Pulang
dari Malaysia
Reinard L. Meo
Seminggu setelah pulang dari Malaysia dan diam di
rumah saja, Stanis akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan ke kota. Stanis tidak
kaget, sama sekali tidak. Kotanya begitu-begitu saja, mulai sejak masa akhir
Orde Baru sampai Rezim Orang Baik kini. Tidak ada terlalu banyak perubahan. Toko
segala jenis barang tempat pertama kali dia melihat Agnes dengan jepit rambut
kupu-kupu, masih begitu adanya.
Pemiliknya masih Ibu yang
itu, yang gerak matanya lebih cepat dari cahaya, mengawasi kalau-kalau ada pembeli
nakal yang mencuri barang dagangannya. Toko itu begitu-begitu saja. Gitar yang
digantung di tembok persis di belakang Ibu yang makin tua itu tetap di situ,
mirip jomlo yang tidak laku.
Tidak ada terlalu banyak perubahan.
Kotanya sama seperti sebelum dia memutuskan merantau ke Malaysia. Begitu-begitu
saja, kecuali tugu baru tak jauh dari toko tempat Agnes memelototinya seperti
tuan rumah memergoki perampok. Tugu yang sepintas dilihat, macam ubi kayu yang
baru dikupas kulitnya.
“Stanis….”
Panggilan itu buat Stanis
terkejut. Ingatannya pada paha Agnes yang montok, pada lengan yang kokoh, pada
postur tubuh yang tak terlalu pendek, pada pinggul yang khas remaja akhir tahun
90-an karena terlalu banyak mengonsumsi labu jepang, seketika buyar. Panggilan
sialan itu membatalkan alur ingatan Stanis yang sedikit lagi mencapai bagian
dada Agnes. Bagian paling berisi, makmur, sentosa, dan jauh dari tanda-tanda
kemiskinan.
“Oeee… Dimus anjing!”
Stanis membalas panggilan
itu. Di daerah itu, belum akrab namanya kalau belum memanggil nama teman
disisipi nama-nama binatang. Dimus tersenyum, tapi dalam hati Stanis memakinya.
“Teman kelas babi. Bikin sial!”
Dimus menghampiri Stanis. Keduanya
berpelukan, tapi Stanis belum puas. Dia masih ingin memaki Dimus dalam hatinya.
“Eeeee… telor kau Dimus
eee!”
Pada adegan kedua teman
lama ini, hendaklah tiap pelukan tidak serta-merta dimaknai sebagai ungkapan
kasih-sayang. Ada pelukan-pelukan tertentu yang disertai umpatan, caci, sinis,
kepura-puraan, bahkan ancaman untuk balas dendam. Curigailah setiap pelukan.
“Kau kapan tiba, Stanis?”
“Minggu lalu, Teman!”
“Kau makin ganteng saja,
Teman….”
“Eeee, ganteng kau punya
la……..”
“Minggir, jangan ngobrol
di sini. Pergi sana…”, bentak karyawan toko berbadan kekar, memotong kata
terakhir Stanis yang masih kurang ‘su’.
***
Su. Su adalah nama istri
majikan Stanis di Malaysia. Meski telah punya empat anak yang sudah sekolah
semuanya, Su tetap kelihatan segar dan cerah. Macam tomat merah yang sedikit
lagi sudah dapat dipetik. Tiap kali keluar dari kamar mandi, Stanis selalu
curi-curi pandang ke arah Su yang berjalan mirip model pakaian. Butir-butir air
yang turun masuk ke celah bukit Su yang hanya ditutupi selembar handuk, kerap
bikin celana depan Stanis menonjol sendiri.
Beberapa kali, muncul
secara spontan dorongan dari dalam diri Stanis untuk menerkam Su, seolah-olah
dirinya singa lapar dan Su daging mentah yang dilempar oleh tukang kebun binatang.
Dorongan itu selalu saja gagal diwujudkan oleh macam-macam alasan. Pertama Stanis
takut ketahuan, kedua Stanis masih sadar kalau dirinya orang Katolik yang
dilarang berbuat zina, ketiga Stanis teringat kembali akan wejangan inspiratif Ibunya
sehari sebelum dirinya pamit merantau.
“Fokus kerja, Ana ja’o.
Kumpul uang, kumpul pengalaman, kalau sudah cukup, pulang dan buatlah perubahan
untuk daerah kita!”
Selalu saja gagal, hingga
suatu sore menjelang malam, saat majikannya keluar kota dan Su baru keluar dari
kamar mandi. Stanis sudah dalam posisi siaga. “Senapan”-nya sudah dia kokang,
peluru sudah terlebih dahulu terisi, tinggal pada hitungan ketiga, siap tembak.
“Help… help… help…”, Su berteriak.
***
“Help itu apa, Teman?”, tanya Dimus.
“Makanya, ada kesempatan merantau,
merantau! Hidup itu seperti buku yang tebal. Kalau kau tidak merantau, kau
seperti hanya baca satu atau dua halaman saja!”, Stanis mulai berkata-kata,
mengutip kembali reels facebook yang dia tonton semalam, bukan karena
memang begitu refleksinya sepulang dari Malaysia.
“Persetan.
Help itu apa? Terus bagaimana, kau kena tangkap? Su teriak help, itu
nama suaminya?”
“Nah
ini, ini. Kampungan. Help itu artinya tolong, bahasa Inggris. Orang Malaysia
suka sisip bahasa Inggris kalau bicara. Jangan tinggal terus di kampung, Teman.
Merantaulah. Buka kau punya wawasan itu!”
“Oke,
oke. Lanjut cerita. Kau tertangkap? Su lihat kau? Su kaget?”, Dimus
melanjutkan.
“Tidak.
Bukan begitu kelanjutannya. Su teriak help karena dia lihat tikus. Besar
sekali. Sebagai yang sangat berbakti pada majikan, wajib hukumnya saya
menyelamatkan Su. Saya kejar tikus itu dan ketika posisinya sudah terdesak,
saya pukul sampai mati.”
“Weiisssshhhh,
luar biasa. Kau punya gaji langsung naik pasti yah?”
“Dimus,
Dimus. Menolong istri majikan yang ketakutan saja pikiran kau sudah langsung ke
gaji. Kau sebaiknya tetap di kampung, tidak cocok merantau apalagi ke Malaysia.
Pikiranmu berbahaya!”
Stanis kembali menasihati
Dimus. Di mata Stanis, Dimus hanyalah seorang teman kelas SMA yang mainnya
kurang jauh. Dimus senyum-senyum saja, sesekali tertawa. Kedua teman lama itu
lanjut bercerita sambil makan siang di warung yang tak jauh dari tugu yang
sepintas dilihat, macam ubi kayu yang baru dikupas kulitnya.
Handphone Dimus
berdering.
“Pa, jam berapa pulang?”,
istrinya bertanya.
***
“Pa, jam berapa pulang?”
Su
menelepon suaminya, majikan Stanis. Setibanya di rumah, kepada suaminya Su
menceritakan semua yang terjadi pada sore menjelang malam tadi. Saat dirinya
baru keluar dari kamar mandi, Stanis dengan penuh berahi langsung memeluknya dari
belakang. Stanis berusaha keras melepaskan handuk yang digunakan Su untuk
menutup tubuhnya sekaligus mengeringkan sisa-sisa air. Tidak ada tujuan lain
selain bahwa Stanis ingin memerkosanya. Su lalu berteriak minta tolong dan tak
lama setelah teriakan itu, anak sulung mereka langsung menuju ke sumber suara. Melihat
kondisi Ibunya yang terjepit di antara tetap mempertahankan handuknya dan nafsu
Stanis yang semakin tak tertahan, anak sulung mereka langsung mengambil sapu
dan menghajar Stanis dari belakang. Terkejut, Stanis melepaskan pelukannya pada
Su dan kabur lewat pintu samping.
Tak
puas pada cerita istrinya, suami Su langsung mengecek rekaman CCTV. Semua
persis seperti yang diceritakan Su. Dalam rekaman itu, Stanis rupanya sudah
menunggu di luar kamar mandi sejak beberapa saat setelah Su masuk. Stanis juga
terlihat beberapa kali mengocok benda di selangkangannya. Rumah mereka tampak
sepi. Ketika melancarkan aksinya, Stanis mirip babi yang tidak makan tiga hari.
Liar, ganas.
Sejak
kejadian itu, batang-hidung Stanis tak kelihatan lagi. Stanis sudah pergi. Suami
Su, majikannya, marah besar. Sekalipun Stanis muncul lagi, otomatis dipecat dan
dilaporkan ke pihak yang berwenang, lengkap dengan pengakuan korban, keterangan
saksi, dan bukti rekaman CCTV.
***
Sekembalinya
dari jalan-jalan ke kota yang tidak banyak berubah, mengenang kembali kejadian
ketika Agnes memelototinya seperti tuan rumah memergoki perampok, bertemu Dimus
teman SMA-nya, sampai cerita heroik karangannya menyelamatkan istri majikannya
yang panik melihat tikus besar, Stanis merebahkan badannya di kursi. Wejangan inspiratif
Ibunya bertahun-tahun silam kembali muncul.
“Fokus kerja, Ana ja’o.
Kumpul uang, kumpul pengalaman, kalau sudah cukup, pulang dan buatlah perubahan
untuk daerah kita!”
Stanis memikirkan berbagai macam
cara. Mulai dari mengumpulkan anak-anak muda di RT mereka dan mengadakan diskusi;
bertamu ke rumah kepala desa, menanyakan kemungkinan mengadakan reboisasi, dan
menawarkan jasa menjadi tim sukses jika kepala desa ingin ikut pemilihan lagi;
sampai ingin menjadi anggota DPRD dengan fokus pada peningkatan isi kepala, penguatan
refleksi dari keseharian hidup, dan kemampuan mengontrol berahi. Stanis ingin
tampil beda. Stanis benar-benar ingin membawa perubahan, sejak dalam konsep. Stanis
sangat-sangat ingin memberi perlawanan pada materi kampanye yang lazim yang hanya
terpaku pada soal ekonomi dibumbui janji membangun jembatan di desa yang tak punya
sungai.
“Mama,
Mama, bupati kita sekarang siapa? Dari partai apa?”
“Mandi
dulu, Stanis. Mama lagi masak. Habis mandi, kita makan malam.”
“Mama
jawab saja, bupati kita sekarang siapa? Dari partai apa dia?”
“Memangnya
ada apa?”
“Kerja
apa saja dia? Tidak ada perubahan apa-apa di kabupaten ini. Tadi saya keliling
kota, begitu-begitu saja. Kota mati. Tugu ubi kayu itu dibangun tanpa konsep. Daerah
kita ini terkenal dengan kopi. Cobalah bikin tugu kopi. Atau kalau pun ubi
kayu, minimal yang sudah digoreng. Agak kuning warnanya. Itu tadi saya lihat
macam baru dikupas kulitnya. Pucat!”
“Stanis,
Mama lagi rebus ubi untuk makan malam kita.”
“Mama
dukung bupati yang sekarang?”
“Mama
hanya sampaikan, Mama lagi rebus ubi untuk makan malam kita.”
“Di
Malaysia, Mama, masyarakat yang dukung pemimpin, langsung ketahuan. Dari baju
sampai makanan. Mama dukung bupati kita sekarang, yang tidak ada kerja, yang
programnya tidak jelas, yang tidak mampu bawa perubahan? Saya ini sering main
politik di Malaysia, Mama, jadi saya tahu banyak. Sebaiknya Mama jujur, Mama
dukung bupati yang sekarang?”
“Mandi
dulu, Stanis, kita mau makan malam.”
“Santai
saja, Mama, jawab saja. Saya mengerti politik, jadi santai saja. Barang begini
sudah biasa untuk kami di Malaysia. Mama jawab saja.”
“Sejak
Bapakmu lari ke Kalimantan tinggalkan kita, Mama sudah tidak peduli lagi pada yang
namanya politik. Bapakmu dukung calon yang salah, jadi saat kalah, habis semua tabungan
Mama. Jangan tanya ke Mama soal itu. Coba tanya Dimus.”
Stanis
bangkit berdiri. Dia menuju dapur. Kira-kira pukul 20.00 WITA. Ibunya tengah
mencedok ubi rebus dari panci.
“Siapa?
Dimus? Dimus yang mana?”
“Dimus
teman SMA kamu dulu, Stanis. Tahun lalu kami bertemu di pasar, dia pakai
seragam. PNS. Kata dia, dia sudah pindah kerja di kantor bupati.”
“Mungkin
Mama salah orang.”
“Benar,
Dimus yang itu. Teman SMA kamu. Suaminya Agnes.”
Rasa lapar Stanis sekejap hilang. Terbersit rasa ingin merantau lagi, tapi bukan ke Malaysia. ***
Jakarta, April 2023
Note:
Labu jepang: labu siam yang dapat dimasak sebagai sayur. Di NTT, terkenal dengan sebutan “labu jepang”.
Ana ja’o: Ana:
anak; ja’o: saya, aku; ana ja’o: anak saya, anakku (Bahasa Daerah Bajawa, Flores,
NTT).