Clickbait Bait-bait Puisi Algoritma Kesunyian - Chris Triwarseno

@kontributor 8/06/2023

Clickbait Bait-bait Puisi Algoritma Kesunyian

Chris Triwarseno


Saya ditangkap dengan tuduhan maling. Meskipun sudah setengah mati membela diri dengan segala kilah bahwa barang itu saya temukan menggeletak di jalanan, saya tetap dianggap telah mengambil milik orang lain dengan maksud memilikinya. Saya heran, kok memungut sudah disamakan dengan mengambil.

Demikian sebuah penggalan cerita pendek karya Putu Wijaya yang berjudul “Malu”, diterbitkan Kompas pada tanggal 9 Juli 2023. Cerpen yang menarasikan seorang kuli yang menemukan tentengan plastik tergeletak di pinggir jalan. Ketika dibuka isinya adalah dua kotak nasi padang. Kemudian para kuli tersebut berebut memakannya. Mandor kuli tersebut terharu melihat anak buahnya begitu kelaparan. Tapi tidak berapa lama datanglah seorang lelaki parlente menghampiri dan berteriak, bahwa itu miliknya. Lelaki itu menunjuk ke mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Dia berkoar marah dan menuduh para kuli itu pencuri. Beberapa hari setelah kejadian itu, muncul tayangan keributannya di kanal Youtube. Ternyata keributan itu adalah sebuah rekayasa seorang youtuber untuk membuat sebuah konten. Kemudian videonya viral di media sosial. Youtuber itu meraup keuntungan.

Dari analogi cerita pendek di atas, kita bisa membayangkan bagaimana seorang youtuber membangun “algoritma” untuk sebuah konten. Merekayasa kejadian, demi mendapatkan narasi keributan aktual dan spontan. Mengunggah video dan akhirnya viral dengan algoritma youtube. Judul kontennya bisa jadi sangat menarik, sehingga banyak orang melihatnya. Namun isinya belum tentu sesuai dengan yang tertulis di dalam judulnya. Inilah yang disebut dengan clickbait. Dilansir dari Tech Crunch, clickbait adalah tindakan menjanjikan sesuatu secara berlebihan.

Riri Satria dan Emi Suy memilih Algoritma Kesunyian untuk judul sehimpun puisi karya mereka. Apakah ini juga sebuah clickbait? Bisa saja demikian. Menurut WordStream, beberapa ciri clickbait adalah judul yang menarik perhatian, penggunaan gambar yang familiar dan menarik untuk khalayak umum, dan hal lain yang membuat orang penasaran untuk melihat lebih lanjut. Algoritma Kesunyian menurut saya judul yang sangat menarik, mengundang tanya dan tematik-ikonik. Pertama, menggabungkan “Algoritma” dan “Kesunyian” seperti membicarakan dua hal yang berjauhan tetapi mungkin saja terkait-kelindan. Kedua, menggunakan gambar simbol-simbol artificial intelligence di sampul bukunya. Gambar yang jamak digunakan di bidang teknologi digital, tetapi ini digunakan di dalam sampul buku puisi. Hal yang tidak biasa.

Dunia teknologi digital sangat identik dengan algoritma, sesuatu yang (juga) sangat dekat dengan keseharian Riri. Algoritma adalah sekumpulan langkah-langkah yang jelas dan terperinci, digunakan untuk menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan tertentu. Dalam pemrograman komputer, algoritma digunakan untuk menulis kode yang akan menjalankan tugas-tugas tertentu.

Lalu apa yang berusaha dibangun Riri dengan kode-kode dan algoritma di dalam puisinya? Algoritma itu sangat rigid, rasional dan hitam-putih. Mungkin hal ini bertentangan dengan dunia puisi yang sentimentil, emosional, dan (kadang) abu-abu. Mungkin melalui puisinya, Riri ingin menyuarakan sesuatu yang tidak selalu rasional, dan bisa dihakimi dengan hitam putih. Begitu pun tema-tema di dalam puisi Emi, yang mempunyai irisan kesunyian. Karena dunia teknologi digital adalah dunia yang juga “menyendiri dan sunyi" - sama seperti Emi yang identik dengan sebutan "penyair sunyi" dengan trilogi buku puisinya.

Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Nunung Noor El-Niel dan Sofyan RH. Zaid dalam catatan kurasinya. Itu pula yang mendasari pemilihan judul Algoritma Kesunyian. Keduanya bisa berkelindan saling meminjam dan bertukar tempat kapan saja. Alasan lain, kedua kata tersebut merepresentasikan brand masing-masing. Algoritma lekat dengan Riri yang akrab dengan dunia teknologi digital, yang mempunyai pendekatan terstruktur dan saintifik. Kesunyian lekat dengan Emi yang akrab dengan pendekatan artistik-kreatif.

Meskipun label "penyair sunyi" disematkan kepada sosok Emi, namun ternyata tanpa disadari Riri pun telah mengeksplorasi kesunyian pada puisi sebagai bahan perenungannya. Puisi keduanya mengungkapkan konteks silence, bukan loneliness. Di dalam beberapa puisinya juga ada yang bermakna loneliness, namun secara keseluruhan merupakan silence exploration.

Menariknya, buku tersebut disiapkan melalui sebuah operasi senyap kedua kuratornya, bahkan Riri Satria dan Emi Suy pun tidak mengetahui adanya proses penyusunan bukunya. Rencana awalnya kedua buku itu akan diterbitkan terpisah, masing-masing untuk Riri dan Emi. Tetapi kurator menemukan banyak hal-hal menarik yang akhirnya memutuskan untuk membuat buku tersebut jadi satu. Puisi ditaruh selang-seling seolah-olah berbalas puisi, padahal ditulis pada tahun yang berbeda.

Sehimpun puisi terbaik itu disusun nyaris setengah tahun, diseleksi dari semua buku puisi tunggal Riri dan Emi yang pernah diterbitkan sebelumnya. Buku itu berisi masing-masing 50 puisi kedua penulis yang dianggap terbaik dari buku kumpulan puisinya. Buku puisi Riri Satria: Jendela (2016), Siluet, Senja, dan Jingga (2019), dan Metaverse (2022) dan buku puisi Emi Suy: Tirakat Padam Api (2011), Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), Api Sunyi (2020), serta Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (2022).

Kurator memberi judul “Pola dan Titik Temu” dalam catatan kurasinya. Dari proses seleksi tersebut, kedua kurator secara mengejutkan menemukan pola dan titik temu di antara keduanya, yaitu kesunyian. Banyak ditemukan diksi sunyi, meskipun dalam dimensi yang berbeda.

Di dalam mendefinisikan sunyi, kurator mengambil perspektif perbedaan dimensi yang digunakan. Bagi yang tinggal di kampung, sunyi adalah kebosanan, pengalaman, dan hal yang melimpah. Sedangkan bagi yang tingal di kota, sunyi adalah harapan, pengalaman dan hal yang langka. Dan jika dilihat kembali ternyata ada perbedaan dimensi dalam penggunaan kata sunyi dalam puisi-puisi keduanya. Meskipun keduanya bisa dibilang manusia urban. Masih dalam catatan kurator, mereka memetakan beberapa persamaan dan perbedaan dalam satu puisi kedua penyair yang paling mewakili. Puisi Riri yang berjudul “Jalan Sunyi Seorang Perempuan” dan “Penjahit Luka” Emi.

Dalam pemetaan itu ditemukan empat persamaannya, yaitu: sama-sama mengisahkan soal perempuan, sama-sama penuh suasana, sama-sama mengusung renungan, dan sama-sama memakai diksi sunyi. Sedangkan perbedaannya adalah: pertama, di puisi Riri perempuan sebagai seseorang. Sementara di puisi Emi, perempuan secara spesifik sebagai ibu yang bisa menjahit. Kedua, Riri secara tersurat mengangkat suasana perkotaan, sedangkan Emi secara tersirat mengangkat suasana perkampungan dengan sosok ibu. Ketiga, Riri merefleksikan sunyi “lebih keluar” yang dibenturkan dengan dimensi sosial. Sementara itu, Emi merefleksikan sunyi “lebih ke dalam” yang dibenturkan dengan dimensi eksistensial. Keempat, Riri menjadikan sunyi sebagai subjek dan objek secara bergantian. Sementara itu, Emi menjadikan sunyi sebagai objek semata dengan konsisten.

Dalam puisi pembukanya yang ditulis bersama pada tahun 2015, berjudul “Empat Episode Malam”, diksi "sunyi" sepertinya diperkenalkan melalui diksi "sepi" di dalam penggalan bait berikut:

 

…..

_ / 4

suara gaduh langkah kaki, terdengar

mengoyak hening, mengusik sepi

menghentikan percakapan hati

 

sebenarnya kita tidak ada

yang benar-benar beranjak

…..

(20 Desember 2015)

Sepi dipilih menjadi sebuah algoritma pesan yang kuat di dalam puisi tersebut. Sepi dan percakapan hati (self talk) menjadi entitas-entitas pemaknaan tertinggi kesunyian. Dengannya, kegaduhan-kegaduhan hidup yang membuat kita tidak beranjak bisa dihindari.

Untuk bisa memahami persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan puisi-puisi Riri dan Emi di dalam buku ini, mari kita bandingkan beberapa penggalan bait dari judul-judul puisi yang merepresentasikan keduanya dalam susunan selang-seling berikut ini:

 

……

biarlah

semua tersimpan

tetap sebagai sunyi

yang terenkripsi

…….

 

(Jakarta, oktober 2021/2022)

Dalam puisi berjudul “Algoritma Sunyi” di atas, Riri memilih untuk mengemas segala kerahasiaan agar “tetap sebagai sunyi”. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kegaduhan-kegaduhan yang (mungkin) menggelisahkannya. Memunculkan diksi “terenkripsi” untuk menghubung-kaitkan “sunyi” adalah sebuah penegasan. Mengubah hal-hal yang terang menjadi hal-hal yang tersandikan.

Sedangkan puisi Emi dengan judul “Monumen Momen” di bawah ini lebih merefleksikan sunyi pada kedalaman suasana batin. Gejolak batinnya terus memburu kebermaknaan yang sedang dicari. "Mengayuh waktu" adalah perumpamaan yang dipilih untuk mewakili proses pencarian yang terus menerus. Dia memilih kesunyian sebagai jalan untuk menapaki makna-makna yang seringkali hinggap dan menjadi teka-teki seperti tertulis dalam penggalan bait berikut:

 

 …….

jauh di setapak sunyi

aku mencari pada sepi yang riuh

aku berjalan menujumu mengayuh waktu

hingga akhir napasku

aku bertanya kabarmu pada angin dan burung

di pucuk dahan flamboyant

di antara jejak embun yang telah di kemas matahari

……..

Puisi Riri selanjutnya, yang berjudul “Puisi Sunyi Seorang Peneliti” lebih mengenalkan istilah-istilah yang banyak digunakan dalam bidang penelitian. Lihat saja larik pertamanya, " aku bercumbu dengan scientific inquiry". Ini cukup menggambarkan bagaimana dia cukup intens berhubungan dengan konsep dan metodologi pemecahan masalah dalam penelitian. Begitu pun analisa-analisa pendukung, tabel-tabel dan metode statistik. Salah satu fungsinya adalah memperkirakan hubungan antara variabel terikat dan variabel independen.

Berikutnya dimunculkan istilah hermeneutika-fenomenologis yang berada dalam siklus puisinya. Ini merupakan sintesis dari hermeneutika dan fenomenologi yang diperkenalkan Paul Ricoeur (1991). Sebuah metode penelitian yang berfokus pada pemahaman teks yang dipadukan dengan pengalaman hidup manusia. Tak berhenti di situ, Riri mendramatisir "perang" antara logika dan epistemologi di larik berikutnya. Dikutip dari eprints.umsida.ac.id oleh Maully Syifa Devinta, dkk, epistemologi adalah ulasan mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau filsafat tentang pengetahuan. Istilah epistemologi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni episteme yang berarti pengetahuan, dan logos berarti ilmu, ulasan, atau teori.

Puisi tersebut secara konten menjadi lebih menarik, setelah narasi mengenai bidang penelitian mampu mengantarkan pesan sesungguhnya yang akan dibangun. Pertanyaan esensial di dalam metafora “tetapi entah kenapa, sampai saat ini/aku tetap merasa berada di lorong yang sunyi” di bait berikutnya seakan mempertentangkan narasi sebelumnya. Di sinilah cerminan intelektualitas seorang Riri, mengemas hal-hal ilmiah dalam puisi yang (tetap) puitis-metaforik. Membangun suasana pertentangan antara pengetahuan yang logik dengan pemaknaan akhir yang hakikat-filosofis. Pengetahuan dinarasikan dalam puisi tersebut dengan hal-hal yang logik, pendekatan analitis dengan rumus dan pemodelan. Sedangkan pemaknaan sesungguhnya direpresentasikan dengan pertanyaan-pertanyaan esensial filosofis yang mengacu pada hakikat pengetahuan itu sendiri. Mari kita simak penggalan bait berikut:

 

………

aku bercumbu dengan scientific inquiry

tabel-tabel penuh angka siap diregresi

ditemani siklus hermeneutika fenomenologi

logika berperang tentang epistemology

rumus, model, semua silih berganti

tetapi entah kenapa, sampai saat ini,

aku tetap merasa berada di lorong yang sunyi

………

 

(Cibubur, 27 November 2017)

Pertanyaan-pertanyaan hakiki seringkali menjadi simbolisasi dalam puisi. Melalui simbol-simbol itulah setiap penulis leluasa membangun suasana idealismenya masing-masing. Memberikan pesan tersirat atau pun tersurat atas tafsir-tafsir pemaknaan tentang banyak hal. Di dalam puisi Emi selanjutnya, yang berjudul “Kepada Dermaga dan Stasiun” misalnya, pembaca dibebas-liarkan memaknai pesan yang dituliskannya. Baginya “lonceng sunyi” adalah pengingat yang diterjemahkan sangat personal, bisa saja itu sebuah kewaspadaan, kedewasaan atau bahkan kematian.

Bunyi lonceng akan merambat sesuai kaidah bunyi dalam keilmuan sesungguhnya. Begitupun pengingat menurut Emi, akan merambat menuju kesadarannya. Dari kesadaran yang ditangkap inilah, akan memunculkan getaran di dalam jiwanya atas pemahaman kewaspadaan, kedewasaan atau kematian seiring usia yang terus berjalan. Berikut penggalan bait dalam puisinya:

 

……..

Dari stasiun yang jauh dari dermaga

Tempat menebar penuh debar,

Usia menunggu suara lonceng sunyi

Merambat di luar

Bergetar di dalam

……

 

(2021)

Sepertinya algoritma-algoritma kesunyian di dalam puisi-puisi Riri dan Emi mengantarkan pembaca pada sebuah kontemplasi. Renungan dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh memaknai suatu hal yang sangat prinsip dalam kehidupan. Mari kita simak di dalam penggalan bait puisinya:

 

…..

Merayakan kesepian

 Di depan cermin

Ditemani angin dingin

 

Sepi itu terdiri-aku-kau saat sendiri

Mendengar desah nafas dan degup jantung ini

 

Memeluk sunyi

Di tengah malam

Berteman nyanyian alam

….

Biar saja doa-doa yang mendekap

Di awal dan penghujung perjalanan

Merenung

Kontemplasi

Tentang sunyi

……

 

(28 Desember 2015)

Puisi penutup dari kedua penulis yang berjudul “Kontemplasi” di atas menjelaskan algoritmanya. Menemukan diri sendiri adalah penguasaan atas ego, bercermin dalam kesepian adalah kontemplasi. Kesepian yang dimaksud adalah tidak ada intervensi eksternal dalam melihat diri sendiri. Self talk memberikan justifikasi sepenuhnya, karena hanya ada “aku” dan “kau” egoku yang saling berbincang dalam kekhusyukan. Doa adalah karib sunyi tengah malam yang kerap kali membawa ketenangan manusia pada sunyi yang sesungguhnya, Tuhan.***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »