hanya akan melihatnya sebentar saja.” Janjimu pada diri sendiri.

Kau melihat ke dalam kotak kardus itu dan menemukan lima ekor anak kucing hitam sedang mendongak ke arahmu. Cahaya tiang lampu jalan yang remang-remang menyinari sepuluh pasang mata mungil yang menatap ke arahmu dengan polos. Matamu menatap mata mungil mereka. Mata mungil mereka balik menatap matamu. Kau iba pada mereka, pada kawanan yang dipisahkan dari induknya itu. Kau menjulurkan tangan untuk mengelus kepala mereka, dan lima ekor anak kucing itu tidak menolak serta merasa nyaman untuk membiarkanmu mengelus mereka.

“Sungguh aneh, melakukan hal sederhana seperti ini entah kenapa membuat suasana hatiku jadi lebih baik. Seolah menjadi ibu bagi seorang anak.” Ucapmu.  Walau kau sendiri belum pernah melahirkan seorang bayi, ralatmu dalam hati.

“Apakah pemilik kalian membuang kalian?” ucapmu masih sambil mengelus kepala kelima ekor anak kucing itu. “Aku juga mengalami hal yang sama. Kita hidup di dunia di mana seseorang dapat digantikan dengan mudah, atau dalam kasus kalian dan aku, dibuang dengan mudah. Aku dibuang dari perusahaan tempatku bekerja meski aku sudah empat tahun bekerja keras untuk mereka. Dan kalian dibuang oleh pemilik kalian yang merasa jumlah kalian terlalu banyak.” Kau putuskan untuk duduk di trotoar jalan dan memangku kotak kardus itu. “Keparat memang lelaki tua gendut itu. Memecatku meski aku telah mendonasikan segala waktu dan tenaga untuk gaji yang tak seberapa.”

Para kucing hanya membalasmu dengan suara mengeong. Tapi bagimu ini jawaban untuk kata-kata seperti: kau benar, tentu saja, bodohnya lelaki itu.

“Benarkan, apa aku bilang,” kau terus berbicara pada kelima anak kucing hitam. Dan kucing-kucing itu juga terus mengeong ke arahmu. “Dia pasti akan menyesal karena telah memecatku. Perusahaan itu pasti sedang merasa rugi kehilangan pegawai berdedikasi sepertiku. Pertemuan ini pasti adalah takdir, takdir yang mengakibatkan aku dipecat dari perusahaan tempatku bekerja sehingga dapat bertemu dengan kalian. Tenang saja, aku akan menyelamatkan kalian yang telah menyelamatkan hatiku.” Kau bangkit berdiri sambil mengangkat kotak kardus itu. “Sudah kuputuskan.”

Hah, apa yang kau putuskan? Kau tak pernah memutuskan apa pun. Tak ada kucing yang ditelantarkan atau gelandangan yang tidur nyenyak. Bahkan kau sendiri belum melangkah keluar apartemen dan berada di jalan. Kau masih di sana. Di apartemenmu. Duduk di sofa termenung menatap layar TV. Layar televisi itu sendiri tak menayangkan apa pun selain gambar mozaik ribuan semut abu-abu.

Semua fragmen yang terjadi dari kau mulai keluar pintu apartemen hanyalah adegan reka-ulang bongkar-pasang yang kau tonton di film-film lama yang kau gabungkan. Satukan. Menjadi sebuah cerita mengenaimu yang dimainkan di kepala.

Kau sendiri tak nyata, hanya karakter rekaan.

Bahkan dirimu dan kamar apartemen itu dan dunia di mana kau berada, tak lebih terdiri dari susunan huruf-huruf Times New Roman 12 yang disusun dan dimampatkan dalam sebidang cerita fiksi.

Kemudian boom. Kompor gas di dapur meledak. Tapi tak ada api yang membakar, yang ada hanya bidang yang lenyap, yang dimakan oleh dunia yang putih. Datar dan bersih. Kau berusaha lari menyelamatkan diri. Ke balik pintu. Keluar.

Di luar tak ada apa-apa. Di depanmu hanya ada dunia putih. Dunia putih di belakang dan di depan yang berusaha memutihkan satu sama lain. Kau terjebak di tengah. Kehabisan hitam.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »