Soal Genealogi, Konkretisasi, dan Komposisi Narasi dari Topeng Labuapi - Ilham Rabbani

@kontributor 7/30/2023

Soal Genealogi, Konkretisasi, dan Komposisi Narasi dari Topeng Labuapi 

Ilham Rabbani


 

Bulan Oktober 2022, Penerbit Rua Aksara merilis buku sepilihan puisi berjudul Topeng Labuapi (2022) karya Lalu Muhammad Syamsul Arifin a.k.a. Lamuh Syamsuar. Sedekat yang saya pahami, Lamuh adalah salah seorang penyair asal Lombok Tengah yang cukup konsisten mengolah isu-isu Sasak dan Lombok sebagai fondasi pembicaraan dalam karya-karyanya, khususnya puisi. Di samping sebagai pembaca setia karyanya, saya juga mengenal baik personalnya—kami kerap berbincang, berasal dari daerah yang sama, hanya terpisah desa dan kecamatan saja.

Saya amat menyadari, Lamuh kian jauh mengungguli saya dalam urusan wawasan ke-Sasak-an atau ke-Lombok-an, mencakup konteks kekinian serta kesejarahan, dan dalam tulisan ini, alih-alih selaku pembedah yang tangkas, pembacaan saya justru barangkali lebih dapat ditangkap sebagai pemantik ke kedalaman konten yang dimuat tubuh-tubuh puisi dalam Topeng Labuapi. Saya menyarankan Anda untuk membaca buku tersebut secara utuh.

Kiki Sulistyo pernah berseletuk pada malam event Microfest Komunitas Akarpohon tahun 2020 silam, di Udayana, Kota Mataram, bahwa ia melihat pola perpuisian Lamuh cenderung merangsek ke dalam, ke saripati dari cara pandang dan sikap Sasak dibandingkan sekadar mengolah fenomena-fenomena kontemporer yang bisa dicari fondasinya dari teks-teks lawas Sasak, semacam waran (cerita rakyat), sesenggak, seselip, setilah, punjang-kepanjang, dan kelisanan lainnya yang diturun-temurunkan oleh leluhur. Lamuh berupaya menyerap sari atau “yang puisi” dari kejadian atau narasi (yang lampau atau faktual), entitas (teks-teks, benda, tempat, dan satuan ontologis lainnya), subjek (baik yang statis maupun mengembang lantaran dimitoskan), dan yang sekaliannya lagi dalam konteks Sasak-Lombok.

Saya membaca, cara penyerapan atau penggalian yang dilakukan Lamuh adalah dengan penyelisikan ke dalam, menyusur dan menyasar genealogi ketimbang merambah ke hal-hal yang kita cerap sebagai yang universal. Ini, bisa sekali kita dapati dalam buku puisinya yang terbit sebelum Topeng Labuapi, yakni Mata Damar (2019).[1]

 

Kelindan Jawa dan Konkretisasinya

Laku berpuisi Lamuh itu, seiring perjalanan, saya lihat terus berfase, menegang, dan makin menguat dalam trajectory kepenyairannya. Kita mungkin dapat mencermati sejauh mana penelusurannya atas rambat-akar dari Lombok-Sasak itu yang berlanjut ke arah barat (dengan “b” kecil), menapaki Bali, dan seperti bermuara di Jawa, makin-makin terasa dalam Topeng Labuapi tinimbang Mata Damar—komparasi sederhana ini saya lakukan antara kedua buku Lamuh yang sudah saya sebutkan, dengan menepikan buku puisi pertamanya, Secauk Pasir Kesunyian (2014), yang ia sebut semacam ditimpa nasib kurang baik.

Diksi-diksi puisi dalam Topeng Labuapi, seperti asmarandana, dandanggula, megatruh, paraning dumaadhi, dan seterusnya, mestilah jadi penghantar saya pada argumentasi tadi—bahwa spiritualisme Jawa menjadi akar dari puisi-puisi terbarunya—di samping dukungan pengantar ringkas Mata Damar dari Itsna Hadi Septiawan, juga “Surat Penulis” dari Lamuh dalam Topeng Labuapi yang menyoal pasemon sebagai hal yang mengelindankan antara Sasak dengan Jawa. Jelasnya, yang saya maksudkan: kita posisikanlah Sasak-Lombok sebagai gejala, yang rambat sebab peristiwanya mengarah ke kebudayaan Jawa, khususnya Jawa-Islam. Sifat puisi Lamuh, dari Mata Damar ke Topeng Labuapi, dengan demikian meluas cakupan secara skala fisik—karena merambah pembicaraan ke Bali dan Jawa yang memiliki satu silsilah kebudayaan—dan menukik ke dalam secara (penyusuran) kekontenan.

Mengerucutkan pembicaraan ke Topeng Labuapi, muara ke arah Jawa itu saya temukan baik dalam wujud penanda-penanda/simbol/diksi khusus maupun kehadiran selubung pasemon sebagaimana Lamuh sentilkan dalam “Surat Penulis”-nya. Saya mencermati—pola yang amat dominan—tiap kali subjek lirik timbul dan eksis dalam puisi (baik aku, kau, ibu, maupun yang lainnya), maka ia hampir selalu berdekatan dengan pasemon (spesifiknya: nada dan laku merendah). Pola pemosisian subjek lirik ini, pula pastinya turut membentuk sikap dan tone puisi di hadapan pembaca (secara ekstratekstual). Puisi “Ibumu di Bukit Singgar”, saya pikir yang cukup mencolok menghadirkan pasemon dan memosisikan subjek ibu sebagaimana saya maksudkan barusan. Anda semua juga bisa mencermati semisal sejumlah bait dalam puisi: “Taman Mayura”; “Taman Narmada”; “Taman Pura Suranadi”; “Bendungan Batujai”; “Jogja seperti Sajak Tanpa Suara”; dan masih banyak lagi.

Berikutnya, yang juga saya rasakan tatkala berhadapan dengan puisi-puisi dalam Topeng Labuapi: simbol-simbol yang dimunculkan atau terbentuk dalam Topeng Labuapi lebih kuat dan konkret ketimbang yang ada dalam Mata Damar. Yang mesti dicermati pula, dan selaras dengan pemunculan/pembentukan simbol-simbol itu, ialah kendati menyertakan diksi-diksi khusus (ala daerah, falsafi, atau sejenisnya) dalam Topeng Labuapi, Lamuh seperti tetap tidak (lagi) terjebak dalam ekslusivitas pemaknaan dan cara pandang, yang saya pikir porsi—antara eksisnya simbol-simbol itu dengan narasi yang (membantu) menjelaskan makna sekaligus esensi simbol itu sendiri, baik secara langsung maupun tak langsung—artinya dikerjakan dan disajikan secara berimbang oleh sang penyair. Ada faktor lain yang mungkin pula amat subjektif dalam penilaian ini: horizon wawasan saya selaku pembaca, mungkin lebih berkerabat dengan simbol-simbol itu ketimbang simbol-simbol yang pernah muncul dalam Mata Damar.

Contoh sederhana dari yang saya maksudkan, kita bisa mencermati sekaligus  mengomparasikan tipe-tipe penjudulan dari kedua buku puisi—lihatlah khususnya pada sub “Bumi Gora” dalam Mata Damar, yang judulnya sangat Sasak-sentris, kental, sementara dalam Topeng Labuapi, meskipun tidak semua, ada pola-pola frasa atau kata majemuk berupa diterangkan-menerangkan (DM) atau menerangkan-diterangkan (MD), atau lagi kombinasi turunan antarkeduanya, yang saya rasa lebih mudah memberikan gambaran atau pijakan awal bagi pembaca sebelum hanyut dalam narasi puisi. Contoh-contohnya: dalam sub “Bumi Gora” buku Mata Damar ialah puisi  “Subahnale”, “Jatiswara”, “Sirat Rinjani”, “Tombok Nyiur”, “Bumi Gora”, “Angin Alus”, “Mandalika”, “Gogo Rancah”, “Lumbar Betangko”, “Begabah”, dan “Semeti”, yang kseseluruhannya bagi saya sangat ekslusif Sasak; sementara pola-pola—atau sebutlah nomina penjudulan dalam Mata Damar itu—pada Topeng Labuapi amat jarang akan kita temui. Cobalah cermati senarai judul dalam daftar isi Topeng Labuapi itu sendiri.

Dalam Mata Damar, memang amat konkret dari segi penjudulan, tetapi bagaimana dengan penarasian dalam tubuh puisinya? Inilah yang saya maksud dalam Topeng Labuapi—yang mana ini tak/belum terjadi dalam Mata Damar—kekonkretan puisi dan dengan dukungan simbol-simbol itu, dibentuk oleh keberimbangan antara kehadiran simbol khusus dan penarasian yang menyertai—keduanya bagi saya berjalan-beriringan. Demikianlah setidaknya pembacaan secara general saya atas puisi-puisi dalam Topeng Labuapi, dengan menjadikan Mata Damar sebagai pijakan atau titik tolak keberangkatan.

 

Percobaan “Mencacah” Narasi Puisi

Untuk pembacaan salah satu puisi secara khusus, yakni “Topeng Labuapi” yang sekaligus dijadikan judul dari buku, saya coba menggunakan cara pandang yang sama ketika saya mendedah beberapa puisi dalam Mata Damar: respons estetik.[2] Dengan pisau-pandang itu, saya dapat tetap menautkan teks dengan trajektori sang penyair beserta karya sebelumnya, juga teks-teks lain yang melingkupi (sastra, cerita rakyat, berita, nukilan, dan seterusnya), atau yang kesemuanya dapat diakumulasikan ke dalam konsep “repertoire”.

Puisi “Topeng Labuapi” saya pilih dengan teknik sampling acak, dan analisis ringkas ini bakal bergerak selaras dengan apa yang sudah saya pantik di muka, yakni hendak melihat bagaimana puisi ini bergerak memuara ke—atau setidaknya memuat unsur—Jawa dalam narasinya.

 

Topeng Labuapi

 

aku mengenakan topeng Jero Buling

sebagaimana pekasih melabuhkan api di tanahmu

sebagaimana kupu-kupu kuning

mengukur luas matahari

dari tanah Cupak ke tanah Gurantang

ujung paling timur Jawa dalam diriku

 

ambun uwang! ambun uwang!

 

Bagi saya, begitu banyak tebaran simbol-simbol khusus dalam puisi ini. Ada “Labuapi”, “topeng Jero Buling”, “kupu-kupu kuning”, “tanah Cupak dan tanah Gurantang”, “ujung paling timur Jawa”, dan “ambun uwang”.

Simbol “Labuapi” mengarahkan saya pada cerita rakyat—yang konon adalah sejarah salah satu desa di Pulau Lombok—yang dikenal dengan “Labuh Api” (dari bahasa Bali). Dalam kisah itu, kebakaran hebat diceritakan terjadi—di tempat yang kini menjadi desa bernama Labuapi—lantaran kecerobohan salah seorang pasukan Kerajaan Karangasem pada fase-fase awal invasi mereka ke arah timur (Pulau Lombok). Unsur Bali di sini, menarik saya lebih jauh lagi, ke titik di mana di Karangasem ada bola api berwarna biru-bening berlabuh di atas puri yang ditempati I Gusti Ayu Nyoman Rai, yang rupanya adalah wujud lain dari kekasihnya, Bhetara Gde di Gunung Agung—apakah ia “pekasih” yang dimaksudkan Lamuh? Entahlah. Anak dari keduanya bernama Bhetara Alit Sakti, dan selanjutnya dijuluki “bayi yang menjadi dewa”. Dari tongkat kayu kepel (stelechocarpus burahol) yang dipungut dan kemudian ditancapkan di Pura Bukit—tatkala Bhetara Alit Sakti dan ibundanya akan boyong ke tempat baru, namun justru moksa—inilah nantinya simbol “kupu-kupu kuning” bakal muncul (Abad XVII).

Tongkat kayu kepel itu rupanya tumbuh besar, indah, dan berdaun rancak, bahkan—catatan Anak Agung Ketut Agung dalam buku Kupu-kupu Kuningyang Terbang di Selat Lombok: Lintas Sejarah Kerajaan Karangasem (1661-1950) (1990)—bertahan melewati tahun 1990. Pada saat perjalanan invasi Karangasem ke Lombok (1692), daun-daun dari pohon kepel ini kemudian berubah menjadi kupu-kupu kuning, menyertai pasukan Karangasem tatkala menjauh dari pantai, dan mulai memasuki Selat Lombok. Konon, jumlahnya amat banyak, ribuan, bergerak berkelompok, dan mungkin inilah yang dimaksud Lamuh sebagai “kupu-kupu kuning (yang) mengukur luas matahari”.

Mengapa kemudian pada larik berikutnya muncul simbol “Cupak dan Gurantang” (cerita rakyat Bali dan Sasak) dengan tanah mereka masing-masing? Saya pikir, ini adalah analogi, bahwa bisa juga tanah Cupak dimaknai sebagai Bali. Lantas, mengapa Cupak? Apakah karena Bali  mendominasi Lombok dan tabiat ini identik dengan perlakuan (curang) Cupak terhadap Gurantang? Atau dalam perspektif yang lain, lantaran Bali adalah tanah yang orang-orang pendatang dengan “kupu-kupu kuning” itu “tinggalkan”? Cupak adalah tokoh yang ditinggalkan dalam cerita rakyat lantaran posisi antagonisnya, dan saya pikir (berupaya) ditinggalkan pula tabiatnya oleh para pendengar/pembaca di luar cerita. Ia sama-sama ditinggalkan sebagaimana tanah Bali ditinggalkan pula oleh orang-orang yang melakukan invasi—dan di sini, arah invasi adalah tanah Gurantang, tanah Lombok, atau orang-orang Sasak itu sendiri.

Lombok, jika dilihat dari silsilah ke-Jawa-annya, barangkali bisa disebut sebagai yang lebih muda (adik) dari Bali, dan urutan usia itu juga sejalan dengan Cupak yang lebih tua dari Gurantang dalam cerita rakyat. Hal itu pulalah yang menjadi dasar bagi Lamuh untuk menyebut tanah Gurantang (Lombok) sebagai “ujung paling timur Jawa” dalam dirinya—dengan ia mempertimbangkan aksara, bahasa, dan tradisi, dan mungkin pula catatan dalam Kitab Nagara Kretagama yang menarasikan bahwasanya Pulau Bali dan Pulau Lombok adalah dua tanah yang terapung (tidak stabil), yang lantaran keibaan Bhetara Hyang Pasupati dalam yoganya, maka “dipasaklah” keduanya menggunakan puncak dari Semeru. Ini, kadang saya rasakan jadi analogi yang terlalu tergesa, namun menjadi hal lazim, sebab selalu pelik untuk memaknai cara pandang penyair dalam mengolah kembali “manik-manik” pada kejembaran horizon wawasannya, kendati serenik saja.

Rupanya, ada satu larik terakhir yang dipisahkan Lamuh dari bait utama, dengan menghadirkan simbol “ambun uwang”. “Ambun” berarti bau/aroma, dan “uwang” adalah “wong” dalam bahasa Jawa, yang bermakna orang. Ungkapan “ambun uwang! ambun uwang!” sebagaimana disematkan Lamuh, sejatinya muncul dalam cerita rakyat “Sabuk Bidadari”, yang berkisah tentang pencurian selendang para bidadari dari Kayangan yang tengah mandi di Segara Anak, Gunung Rinjani, oleh raksasa. Cerita ini, saya pikir memiliki kemiripan dengan cerita rakyat “Jaka Tarub” dari Jawa—dan menjadi hal cukup lumrah ketika ditemukan formula-formula yang berdekatan dalam cerita rakyat antarsuku, apalagi yang masih memiliki pertalian kebudayaan satu sama lain.

Saya sendiri tidak menemukan referen bagi simbol subjek “Jero Buling” dalam puisi ini. Akan tetapi, saya pikir ini dapat dimaklumi, mengingat di samping cerita-cerita rakyat yang tersebar sangat populer (seperti “Mandalika”, “Cupak Gurantang”, “Cilinaya”, “Dewi Anjani”, dan lain-lain), terdapat pula cerita-cerita rakyat yang hanya terdistribusi dalam lingkup atau skala kecil, semisal mencakup sekadar satu atau dua desa saja di Lombok.

 

***

 

Demikianlah pembacaan dan penyelisikan saya atas kehadiran Jawa sebagai muara dalam puisi-puisi Lamuh Syamsuar, yang terhimpun dalam buku puisi ketiganya, Topeng Labuapi. Jika dalam percobaan “pencacahan” puisi “Topeng Labuapi” saya berfokus pada komposisi narasi dari teks, maka yang mesti ditegaskan pula ialah “balutan” dari teks-teks yang menyusun puisi tersebut, tentunya diperoleh Lamuh dalam trajektori kreatifnya: ia lahir dan dibesarkan di Lombok, mewawasani diri dengan dunia Sasak-Islam, lantas kemudian memijak di Tanah Jawa (saat studi pascasarjana) dan menyerap berbagai khazahan baru dalam serentang perjalanannya di sana. Ia akumulasikan itu dalam puisi-puisinya. Dan ke depan, tentu saja, saya pikir Lamuh bakal berjumpa dengan teks-teks terbaru, yang andai ia terus bergulat dalam dunia puisi, maka bakal makin kompleks dan kayalah teks-teks yang ia lahirkan.

Demikianlah setidaknya.



Note

[1] Hal ini berdasarkan komparasi kecil-kecilan yang saya lakukan, antara karya Lamuh dengan para penyair muda Lombok lainnya, yang saya ketahui muncul dalam rentang sepantaran (bukan berdasar usia), semisal Bayu Pratama, Ilda Karwayu, Iin Farliani, Rony Fernandez, dan nama-nama lainnya. Puisi-puisi mereka, banyak membubuhkan nama subjek lirik, tempat, dan similiaritas/interteks ke dunia-dunia manca yang dominan Barat (dengan “B” kapital).

[2] Penelitian berjudul “Membaca Repertoire Lamuh Syamsuar dalam Buku Puisi Mata Damar: Kajian Respons Estetik Wolfgang Iser” ini dapat dibaca dalam buku Dari Repertoar Hingga Ideologi dalam Konstruksi Sastra (Interlude, 2021).

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »