Penyusupan Fakta
dalam Fiksi: Tilikan atas Cerpen Tjak S. Parlan
“Tulislah
apa yang kamu ketahui,” anjuran yang sering ditujukan bagi seseorang yang mulai
memasuki dunia menulis. Anjuran semacam itu berhubungan dengan penghindaran
terhadap situasi writer’s block. Situasi
di mana penulis kesulitan melanjutkan tulisannya karena tidak cukup menguasai
bahan yang akan dinarasikan. Tentu menulis apa-apa yang telah diketahui juga
lebih mudah. Mengenali bahan cerita beriringan dengan mengetahui potensinya
yang membuat sebuah cerita memiliki nilai kepantasan untuk disampaikan.
Anjuran tentang menulis
sesuatu yang sudah diketahui bisa menimbulkan persepsi yang salah seolah
penulis tak dapat menebas jarak dari apa yang sudah diketahui dengan
bahan-bahan asing di luar kebiasaan kreatifnya selama ini. Padahal keuntungan
yang bisa diperoleh jika penulis mencoba memperluas teritori penciptaannya tentu
saja karyanya akan menjadi lebih kaya dan menampilkan sudut pandang yang
berbeda.
Dalam proses penulisan
kita bisa melakukan riset terlebih dahulu. Fakta-fakta dari hasil riset dicoba
disusupkan. Hal ini bertujuan tak hanya demi mendukung pondasi dari ide yang
ingin dibawakan, tapi juga menguji seberapa berfungsinya sebuah fakta yang
berkelindan dalam tuturan fiksi. Pilihan itu pun bukan tanpa risiko. Seringkali
yang terjadi penyusupan fakta dalam fiksi dapat menjadikan sebuah narasi
menjadi bertele-tele dan menggurui. Betapa maksud pengarang bisa terlihat jelas
berdiri di antara keinginan memamerkan pengetahuan dan banjirnya keterangan
fakta yang justru tak pada tempatnya.
Cerita pendek berjudul Setelah Beras Datang karya Tjak S.
Parlan (Detik.com, Edisi 10 November
2019) mengupayakan mengurangi risiko-risiko itu lewat pengedepanan gaya dialog
dan gestur-gestur tokoh yang bereaksi atas kejadian di luar dirinya. Pengucapan
yang minimalis baik dari segi deskripsi maupun fakta yang disodorkan__perihal
kebudayaan dan persoalan pangan Mentawai__ tidak melewati keperluan
dari cerita itu sendiri yang hanya menyoroti keluarga ‘kecil’ Eliakem. Meski
cerita ini menampilkan fitur-fitur khas Mentawai seperti penyebutan istilah Tappri, Obuk, Pompong, penulis lebih
memilih mendeksripsikannya dalam kalimat yang ringkas sehingga visualisasi akan
fitur-fitur tersebut dapat menjadi ‘luas’ sekaligus ‘sempit’. Imajinasi pembaca
bisa meluas karena keringkasan deskripsi fitur khas Mentawai itu membuka
pembayangan interpretasi yang tidak bergantung pada kemapanan dari keterangan
yang dibubuhkan penulis. Tetapi visualisasi akan fitur itu pun dapat menjadi
‘sempit’ dan sedikit menyulitkan dalam memahaminya kecuali jika pembaca
langsung mencari referensi gambar fitur itu melalui internet maupun bacaan.
Contoh visualisasi yang sedikit mengganggu dalam
pembayangan ceritanya ada pada paragraf berikut: Air cucuran berwarna putih itu ditampung dalam penampung penghubung
yang berupa kayu berceruk lebar. Ujung penampung penghubung itu tersambung
dengan sebuah penapis dari kain yang digantungkan di atas sebuah wadah kayu
berbentuk sampan. Deskripsi semacam ini membuat pembacaan terhenti beberapa
saat karena mencoba membentuk visualisasi yang meyakinkan atasnya. Seperti yang
ditemukan juga pada kata Pompong. Kata
itu muncul dalam dialog dan sempat
menimbulkan kekaburan visualisasi terhadapnya karena penjelasan apa itu Pompong baru kita ketahui setelah
membacanya di catatan yang berada di akhir cerpen. Tentu kita dapat memahami
pilihan gaya itu, sebab jika penjabaran apa itu Pompong ada dalam dialog, dialog akan terasa tidak wajar.
Terlepas dari gangguan
pembacaan perihal fakta yang diambil dari teritori kebudayaan tertentu di mana
kita merasa perlu mencari rujukan untuk memperjelas visualisasinya, kita dapat
melihat mengapa pilihan bertumpu pada dialog dapat menyelamatkan fiksi yang
menyusupkan fakta-fakta khusus di dalamnya. Cerpen ini tidak larut dalam
menyajikan detail-detail khas Mentawai sehingga dapat mengurangi kesan
bertele-tele dan pamer referensi. Justru tumpuan pada dialog, membuatnya dapat
memilah dan memilih detail mana yang patut masuk ke dalam alur kisah dan memperkuat
jalinan cerita yang ada serta memangkas detail lain yang tak perlu.
Apa itu Obuk, apa itu Sikerei tak hanya hadir untuk memperjelas bahwa cerpen ini berlatar
Mentawai, namun ia juga memperluas sudut pandang kita perihal persoalan pangan
di mana mengonsumsi Obuk tetaplah
menjadi kebutuhan primer meski beras juga telah menjadi pilihan makanan
sehari-hari masyarakat di sana. Obuk
juga menghadirkan pada kita soal silang pandang betapa program pemerintah soal
pengadaan beras bagi masyarakat adat seringkali tidak kontekstual dan
menimbulkan persoalan baru. Ketika ada sebagian masyarakat adat yang mulai
tergantung dengan beras, ia harus mengalami kendala. Dua kendala yang
dimunculkan dalam cerpen ini yaitu soal akses untuk memperoleh beras karena
harganya yang sangat mahal serta tak meratanya distribusi beras oleh sebab alat
transportasi di sana tidak memadai.
Penyebutan Sikerei juga hadir untuk membantu
pembaca menyaksikan dampak apabila seorang kepala keluarga tidak lagi mampu
mengolah sagu sendiri. Ia akan bergantung pada pengolah sagu yang lain dan
harus mengeluarkan uang untuk memenuhi ketergantungannya itu. Dengan kata lain istilah-istilah
Mentawai yang ada dalam cerpen Setelah
Beras Datang ini membulatkan ceritanya secara keseluruhan sehingga apabila
ada satu detail yang dilepaskan, kita pun akan segera melihat ketimpangannya.
Pertanyaan lain yang
muncul soal penyusupan fakta dalam fiksi, apakah kemudian kita dapat mengetahui
ide besar si penulis? Apa tujuan dari ia membingkai fakta-fakta yang terutama
hanya ada dalam teritori masyarakat tertentu? Jawaban yang muncul tentu bermacam-macam.
Tetapi kita dapat melihat setidaknya ‘keberpihakan’ penulis dari masalah yang
dimunculkan dengan kembali membaca teksnya.
Menjelang akhir cerpen Setelah Beras Datang, makan malam
keluarga Eliakem diisi oleh semacam kelegaan atau boleh dibilang keterharuan
karena Aron yang sudah mengecap pengalaman bersekolah di kota lebih memilih
menyantap sagu meski ada nasi juga yang dihidangkan. Begitu pula adiknya
Yohanes yang sebelumnya dikatakan sudah mengenal nasi sejak lahir, justru di
malam itu ia juga lebih memilih menyantap sagu.
Romantisme penulis akan
keberpihakannya begitu kentara pada bagian makan malam keluarga Eliakem itu.
Meski kemudian muncul pertanyaan, mengapa cerpen ini yang awalnya tak menampakkan
tendensi tertentu justru saat tiba di bagian penutup cerita, ia seolah
menjatuhkan pilihannya? Bukankah di awal cerita kita hanya melihat persoalan sagu
dan kesulitan akses beras itu sebagai perkara yang tidak banal meneriakkan
protes sosial?
Pertanyaan ini bisa
dikembalikan juga kepada pernyataan yang sering kita dengar perihal karya
sastra: sekecil apa pun itu pasti ada muatan politis di dalamnya. Benarkah
begitu? Kita patut pula mengingat bahwa pengalaman empiris penulis selama
berada di Mentawai__ yang menurut konfirmasinya dalam beberapa
kesempatan__ adalah pengalaman yang berkesan baik.Tentu hal itu berpengaruh
banyak membentuk sudut pandangnya. Secara tidak langsung meski samar dan halus serta
lagi-lagi disampaikan melalui keringkasan kalimat, kita dapat mendengar suara
keberpihakan penulis. Aron dan Yohanes sebagai wakil dari generasi penerus masa
kini mewakili suara keberpihakan itu.