Pecahan-Pecahan Kepala
Dhimas Bima Shofyanto
Letusan
senapan angin itu sukses membuat saya berlari merunduk-runduk sambil bergidik
ngeri. Bukan saja karena ketakutan wajar
seorang manusia dengan senapan yang membawa aroma kematian. Saya takut berkali-kali
lipat karena tau bahwa tujuan agung dari peluru yang dihempaskan itu adalah
kepala saya.
Saya sudah melihat senapan itu di dinding rumah Einhardt
pagi tadi, dipajang di samping kepala rusa yang tanduknya meliuk. Kemungkinan
besar itu adalah senapan Lee-enfield. Tapi, tidak menutup kemungkinan kalau
ternyata itu adalah senapan Mouser Gewehr 58 yang bayonetnya luput dari
pandangan mata saya. Pagi tadi memang fokus saya tidak terpaku pada senapan
yang tergantung di dinding itu, melainkan pada kepalan tangan yang saya
layangkan beruntun kepada wajah dan tubuh Einhardt yang gempal. Tindakannya
mempermalukan ibu saya di hadapan keluarga besarnya benar-benar membuat saya
geram.
Bisa-bisanya dia menuduh ibu saya berhutang kepadanya
jutaan euro, padahal ibu saya sendiri mempunyai ladang gandum seluas empat
hektar. Terlebih, dia beserta istrinya hanyalah pengangguran yang kerjaannya hanya
ongkang-ongkang kaki di teras rumah setiap pagi. Lalu bagaimana bisa, dia
meminjamkan uang kepada ibu saya sampai sebanyak itu?
Dia terus saja menyinggung utang yang dia anggap
tanggung jawab ibu saya itu saat bertemu dengan saudara-saudara ibu. Hal itu
tentu membuat kehormatan ibu saya turun drastis di mata saudara-saudaranya.
Akhirnya, ibu saya menjadi sering melamun dan menangis sesenggukan di kamarnya.
Setiap kali saya mencoba untuk menenangkannya, tangisnya malah akan semakin
meledak. Padahal beberapa waktu lalu Ibu saya baru bisa sembuh dari
kesedihannya akan meninggalnya ayah saya.
Maka pagi tadi amarah saya sudah tidak bisa dibendung
lagi. Jadilah saya pergi ke rumahnya sambil bersungut-sungut dan berniat
menghajarnya. “Ibumu Elka itu memang berhutang kepadaku. Uang yang didapatnya
dari ladang tidak cukup untuk membiayai kuliahmu di Berlin,” gerutu Einhardt
sambil menyedot cerutu yang terselip di sela-sela tangannya, saat saya tanyai
tentang kebenaran hutang itu.
“Omong kosong.
Kau paling hanya membual karena sudah kehabisan uang dan tidak lagi bisa
mengisi perutmu yang buncit itu. Dasar anak pungut tidak tau diri!”
Muka Einhardt berubah merah. Dia tersinggung karena
dia memang hanyalah seorang anak pungut. Dia ditemukan oleh ibu saya di dalam keranjang
rotan, yang tergeletak di depan pintu rumah pada sebuah malam saat hujan badai
berkecamuk. Saat itu terbersit pikiran ibu saya untuk membawa Einhardt ke panti
asuhan saja, kendati ibu saya sudah merawat saya yang masih sama kecilnya.
Namun kemurnian hati ibu saya berhasil mengalahkan keegoisannya. Sehingga dia
mau saja untuk mengambil bayi dalam keranjang rotan itu, untuk dibesarkan
menjadi manusia bodoh yang tidak tahu terima kasih ini.
Maka, amarah Einhardt yang memuncak membuatnya berdiri
dan membuang cerutunya yang masih tersisa separuh. Dengan suara lantang dia
berteriak tepat di depan muka saya, “Biar kuajari kau cara berbicara yang baik
kepada kakakmu. Dasar Adik bangsat!”
Teriakannya saya balas dengan meludahi wajahnya. Dia menjadi kalap dan mencoba melayangkan tinjunya ke sembarang
arah. Namun sebelum sempat pukulannya mengenai saya, hook yang saya lemparkan sudah berhasil mendarat di pipi kirinya. Badannya
yang seperti babi obesitas itu tidak akan bisa menandingi tubuh saya yang
ramping dan berisi. Sehingga pertengkaran yang terjadi menjadi berat sebelah.
Pukulan tangannya yang penuh lemak hanya meninju angin belaka, sedang kepalan
tangan saya yang penuh dengan otot berhasil membuat wajahnya lebam dan beberapa
buah giginya rontok ke lantai.
Sayangnya, belum juga bisa saya buat tubuhnya yang gempal
itu rebah ke tanah dengan uppercut yang akan saya layangkan, teriakan
Rolanda istrinya yang baru kembali ke rumah melengking. Sehingga dengan segera
saya beranjak dari rumah itu dengan pandangan berkunang-kunang, karena amarah
yang sudah menguasai diri saya. Sampai terdengar letusan senapan angin beberapa
saat lalu.
Mata saya yang tadinya kabur karena amarah, kini
terang benderang sebab nyawa saya terancam. Saya tidak berani menoleh terlebih
dahulu untuk memastikan berapa jarak yang tersisa antara saya dan Rolanda. Saya
tidak mau mengukur berapa waktu lagi saya menemui kematian. Terlebih, seberapa
keraspun saya mencoba fokus untuk mempercepat laju kaki, suara letusan-letusan
malah semakin bersahutan di belakang saya. Dada saya berdegup kencang tak
karuan. Sepintas, saya merasa menyesal sudah menghajar Einhardt tadi.
Seharusnya saya tidak perlu bersusah-payah menghajarnya, sehingga harus
menghadapi kengerian yang sebegininya.
Saat rasa sesal tengah mengerubuti pikiran saya,
tiba-tiba saja menyembul seorang laki-laki yang juga berlari kencang sembari
membawa senapan dari samping saya. Saya terkejut bukan main. Helm longgar yang
dikenakan lelaki itu terlihat terbang dan turun di kepalanya setiap kali
kakinya menjejak tanah dengan keras. Seragamnya yang berwarna hijau tua
terlihat lusuh oleh lumpur dan darah. Lambang swastika yang dibebat pada
lengannya membuat saya menyadari bahwa dia adalah seorang tentara Jerman.
Setelah kemunculannya, tentara-tentara Jerman terus bergantian
menyembul dari kanan-kiri saya. Saking banyaknya, saya jadi tidak dapat
menghitung secara pasti berapa jumlah tentara yang sudah terbit dari balik
punggung saya. Entah sudah lima ratus orang, atau malah sudah seribu lima ratus
orang. Saya benar-benar tidak tahu dan mencoba untuk tidak memusingkannya.
“Maju terus!”
“Jangan berhenti menyerang!”
Teriakan-teriakan lantas bersahutan di udara. Teriakan
amarah beradu dengan teriakan pilu dari rasa sakit yang mendera. Tentara Jerman
terlihat menyerbu pasukan musuh yang berhamburan. Saya tidak tau musuh yang
dihadapi oleh Jerman saat ini adalah musuh yang berasal dari negara mana. Pikiran
saya terlalu kacau sehingga saya tidak dapat berpikir jernih. Saya hanya bisa
berlari ke depan sambil peluru-peluru secepat angin berdesing di sekitar saya.
Tubuh-tubuh tentara baik dari pihak Jerman atau dari
pihak musuh mulai bergelimpangan di tanah berlumpur. Kepala mereka pecah dan
tercecer. Otak saya yang barangkali konslet sebab terlalu banyak menerima
informasi, pada akhirnya mengelak bahwa yang terjadi di depan saya ini adalah
kejadian yang nyata. Bagaimana mungkin saya yang tadinya hanya lari dari rumah
Einhardt karena letusan senjata api Rolanda tiba-tiba terlempar ke medan
pertempuran?
Apalagi rumah Einhardt berdekatan dengan rumah ibu
saya di Memel, yang tentu saja berjarak sangat jauh dari daerah-daerah yang menjadi
medan pertempuran. Barangkali saat ini saya hanya bermimpi ketika mencoba tidur,
pada mata kuliah Profesor Gobbels tentang sejarah yang begitu membosankan.
Barangkali memang seperti itu, sehingga saya terlelap di atas meja diiringi celotehannya,
dan untuk kemudian mendapatkan mimpi yang sebegini suramnya.
Dengan kesimpulan yang saya dapatkan itu, maka tangan
saya kemudian saya rentangkan, agar segera terkena peluru yang melesat dan
bangun dari mimpi buruk ini. Saya enggan menjalani mimpi yang penuh dengan
darah dan pecahan-pecahan kepala yang berhamburan di tanah yang saya injak.
Saya ingin bangun dan satu-satunya cara bangun dari mimpi adalah dengan
mengalami kematian. Sebab rasa sakit tentu saja masih bisa dirasakan di dalam
mimpi. Oleh sebab itu saya tidak akan melakukan hal konyol seperti
menampar-nampar muka saya agar terbangun dari mimpi.
Naasnya, ketika sebuah peluru berhasil mengenai lengan
saya, rasa terbakar terasa begitu nyata menyiksa saya. Saya berguling-guling
kesakitan di tanah berlumpur dengan banyak genangan keruh. Rasa sakit yang
terlampau parah memaksa saya mengeluarkan teriakan yang berhasil mengundang
peluru entah dari kubu mana, untuk malah datang memberondong tubuh saya yang
sudah terkapar. Sehingga rasa panas dan perih yang keterlaluan segera merambat
di sekujur badan saya. Darah mengalir deras dari lubang-lubang yang tercipta, hingga
genangan keruh yang tadinya berwarna cokelat muda, perlahan berubah menjadi
merah kehitam-hitaman.
Saat kesadaran saya hendak hilang sepenuhnya karena
sudah kehilangan banyak darah, saya tiba-tiba tersentak. Desau angin yang
dingin tiba-tiba saja berhembus kencang menabrak saya. Gigi saya bergemeretukan
saking dingin angin yang berhembus itu membuat tulang saya juga terasa ngilu. Mata
saya terbuka seketika. Saya merasa seperti baru saja terbangun dari tidur yang
sangat panjang. Sejauh mata memandang, saya hanya menemukan padang rumput luas
yang dipagari pepohonan oak yang menjulang. Ingatan saya sedikit kabur tentang
apa yang baru saja saya alami. Namun saya tidak mungkin salah mengingat, kalau
saya baru saja mati setelah diberondong peluru yang membakar habis tubuh saya.
Oleh sebab itu, sempat terpikir di benak saya bahwa
tempat ini adalah Gan Eden, taman surga yang jikalau merunut perkataan
Rabi Ebenezer, adalah tempat yang menawarkan keindahan yang tidak dapat
dibayangkan manusia. Saya bingung karena mendapati perkataannya berbanding
terbalik dengan surga yang saya hadapi sekarang ini. Saya tidak menemukan
secuilpun keindahan yang tak pernah saya bayangkan. Semua hal yang ada di sini:
padang rumput luas beserta pohon oak yang berbaris rapi, sudah pernah saya
temui sebelumnya semasa di dunia.
Ya, tempat ini pasti sudah pernah saya temui
sebelumnya karena saya tidak merasa asing. Saya seperti sudah sering berada di tempat
ini dulu sekali. Benar saja, ingatan tentang masa kecil saya yang gemar
berpetualang ke sembarang tempat, dengan segera menyerbu kepala saya. Saya
ingat bahwa tempat ini adalah tempat yang sering saya jelajahi dahulu. Maka gerak
kaki saya lantas dipandu ingatan. Saya seperti dapat memetakan tempat ini
dengan baik. Hati saya menjadi terasa begitu hangat dipenuhi kebahagiaan. Jalan
setapak yang adalah jalan pintas ke ladang gandum ibu saya pun akhirnya saya
temukan. Saya terus menyusuri jalan bertanah coklat yang di kanan-kirinya
terdapat rumput liar ini, hingga benar-benar menemukan hamparan ladang gandum
milik ibu saya yang melambai-lambai tertiup angin sepoi.
“Donowitz, ayo makan dulu! Kamu pasti lelah sebab baru
sampai dari Berlin,” saya mendapati ibu saya duduk di bawah pohon rindang di
pinggiran ladang. Lengkap bersama dengan Einhardt dan juga Rolanda. Di depan
mereka, terhampar berbagai masakan ibu yang tersaji dengan begitu memikat, termasuk
Gulaschsuppe kesukaan saya yang telah membuat mulut saya banjir air
liur.
Saya duduk dengan canggung dan kebingungan. Ingatan
saya masih sedikit terganggu dengan kejadian yang saya merasa baru saja
mengalami. Melihat wajah Einhardt dan Rolanda yang saat ini melemparkan senyum
kepada saya, rasanya begitu aneh. Seperti tidak seharusnya mereka berlaku
hangat seperti ini. Begitu juga melihat keriangan yang terlihat di wajah ibu
saya. Entah kenapa saya merasa memiliki sebuah ingatan di mana ibu selalu
memasang wajah murung dan sedih.
“Kenapa wajahmu malah kebingungan begitu. Ayolah lekas
dimakan. Ini adalah hari terakhir di mana kita bisa makan bersama. Besok kita
harus bergegas agar dapat bergabung bersama dengan yang lain di Hamburg, untuk
kemudian menaiki kapal St. Louis ke Kuba. Surga telah menanti kita!” ucap
Einhardt dengan mata yang berbinar-binar.
Saya benar-benar tak paham satupun kata yang
dilontarkan oleh Einhardt. Untuk apa kita tiba-tiba saja ke Kuba? Bukankah
kehidupan kita nyaman dan aman-aman saja di sini. Buktinya kita bisa berpiknik
dengan tenang di pinggiran ladang gandum ibu yang luas dan sejuk ini.
“Hah! Terus saja bermimpi. Pemerintah Kuba sudah
mengeluarkan titah, bahwa tidak ada kapal yang diperbolehkan mendarat di
pelabuhannya. Angan-angan kalian tentang surga itu tidak lebih dari sebuah
ilusi!” suara yang terdengar berat tetiba terdengar dari arah belakang, dikeluarkan
oleh seseorang yang tidak sama sekali saya kenal. Lelaki itu memakai seragam
tentara berwarna hijau tua yang lusuh, lengkap dengan lambang swastika yang
terbebat di lengannya, menandakan dia adalah tentara Jerman. Sejauh yang saya
ingat, kami sekeluarga tidak memiliki satupun kenalan yang adalah tentara
Jerman. Sebab sebagian besar kenalan kami bukan orang asli Jerman, melainkan
sama-sama pengungsi dari timur. Sehingga kami hanya bisa memandangnya aneh, sedang
tentara Jerman itu terus mengayun-ayunkan tongkat di tangannya sambil terkekeh.
“Orang-orang Yahudi yang tidak diinginkan seperti
kalian, pantasnya hanya mendekam di kamp buatan Führer dan membusuk di
dalamnya. Sehingga dinding-dinding hitam yang ada di sana, bisa terhiasi
oleh cakaran tangan kalian yang najis itu. Ha ha ha!”
Tentara itu lantas tertawa terbahak-bahak. Tongkat berwarna
hitam yang ujungnya berwarna emas miliknya terus diayun-ayunkannya. Sampai di
ayunan yang entah keberapa, tongkatnya terlempar dan mengenai ibu saya tepat di
wajahnya. Ibu saya kemudian mengaduh kesakitan, keningnya meneteskan darah. Sialnya,
belum sempat saya dan Einhardt melayangkan pukulan karena geram, kepalan tangan
tentara itu sudah mendarat di masing-masing rahang kami dalam sekedipan mata. Sehingga
tubuh kami terhuyung-huyung dan untuk kemudian berdebum keras menghantam tanah.
Semuanya menjadi gelap gulita.
"Tuan, apakah boleh memperlihatkan
karcisnya?"
Saya mengusap mata saya berkali-kali. Wajah seorang
wanita menghiasi penglihatan saya yang masih buram. Wanita yang mengenakan
kacamata bulat, dengan senyuman manis yang dihiasi lesung pipi. Wajahnya nampak
tak asing bagi saya. Seperti seorang wanita yang saya sukai sewaktu duduk di
bangku sekolah dulu yang bernama… Ah, saya lupa namanya.
Saya gali saku dan berhasil menemukan sebuah kertas
berukuran sebesar karcis. Mata saya memicing melihat kertas yang saya pegang. Karcis
ini tidak sama sekali menunjukkan titik keberangkatan ataupun tujuan dari
kereta uap yang saya naiki sekarang. Pada dua wajah kertas hanya terdapat
bercak-bercak kuning tanpa goresan tinta.
“Boleh saya minta karcisnya, tuan?” suara wanita yang
sedari tadi menunggu saya memberikan karcis menjadi tinggi. Dengan gelagapan
saya berikan karcis kosong itu tepat di telapak tangannya. Tanpa mengecek,
wanita itu melengang pergi sambil menyunggingkan senyum yang terlihat getir. Saya
hanya bisa menggaruk kepala mencoba memahami situasi ini. Kepala saya terasa berkedut
di bagian belakang. Seperti ada sesuatu yang terjadi dan luput dari ingatan
saya.
Melihat interior yang ada pada kereta uap ini, saya
berasumsi bahwa ini adalah kereta yang biasanya membawa saya ke Memel. Saya
benar-benar bisa mengenalinya sebab sering menaikinya tiap kali libur
perkuliahan datang. Sayangnya, kepadatan jadwal perkuliahan semester akhir saya
di Berlin akhir-akhir ini, memaksa saya untuk memendam keinginan menjenguk ibu
saya di Memel untuk waktu yang lama. Padahal tempo hari saya dengar kakak
angkat saya yang bernama Einhardt kembali membuat ulah di rumah, dan ibu yang
sudah berusia senja dibuat murung karenanya. Saya jadi merasa gusar saat
mengetahuinya. Barangkali setelah sampai di Memel nanti, saya akan
mendatanginya dan memberinya sedikit pelajaran agar kepalanya yang bodoh itu
bisa jera dan berhenti membuat ibu sedih.
Tiba-tiba
saja, saya mendengar sebuah ledakan besar dari arah utara. Dan entah kenapa, saya
hanya ingin terlelap sebentar saja.
Yogyakarta, 24
Juni 2023
Note:
Gan Eden: Taman surga pemeluk agama Yahudi.
Gulaschsuppe: Sup rebusan daging dan sayur-sayuran yang ditambahkan dengan paprika dan bumbu-bumbu lainnya. Banyak dikonsumsi di Eropa Tengah.