Nasib Tragis Orang-Orang yang Bergantung Pada Pohon Berdaun Uang - Arbi Tanjung

@kontributor 7/09/2023

Nasib Tragis Orang-Orang yang Bergantung Pada Pohon Berdaun Uang

Arbi Tanjung


 

Kau benar, Pak. Semenyakitnya apa harga tembakau di pasar, ia jauh lebih jujur daripada penguasa, apalagi senyum-senyum para calon di baliho kampung yang mulai menyeruak demi pemilihan tahun depan.

 

Tulisan ini merupakan pembacaan atas cerpen Kalau Bukan Tembakau, pada Siapa Kami Mengadu Nasib? Karya Nurillah Achmad (4 Juni 2023) di sastramedia.com. Sebuah media yang bervisi menjadi e-jurnal sastra terdepan di Indonesia yang mempublikasikan karya yang berkualitas dan mengapresiasi sastrawan dengan layak sehingga ikut serta memajukan kesusastraan Indonesia. Selain cerpen, rubrik esai dan sajak adalah karya sastra yang rutin tayang tiap pekan di media ini. Bila di rata-ratakan, setidaknya ada 4 cerpen dimuat tiap bulannya. Berarti hingga bulan Juni 2023 ada sekitar 80an cerpen yang telah hadir ke pembaca langganan sastramedia sejak cerpen perdana (merujuk penjelasan Emy Sui, salah seorang redaktur sastramedia, via WA) Kirdep Berubah Menjadi Seekor Burung tulisan Arianto Adipurwanto terbit pada 7 November 2021.

Cerpen Kalau Bukan Tembakau, pada Siapa Kami Mengadu Nasib? (selanjutnya ditulis KBT) menceritakan tentang nasib petani tembakau di salah satu dukuh (kampung) di Pulau Jawa. Komoditas andalan penyambung hidup orang-orang kampung. Harganya yang rendah mengubah harapan menjadi petaka. Tembakau menjadi sumber masalah dalam keluarga. Selain membuncitkan utang, tembakau memicu ‘perang’ antara suami dan istri. Wujudnya kekerasan verbal dan fisik. Masing-masing tokoh saling mendahului mempraktekkannya. “Kau itu lelaki, tapi tak laki” seru sang ibu. Seperti rantai, kekerasan verbal dalam bentuk umpatan kait mengait “Mestinya kau ambil sertipikat tanah, bukan buntalan tembakau yang jelas-jelas tak ada harga!” Lelaki itu seolah membiarkan istrinya mengamuk dan mencak-mencak tak karuan. Bahkan saat dituding sebagai banci, ayahnya tak menimpali. “Butakah matamu melihat harga? Tembakau kita sendiri tak laku, tapi kenapa kau melunasi utang orang dengan tembakau pula?” Tekanan berbalas tekanan, selanjutnya menyulut marah yang kadarnya sampai ke ubun-ubun. Asan mulai gemeter, saat ayahnya yang semula tak mengindahkan kini berdiri lantas berlari ke arah sang ibu dan menggamparnya berulang-ulang. Ayahnya menyeret dan menendang sang ibu sampai-sampai perempuan itu tersudut di pojok dapur. …. Sialnya, baru saja tiba di seberang, orang-orang menyambutnya lewat pertanyaan, betapa tembakau telah membuat ayahnya bersikap tak waras. Penyelesaian untuk bebas dari tekanan batin, tokoh ayah memilih untuk membakar semua tembakau siap panen miliknya. Kemudian, ia gantung diri. Ratusan buntalan tembakau yang menjadi penyebab bapakmu mati gantung diri, akan kubawa sebagai pengganti utangnya.

Tragis. Pohon berdaun uang, sebut Emil.W. Aulia untuk tembakau dalam berhalaman-halaman novelnya Berjuta-Juta Dari Deli: Satoe Hikajat Koeli ContracI. Novel yang terbit tahun 2006 (atau 17 tahun sebelum terbit cerpen KBTnya Nurillah Achmad yang sedang dibahas ini). Sejak akhir abad ke-19, tembakau merupakan komoditas primadona asal Indonesia bagi negara Eropa dan Amerika. Jenis tanaman yang menggairahkan bagi pemilik modal sekaligus pangkal gerah kemanusiaan orang-orang (pekerja/petani) Indonesia.

 

Orang-orang terhimpit beban berat ekonomi asal asal pulau Jawa ditipu para werek (semacam calo atau agen) yang sengaja dibiayai dan disebar ke desa-desa oleh perusahaan. Kepada calon pekerja, dijanjikan jadi pekerja di perkebunan nun di Deli, Pulau Sumatera. Kerja mereka hanya memetik pohon berdaun uang. Di sana di tempat bekerja, pihak perusahaan akan menyediakan tempat tinggal nyaman, gajian dua kali sebulan, tiap pekan bisa bersantai menikmati hiburan wayang, ronggeng dan fasilitas ‘surga’ lainnya. Sebelum berangkat diberi perskot (uang muka, kini disebut sebagai dp), dilayarkan dengan kapal gratis. Tapi, kenyataannya, usai lepas dari perlakuan biadab di kapal selama perjalanan semisal perkosaan pada calon pekerja wanita, perampasan paksa pakaian dan barang berharga lainnya, pemukulan dsb. Mereka juga akan memulai dan menjalani hidup baru dari satu penghinaan ke penistaan lain selama bekerja di perkebunan pohon berdaun uang itu. Jam kerja yang diluar batas (bekerja sejak subuh yang masih kelam berakhir di senja yang mulai menggelap), asupan makanan yang jauh dari standar sehat, tempat tinggal dinding tepas lantai tanah lembab di tengah rimba sarang nyamuk ‘malaria’, para mandor berkulit putih atau kulit berwarna bertangan besi. Meski tidak berbuat salah, kalau mandor sudah tidak suka ada saja alasan untuk mendaratkan pukulan atau tendangan atau cambukan ke badan ringkih pekerja. Masa itu, tembakau berhasil mengubah wajah purba kota Medan menjadi berkilau seperti emas. Tapi, tidak untuk nasib orang-orang yang bekerja membuka lahan, menanam, memelihara dan memetiknya.

Tentu ada upaya untuk bebas dari penyiksaan, penganiayaan, dan bentuk kekerasan lain yang mereka derita. Tidak mungkin memutus kontrak yang telah ditandatangani. Sebab utang selilit pinggang. Jumlah gaji sangat tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, ditambah lagi rayuan meja judi yang digelar tiap malam gajian. Ada yang berupaya kabur atau melakukan perlawanan langsung di lapangan. Sangat kecil kemungkinan bisa lolos dari usaha pelarian dan hidup bebas dari kejaran ‘algojo’ perusahaan perkebunan. Kebanyakan upaya itu berujung pada penyiksaan lebih parah, bahkan lebih banyak berakhir pada kematian. Kematian yang diakibatkan hukuman atau mati karena bunuh diri.

Cerpen KBT satu pohon berlain tangkai dengan novel Berjuta-Juta dari Deli, namun daun tetap sama: Tembakau. Cerpen KBT bertangkai di sebuah dukuh di pulau Jawa, sedangkan novel Berjuta-Juta Dari Deli melekat di tanah Deli pulau Sumatera. Kalau di novel Berjuta-Juta Dari Deli, yang menikmati kilau emas daunnya adalah pengusaha dan penguasa lokal. Sungguh, tak jauh beda dengan cerpen KBT. Pada cerpen KBT Pemerintah desa (dalam hal ini tokoh kepala desa) berperan besar sebagai remote kontrol mengatur terkurungnya petani tembakau dalam kesusahan hidup yang pahit sekaligus pekat. Secara terencana, tembakau sengaja dibandrol dengan harga murah. Harapannya para petani tidak lagi mengolah lahan mereka dengan menanam tembakau. Pada akhirnya, karena ketidakberdayaan mengolah lahan, petani akan memilih untuk menjual lahannya. Hal itulah keinginan kepala desa. Sebab, menjadikan desa sebagai desa wisata, merupakan alibi paling masuk akal dibalik rencana utama jadikan lahan tersebut sebagai lahan huni. Bagaimana solusinya, Pak? Bukankah Sebagian besar petani di kampung ini bergantung pada tembakau?” kata seorang wartawan senior. Sang Kades berdehem tiga kali. Ia membetulkan kerah baju yang sebetulnya masih rapi. “Sawah-sawah para petani akan kami beli dan kami jadikan desa ini desa wisata. Setidaknya, sawah mereka pasti laku tinggi sebelum akhirnya menjadi lahan huni”

Cara lain untuk keluar dari cangkang miskin adalah menjual lahan dan menjauh dari tembakau. Mencari penghidupan lebih baik dengan merantau, sebagai TKI di Taiwan, Malaysia, Korea dan negara luar lainnya. Setidaknya hal itu digambarkan secara terang oleh Nurillah Achmad. “Tak ada lagi yang bisa diharapkan di sini, Kak. Gudang-gudang tutup. Tak ada pekerja. Sementara kita harus tetap makan dan berutang” …Aku hendak ke balai desa, Kak. Mau buat akta. Usai itu, aku buat passport dan terbang ke Taiwan. Nanti, bila sudah cukup uang, aku akan pulang ke sini. Atau kau bisa ke Korea sebab lelaki bila ingin jadi TKI, mesti bayar dulu sebagai modal kerja” Jadi TKI yang bisa saja hanya sebagai upaya memindahkan tempat pernderitaan dari kampung asal ke tempat baru, di luar negeri. Atau lebih tragis lagi. Mungkin.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »