Soal Genealogi, Konkretisasi, dan Komposisi Narasi dari Topeng Labuapi
Bulan
Oktober 2022, Penerbit Rua Aksara merilis buku sepilihan puisi berjudul Topeng Labuapi (2022) karya Lalu
Muhammad Syamsul Arifin a.k.a. Lamuh
Syamsuar. Sedekat yang saya pahami, Lamuh adalah salah seorang penyair asal
Lombok Tengah yang cukup konsisten mengolah isu-isu Sasak dan Lombok sebagai
fondasi pembicaraan dalam karya-karyanya, khususnya puisi. Di samping sebagai
pembaca setia karyanya, saya juga mengenal baik personalnya—kami kerap
berbincang, berasal dari daerah yang sama, hanya terpisah desa dan kecamatan
saja.
Saya amat menyadari, Lamuh kian jauh mengungguli saya dalam
urusan wawasan ke-Sasak-an atau ke-Lombok-an, mencakup konteks kekinian serta
kesejarahan, dan dalam tulisan ini, alih-alih selaku pembedah yang tangkas,
pembacaan saya justru barangkali lebih dapat ditangkap sebagai pemantik ke
kedalaman konten yang dimuat tubuh-tubuh puisi dalam Topeng Labuapi. Saya menyarankan Anda untuk membaca buku tersebut
secara utuh.
Kiki Sulistyo pernah berseletuk pada malam event Microfest Komunitas Akarpohon tahun
2020 silam, di Udayana, Kota Mataram, bahwa ia melihat pola perpuisian Lamuh cenderung
merangsek ke dalam, ke saripati dari cara pandang dan sikap Sasak dibandingkan
sekadar mengolah fenomena-fenomena kontemporer yang bisa dicari fondasinya dari
teks-teks lawas Sasak, semacam waran (cerita
rakyat), sesenggak, seselip, setilah, punjang-kepanjang,
dan kelisanan lainnya yang diturun-temurunkan oleh leluhur. Lamuh berupaya menyerap
sari atau “yang puisi” dari kejadian atau narasi (yang lampau atau faktual),
entitas (teks-teks, benda, tempat, dan satuan ontologis lainnya), subjek (baik
yang statis maupun mengembang lantaran dimitoskan), dan yang sekaliannya lagi
dalam konteks Sasak-Lombok.
Saya membaca, cara penyerapan atau penggalian yang dilakukan
Lamuh adalah dengan penyelisikan ke dalam, menyusur dan menyasar genealogi ketimbang
merambah ke hal-hal yang kita cerap sebagai yang universal. Ini, bisa sekali
kita dapati dalam buku puisinya yang terbit sebelum Topeng Labuapi, yakni Mata
Damar (2019).[1]
Kelindan Jawa dan Konkretisasinya
Laku berpuisi Lamuh itu, seiring perjalanan, saya lihat
terus berfase, menegang, dan makin menguat dalam trajectory kepenyairannya.
Kita mungkin dapat mencermati sejauh mana penelusurannya atas rambat-akar dari
Lombok-Sasak itu yang berlanjut ke arah barat (dengan “b” kecil), menapaki
Bali, dan seperti bermuara di Jawa, makin-makin terasa dalam Topeng Labuapi tinimbang Mata Damar—komparasi sederhana ini saya
lakukan antara kedua buku Lamuh yang sudah saya sebutkan, dengan menepikan buku
puisi pertamanya, Secauk Pasir Kesunyian (2014),
yang ia sebut semacam ditimpa nasib kurang baik.
Diksi-diksi puisi dalam Topeng
Labuapi, seperti asmarandana, dandanggula, megatruh, paraning dumaadhi,
dan seterusnya, mestilah jadi
penghantar saya pada argumentasi tadi—bahwa spiritualisme Jawa menjadi akar
dari puisi-puisi terbarunya—di samping dukungan pengantar ringkas Mata Damar dari Itsna Hadi Septiawan,
juga “Surat Penulis” dari Lamuh dalam Topeng
Labuapi yang menyoal pasemon
sebagai hal yang mengelindankan antara Sasak dengan Jawa. Jelasnya, yang saya
maksudkan: kita posisikanlah Sasak-Lombok sebagai gejala, yang rambat sebab peristiwanya
mengarah ke kebudayaan Jawa, khususnya Jawa-Islam. Sifat puisi Lamuh, dari Mata Damar ke Topeng Labuapi, dengan demikian meluas cakupan secara skala fisik—karena
merambah pembicaraan ke Bali dan Jawa yang memiliki satu silsilah
kebudayaan—dan menukik ke dalam secara (penyusuran) kekontenan.
Mengerucutkan pembicaraan ke Topeng Labuapi, muara ke
arah Jawa itu saya temukan baik dalam wujud penanda-penanda/simbol/diksi khusus
maupun kehadiran selubung pasemon
sebagaimana Lamuh sentilkan dalam “Surat Penulis”-nya. Saya mencermati—pola
yang amat dominan—tiap kali subjek lirik timbul dan eksis dalam puisi (baik
aku, kau, ibu, maupun yang lainnya), maka ia hampir selalu berdekatan dengan pasemon (spesifiknya: nada dan laku
merendah). Pola pemosisian subjek lirik ini, pula pastinya turut membentuk
sikap dan tone puisi di hadapan
pembaca (secara ekstratekstual). Puisi “Ibumu di Bukit Singgar”, saya pikir
yang cukup mencolok menghadirkan pasemon
dan memosisikan subjek ibu sebagaimana saya maksudkan barusan. Anda semua juga
bisa mencermati semisal sejumlah bait dalam puisi: “Taman Mayura”; “Taman
Narmada”; “Taman Pura Suranadi”; “Bendungan Batujai”; “Jogja seperti Sajak
Tanpa Suara”; dan masih banyak lagi.
Berikutnya, yang juga saya rasakan tatkala berhadapan dengan
puisi-puisi dalam Topeng Labuapi:
simbol-simbol yang dimunculkan atau terbentuk dalam Topeng Labuapi lebih kuat dan konkret ketimbang yang ada dalam Mata Damar. Yang mesti dicermati pula,
dan selaras dengan pemunculan/pembentukan simbol-simbol itu, ialah kendati
menyertakan diksi-diksi khusus (ala daerah, falsafi, atau sejenisnya) dalam Topeng Labuapi, Lamuh seperti tetap
tidak (lagi) terjebak dalam ekslusivitas pemaknaan dan cara pandang, yang saya
pikir porsi—antara eksisnya simbol-simbol itu dengan narasi yang (membantu)
menjelaskan makna sekaligus esensi simbol itu sendiri, baik secara langsung
maupun tak langsung—artinya dikerjakan dan disajikan secara berimbang oleh sang
penyair. Ada faktor lain yang mungkin pula amat subjektif dalam penilaian ini:
horizon wawasan saya selaku pembaca, mungkin lebih berkerabat dengan
simbol-simbol itu ketimbang simbol-simbol yang pernah muncul dalam Mata Damar.
Contoh sederhana dari yang saya maksudkan, kita bisa mencermati
sekaligus mengomparasikan tipe-tipe
penjudulan dari kedua buku puisi—lihatlah khususnya pada sub “Bumi Gora” dalam Mata Damar, yang judulnya sangat
Sasak-sentris, kental, sementara dalam Topeng
Labuapi, meskipun tidak semua, ada pola-pola frasa atau kata majemuk berupa
diterangkan-menerangkan (DM) atau menerangkan-diterangkan (MD), atau lagi
kombinasi turunan antarkeduanya, yang saya rasa lebih mudah memberikan gambaran
atau pijakan awal bagi pembaca sebelum hanyut dalam narasi puisi. Contoh-contohnya:
dalam sub “Bumi Gora” buku Mata Damar
ialah puisi “Subahnale”, “Jatiswara”, “Sirat
Rinjani”, “Tombok Nyiur”, “Bumi Gora”, “Angin Alus”, “Mandalika”, “Gogo Rancah”,
“Lumbar Betangko”, “Begabah”, dan “Semeti”, yang kseseluruhannya bagi saya
sangat ekslusif Sasak; sementara pola-pola—atau sebutlah nomina penjudulan
dalam Mata Damar itu—pada Topeng Labuapi amat jarang akan kita
temui. Cobalah cermati senarai judul dalam daftar isi Topeng Labuapi itu sendiri.
Dalam Mata Damar,
memang amat konkret dari segi penjudulan, tetapi bagaimana dengan penarasian
dalam tubuh puisinya? Inilah yang saya maksud dalam Topeng Labuapi—yang mana ini tak/belum terjadi dalam Mata Damar—kekonkretan puisi dan dengan
dukungan simbol-simbol itu, dibentuk oleh keberimbangan antara kehadiran simbol
khusus dan penarasian yang menyertai—keduanya bagi saya berjalan-beriringan.
Demikianlah setidaknya pembacaan secara general saya atas puisi-puisi dalam Topeng Labuapi, dengan menjadikan Mata Damar sebagai pijakan atau titik
tolak keberangkatan.
Percobaan
“Mencacah” Narasi Puisi
Untuk pembacaan salah satu puisi secara khusus, yakni
“Topeng Labuapi” yang sekaligus dijadikan judul dari buku, saya coba
menggunakan cara pandang yang sama ketika saya mendedah beberapa puisi dalam Mata Damar: respons estetik.[2] Dengan pisau-pandang itu, saya dapat
tetap menautkan teks dengan trajektori sang penyair beserta karya sebelumnya,
juga teks-teks lain yang melingkupi (sastra, cerita rakyat, berita, nukilan, dan
seterusnya), atau yang kesemuanya dapat diakumulasikan ke dalam konsep “repertoire”.
Puisi “Topeng Labuapi” saya pilih dengan teknik sampling acak, dan analisis ringkas ini
bakal bergerak selaras dengan apa yang sudah saya pantik di muka, yakni hendak
melihat bagaimana puisi ini bergerak memuara ke—atau setidaknya memuat
unsur—Jawa dalam narasinya.
Topeng
Labuapi
aku mengenakan topeng Jero Buling
sebagaimana pekasih melabuhkan api di tanahmu
sebagaimana kupu-kupu kuning
mengukur luas matahari
dari tanah Cupak ke tanah Gurantang
ujung paling timur Jawa dalam diriku
ambun
uwang! ambun uwang!
Bagi
saya, begitu banyak tebaran simbol-simbol khusus dalam puisi ini. Ada
“Labuapi”, “topeng Jero Buling”, “kupu-kupu kuning”, “tanah Cupak dan tanah
Gurantang”, “ujung paling timur Jawa”, dan “ambun
uwang”.
Simbol “Labuapi”
mengarahkan saya pada cerita rakyat—yang konon adalah sejarah salah satu desa
di Pulau Lombok—yang dikenal dengan “Labuh Api” (dari bahasa Bali). Dalam kisah
itu, kebakaran hebat diceritakan terjadi—di tempat yang kini menjadi desa
bernama Labuapi—lantaran kecerobohan salah seorang pasukan Kerajaan Karangasem
pada fase-fase awal invasi mereka ke arah timur (Pulau Lombok). Unsur Bali di
sini, menarik saya lebih jauh lagi, ke titik di mana di Karangasem ada bola api
berwarna biru-bening berlabuh di atas puri yang ditempati I Gusti Ayu Nyoman
Rai, yang rupanya adalah wujud lain dari kekasihnya, Bhetara Gde di Gunung
Agung—apakah ia “pekasih” yang dimaksudkan Lamuh? Entahlah. Anak dari keduanya
bernama Bhetara Alit Sakti, dan selanjutnya dijuluki “bayi yang menjadi dewa”.
Dari tongkat kayu kepel (stelechocarpus
burahol) yang dipungut dan kemudian ditancapkan di Pura Bukit—tatkala
Bhetara Alit Sakti dan ibundanya akan boyong ke tempat baru, namun justru moksa—inilah
nantinya simbol “kupu-kupu kuning” bakal muncul (Abad XVII).
Tongkat kayu kepel itu rupanya tumbuh besar, indah, dan
berdaun rancak, bahkan—catatan Anak Agung Ketut Agung dalam buku Kupu-kupu Kuningyang Terbang di Selat
Lombok: Lintas Sejarah Kerajaan Karangasem (1661-1950) (1990)—bertahan
melewati tahun 1990. Pada saat perjalanan invasi Karangasem ke Lombok (1692),
daun-daun dari pohon kepel ini kemudian berubah menjadi kupu-kupu kuning,
menyertai pasukan Karangasem tatkala menjauh dari pantai, dan mulai memasuki
Selat Lombok. Konon, jumlahnya amat banyak, ribuan, bergerak berkelompok, dan
mungkin inilah yang dimaksud Lamuh sebagai “kupu-kupu kuning (yang) mengukur
luas matahari”.
Mengapa kemudian pada larik berikutnya muncul simbol “Cupak
dan Gurantang” (cerita rakyat Bali dan Sasak) dengan tanah mereka
masing-masing? Saya pikir, ini adalah analogi, bahwa bisa juga tanah Cupak
dimaknai sebagai Bali. Lantas, mengapa Cupak? Apakah karena Bali mendominasi Lombok dan tabiat ini identik
dengan perlakuan (curang) Cupak terhadap Gurantang? Atau dalam perspektif yang
lain, lantaran Bali adalah tanah yang orang-orang pendatang dengan “kupu-kupu
kuning” itu “tinggalkan”? Cupak adalah tokoh yang ditinggalkan dalam cerita
rakyat lantaran posisi antagonisnya, dan saya pikir (berupaya) ditinggalkan
pula tabiatnya oleh para pendengar/pembaca di luar cerita. Ia sama-sama
ditinggalkan sebagaimana tanah Bali ditinggalkan pula oleh orang-orang yang
melakukan invasi—dan di sini, arah invasi adalah tanah Gurantang, tanah Lombok,
atau orang-orang Sasak itu sendiri.
Lombok, jika dilihat dari silsilah ke-Jawa-annya, barangkali
bisa disebut sebagai yang lebih muda (adik) dari Bali, dan urutan usia itu juga
sejalan dengan Cupak yang lebih tua dari Gurantang dalam cerita rakyat. Hal itu
pulalah yang menjadi dasar bagi Lamuh untuk menyebut tanah Gurantang (Lombok)
sebagai “ujung paling timur Jawa” dalam dirinya—dengan ia mempertimbangkan
aksara, bahasa, dan tradisi, dan mungkin pula catatan dalam Kitab Nagara Kretagama yang menarasikan
bahwasanya Pulau Bali dan Pulau Lombok adalah dua tanah yang terapung (tidak
stabil), yang lantaran keibaan Bhetara Hyang Pasupati dalam yoganya, maka
“dipasaklah” keduanya menggunakan puncak dari Semeru. Ini, kadang saya rasakan
jadi analogi yang terlalu tergesa, namun menjadi hal lazim, sebab selalu pelik
untuk memaknai cara pandang penyair dalam mengolah kembali “manik-manik” pada
kejembaran horizon wawasannya, kendati serenik saja.
Rupanya, ada satu larik terakhir yang dipisahkan Lamuh dari
bait utama, dengan menghadirkan simbol “ambun
uwang”. “Ambun” berarti
bau/aroma, dan “uwang” adalah “wong” dalam bahasa Jawa, yang bermakna
orang. Ungkapan “ambun uwang! ambun
uwang!” sebagaimana disematkan Lamuh, sejatinya muncul dalam cerita rakyat
“Sabuk Bidadari”, yang berkisah tentang pencurian selendang para bidadari dari
Kayangan yang tengah mandi di Segara Anak, Gunung Rinjani, oleh raksasa. Cerita
ini, saya pikir memiliki kemiripan dengan cerita rakyat “Jaka Tarub” dari
Jawa—dan menjadi hal cukup lumrah ketika ditemukan formula-formula yang
berdekatan dalam cerita rakyat antarsuku, apalagi yang masih memiliki pertalian
kebudayaan satu sama lain.
Saya sendiri tidak menemukan referen bagi simbol subjek
“Jero Buling” dalam puisi ini. Akan tetapi, saya pikir ini dapat dimaklumi,
mengingat di samping cerita-cerita rakyat yang tersebar sangat populer (seperti
“Mandalika”, “Cupak Gurantang”, “Cilinaya”, “Dewi Anjani”, dan lain-lain),
terdapat pula cerita-cerita rakyat yang hanya terdistribusi dalam lingkup atau
skala kecil, semisal mencakup sekadar satu atau dua desa saja di Lombok.
***
Demikianlah pembacaan dan penyelisikan saya atas kehadiran
Jawa sebagai muara dalam puisi-puisi Lamuh Syamsuar, yang terhimpun dalam buku
puisi ketiganya, Topeng Labuapi. Jika
dalam percobaan “pencacahan” puisi “Topeng Labuapi” saya berfokus pada
komposisi narasi dari teks, maka yang mesti ditegaskan pula ialah “balutan”
dari teks-teks yang menyusun puisi tersebut, tentunya diperoleh Lamuh dalam
trajektori kreatifnya: ia lahir dan dibesarkan di Lombok, mewawasani diri
dengan dunia Sasak-Islam, lantas kemudian memijak di Tanah Jawa (saat studi
pascasarjana) dan menyerap berbagai khazahan baru dalam serentang perjalanannya
di sana. Ia akumulasikan itu dalam puisi-puisinya. Dan ke depan, tentu saja,
saya pikir Lamuh bakal berjumpa dengan teks-teks terbaru, yang andai ia terus
bergulat dalam dunia puisi, maka bakal makin kompleks dan kayalah teks-teks
yang ia lahirkan.
Demikianlah setidaknya.
Note
[1] Hal ini berdasarkan
komparasi kecil-kecilan yang saya lakukan, antara karya Lamuh dengan para
penyair muda Lombok lainnya, yang saya ketahui muncul dalam rentang sepantaran
(bukan berdasar usia), semisal Bayu Pratama, Ilda Karwayu, Iin Farliani, Rony
Fernandez, dan nama-nama lainnya. Puisi-puisi mereka, banyak membubuhkan nama
subjek lirik, tempat, dan similiaritas/interteks ke dunia-dunia manca yang
dominan Barat (dengan “B” kapital).
[2] Penelitian berjudul
“Membaca Repertoire Lamuh Syamsuar
dalam Buku Puisi Mata Damar: Kajian
Respons Estetik Wolfgang Iser” ini dapat
dibaca dalam buku Dari Repertoar Hingga
Ideologi dalam Konstruksi Sastra (Interlude, 2021).