Penyusupan Fakta dalam Fiksi: Tilikan atas Cerpen Tjak S. Parlan - Iin Farliani

@kontributor 7/23/2023

Penyusupan Fakta dalam Fiksi: Tilikan atas Cerpen Tjak S. Parlan

Iin Farliani




 

 “Tulislah apa yang kamu ketahui,” anjuran yang sering ditujukan bagi seseorang yang mulai memasuki dunia menulis. Anjuran semacam itu berhubungan dengan penghindaran terhadap situasi writer’s block. Situasi di mana penulis kesulitan melanjutkan tulisannya karena tidak cukup menguasai bahan yang akan dinarasikan. Tentu menulis apa-apa yang telah diketahui juga lebih mudah. Mengenali bahan cerita beriringan dengan mengetahui potensinya yang membuat sebuah cerita memiliki nilai kepantasan untuk disampaikan.

            Anjuran tentang menulis sesuatu yang sudah diketahui bisa menimbulkan persepsi yang salah seolah penulis tak dapat menebas jarak dari apa yang sudah diketahui dengan bahan-bahan asing di luar kebiasaan kreatifnya selama ini. Padahal keuntungan yang bisa diperoleh jika penulis mencoba memperluas teritori penciptaannya tentu saja karyanya akan menjadi lebih kaya dan menampilkan sudut pandang yang berbeda.

            Dalam proses penulisan kita bisa melakukan riset terlebih dahulu. Fakta-fakta dari hasil riset dicoba disusupkan. Hal ini bertujuan tak hanya demi mendukung pondasi dari ide yang ingin dibawakan, tapi juga menguji seberapa berfungsinya sebuah fakta yang berkelindan dalam tuturan fiksi. Pilihan itu pun bukan tanpa risiko. Seringkali yang terjadi penyusupan fakta dalam fiksi dapat menjadikan sebuah narasi menjadi bertele-tele dan menggurui. Betapa maksud pengarang bisa terlihat jelas berdiri di antara keinginan memamerkan pengetahuan dan banjirnya keterangan fakta yang justru tak pada tempatnya.

            Cerita pendek berjudul Setelah Beras Datang karya Tjak S. Parlan (Detik.com, Edisi 10 November 2019) mengupayakan mengurangi risiko-risiko itu lewat pengedepanan gaya dialog dan gestur-gestur tokoh yang bereaksi atas kejadian di luar dirinya. Pengucapan yang minimalis baik dari segi deskripsi maupun fakta yang disodorkan__perihal kebudayaan dan persoalan pangan Mentawai__ tidak melewati keperluan dari cerita itu sendiri yang hanya menyoroti keluarga ‘kecil’ Eliakem. Meski cerita ini menampilkan fitur-fitur khas Mentawai seperti penyebutan istilah Tappri, Obuk, Pompong, penulis lebih memilih mendeksripsikannya dalam kalimat yang ringkas sehingga visualisasi akan fitur-fitur tersebut dapat menjadi ‘luas’ sekaligus ‘sempit’. Imajinasi pembaca bisa meluas karena keringkasan deskripsi fitur khas Mentawai itu membuka pembayangan interpretasi yang tidak bergantung pada kemapanan dari keterangan yang dibubuhkan penulis. Tetapi visualisasi akan fitur itu pun dapat menjadi ‘sempit’ dan sedikit menyulitkan dalam memahaminya kecuali jika pembaca langsung mencari referensi gambar fitur itu melalui internet maupun bacaan.

                Contoh visualisasi yang sedikit mengganggu dalam pembayangan ceritanya ada pada paragraf berikut: Air cucuran berwarna putih itu ditampung dalam penampung penghubung yang berupa kayu berceruk lebar. Ujung penampung penghubung itu tersambung dengan sebuah penapis dari kain yang digantungkan di atas sebuah wadah kayu berbentuk sampan. Deskripsi semacam ini membuat pembacaan terhenti beberapa saat karena mencoba membentuk visualisasi yang meyakinkan atasnya. Seperti yang ditemukan juga pada kata Pompong. Kata itu muncul dalam dialog dan sempat menimbulkan kekaburan visualisasi terhadapnya karena penjelasan apa itu Pompong baru kita ketahui setelah membacanya di catatan yang berada di akhir cerpen. Tentu kita dapat memahami pilihan gaya itu, sebab jika penjabaran apa itu Pompong ada dalam dialog, dialog akan terasa tidak wajar.

            Terlepas dari gangguan pembacaan perihal fakta yang diambil dari teritori kebudayaan tertentu di mana kita merasa perlu mencari rujukan untuk memperjelas visualisasinya, kita dapat melihat mengapa pilihan bertumpu pada dialog dapat menyelamatkan fiksi yang menyusupkan fakta-fakta khusus di dalamnya. Cerpen ini tidak larut dalam menyajikan detail-detail khas Mentawai sehingga dapat mengurangi kesan bertele-tele dan pamer referensi. Justru tumpuan pada dialog, membuatnya dapat memilah dan memilih detail mana yang patut masuk ke dalam alur kisah dan memperkuat jalinan cerita yang ada serta memangkas detail lain yang tak perlu.

            Apa itu Obuk, apa itu Sikerei tak hanya hadir untuk memperjelas bahwa cerpen ini berlatar Mentawai, namun ia juga memperluas sudut pandang kita perihal persoalan pangan di mana mengonsumsi Obuk tetaplah menjadi kebutuhan primer meski beras juga telah menjadi pilihan makanan sehari-hari masyarakat di sana. Obuk juga menghadirkan pada kita soal silang pandang betapa program pemerintah soal pengadaan beras bagi masyarakat adat seringkali tidak kontekstual dan menimbulkan persoalan baru. Ketika ada sebagian masyarakat adat yang mulai tergantung dengan beras, ia harus mengalami kendala. Dua kendala yang dimunculkan dalam cerpen ini yaitu soal akses untuk memperoleh beras karena harganya yang sangat mahal serta tak meratanya distribusi beras oleh sebab alat transportasi di sana tidak memadai.

            Penyebutan Sikerei juga hadir untuk membantu pembaca menyaksikan dampak apabila seorang kepala keluarga tidak lagi mampu mengolah sagu sendiri. Ia akan bergantung pada pengolah sagu yang lain dan harus mengeluarkan uang untuk memenuhi ketergantungannya itu.           Dengan kata lain istilah-istilah Mentawai yang ada dalam cerpen Setelah Beras Datang ini membulatkan ceritanya secara keseluruhan sehingga apabila ada satu detail yang dilepaskan, kita pun akan segera melihat ketimpangannya.

            Pertanyaan lain yang muncul soal penyusupan fakta dalam fiksi, apakah kemudian kita dapat mengetahui ide besar si penulis? Apa tujuan dari ia membingkai fakta-fakta yang terutama hanya ada dalam teritori masyarakat tertentu? Jawaban yang muncul tentu bermacam-macam. Tetapi kita dapat melihat setidaknya ‘keberpihakan’ penulis dari masalah yang dimunculkan dengan kembali membaca teksnya.

            Menjelang akhir cerpen Setelah Beras Datang, makan malam keluarga Eliakem diisi oleh semacam kelegaan atau boleh dibilang keterharuan karena Aron yang sudah mengecap pengalaman bersekolah di kota lebih memilih menyantap sagu meski ada nasi juga yang dihidangkan. Begitu pula adiknya Yohanes yang sebelumnya dikatakan sudah mengenal nasi sejak lahir, justru di malam itu ia juga lebih memilih menyantap sagu.

            Romantisme penulis akan keberpihakannya begitu kentara pada bagian makan malam keluarga Eliakem itu. Meski kemudian muncul pertanyaan, mengapa cerpen ini yang awalnya tak menampakkan tendensi tertentu justru saat tiba di bagian penutup cerita, ia seolah menjatuhkan pilihannya? Bukankah di awal cerita kita hanya melihat persoalan sagu dan kesulitan akses beras itu sebagai perkara yang tidak banal meneriakkan protes sosial?

            Pertanyaan ini bisa dikembalikan juga kepada pernyataan yang sering kita dengar perihal karya sastra: sekecil apa pun itu pasti ada muatan politis di dalamnya. Benarkah begitu? Kita patut pula mengingat bahwa pengalaman empiris penulis selama berada di Mentawai__ yang menurut konfirmasinya dalam beberapa kesempatan__ adalah pengalaman yang berkesan baik.Tentu hal itu berpengaruh banyak membentuk sudut pandangnya. Secara tidak langsung meski samar dan halus serta lagi-lagi disampaikan melalui keringkasan kalimat, kita dapat mendengar suara keberpihakan penulis. Aron dan Yohanes sebagai wakil dari generasi penerus masa kini mewakili suara keberpihakan itu.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »