Kesepakatan - Cicilia Oday

@kontributor 8/27/2023

KESEPAKATAN

Cicilia Oday



ENTAH sejak kapan pohon pisang abaka yang tumbuh di sisi timur rumah kami terlihat seperti perempuan gemuk berbadan dua. Aku baru menyadarinya satu minggu belakangan. Pohon abaka ini tak memiliki makna khusus bagi keluarga kami, khususnya bagi kedua orang tuaku—sehingga jika mereka ingin menyingkirkannya, mereka bisa melakukannya kapan saja. Berbeda dari pohon pisang pada umumnya, buah pisang abaka tidak bisa dimakan, baik dalam kondisi matang di pohon maupun dalam kondisi mentah untuk digoreng. Jantungnya pun cenderung lebih kecil, terdiri dari pelepah-pelepah berwarna merah yang bersusunan secara presisi dan mengatup ke arah tanah. Batangnya bisa diambil, dijual atau langsung diolah menjadi serat, bahan baku kertas, kain, dan bahan-bahan kerajinan. Namun pohon pisang abaka yang tumbuh di halaman rumah kami hanya sebatang dan tak pernah dipanen; dengan kata lain tak pernah dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk apapun, kecuali daunnya yang sesekali diambil ibu untuk dijadikan bungkus nasi atau lapik kue. Karena tak pernah dipanen, pohon pisang abaka kami tumbuh ramping dan tinggi menjulang melampaui teritisan atap. Menyadari akhir-akhir ini batang pohon itu justru terlihat seperti ibu-ibu gemuk sedang hamil, membuatku bingung sekaligus khawatir.

Aku menceritakan kekhawatiranku ini pada Kakek Yanes, yang kerap mengawasi pohon pisang abaka itu dari jendela kamarnya. Kakek Yanes adalah adik bungsu kakek dari pihak ayahku. Ia tidak pernah menikah. Ia telah tinggal bersama kami sejak aku masih duduk di sekolah dasar dan masih tinggal di Manado. Ia menempati kamar tambahan di bagian belakang rumah kami yang tadinya hendak dijadikan gudang. Ayah bersedia menampung pamannya dengan ataupun tanpa imbalan beliau harus bekerja, mengingat kondisi kesehatan Kakek yang menurun dari tahun ke tahun. Dulu keberadaan Kakek Yanes kerap menjadi alasan pertengkaran atau ‘adu mulut diam-diam’ di antara kedua orang tuaku di tengah malam. Sepertinya ada keberatan dari pihak ibu tapi ayah berkata, mengurus sang paman adalah bentuk pengabdian terakhirnya pada ayahnya sendiri. Kakek Yanes lelaki berperawakan kecil dan ringkih seperti seseorang yang sering menjadi sasaran perundungan di sekolah. Sejak Anita tak ada, aku lebih sering mengobrol dan bermain dengan Kakek Yanes dibandingkan dengan ayah atau ibu, terutama saat hendak membahas perihal keganjilan wujud pohon pisang abaka yang berdiri tepat di seberang jendela kamarnya itu.

“Memangnya pohon pisang bisa hamil seperti manusia?” tanyaku. Waktu itu aku sudah berusia empat belas tahun dan tahu hal ini mustahil—bahwa pohon pisang bisa hamil—tapi tetap saja aku bertanya. Tak heran Kakek Yanes tertawa. “Dulu ada mitos,” katanya, “kalau manusia pertama berevolusi dari pohon pisang.”

“Bukankah itu jauh lebih mustahil?”

Kami sama-sama tertawa.

Terlepas dari itu, kenapa wujud pohon pisang abaka ini terlihat amat ganjil? Dan kalau ia memang harus berubah sedemikian ganjil, kenapa harus mirip perempuan hamil? Atau adakah yang salah dengan persepsi internalku yang membuat aku membayangkan bentuk tertentu?

Rasa penasaranku tak berhenti sampai di situ. Dari minggu ke minggu, aku perhatikan gundukan di tengah batang pohon pisang abaka tampak membesar. Gundukan-gundukan yang lebih kecil, yang muncul di atas dan di arah berlawanan dengan gundukan utama, membentuk belahan atau garis memotong di bagian tengah, tampak menyerupai sepasang buah dada dan bokong. Untuk menyakinkan dugaan ini, aku mengambil seutas tali rafia, mengukur diameter batang pada bagian yang membentuk bongkahan-bongkahan itu, dan menandainya dengan spidol. Satu minggu kemudian, aku mengulang tindakan yang sama dan menemukan hanya bongkahan utama di tengah batang yang bertambah besar!

“Pohon pisang itu sepertinya benar-benar hamil!” aku berlari ke kamar Kakek Yanes suatu sore menjelang malam, dengan tali rafia dan spidol di kedua tanganku.

“Sssttt…”

Aku bernapas terengah-engah seperti baru saja dikejar hantu.

“Jangan keras-keras,” bisik Kakek Yanes, “nanti orang tuamu bisa dengar.”

Aku sepakat dengan beliau. Ayah dan Ibu memang tak perlu dilibatkan dalam rahasia kecil kami ini. Ayahku seorang guru mata pelajaran Sejarah yang terobsesi dengan cerita-cerita rakyat dari berbagai daerah. Namun sejak sebuah tragedi yang tak bisa dijelaskan akal manusia menimpa keluarga kami, ayahku bukan lagi orang yang sama. Ibuku anggota majelis gereja yang tak akan mengompromi setiap cerita atau fenomena yang berlawanan dengan ajaran agama.

“Ini masih dugaan,” kata Kakek sambil membungkuk di depanku. “Dugaanmu bisa iya, bisa juga tidak.”

Sejak itu aku dan Kakek Yanes mencoba merawat pohon pisang abaka dengan sepenuh hati. Kami menyiramnya setiap petang dan pagi. Kakek Yanes memanjat tangga kayu dan mengeluarkan pelepah daun pisang yang mulai menguning. Buah-buah yang busuk pada tandannya juga disingkirkan. Kami nyaris membuat pagar kayu melingkari pohon pisang itu jika saja hal ini tak akan menarik perhatian kedua orang tuaku dan membuat mereka menanyakan apa yang kami lakukan. Aku tidak tahu sampai berapa lama tindakan ini akan berlangsung dan berapa lama pohon ini mengandung jika ia memang sedang mengandung. Aku tahu manusia membutuhkan waktu sembilan bulan sebelum bayi siap dilahirkan—tapi dengan pohon pisang siapa yang bisa mengetahui? Aku terjaga beberapa malam memikirkan pohon pisang misterius ini.

Kadang-kadang aku penasaran ingin melihatnya pada malam hari setelah seisi rumah telah lelap. Suatu malam aku menyelinap keluar dan mengendap ke sebelah timur rumah tapi kemudian aku harus berhenti, lima atau enam meter sebelum mencapai pohon pisang itu, sebab di depan sana, tepat di bawah bulan purnama yang cahayanya membuat setiap objek di bawah langit terlihat lindap dan lembut, tampak olehku Kakek Yanes sedang berdiri di samping—atau di depan?—pohon pisang abaka, salah satu tangannya merangkul batang semu itu, sedangkan tangan satunya mengelus gundukan besar di tengah-tengahnya.

TAK terasa tujuh tahun telah berlalu sejak Anita menghilang dari kehidupan kami. Anita, adik perempuanku satu-satunya. Ia baru berusia empat tahun ketika sebuah peristiwa ganjil menimpanya. Sejak itu kami sekeluarga tak pernah benar-benar pulih dari rasa kehilangan. Satu tahun pertama, kami masih merayakan ulang tahunnya, ibu masih memasak makanan kesukaannya, menjahit dan menambahkan pita di pakaiannya, bahkan masih meletakkan satu piring kosong di sisi meja makan yang biasa ia tempati setiap pagi, siang, dan malam. Kenyataan jasadnya tak pernah ditemukan, pusara dengan namanya tak pernah dibuat, membuat kepura-puraan ini semula mudah dijalani. Hingga saat ini kami tak tahu apakah ia memang telah meninggal, atau tersesat, atau sekadar diculik lalu ditemukan oleh keluarga lain yang kemudian bersedia mengadopsinya; apakah di bawah langit yang sama, ia masih ada dan bernapas?

Hari itu akan selalu menjadi hari bersejarah bagi kami sekeluarga. Kami pergi ke situs air terjun Apapuhang yang terletak di Desa Lenganeng, kecamatan Tabukan Utara. Hari itu kami bangun jauh lebih pagi untuk mempersiapkan diri. Ayah dan Ibu bahkan telah mempersiapkan perjalanan ini seminggu lebih awal. Tahun ini mereka ingin merayakan hari ulang tahun ibu dengan cara yang berbeda, kata ayah, yaitu dengan berwisata alam ke situs yang konon keramat. Saat itu aku masih berusia tujuh tahun sedangkan Anita berusia empat tahun. Aku tidak tahu apa artinya keramat. Beberapa rekan ibu menyarankan keduanya agar tidak membawa anak kecil—tapi apalah artinya piknik tanpa anak-anak? Para tetangga menyarankan destinasi wisata yang lain. Namun beberapa rekan ayah di sekolah berpendapat bahwa tempat yang konon keramat itu sekarang sudah banyak berubah; perubahan zaman serta frekuensi kehadiran manusia membuat air terjun Apapuhang tak ubahnya situs wisata air terjun pada umumnya. Tentu saja antusiasme dan rasa penasaran Ayah akan tempat itu tak lepas dari legenda setempat yang menyebut air terjun Apapuhang sebagai pemukiman salah satu makhluk mitologis pertama yang pernah mendiami Kepulauan Sangihe. Tempat itu dulunya disebut Balang Apapuhang, mengacu pada wujud dan posisinya yang terletak di lembah di antara kaki Gunung Awu dan Desa Lenganeng. Ayah telah mendengar legenda manusia pra sejarah bernama manusia Apapuhang ini sejak kami masih tinggal di Manado dan mulai melakukan riset kecil-kecilan. Ketika ia mendapat mutasi kerja di Sangihe, ia sudah mulai menulis rancangan buku pertamanya tentang cerita-cerita rakyat dari seluruh daerah di Indonesia. Ayah yang begitu bersemangat mengerjakan proyek bukunya itu lantas berpendapat bahwa ia harus menginjakkan kaki secara langsung ke tempat bersejarah itu—untuk membuat tulisannya nanti terasa lebih otentik. Maka hari ulang tahun ibu dipilih sebagai hari yang tepat.

Pada hari ulang tahunnya, Ibu bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan menanak nasi yang nantinya kami bawa ke air terjun Apapuhang. Aku membawa kacamata hitam pertamaku sedangkan Anita membawa topi barunya yang berpinggiran lebar dengan pita bunga aster. Kami berdua sama-sama membawa pakaian renang. Ayah membawa kamera, buku catatan, serta alat tulis menulis. Ibu mengomel bahwa piknik yang bersamaan dengan hari ulang tahunnya itu seharusnya tidak dimanfaatkan ayah untuk bekerja—tapi ayah berkata tak ada salahnya menyelam sambil minum air dengan porsi menyelam lebih dominan. Tentu saja pada akhirnya kami semua bisa bersenang-senang dan Ayah melupakan pepatah menyelamnya tadi. Kami berdiri di sekitar titik air jatuh dan memancarkan arus yang paling deras. Dari atas bongkahan batu, Ibu mengambil foto kami melalui kamera tustel—benda yang tak ada lagi saat aku dewasa. Saat kami keluar dari air dan bergabung dengan Ibu di atas batu untuk makan, ayah kembali bercerita tentang manusia hobbit versi daerah ini, salah satu dongeng pengantar tidur yang kerap ia ceritakan pada kami beberapa malam silam. Konon manusia Apapuhang yang kelak tak lagi kasatmata bagi mata manusia biasa membangun kerajaan mereka di sekitar air terjun itu. Mereka membangun istana berbalut emas, kisah ayah, yang langsung melongo ketika aku bertanya dari mana mereka mengambil emasnya. Konon portal untuk masuk ke dimensi di mana kerajaan manusia Apapuhang berada tepat di belakang air terjun. Ayah iseng menyelinap di balik air terjun ketika kami masih berenang tadi—siapa tahu kalau dia terseret ke dunia hobbit versi Sangihe, kata ayah, ia akan kembali dengan bahan riset yang tak ada tandingannya. Lalu ibu berkata, “Kalau tidak bawa kamera dan sejumput rambut manusia hobbit, ceritamu nanti hanya akan jadi cerita fiksi belaka.”

Setelah kenyang kami kembali berenang. Bahkan ibu ikut bergabung. Aku mengambil kacamata hitamku dan berenang gaya punggung sehingga kedua mataku tidak kesilauan. Seekor burung terbang melintas ke arah barat, suaranya yang lantang terdengar sayup dan jauh pada kedua telingaku yang setengah terendam air. Aku ingat rasa sejuk air pada tengkuk dan kedua bahuku, rambut ibu yang mengambang di tengah air—karena ia juga berenang gaya punggung mengikutiku—dan punggung ayah yang menukik di udara seperti lumba-lumba sebelum kembali meluncur ke dalam air. Aku ingat menangkap wangi bunga manuru—melati—di antara bau lumut yang tumbuh menempel di bebatuan. Aku juga ingat melihat topi berpinggiran lebar Anita mengambang di tengah air di dekat air terjun, pita dan bunga aster dari perca-perca kain birunya lusuh terkulai karena basah. Itulah jejak terakhir Anita yang terlihat olehku, sebelum kami lantas menyadari, dengan panik dan kalut, bahwa ia tak ada lagi bersama kami.

Konon sebelum mereka ‘meninggalkan’ dunia manusia dan beralih ke dimensi yang tak kasat mata sebagai makhluk mitologis abadi, manusia Apapuhang bermukim di hutan dan bertahan hidup dengan berburu seperti manusia biasa—Ampuang—pada zaman pra sejarah. Mereka juga terkenal sebagai bangsa yang cerdas, melampaui keterbatasan fisik mereka. Mereka sanggup menciptakan teknologi untuk membuat perahu, mendirikan rumah, peralatan berburu, peralatan rumah tangga, dan di atas segalanya, bukankah mereka juga sanggup mendirikan istana berbalut emas? Namun kepercayaanku pada kisah manusia kerdil ini sebatas pada makhluk mitologis tak kasat mata yang membangun kerajaan berbahaya di balik air terjun. Aku tidak akan memercayai kisah manusia Apapuhang lebih daripada itu. Sejak mereka menculik adik perempuanku, bagiku mereka berubah menjadi makhluk jahat sebangsa jin.

Pada hari ulang tahun ibu tujuh tahun yang lalu, menyadari Anita tak ada lagi di antara kami, Ayah kembali melompat ke dalam air, menduga adikku mungkin tenggelam. Ibu menebas semak belukar dan dahan-dahan tanaman liar—seperti bermain petak umpet—sambil berseru memanggil-manggil nama Anita. Aku menggigil kedinginan dan mulai menangis sambil memandang sekeliling dengan ketakutan, berharap melihat setengah kepala adikku nongol di antara dua bongkahan batu diikuti cengiran iseng dan pengakuannya bahwa ia sedang mengerjai kami.

Tapi hari itu kami tidak menemukannya. Kami tidak berpikir untuk pulang tanpa Anita. Ibu membantuku berpakaian, mengantarku ke mobil agar ia bisa bergabung dengan Ayah untuk mengerahkan warga desa setempat mencari anak bungsunya. Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, seluruh warga Desa Lenganeng sudah mengetahui kabar menghilangnya adikku di lokasi situs air terjun Apapuhang. Para lelaki membentuk kelompok yang kemudian berpencar di sekitar jalan masuk menuju air terjun. Beberapa perempuan juga ikut dalam pencarian tapi lebih banyak yang cemas dan sibuk memanggil pulang anak-anak mereka ke dalam naungan atap rumah. Sebelum senja tiba, akhirnya pihak kepolisian setempat turut dilibatkan. Aku membayangkan akan ada anjing-anjing pelacak tapi tidak ada anjing pelacak. Pencarian berlangsung hingga hari hampir gelap. Ayah dan ibu melarang orang-orang berhenti tapi tentu saja mereka harus berhenti. Ayah dan Ibu menuduh semua orang tidak punya perasaan dan bahwa mereka bukan manusia; “Anak perempuanku kedinginan di luar sana!” jerit Ayah dengan telunjuk tertuding ke arah kegelapan hutan. Tak ada yang bisa menyalahkannya. Para warga berusaha menenangkan kedua orang tuaku tapi sia-sia. Ibu semaput lantas dibopong ibu-ibu setempat ke salah satu rumah warga terdekat. Selama beberapa waktu, mereka melupakan aku di dalam mobil. Selama beberapa waktu, aku juga sempat tak memahami apa yang terjadi. Satu-satunya yang ada di benakku adalah kenapa Anita belum juga kembali, kapan kami akan pulang?

Tentu saja akhirnya kami bisa pulang, tapi situasi telah sepenuhnya berbeda. Pencarian tetap dilanjutkan hingga berminggu-minggu bahkan beberapa bulan kemudian. Pihak kepolisan daerah ikut turun tangan sehingga anjing-anjing pelacak yang ada di bayanganku dulu akhirnya dikerahkan. Foto Anita yang diambil saat ulang tahunnya yang terakhir menghiasi halaman-halaman koran lokal bahkan juga stasiun televisi. Ibu berniat menjual gelang dan kalung emas terakhirnya supaya foto Anita juga bisa dimuat di televisi nasional selama beberapa pekan. Tapi dia hilang di tengah hutan di pelosok kampung pulau ini, kata ayah, apa gunanya memuat fotonya di televisi nasional?

“Jangan kamu pertanyakan apa yang aku lakukan. Kalau mencopot biji mataku juga bisa mengembalikan Anita, itu juga akan kulakukan,” adalah jawaban ibu. Pertengkaran di antara keduanya pun merebak hampir setiap malam. Situasi memburuk karena ibu menuding Ayah sebagai biangkerok. Kalau bukan untuk memenuhi obsesinya akan cerita-cerita rakyat setempat, Anita tak akan lenyap. Ibu bahkan menuduh Ayah sengaja menumbalkan Anita pada manusia Apapuhang demi kelancaran proyek bakal bukunya, yang tentu saja ditepis ayah dengan keras. Perang di antara ayah dan ibuku mencapai puncak ketika suatu hari akhirnya Ayah memutuskan meninggalkan rumah. Waktu itu Anita telah menghilang selama sembilan hari. Yang ada di dalam pikiranku adalah bahwa ayah pergi untuk mencari Anita.

“Ayahmu itu sudah sinting,” kata Ibu suatu malam ketika kami hanya berdua di tempat tidur, “sejak dia mengaku mau menampung pamannya di rumah ini, aku tahu dia tidak waras.”

Kalau begitu kenapa ibu mau menikah dengannya? pikirku, yang tak pernah kuutarakan. Alih-alih aku bertanya, ”Ke mana ayah pergi?”

Akhirnya Ibu mengaku bahwa Ayah pergi ke Manado untuk menemui seorang teman yang konon pernah bertemu dan mewawancarai salah satu manusia Apapuhang. Si teman dulunya berprofesi sebagai wartawan lepas. Tiba-tiba tanpa alasan ibu tertawa. Mulanya hanya tawa kecil yang terdengar seperti sedak, lalu berubah menjadi derai dan bahak. “Dia bilang temannya itu punya gigi manusia Apapuhang.”

“Gigi?”

Ibu mengangguk lalu tertawa lagi.

Seperti apa itu gigi manusia Apapuhang? pikirku. Jika teman Ayah memiliki gigi tersebut maka ayahku juga tentu pernah melihatnya. Dan jika sebuah gigi ada sebagai bukti konkret maka bukankah itu berarti kisah manusia Apapuhang bukan sekadar isapan jempol? Namun ibu masih tertawa hingga sudut matanya berair. Sejenak kemudian aku mengira ia memang masih tertawa karena bahunya masih gemeletar—namun air matanya semakin deras. Aku terlalu sering melihat ia menangis sehingga dalam waktu lama aku sendiri melupakan rasa kehilangan yang ada di hatiku sendiri.

HARAPAN sempat terbit ketika beberapa lelaki baya yang konon adalah suhu dihadirkan ke situs air terjun Apapuhang, membawa wadah tempurung berisi kemenyan dan sesuatu yang mirip rempah-rempah. Asap beraroma wangi meruap memenuhi udara yang lengas. Para lelaki baya tadi merapalkan sesuatu yang tak bisa kami dengar. Mereka merunduk, mereka melemparkan sesuatu ke arah air terjun, mereka merapal dan merapal lagi, dengan mata terpejam. Sementara itu beberapa orang warga Desa Lenganeng berdiri dalam pola setengah lingkaran di sisi sungai, diam khusyuk dan kubayangkan mereka juga sedang merapalkan doa atau mantra atau entah apa. Ayah dan Ibu dan diriku berdiri di atas batu di dekat para suhu yang membakar kemenyan. Ritual ini dilakukan beriringan dengan usaha pihak kepolisian dan foto-foto Anita yang masih bertengger di media-media cetak, dan sebelum pertengkaran Ayah dan Ibu terlalu sering terjadi dan tentu saja sebelum Ayah menemui temannya di Manado.

Sesungguhnya aku tak tahu apa yang sedang terjadi saat itu. Aku membayangkan para lelaki baya yang dipanggil suhu itu, yang berbicara dengan bahasa dan dialek setempat, sedang bernegosiasi dengan manusia-manusia Apapuhang untuk mengembalikan adikku. Sampai saat ritual ini dilakukan, aku tak mengaitkan menghilangnya Anita dengan manusia Apapuhang. Di benakku, kalau bukan diculik orang jahat, adikku mungkin dimakan ular piton dalam kondisi utuh sehingga jasadnya tak pernah ditemukan—dan ular piton itu sendiri entah ada di mana.

Beberapa hari setelah ritual dengan para suhu dilakukan, Ayah pergi ke Manado di tengah pertengkaran hebatnya dengan Ibu. Suatu hari setelah kepergian Ayah, Kakek Yanes menanam sebatang pohon pisang abaka di sisi timur rumah kami. Saat ditanya ibuku, beliau mengaku bibit pohon pisang abaka itu pemberian seorang teman. Tiga hari kemudian Ayah kembali bersama seorang lelaki berperawakan ceking dan berambut gondrong. Ibu mengenal siapa lelaki itu tapi karena duka di hati dan kemarahannya pada sang suami, ia tak mengacuhkan teman ayah. Ialah si mantan wartawan yang menyimpan sebutir gigi manusia Apapuhang. “Dia juga bisa bicara bahasa Apapuhang,” kata ayah dengan bersemangat, sejenak tak tampak sedang berduka, “mungkin saja dia bisa membantu kita untuk melakukan kesepatakan.”

Di hari yang sama Ayah dan temannya—aku memanggilnya Om Ivan—pergi ke air terjun Apapuhang tanpa ibu dan tanpa diriku. Sebelum cahaya senja memudar, mereka sudah kembali, dengan jejak air di ujung celana. “Berhasil,” kata Ayah setelah mereka kembali ke rumah, “kami berhasil membuat kesepakatan dengan mereka dan mereka berjanji…”

“Siapa yang berjanji?” Ibu buru-buru menukas.

“Mereka berjanji akan mengembalikan Anita dengan cara apapun.”

Bibir ibu tampak kaku, sorot matanya keluh, “Oh, Tuhan,” gumamnya, “orang ini benar-benar sudah gila.”

Tujuh tahun berlalu dan Anita tak pernah kembali dalam hidup kami. Pada tahun ke lima setelah peristiwa itu, Ibu hamil lagi dan ia melahirkan adik laki-lakiku Ridel, yang tentu saja bukan reinkarnasi Anita. Ayah menyingkirkan semua bahan riset cerita rakyatnya dan selama tujuh tahun, rancangan bukunya terbengkalai—dan tak ada tanda-tanda hendak diselesaikan. Kupikir barangkali ada semacam trauma, bahwa menggarap proyek itu lagi berpotensi membuka luka lama dan menyiksanya dengan rasa bersalah. Barangkali akhirnya ia pun sepakat bahwa peristiwa tujuh tahun lalu itu adalah kesalahannya. Dalam waktu lama pernikahan kedua orang tuaku terombang-ambing di ujung tanduk; karena itulah sungguh suatu keajaiban bahwa ibuku bisa melahirkan Ridel yang kini hampir berusia dua tahun dan semakin mirip ayah—tapi kalau dilihat baik-baik juga mirip Kakek Yanes. Namun di hatiku Anita tetap tak tergantikan.

SELAMANYA bibirku terkatup mengenai pemandangan pada suatu malam bulan purnama ketika aku berusia empat belas. Bukan karena aku khawatir dianggap tidak sopan diam-diam mengintip Kakek Yanes bermesraan dengan pohon pisang abaka berwujud ganjil itu, tapi karena kurang dari sebulan setelah malam itu, Kakek Yanes meninggal dunia. Kematiannya terjadi begitu tiba-tiba; tiada tanda-tanda sakit penyakit, tiada jejak bunuh diri, atau semacamnya. Karena tiadanya penjelasan inilah maka Ayah menyimpulkan bahwa pamannya mengalami serangan jantung dalam tidur. “Kematian yang sungguh tenang dan damai,” bisik Ayah, “Tuhan pasti sangat menyayanginya. Semoga ia diterima di sisi-Nya.”

Kupikir Ibu akan merasa bersalah mengingat kebencian yang diam-diam sering ia tujukan di belakang punggung orang tua itu. Namun ibu tidak menangis bahkan hingga Kakek Yanes dimakamkan.

Pada malam ketiga setelah pemakaman, seisi rumah telah dibuai lelap ketika lamat-lamat terdengar suara tangis bayi pecah di suatu tempat di sisi timur rumah. Ayah bergegas mengambil senter. Ibu mengambil cardigan untuk menyusul ayah keluar. Aku disuruh tidak ke mana-mana. Aku yang berdebar penasaran, membayangkan seorang ibu tak bertanggung jawab meninggalkan bayi tak berdosa di halaman samping rumah kami. Setelah beberapa menit yang terasa bagaikan selamanya, ayah dan ibu akhirnya kembali, dan mereka tak lagi berdua tapi kini bertiga dengan segumpal orok bayi yang masih meraung-raung lemah. Meskipun pusarnya terkulai, orok bayi ini tidak berlumur darah atau cairan ketuban. Ibu telah membalutnya dengan cardigan yang ia kenakan tadi dan mulai menimang si bayi dan menyumpal mulutnya dengan buku jari hingga tangisnya berhenti. Kedua matanya tetap terpejam, kedua tangannya terkepal di bawah dagu.

“Kamu tidak akan percaya di mana kami menemukan bayi ini, Aneke,” kata Ayah padaku dengan suara gemetar, masih bernapas terengah-engah.

“Di mana?” tanyaku, yang sesungguhnya tak mau mendengar jawabannya.

“Di jantung pisang abaka yang ditanam kakek Yanes dulu!”

Aku merasa bagai ditohok pada uluh hati. Aku menyesal tidak turut keluar menyaksikan kedua orang tuaku mengambil segumpal bayi dari pelepah-pelepah jantung pisang ajaib!

“Kepalanya mencuat dari ujung pelepah berwarna merah,” kata ibu, “saat pelepah terbuka lebih lebar, kepalanya juga terjulur lebih jelas keluar sampai dia bisa menangis lebih leluasa. Ibu menahan kepalanya sementara ayahmu membuka pelepah jantung pisang dengan hati-hati, lembar demi lembar sampai seluruh tubuh bayi ini terpampang dan bisa ditarik keluar.”

Sayang sekali Kakek Yanes tak ada lagi di sini untuk mendengar kisah ini. Kisah kelahiran adik perempuanku yang kedua lewat jantung pohon pisang abaka. Aku mengulurkan telunjuk ke arah kepalan tangannya yang kemerahan. Kulitnya lembut dan dingin. Ketika tangan kecil itu terbuka, aku menemukan sesuatu yang tak ditemukan siapa pun ketika mengambil keluar bayi ini dari dalam pelepah jantung pisang tadi.

“Apa itu?” tanya ibu, melihat aku mengeluarkan sesuatu dari balik kepalan tangan si bayi. Benda itu terdedah di bawah cahaya lampu, sesuatu berwarna putih kekuningan, agak lonjong tapi tak beraturan dengan ukuran menyerupai bulir beras. Ayah mengambil alih benda itu dari ujung telunjukku. “Ini gigi yang sama yang dilemparkan Ivan ke arah air terjun Apapuhang tujuh tahun lalu,” katanya dengan takjub. “Kami waktu itu memang membuat kesepakatan,” kisah ayah, “dan gigi ini menjadi simbol transaksi di antara kami dengan manusia Apapuhang sebab kami tidak tahu benda lain yang lebih setara. Betapa tidak, ini gigi terakhir manusia Apapuhang yang masih ada di dunia manusia dan mereka tidak ingin kami memilikinya. Entah bagaimana bayi ajaib ini bisa membawanya kembali.”

Aku teringat pemandangan yang tampak olehku beberapa bulan lalu. Pemandangan yang tak pernah kuutarakan pada siapa pun. Di bawah bulan purnama ketika Kakek Yanes tampak tengah bermesraan dengan sebatang pohon pisang abaka berwujud perempuan hamil, mungkinkah saat itu ia sedang membuat kesepakatan? Namun kesepakatan dengan siapa; dengan bulan, dengan pisang abaka itu sendiri, ataukah dengan Yang Maha Kuasa sang pencipta bulan dan pisang abaka, hanya Kakek Yanes seorang yang tahu. Namun jika boleh sekadar menduga-duga, dalam transaksi diam-diam itu ia tentu mengorbankan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar sebutir gigi manusia Apapuhang, yaitu nyawanya sendiri. Pertanyaannya adalah kenapa Kakek Yanes baru melakukan kesepakatan itu tujuh tahun setelah Anita menghilang?

Kami masih menyimpan benda itu hingga hari ini, benda yang membuat kami percaya bahwa orok bayi yang dilahirkan dari jantung pohon pisang abaka adalah titisan adik perempuanku yang menghilang secara ganjil tujuh tahun silam.


Sukur, 20-10-21

 

Note:

Abaka: satu spesies pohon pisang yang merupakan tumbuhan asli Filipina namun juga tumbuh di Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi Utara. Bahasa Ilmiah: Musa Textilis

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »