Pulang dari Malaysia - Reinard L. Meo

@kontributor 7/30/2023

Pulang dari Malaysia

Reinard L. Meo



Seminggu setelah pulang dari Malaysia dan diam di rumah saja, Stanis akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan ke kota. Stanis tidak kaget, sama sekali tidak. Kotanya begitu-begitu saja, mulai sejak masa akhir Orde Baru sampai Rezim Orang Baik kini. Tidak ada terlalu banyak perubahan. Toko segala jenis barang tempat pertama kali dia melihat Agnes dengan jepit rambut kupu-kupu, masih begitu adanya.

Pemiliknya masih Ibu yang itu, yang gerak matanya lebih cepat dari cahaya, mengawasi kalau-kalau ada pembeli nakal yang mencuri barang dagangannya. Toko itu begitu-begitu saja. Gitar yang digantung di tembok persis di belakang Ibu yang makin tua itu tetap di situ, mirip jomlo yang tidak laku.

Tidak ada terlalu banyak perubahan. Kotanya sama seperti sebelum dia memutuskan merantau ke Malaysia. Begitu-begitu saja, kecuali tugu baru tak jauh dari toko tempat Agnes memelototinya seperti tuan rumah memergoki perampok. Tugu yang sepintas dilihat, macam ubi kayu yang baru dikupas kulitnya.

“Stanis….”

Panggilan itu buat Stanis terkejut. Ingatannya pada paha Agnes yang montok, pada lengan yang kokoh, pada postur tubuh yang tak terlalu pendek, pada pinggul yang khas remaja akhir tahun 90-an karena terlalu banyak mengonsumsi labu jepang, seketika buyar. Panggilan sialan itu membatalkan alur ingatan Stanis yang sedikit lagi mencapai bagian dada Agnes. Bagian paling berisi, makmur, sentosa, dan jauh dari tanda-tanda kemiskinan.

“Oeee… Dimus anjing!”

Stanis membalas panggilan itu. Di daerah itu, belum akrab namanya kalau belum memanggil nama teman disisipi nama-nama binatang. Dimus tersenyum, tapi dalam hati Stanis memakinya.

“Teman kelas babi. Bikin sial!”

Dimus menghampiri Stanis. Keduanya berpelukan, tapi Stanis belum puas. Dia masih ingin memaki Dimus dalam hatinya.

“Eeeee… telor kau Dimus eee!”

Pada adegan kedua teman lama ini, hendaklah tiap pelukan tidak serta-merta dimaknai sebagai ungkapan kasih-sayang. Ada pelukan-pelukan tertentu yang disertai umpatan, caci, sinis, kepura-puraan, bahkan ancaman untuk balas dendam. Curigailah setiap pelukan.

“Kau kapan tiba, Stanis?”

“Minggu lalu, Teman!”

“Kau makin ganteng saja, Teman….”

“Eeee, ganteng kau punya la……..”

“Minggir, jangan ngobrol di sini. Pergi sana…”, bentak karyawan toko berbadan kekar, memotong kata terakhir Stanis yang masih kurang ‘su’.

 

***

 

Su. Su adalah nama istri majikan Stanis di Malaysia. Meski telah punya empat anak yang sudah sekolah semuanya, Su tetap kelihatan segar dan cerah. Macam tomat merah yang sedikit lagi sudah dapat dipetik. Tiap kali keluar dari kamar mandi, Stanis selalu curi-curi pandang ke arah Su yang berjalan mirip model pakaian. Butir-butir air yang turun masuk ke celah bukit Su yang hanya ditutupi selembar handuk, kerap bikin celana depan Stanis menonjol sendiri.

Beberapa kali, muncul secara spontan dorongan dari dalam diri Stanis untuk menerkam Su, seolah-olah dirinya singa lapar dan Su daging mentah yang dilempar oleh tukang kebun binatang. Dorongan itu selalu saja gagal diwujudkan oleh macam-macam alasan. Pertama Stanis takut ketahuan, kedua Stanis masih sadar kalau dirinya orang Katolik yang dilarang berbuat zina, ketiga Stanis teringat kembali akan wejangan inspiratif Ibunya sehari sebelum dirinya pamit merantau.

“Fokus kerja, Ana ja’o. Kumpul uang, kumpul pengalaman, kalau sudah cukup, pulang dan buatlah perubahan untuk daerah kita!”

Selalu saja gagal, hingga suatu sore menjelang malam, saat majikannya keluar kota dan Su baru keluar dari kamar mandi. Stanis sudah dalam posisi siaga. “Senapan”-nya sudah dia kokang, peluru sudah terlebih dahulu terisi, tinggal pada hitungan ketiga, siap tembak.

“Help… help… help…”, Su berteriak.

 

***

           

Help itu apa, Teman?”, tanya Dimus.

            “Makanya, ada kesempatan merantau, merantau! Hidup itu seperti buku yang tebal. Kalau kau tidak merantau, kau seperti hanya baca satu atau dua halaman saja!”, Stanis mulai berkata-kata, mengutip kembali reels facebook yang dia tonton semalam, bukan karena memang begitu refleksinya sepulang dari Malaysia.

            “Persetan. Help itu apa? Terus bagaimana, kau kena tangkap? Su teriak help, itu nama suaminya?”

            “Nah ini, ini. Kampungan. Help itu artinya tolong, bahasa Inggris. Orang Malaysia suka sisip bahasa Inggris kalau bicara. Jangan tinggal terus di kampung, Teman. Merantaulah. Buka kau punya wawasan itu!”

            “Oke, oke. Lanjut cerita. Kau tertangkap? Su lihat kau? Su kaget?”, Dimus melanjutkan.

            “Tidak. Bukan begitu kelanjutannya. Su teriak help karena dia lihat tikus. Besar sekali. Sebagai yang sangat berbakti pada majikan, wajib hukumnya saya menyelamatkan Su. Saya kejar tikus itu dan ketika posisinya sudah terdesak, saya pukul sampai mati.”

            Weiisssshhhh, luar biasa. Kau punya gaji langsung naik pasti yah?”

            “Dimus, Dimus. Menolong istri majikan yang ketakutan saja pikiran kau sudah langsung ke gaji. Kau sebaiknya tetap di kampung, tidak cocok merantau apalagi ke Malaysia. Pikiranmu berbahaya!”

Stanis kembali menasihati Dimus. Di mata Stanis, Dimus hanyalah seorang teman kelas SMA yang mainnya kurang jauh. Dimus senyum-senyum saja, sesekali tertawa. Kedua teman lama itu lanjut bercerita sambil makan siang di warung yang tak jauh dari tugu yang sepintas dilihat, macam ubi kayu yang baru dikupas kulitnya.

Handphone Dimus berdering.

“Pa, jam berapa pulang?”, istrinya bertanya.

 

***

 

“Pa, jam berapa pulang?”

            Su menelepon suaminya, majikan Stanis. Setibanya di rumah, kepada suaminya Su menceritakan semua yang terjadi pada sore menjelang malam tadi. Saat dirinya baru keluar dari kamar mandi, Stanis dengan penuh berahi langsung memeluknya dari belakang. Stanis berusaha keras melepaskan handuk yang digunakan Su untuk menutup tubuhnya sekaligus mengeringkan sisa-sisa air. Tidak ada tujuan lain selain bahwa Stanis ingin memerkosanya. Su lalu berteriak minta tolong dan tak lama setelah teriakan itu, anak sulung mereka langsung menuju ke sumber suara. Melihat kondisi Ibunya yang terjepit di antara tetap mempertahankan handuknya dan nafsu Stanis yang semakin tak tertahan, anak sulung mereka langsung mengambil sapu dan menghajar Stanis dari belakang. Terkejut, Stanis melepaskan pelukannya pada Su dan kabur lewat pintu samping.

            Tak puas pada cerita istrinya, suami Su langsung mengecek rekaman CCTV. Semua persis seperti yang diceritakan Su. Dalam rekaman itu, Stanis rupanya sudah menunggu di luar kamar mandi sejak beberapa saat setelah Su masuk. Stanis juga terlihat beberapa kali mengocok benda di selangkangannya. Rumah mereka tampak sepi. Ketika melancarkan aksinya, Stanis mirip babi yang tidak makan tiga hari. Liar, ganas.

            Sejak kejadian itu, batang-hidung Stanis tak kelihatan lagi. Stanis sudah pergi. Suami Su, majikannya, marah besar. Sekalipun Stanis muncul lagi, otomatis dipecat dan dilaporkan ke pihak yang berwenang, lengkap dengan pengakuan korban, keterangan saksi, dan bukti rekaman CCTV.

***

            Sekembalinya dari jalan-jalan ke kota yang tidak banyak berubah, mengenang kembali kejadian ketika Agnes memelototinya seperti tuan rumah memergoki perampok, bertemu Dimus teman SMA-nya, sampai cerita heroik karangannya menyelamatkan istri majikannya yang panik melihat tikus besar, Stanis merebahkan badannya di kursi. Wejangan inspiratif Ibunya bertahun-tahun silam kembali muncul.

“Fokus kerja, Ana ja’o. Kumpul uang, kumpul pengalaman, kalau sudah cukup, pulang dan buatlah perubahan untuk daerah kita!”

            Stanis memikirkan berbagai macam cara. Mulai dari mengumpulkan anak-anak muda di RT mereka dan mengadakan diskusi; bertamu ke rumah kepala desa, menanyakan kemungkinan mengadakan reboisasi, dan menawarkan jasa menjadi tim sukses jika kepala desa ingin ikut pemilihan lagi; sampai ingin menjadi anggota DPRD dengan fokus pada peningkatan isi kepala, penguatan refleksi dari keseharian hidup, dan kemampuan mengontrol berahi. Stanis ingin tampil beda. Stanis benar-benar ingin membawa perubahan, sejak dalam konsep. Stanis sangat-sangat ingin memberi perlawanan pada materi kampanye yang lazim yang hanya terpaku pada soal ekonomi dibumbui janji membangun jembatan di desa yang tak punya sungai.

            “Mama, Mama, bupati kita sekarang siapa? Dari partai apa?”

            “Mandi dulu, Stanis. Mama lagi masak. Habis mandi, kita makan malam.”

            “Mama jawab saja, bupati kita sekarang siapa? Dari partai apa dia?”

            “Memangnya ada apa?”

            “Kerja apa saja dia? Tidak ada perubahan apa-apa di kabupaten ini. Tadi saya keliling kota, begitu-begitu saja. Kota mati. Tugu ubi kayu itu dibangun tanpa konsep. Daerah kita ini terkenal dengan kopi. Cobalah bikin tugu kopi. Atau kalau pun ubi kayu, minimal yang sudah digoreng. Agak kuning warnanya. Itu tadi saya lihat macam baru dikupas kulitnya. Pucat!”

            “Stanis, Mama lagi rebus ubi untuk makan malam kita.”

            “Mama dukung bupati yang sekarang?”

            “Mama hanya sampaikan, Mama lagi rebus ubi untuk makan malam kita.”

            “Di Malaysia, Mama, masyarakat yang dukung pemimpin, langsung ketahuan. Dari baju sampai makanan. Mama dukung bupati kita sekarang, yang tidak ada kerja, yang programnya tidak jelas, yang tidak mampu bawa perubahan? Saya ini sering main politik di Malaysia, Mama, jadi saya tahu banyak. Sebaiknya Mama jujur, Mama dukung bupati yang sekarang?”

            “Mandi dulu, Stanis, kita mau makan malam.”

            “Santai saja, Mama, jawab saja. Saya mengerti politik, jadi santai saja. Barang begini sudah biasa untuk kami di Malaysia. Mama jawab saja.”

            “Sejak Bapakmu lari ke Kalimantan tinggalkan kita, Mama sudah tidak peduli lagi pada yang namanya politik. Bapakmu dukung calon yang salah, jadi saat kalah, habis semua tabungan Mama. Jangan tanya ke Mama soal itu. Coba tanya Dimus.”

            Stanis bangkit berdiri. Dia menuju dapur. Kira-kira pukul 20.00 WITA. Ibunya tengah mencedok ubi rebus dari panci.

            “Siapa? Dimus? Dimus yang mana?”

            “Dimus teman SMA kamu dulu, Stanis. Tahun lalu kami bertemu di pasar, dia pakai seragam. PNS. Kata dia, dia sudah pindah kerja di kantor bupati.”

            “Mungkin Mama salah orang.”

            “Benar, Dimus yang itu. Teman SMA kamu. Suaminya Agnes.”

            Rasa lapar Stanis sekejap hilang. Terbersit rasa ingin merantau lagi, tapi bukan ke Malaysia. ***


Jakarta, April 2023

 

Note:

Labu jepang: labu siam yang dapat dimasak sebagai sayur. Di NTT, terkenal dengan sebutan “labu jepang”.

Ana ja’o: Ana: anak; ja’o: saya, aku; ana ja’o: anak saya, anakku (Bahasa Daerah Bajawa, Flores, NTT).

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »