Orang-orang yang Hilang Setelah Sembahyang
Bagus Sulistio
"Kata orang-orang, Pak Warno hilang tadi
malam?"
"Iya, benar. Ia diculik dedemit."
"Masa habis sembahyang ketemu dedemit
sih."
"Mungkin ketemu Tuhan lalu ia dibawa.
Kan tujuan sembahyang dekat dengan Tuhan."
"Bisa jadi itu."
Hampir sebulan terakhir banyak orang-orang
hilang setelah sembahyang. Entah setelah sembahyang Magrib, Isya maupun Subuh.
Yang jelas kalau malam tiba, langit gelap dan suara adzan telah berkumandang,
siap-siap saja ada orang yang hilang.
Para warga yang gusar sempat menghubungi
pihak berwenang. Tapi sampai saat ini juga masih nihil hasilnya. Terkadang demi
mencegah bertambahnya jumlah orang yang hilang, setelah sembahyang mereka
mengadakan istighosah dan meminta bantuan kepada Tuhan. Namun tetap saja
setiap hari ada saja yang hilang.
"Bagaimana Pak Kiai? Saya jadi takut
sendiri kalau harus pulang dari langgar setelah sembahyang," keluh Paijo.
"Kamu tidak usah takut. Percayalah
kepada Tuhan. Jika dedemit yang mengadangmu, kekuatan Tuhan yang pasti menang.
Tapi jika Tuhan yang menghendaki kamu dijemput-Nya, ikhlaskan saja. Pasti kamu
ditempatkan di tempat yang baik."
Hati Paijo sedikit tenang mendengar petuah
dari Kiai. Ia sedikit melupakan masalah perihal orang-orang yang hilang. Paijo
kembali semangat ke langgar dan melanggengkan sembahyangnya.
"Kamu tidak takut diculik dedemit
Jo?"
"Tidak. Aku lebih percaya kekuatan Tuhan
daripada dedemit."
"Baguslah kalau begitu."
Jumlah jamaah di langgar semakin sedikit.
Hanya menyisakan beberapa orang termasuk Paijo. Kiai cukup gusar melihat
kejadian ini. Ia semakin khawatir jika langgar ini akan kekosongan penghuni.
"Menurut kalian, apa yang perlu kita
lakukan agar langgar ini semakin ramai?" Tanya Kiai
pada jamaahnya.
"Sebaiknya adakan kegiatan yang bisa
menarik perhatian banyak orang, Kiai. Seperti shalawatan mungkin,"
jelas jamaahnya.
"Shalawatan kan butuh biaya
banyak. Mulai dari lampu petromax hingga pengeras suaranya. Lalu mau dapat uang
dari mana?" Tanya
jamaah yang lain.
"Benar juga kamu."
"Tenang Kiai. Saya punya kenalan. Ia
suka membantu orang-orang yang mengadakan kegiatan keagamaan Kiai. Tapi ia
harus turut serta dalam kegiatan itu lalu meminta waktu untuk memberikan
sambutan," jelas Paijo.
"Oh tidak apa-apa itu." Kiai setuju
dan jamaah serentak mengikuti keputusan Kiai.
Malam itu di depan langgar berdiri sebuah
tenda biru yang cukup besar. Di dalam langgar bagian depan, dibangun panggung
kecil setinggi betis. Di bagian luar langgar sisi kanan kiri di pasang pengeras
suara besar yang siap digunakan.
Semakin malam, semakin banyak orang-orang
yang berdatangan ke langgar. Padahal shalawatan belum juga dimulai. Saat
shalawatan dimulai, maka merebak ramai depan langgar layaknya pasar. Ada
orang yang sekedar duduk mendengarkan shalawatan. Ada yang berkeliling
menjajakan dagangan. Ada pula yang datang sekedar menengok lalu pulang lagi.
Rembulan terang di atas langit. Suara
teriakan mendayu para lelaki menggema. Bunyi pukulan rebana, gendang dan bedug
ikut meramaikan malam itu. Sungguh benar-benar ramai malam itu. Namun, saat
sedang syahdu-syahdunya shalawat demi shalawat ditembangkan, seorang pria
berdiri di atas panggung para lelaki yang sedang bershalawat. Pria itu
mengambil pengeras suara.
"Selamat malam para jamaah yang
dirahmati. Berdirinya saya disini ingin mengajak para jamaah untuk meramaikan
langgar-langgar yang ada. Karena saya miris kepada keadaan langgar sekarang.
Semakin hari semakin tipis jamaahnya. Bukankah murka Tuhan akan datang kepada
manusia-manusia yang ingkar? Maka dari itu, mari kita tetap meramaikan langgar.
Saya selaku pimpinan partai hijau di desa ini akan turut serta membantu
kelancaran kegiatan atau segala sesuatu yang membuat langgar ramai."
Kata demi kata mengalir deras dari mulut pria
itu. Para jamaah mendengarkan dengan seksama. Mereka fokus terhadap ucapan pria
tersebut. Begitu juga Paijo. Ia mengangguk-angguk sambil bangga karena telah
menjadi bagian penting dalam suksesnya kegiatan ini. Paijo merasa perlu
bergabung dalam partai yang dipimpin pria itu. Ia ingin menjadi manusia yang
mulia karena telah meramaikan langgar dengan kegiatan-kegiatannya.
"Saya ingin gabung di partai Bapak,
bagaimana caranya?" Tanya Paijo usai shalawatan rampung pagi buta.
"Oh boleh. Besok setelah sembahyang
Isya' kamu datang ke rumahku. Nanti ada beberapa syarat yang perlu kamu
lakukan," jelas pria itu.
"Baik siap Pak."
Keesokkan harinya Paijo melakukan hal seperti
biasa; sembahyang berjamaah. Ia terlihat buru-buru sekali ingin pergi tatkala
shalat Isya rampung.
"Kamu mau langsung pergi ke donatur yang
kemarin Jo?" Tanya Kiai.
"Nggih Kiai."
"Pesanku, jaga dirimu baik-baik
ya." Paijo mengangguk. Ia tentu akan berdoa sebelum keluar masjid. Karena
baginya doa adalah senjata ampuh walaupun tak terlihat. Dengan sedikit
merinding di bulu kuduk, ia tetap memberanikan diri menepati janji. Janji
adalah hutang yang harus ditepati. Apalagi ia berhutang bukan ke sembarang
orang. Orang yang ia hutangi merupakan orang besar. Paijo tidak mau
mengecewakan orang besar.
Jalan setapak desanya benar-benar sepi. Tidak
ada aktivitas manusia kecuali mereka yang sudah tak mempunyai nyawa. Paijo
terus merapalkan doa-doa yang telah Kiai bagikan setiap ba'da Isya. Tapi tetap
saja ia merasa merinding tak karuan.
Angin semilir begitu kencang. Saking kencangnya,
daun-daun bergoyang dan bergesekan menimbulkan suara-suara aneh. Selain suara
daun, suara jangkrik dan tokek tak kalah bersautan. Di bumi memang ramai sekali
oleh aktivitas bukan manusia. Sedangkan di langit hanya ada awan yang berjalan
menutupi bulan temaram. Cahaya bulan yang tertutupi membuat bumi gelap
seketika. Namun kegelapan tak bisa menutupi sebuah suara manusia, satu-satunya
suara manusia.
"Berhenti! Jangan kemana-mana,"
suara gaib itu terdengar.
"Siapa kamu? Mana wujudmu?" Paijo
panik dan terus melihat sekitar yang gelap.
"Kau tak perlu tau kami ini siapa.
Karena itu tidak penting bagimu setelah kamu mati," jelas suara yang belum
diketahui asalnya.
Paijo semakin merinding mendengarnya. Tanpa
ba-bi-bu lagi, laki-laki itu berlari sekencang-kencangnya. Ia tidak sempat
menengok ke samping atau ke belakang. Yang terpenting terus berlari ke depan
dan entah kemana tujuannya. Walaupun kakinya digunakan untuk berlari, indra
pendengarannya masih aktif betul. Sekelompok langkah kaki yang menimbulkan suara
cukup keras berada di belakangnya.
Tak kuat berlari lagi, Paijo memanjat
sembarang pohon kelapa di depannya. Tepat setelah ia memanjat, langkah kaki
gaib tersebut juga berhenti berbunyi. Tinggal suara ucapan gaiblah yang ia
dengar.
"Sial! Kemana perginya tungau hijau
itu."
"Coba nyalakan obornya. Pasti ia
sembunyi."
Sepercik api korek terlihat menyambar sebuah
sumbu obor. Api menyala dan menerangi. Kini terlihat betul apa yang dari tadi
ditakuti Paijo. Langkah dan suara gaib itu tidak benar-benar gaib. Mereka
nampak dan kasat mata. Mereka manusia bukan dedemit. Manusia dengan baju merah
sambil memegang arit yang begitu mengkilap karena silaunya cahaya obor.
"Itu dia. Di atas pohon kelapa."
Keberadaan Paijo sudah diketahui. Ia tidak
bisa pernah sampai ke rumah donatur acara shalawatan kemarin. Ia menghilang
bersama orang-orang yang hilang setelah sembahyang.