Beri
Hanna
Bayang-Bayang
Mary
Buku-buku yang tak pernah dilupakan Mary,
bahkan beberapa detik setelah eksekusi mati—saat itu Mary berpose seperti
Sebastian yang dilukis Antonello da Messina; tenang dan tidak peduli dengan
anak panah yang tertancap di tubuhnya—menyadarkan dia akan dikerubungi ngengat
seperti tokoh idolanya dalam cerita pengarang asal Argentina, adalah beberapa
yang dicuri dari perpustakaan kota.
Mary sangat menyukai
buku lebih dari apapun, dan terobsesi, hingga membawanya menjadi seorang
perempuan paling ditakuti pada masanya.
Aku teringat pada Mary setelah membaca catatan penulis asal Chile yang lebih doyan mabuk ketimbang menyelesaikan calon novel mutakhirnya. Satu alasan mengapa aku katakan “teringat” bukan “mengetahui” sebab sebelum-sebelumnya, Mary telah bergentayangan di sepanjang Samudra Pasifik, dan dia lebih nyata dari setan-setan bajak laut. Dia menjadi buah bibir para bajingan kesepian atau berkelompok, yang memimpin bajingan atau bawahan yang tidak berguna, dan bajingan lain yang merompak dan dirompak kapalnya.
Begini Cerita Singkat tentang Mary.
Pada tahun 1880 di
bulan November yang separuh terbakar karena cuaca panas berkepanjangan, Mary mengangkat
senjata api dan mengarahkannya ke para bajingan kapal. Saat itu mary menantang
siapa saja untuk adu jotos.
“Perempuan punya
kesempatan untuk baku hantam,” kata Mary, namun tak seorang menanggapi bahkan
memikirkan kata-katanya hingga Mary diminta untuk pulang dan, mewarnai kuku
jari tangannya.
“Kami tak punya
waktu bermain-main, Nona Muda,” kata pemimpin bajingan membuat semua anak buah
tertawa.
Salah satu catatan
penulis Chile dalam bab Peraturan-Peraturan, ada satu pantangan dalam
memberlakukan wanita di atas kapal, yang berbunyi; jangan pernah menertawakan
mereka. Harapan para bajingan yang ingin melihat kemilau kuku yang memantulkan
cahaya matahari, gagal dalam kabut awan yang memburamkan segala sesuatu.
Mary tentu saja
tersinggung dan penghinaan semacam ini, membuatnya marah lalu berkata dengan
nada kurang ajar, “Bagus. Karena aku juga tidak main-main.”
Di saat semua
tertawa—karena merasa lelucon semacam ini menjadi panjang—Mary mengirim peluru
ke salah satu perut bajingan.
Semua terkejut
ketika Mary meletakkan senjata dan mengambil kuda-kuda seperti petinju Tom
Paddock yang terkenal pada abad-19.
“Berikutnya aku
tidak butuh senjata itu,” kata Mary.
“Siapa anda
sebenarnya, Nona Muda?”
Semua terdiam
ketika Mary mengatakan dia adalah Mary R. Mary, keturunan langsung dari moyang
yang terpancung di Jago de la Vega, Jamaica, Kota Spanyol pada 1720.
Bagi
sebagian bajingan kapal, kata-kata Mary adalah kunci yang menunjukkan fakta,
bahwa mereka sedang menghadapi orang gila. Dalam kisah dari penulis terkenal,
dikatakan hal yang kurang lebih demikian: bajak laut perempuan bernama Mary Read,
menantang bajingan-bajingan yang mengganggu kekasihnya di atas kapal, lalu
puncak dari kejayaan Mary Read sebagai bajak laut, berakhir di tiang pancung.
Jelas bahwa Mary hanya terobsesi dengan kata-kata perempuan bajak laut yang berani.
Tidak Mudah untuk Bercerita
Aku
ingat, ada dua fakta unik dari cerita—yang ditulis Bolaño—tentang seseorang yang
mendapati dirinya mati pada suatu subuh di kota Paris. Pertama, dia melihat
kematian dirinya sendiri dan menjadi takut karena tak tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya. Kedua, dia menertawakan kematiannya hanya karena ingatan atas film
berjudul Ghost—dari masa lalunya yang tak pernah terbayangkan—yang
seketika menjadi nyata pada dirinya; di mana Patrick Swayze terbunuh dan
arwahnya—dengan teknik double exposure—keluar lalu menatap jasadnya dengan
takjub.
Cerita konyol
semacam itu, muncul secara tiba-tiba setelah aku berusaha melawan serangkaian
peristiwa dalam kehidupan yang tak kalah konyolnya.
Kesadaran bercerita
itu tidak mudah, terlebih aku bukanlah seorang penulis yang baik atau
pendongeng yang dapat dipercaya. Begini saja, tanpa tawaran berarti, aku akan mengatakan
sesuai dengan kemampuan dan apa adanya. Aku mulai dengan pilihan kata
“Terkadang” seperti berikut:
Terkadang, ingatan
lebih menakutkan dari apa yang aku duga. Satu contoh, saat pertama mengarang
kisah Mary, aku hanya menulis dan merasa cerita itu telah selesai. Namun, fakta
lain menguasai aku untuk berada sekaligus menyaksikan perang di Vietnam,
mengisap ganja di Jamaika, melihat Nina Simone menenggak champagne, dan
kerumitan-kerumitan lainnya yang tak dapat aku kendalikan. Barulah kemudian,
pelan-pelan menuju apa yang aku harapkan dapat teringat; mengarang kisah Mary.
Suatu sore di
bulan Januari, aku pulang dari kelas mengarang dan tertidur di atas sofa—nyaris
sebelum menyentuh mesin tik untuk melanjutkan cerita. Kemudian, apa yang aku
alami—inilah alasan mengapa bab ini kubuka dengan ingatan cerita yang ditulis Bolaño—seperti
mustahil untuk dituliskan.
Membayangkan cerita
tentang Mary telah tuntas aku kerjakan, gamang dengan kenyataan daripada semua
itu, sebatas penggalan yang enggan tuntas.
Tapi setidaknya aku
bersyukur karena tidak mati, melainkan tidur dan bermimpi dengan perasaan
bahagia. Sebagai pengantar—abal-abal—aku ingin memberi sedikit ilustrasi lewat
film pendek berjudul One of Many, garapan Nikolai tahun 1927. Mary, nama
gadis pemeran dalam film ini, berangan-angan ingin melihat Amerika. Maka ketika
dia pulang, dia merebahkan diri lalu arwahnya terangkat dari tubuh dan dia menjadi
animasi yang melepaskan segala mimpinya tentang Amerika.
Sedangkan aku, tak
pernah berangan-angan tentang apa pun, termasuk tentang cerita-cerita yang
pernah aku baca. Pada suatu hari aku pulang dan tertidur begitu saja. Itu
intinya. Aku sempat bermimpi, menyelesaikan sebuah cerita dengan kata-kata yang
tepat dan memberi nama Mary untuk tokoh terhebat.
Tak ada yang aku
rasakan kecuali terjaga dan mengingat semua hal secara berkala.
Banyak pekerjaan
yang tertunda, dan membuat aku bertanya, bagaimana semua ini bisa terjadi? Ada
sesuatu yang aneh ketika aku tidak lagi menguasai apa yang aku pikirkan. Dan
kalian, tentu saja, bisa merasakan hal serupa dalam situasi yang tidak terduga.
Sebagai jalan
utama untuk masuk ke sana—aku terka setelah melacak peristiwa yang terjadi pada
diriku—kalian tidak membutuhkan obat atau jenis apa pun. Melainkan ilusi kuat
seperti obsesi Salvador Dali kepada Sigmund Freud atau yang disebutnya sebagai paranoiac-critical
method atau kurang lebih seperti pertunjukan-pertunjukan era 1990s yang
dipelopori Robert Wilson dan rekan-rekannya, sebagai apa yang dikenal dengan
Postdramatik.
Bayangkan saja kalian datang ke gedung pertunjukan, lalu melihat teknik eksplorasi bahasa yang semakin memudar, kemudian kalian akan menyadari semua baik-baik saja, tetapi cukup memuakkan karena segala sesuatu tak lagi menggairahkan. Kalian sadar, mungkin akan menuntut sedikit drama pada bagian-bagian yang telah dieksploitasi pada pertunjukan.
Sebagai Penutup (Aku Harap Memuaskan)
Harus kuakui satu
kali lagi, aku bukan penulis yang baik. Apa yang kalian harapkan dari
kisah-kisah Mary, tentu saja aku juga harap demikian. Namun, saat terjaga dari
tidur, aku telah melupakan segalanya, tanpa gairah lebih untuk menyelesaikan
cerita itu.
Aku pikir, yang terjadi
pada Mary bukanlah sesuatu yang mudah, yang bisa diselesaikan dengan kumpulan kata-kata
serampangan atau berbalas dialog, seperti; seorang aktor bertanya “Untuk apa
semua ini?” sambil membanting sesuatu, dan aktor lain menjawab, “Jangan tanya aku!”.
Dan pada akhirnya,
untuk menutup sebuah kisah yang telah aku mulai dari ketidaktahuan, sebuah
percobaan sepertinya patut diusahakan.
Aku ingin
menyelesaikan kisah itu dengan sesuatu, katakanlah seperti ini; Ketika aku
membuka pintu kamar, kudapati seorang perempuan sedang meneruskan atau justru
menghancurkan ketikan cerita yang telah aku mulai. Dia berdiri ketika aku masih
terdiam menatapnya. “Lihat,” katanya. “Telah aku selesaikan ceritamu.” Aku terdiam
dan hanya menyadari satu hal, bahwa aku benar-benar tidak mengenal perempuan
ini.***