Larilah, Annemarie! - Candrika Adhiyasa

@kontributor 8/20/2023

Candrika Adhiyasa

Larilah, Annemarie!

 


1

Anne harus terus berlari. Bila ia berhenti berlari, maka ia akan bernasib sama seperti kedua orang tuanya. Ia sama sekali tak tahu menahu alasan kenapa kedua orang tuanya harus diperlakukan sedemikian rupa. Meskipun ia tahu alasannya, ia tetap tak akan menerima kenyataan itu. Kenyataan bahwa kedua orang tuanya ditembak mati oleh serdadu-serdadu tanpa wajah yang tak dikenalnya.

Sudah beberapa jam Anne berlari dan terus berlari. Ia tak memiliki tujuan ke mana hendak berlari, dan tampaknya ia memang tak memerlukan tujuan. Satu-satunya yang ia miliki adalah pesan dari kedua orang tuanya—yang disampaikan dengan suara paling menyakitkan yang pernah didengarnya—bahwa Anne harus terus berlari. Menjauh dari tempat itu, tempat di mana kedua orang tuanya meregang nyawa oleh peluru-peluru yang bersarang di tubuh mereka.

“Larilah, Anne! Larilah sejauh mungkin!” teriak ibunya dengan suara melengking.

“Larilah, Annemarie! Tidak ada yang tersisa di sini selain setan-setan tak berperasaan. Larilah, Annemarie! Larilah dan terus berlari, tak peduli apa pun alasan yang menahanmu untuk berlari!” teriak ayahnya dengan suara parau.

Anne gundah. Anne gelisah. Anne menggigil ketakutan, seluruh tubuhnya gemetaran. Ia tak ingin meninggalkan tempat itu, atau tepatnya tak ingin meninggalkan kedua orang tuanya. Namun, kenyataan memburunya dengan ketakutan tak terperikan. Anne harus terus berlari dan terus berlari. Melarikan diri sejauh mungkin. Sebisa mungkin tanpa menoleh, apalagi berhenti. Ia harus terus berlari meski rasa lelah melumuri seluruh sendi di tubuhnya. Ia harus terus berlari meski rasa takut merongrong kesadarannya. Ia harus terus berlari, tak peduli apa pun alasan yang menahannya untuk berlari.

Gaun putih berenda yang dikenakannya dipenuhi kotoran, rambutnya yang pirang menjuntai sampai ke punggung begitu kusut, kaki-kakinya yang mungil bertelanjang kaki menerobos tanah basah berkerikil.

Setelah berlari cukup jauh, Anne tiba-tiba teringat pada liontinnya. Ia segera meraba lehernya. Liontin itu tidak ada di sana. Anne ingat pesan ibunya dahulu ketika memberikan liontin itu di ulang tahunnya yang keenam.

“Berjanjilah untuk menjaga liontin ini dengan jiwa ragamu,” ucap ibunya dengan suara yang bergetar hangat.

“Anne berjanji, Bu.”

Namun kini, liontin itu tidak ada di lehernya. Hilang. Perasaan Anne ynag semula gelisah kini semakin semerawut. Seperti benang kusut yang seolah mustahil bisa diurai. Anne lemas, ia merunduk. Dadanya terasa sangat sesak dan sakit. Keringat membasahi keningnya, mengalir dari pelipis hingga leher. Tengkuknya basah, matanya basah.

Liontin itu, konon menurut dongengan ibunya yang disampaikan nyaris setiap menjelang tidur, merupakan peninggalan bersejarah keluarga mereka. Liontin itu terbuat dari batu onyx yang berwarna gelap keungu-ungunan yang meskipun gelap tetap memancarkan cahaya berkilau. Liontin itu sudah bertahan selama beberapa generasi, diturunkan dari garis ibu, hingga akhirnya kini diberikan kepada Anne.

Saat mengingat dongengan ibunya mengenai liontin itu dan penekanan mengenai betapa berharganya liontin itu bagi keluarganya, Anne semakin merasa bersalah. Ia menangis sesenggukan dalam tekanan yang begitu besar. Rasa sedih, rasa bersalah, rasa takut, semua bercampur aduk menjadi satu dan memberikan perasaan luar biasa berdarah-darah yang tak mampu dibahasakan oleh siapa pun.

Angin berembus kencang. Pohon-pohon paku condong searah angin. Anne menutupi wajah sebelah kanan dengan telapak tangannya. Matanya memicing, menoleh ke belakang. Terdengar gemeretak ranting kering yang jatuh. Ia teringat kembali pesan kedua orang tuanya untuk terus berlari, tak peduli apa pun alasan yang menahannya untuk berlari. Namun kini, ada alasan yang Anne rasa sama kuatnya. Janjinya untuk menjaga liontin itu dengan jiwa raganya. Mana yang harus ia dahulukan? Anne tak bisa begitu saja memutuskannya. Ia bahkan sama sekali tak mengerti kenapa manusia harus dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit, apalagi di usianya sekarang. Jalan hidupnya masihlah sangat panjang, pandangannya belum menelusuri pelosok bumi, telinganya belum mendengar arus laut dalam. Jiwanya belum siap menentukan pilihan seberat itu. Maka dari itu, ia hanya tertegun dan menangis.

Matahari menggelincir. Bumi mulai remang. Anne masih bergeming dalam silang sengkarut perasaan. Anne tiba-tiba mengingat suara desing peluru dan erangan kedua orang tuanya. Saat itu ia baru saja melarikan diri dengan segenap kekuatan kaki-kaki mungilnya. Beberapa serdadu tanpa wajah berusaha mengejarnya, tetapi disibukkan oleh kedua orang tua Anne yang memberontak.

Anne berlari karena kedua orang tuanya menyuruhnya untuk berlari. Ia tak benar-benar ingin berlari tetapi tak tahu apa yang harus ia lakukan selain berlari. Anak-anak begitu rentan menghadapi kebingungan. Sebagian besar dari mereka tidak peduli pada kebingungannya dan tetap menikmati hidup dengan lugu dan riang, sebagian lain menelan kebingungan itu sebagai gumpalan pahit yang akan membuat mereka menjadi manusia mengerikan di kemudian hari.

Gemeretak cabang-cabang pohon yang melenting oleh angin mengejutkan Anne. Kini ia menyeka air matanya. Bola matanya memerah, kelopak matanya sembab. Angin masih menggelepar. Anne mengingat hari kemarin ketika tiba-tiba saja kedua orang tuanya menyuruh ia untuk bersembunyi di kamar dan mengunci pintu dengan segera, serta perintah untuk tidak pernah keluar dan mengeluarkan suara sedikit pun sampai mereka menjemputnya ke kamar. Anne tak pernah diberi tahu secara langsung alasan kedua orang tuanya berlaku demikian, tetapi ia mendengar percakapan kedua orang tuanya yang dirasanya begitu getir. Anne dapat mengingat detail percakapan itu, tetapi ia sama sekali tak dapat menangkap maksudnya.

“Bagaimana pun caranya, aku tidak akan melibatkan kalian,” ucap ayahnya dengan suara yang bergetar.

“Aku mengerti, tetapi bukankah mereka tetap menyuruhmu membawaku dan Anne? Jika tidak begitu, kemungkinan buruk bisa terjadi padamu,” jawab ibunya dengan suara yang lirih menyayat hati. Anne dapat menangkap ketakutan dari warna suara itu.

“Kemungkinan buruk selalu bisa terjadi ketika berurusan dengan mereka,” ayahnya menggerutu. Ia diam sejenak kemudian melanjutkan, “fasisme anjing!”

Hening beberapa saat. Gemeretak geraham Ayahnya terdengar. Ia menghela napas dan mengembuskannya dengan berat sembari menutup mata. Terlihat tanganya mengepal dengan sangat kuat, urat-urat di lengannya menegang. Pergolakan batinnya berkecamuk sebelum akhirnya ia memutuskan dengan berat hati.

“Baiklah. Akan kuturuti kemauan setan-setan itu. Namun bila terjadi sesuatu, segeralah bawa Annemarie pergi menjauh secepat mungkin.”

“Mana mungkin aku bisa meninggalkanmu!” ibunya berteriak.

“Dengar! Apa kamu pikir aku bisa membiarkan mereka mendapatkanmu? Ini demi kaum kita! Jangan keras kepala!” ayahnya berteriak.

“Kamu yang jangan keras kepala! Ini demi kamu! Demi keluarga kita!” ibunya balas berteriak. Setelah mereka geming, pintu didobrak oleh seseorang menggunakan kaki. Serdadu-serdadu tanpa wajah menerobos ke rumah mereka. Kira-kira ada sepuluh orang. Bersenjata lengkap.

Itulah yang ada dalam ingatan Anne. Ia melihat bagaimana kedua orang tuanya dipukuli melalui lubang pintu kamar. Teriakan-teriakan para serdadu tanpa wajah itu tak bisa dipahami oleh Anne. Namun, Anne begitu ketakutan dibuatnya. Anne berusaha sekuat tenaga untuk tidak bersuara, sesuai pesan—atau lebih tepatnya perintah—kedua orang tuanya, tetapi ia tak bisa menahan perasaan yang menggelegak ketika melihat kedua orang tuanya disiksa begitu rupa. Maka ia pun berteriak.

“Ayah! Ibu!”

Serdadu-serdadu tanpa wajah itu segera menoleh ke arah pintu kamar Anne. Anne yang ketakutan sekilas beradu pandang dengan salah satu dari mereka gemetar. Pintu didobrak, mereka meringkus dan menyeretnya sekeluarga ke sebuah kamp konsentrasi. Di tempat itulah Anne menyaksikan kedua orang tuanya ditembak mati ketika berusaha melarikan diri.

Setelah mengingat hal-hal demikian dan terdiam cukup lama, Anne akhirnya memutuskan untuk berlari saja. Meski ia tak bisa mengalihkan pikirannya dari liontin itu, ia lebih tak bisa melawan rasa takutnya pada serdadu-serdadu tanpa wajah itu. Sebagian besar manusia memang tak bisa melawan rasa takutnya, dan kadang-kadang hal itu bukanlah sesuatu yang buruk. Kesadaran menyelamatkan diri merupakan hal yang begitu alami. Maka Anne pun berlari kembali dengan segenap kekuatan dalam ketakutannya. Meski kaki-kaki mungil itu tak pernah berhenti gemetar dan ia tak pernah tahu harus menuju ke mana, ia harus terus berlari, berusaha tak peduli pada apa pun alasan yang menahannya untuk berlari.

Saat berlari dengan tertatih-tatih, Anne terperosok ke sebuah dataran yang landai. Ia berguling-guling. Rambutnya kusut. Matanya tetap basah. Rasa takut mencengkeram tengkuknya dengan kuat. Anne tak bisa bernapas dengan mudah. Ia terengah-engah. Kemudian tubuhnya merebah di antara semak dan bebungaan.

Anne memandang sekeliling dengan kepala pening. Sebuah daerah dengan kumpulan pohon paku yang menjulang tinggi. Namun di tempatnya terjatuh, hanya ditumbuhi semak-semak. Sesekali membayang kelopak bunga yang ditiup angin dalam keremangan. Ia terbatuk, merasa tak bisa berlari lagi meski tak ingin menyerah.

Pesan kedua orang tuanya untuk terus berlari terngiang-ngiang di kepalanya. Meski begitu, tubuhnya sudah tak bisa bergerak lagi. Hari menjadi begitu remang, angin bertiup, matahari tenggelam di balik bukit. Anne menangis lagi.

Dalam keadaan seperti itu, dengan pandangan samar-samar karena kelelahan, Anne melihat ke tempat semula ia terjatuh. Di dataran yang lebih tinggi itu, Anne seperti melihat beberapa sosok manusia. Manusia yang bersembunyi dalam kegelapan itu seolah seperti sedang menodongkan senapan kepadanya. Meski begitu, Anne tak terlalu yakin karena hari sudah mulai gelap, dan ia tak bisa melihat dengan baik dalam gelap. Anne pun sesenggukan, mengingat kedua orang tua dan liontinnya yang hilang hari ini. Ia merasa tak bisa berlari lagi. Ia merasa tak harus melakukan apa-apa lagi.


2

Sesosok manusia dari dalam kegelapan menarik lengan Anne. Desing peluru melesat dari banyak penjuru. Meski begitu, manusia itu terus menggiring Anne melewati lorong-lorong semak yang rimbun. Mereka melarikan diri dengan merunduk di dalam kegelapan. Semakin jauh mereka berlari, semakin samar suara desing peluru itu. Pada satu titik, tak terdengar lagi suara yang penuh teror itu. Namun setelahnya, terdengar teriakan-teriakan mereka untuk terus melakukan pengejaran. Anne tidak mengenali sosok manusia yang menggiringnya melarikan diri dalam kegelapan. Ia tidak punya tenaga untuk memikirkan itu. Ia hanya merasa ketakutan dan kelelahan, tetapi sedikit pun tak merasa curiga pada sosok manusia dalam kegelapan yang mungkin dan memang membantunya meloloskan diri dari kematian.

            Mereka berdua terus berlari dan terus berlari dalam kegelapan. Napas Anne tertahan-tahan di bawah bulan pucat yang tertutup awan. Sosok manusia itu memandangi Anne yang kelelahan, kemudian ia menggendongnya. Anne hanya bergeming. Mata sembabnya tertutup, seolah-olah tertidur. Manusia itu berlari dengan cepat, meninggalkan tempat yang mencekam itu.

            Sepasang mata manusia itu seperti menyala dalam kegelapan. Sesekali ia menoleh pada wajah Anne ketika tengah berlari dengan desah napas yang penuh tekanan. Anne hanyut dalam tidur tanpa mimpi. Manusia itu hanya menoleh, tak melakukan hal lain selain menoleh sejenak sambil berlari. Ia terus berlari dan terus berlari, tak peduli apa pun alasan yang menahannya untuk berlari. Cahaya kepereakan dari langit redup oleh renda-renda awan hitam. Angin dingin berembus, menaburkan kegelisahan.

    Cahaya matahari meruap dari gorden tipis berwarna putih. Angin sesekali menggoyangkannya dengan pelan. Detak jam dinding berbunyi dalam keheningan, menciptakan suara dengan gema yang seolah tak akan pernah berhenti merambat.

        Anne membuka matanya dengan susah payah. Ia terbatuk. Napasnya masih saja tersengal, matanya memicing, seperti baru saja bangun dari mimpi buruk. Anne bangkit dan merasakan kaki-kakinya yang mungil itu mati rasa. Tenggorokannya kering. Ia melihat-lihat sekeliling, mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa membuat tenggorokannya menjadi lebih baik. Ketika dirasa tidak menemukan apa pun, ia baru menyadari bahwa ia terbangun di sebuah ruangan yang asing. Sebuah kamar yang tidak terlalu besar. Dibangun dari kayu merbau berwarna cokelat gelap kemerah-merahan dengan taburan corak putih yang samar. Tidak ada banyak barang di sana. Hanya ada satu ranjang yang ia tempati, satu meja kecil dengan beberapa kertas penuh coretan di atasnya, dan beberapa buku tebal yang berserak di lantai. Salah satu dari buku itu terbuka dan punggungannya menghadap ke atas. Anne mengeja perlahan judul buku itu, Republik - Plato. Sebuah buku yang pasti tidak bergambar dan pasti tidak menarik, Anne membatin. Sebuah ingatan samar hinggap dalam kesadaran Anne. Tiba-tiba ia mengingat sosok manusia dalam gelap yang membawanya melarikan diri. Ia mencoba mengingat sosok itu tetapi tak bisa mengira-ngira bagaimana rupanya. Ia hanya bisa menyimpulkan bahwa sosok itu adalah orang dewasa. Anne menoleh kembali buku tebal itu. Apa mungkin itu buku yang disukai sosok itu? Kenapa orang dewasa gemar membaca buku-buku tebal semacam itu? Anne sejak dulu kerap mempertanyakan itu kepada dirinya sendiri dan tak kunjung menemukan jawabannya. Ia merasa pertanyaan ini juga tak akan sempat ditanyakan pada orang tuanya, terkhusus ayahnya yang juga suka membaca buku-buku tebal yang bahkan judulnya saja tidak bisa ia pahami. Jadi, kepada siapa aku harus bertanya? gumam Anne.

        Pintu yang engselnya agak tidak simetris itu berdecit, seseorang masuk ke dalam ruangan. Ia seorang lelaki dewasa, berusia kira-kira pertengahan tiga puluh. Anne memandangi orang itu yang sementara sibuk menyesuaikan pintu yang agaknya sudah tidak berfungsi dengan baik. Anne mengamati lelaki itu dengan rasa khawatir yang tidak berlebihan. Ia menebak-nebak apakah lelaki itu adalah sosok yang ada dalam ingatan samarnya barusan.

           Kini mereka sejenak saling menatap tanpa berkata-kata. Lelaki itu seperti memberikan Anne waktu untuk menerima keberadaannya di sana tanpa rasa takut. Lelaki itu pun kemudian menyunggingkan senyum tipis yang ramah.

            “Siapa namamu, gadis manis?”

            “Anne… Annemarie.”

        Annemarie? batin lelaki itu. Ia merasa tidak asing dengan nama itu. Dahulu kala kawannya satu profesi pernah meminta saran padanya untuk menamai anaknya. Ketika diingat-ingat, ia memang menyarankan nama Annemarie. Pikiran itu segera ditepis olehnya. Kebetulan memang seringkali menakutkan, apabila hal ini memanglah sebuah kebetulan. Ia tidak mau menerka-nerka kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Seperti kebanyakan manusia lain, lelaki itu hanya ingin mengetahui apa yang ingin ia ketahui. Ia tidak siap untuk mengetahui sesuatu (meskipun itu berupa kenyataan atau kebenaran) yang bisa membuatnya terpuruk. Ia menyadari betul hal ini. Kadang-kadang pula ia menyesalinya, tetapi lebih sering menerimanya sebagai sesuatu yang alami. Saat itu pula lamunannya pecah.

            “Nama Om siapa?” tanya Anne dengan suara yang sebagian tertahan.

            Om? Lelaki itu membatin, kemudian tertawa ringan.

        “Panggil saja Diwan,” sesabit senyum itu merekahkan kehangatan, Anne sepertinya sudah bisa sepenuhnya menerima bahwa lelaki bernama Diwan itu bukanlah orang berbahaya.

            “Oh, iya. Kamu lapar?”

            Anne menggeleng. “Tidak. Aku hanya ingin minum. Tenggorokanku kering.”

            Diwan segera bergegas, “tunggu sebentar, ya.”

    Saat Diwan membuka pintu kembali dengan cukup kerepotan, Anne melamun. Membayangkan kedua orang tua dan liontinnya yang hilang. Ia melihat ilalang melenting, bermain dengan angin. Betapa tumbuhan dapat berbahagia begitu rupa hanya dengan hal yang begitu sederhana. Anne ingin bisa berbicara dengan tumbuhan, dengan hewan-hewan, serta menanyakan bagaimana mereka semua bisa begitu bersenang-senang di dunianya. Anne membenci dunia ini, atau tepatnya kecewa pada dunia ini. Waktu mengubah banyak hal dan merenggut banyak hal. Anne belum bisa dan memang tidak suka memikirkan hal-hal rumit, ia hanya merasa bahwa kehidupan berlaku begitu tak adil kepadanya. Di kemudian hari, mungkin Anne akan mencari-cari apa makna keadilan itu.

        Diwan datang dengan membawa satu porsi roti bakar dan gelas besar berisi teh. Asap tipis masih mengalun dari permukaan teh hangat itu, aromanya meruapkan nostalgia yang menyakitkan. Seorang anak kecil bersembunyi di belakang tubuh Diwan, melihat malu-malu ke arah Anne.

            “Minumlah ini, Anne. Kalau kamu lapar segera makan roti ini juga.”

        Anne segera meraih gelas berisi teh hangat itu. Aromanya membayang di kepala Anne. Ia meneguknya dengan tergesa sehingga memejam karena lidahnya kepanasan. Ia meniupinya, meminumnya kembali dengan perlahan-lahan, merasakan rasa manis yang mengalir membasahi tenggorokannya.

            “Ini anak Om. Namanya Maria. Sepertinya dia lebih muda beberapa tahun darimu.”

            Maria menyapa dengan anggukan yang ragu-ragu. Sorot matanya menyembunyikan keinginan-keinginan tertahan. Anne membalas sapaan Maria, dan tersenyum. Ia kagum dengan bola mata Maria yang berwarna cokelat terang, rambutnya yang halus dan mengembang dengan poni rapi di dahinya, juga pada hiasan kecil dari kayu oak yang diukir sebentuk kelopak mawar di kepalanya.

            “Maria, temani dulu Anne di sini, ya? Ayah mau menemui seseorang dulu.”

            Maria tidak menjawab, tetapi ia tetap berada di ruangan itu tanpa keberatan.

            Maria adalah tipikal anak yang lebih sering memendam keinginannya di hadapan orang tuanya. Namun setelah beberapa hari bersama Anne, Maria merasakan suatu kebebasan yang selama ini dicarinya. Kebebasan untuk bertindak egois sesuai keinginan paling murni dari dasar hatinya. Mereka tiba-tiba saja menjadi akrab. Menimbang keduanya merupakan anak yang sama-sama kesepian—yang nyaris menghabiskan seluruh masa kecilnya dengan berdiam diri di rumah tanpa teman sebaya. Bukan hal mustahil jika mereka bisa menjalin hubungan akrab dalam waktu yang relatif singkat.

            “Kamu suka bunga, Anne?” tanya Maria dengan lugas.

        Anne mengangguk. Ia selalu mengagumi bunga-bunga cantik dalam buku-buku dongeng bergambar di rumahnya. Sesekali ia memang memandangi bunga liar yang tumbuh di halaman rumah, tetapi ia hanya melakukannya dari balik jendela kamar. Kedua orang tuanya selalu melarang Anne bermain ke luar. Hal ini tentu tidak memuaskan bagi Anne. Anne merasa mungkin hal ini tidaklah buruk. Kesempatan mungkin tidak akan datang di lain waktu. Waktu terlalu banyak menyimpan misteri. Anne pun menyetujui ajakan Maria untuk melihat beberapa bunga cantik di hutan yang diceritakan Maria.

            Semula ada keraguan di dalam hati Anne. Sisa-sisa keraguan itu bercampur dengan ketakutan apabila ia melihat hutan. Namun, keraguan itu tidak lebih hebat dari keinginannya untuk dapat melihat bunga-bunga indah dari dekat. Ingatannya tentang kedua orang tua dan liontinnya yang hilang untuk sementara tertimpa oleh antusiasme.

            Diwan sedang membaca surat kabar di beranda rumah. Secangkir teh dengan asap tipis yang mengepul menemaninya di meja. Diwan menghela napas. Ia membayangkan dunia yang kian menggila. Terlintas di benaknya betapa orang-orang bisa dengan serta merta membunuh manusia lainnya. Fasisme begitu tak berperasaan, demikian ia berpikir. Mereka menyingkirkan siapa saja—dan bahkan apa saja—yang menghalangi mereka untuk mencapai tujuannya. Ia tak sepenuhnya menyalahkan ideologi politik semacam itu. Kebenaran memang dikantongi oleh setiap orang, sesuai dengan latar belakang pemikiran dan kepentingannya masing-masing. Diwan hanya tidak habis pikir bahwa praktik dari fasisme dapat menciptakan begitu banyak kepiluan yang menodai kemanusiaan. Ia mengingat betapa banyak anak yang menjadi yatim piatu karena orang tua mereka ditangkap dan dihabisi tanpa dakwa. Fasisme memang selalu bertindak dengan cepat dan efisien, meskipun setiap keputusan itu begitu sempit dan memaksa. Itulah maksud Diwan bahwa kebenaran dikantongi oleh setiap orang. Ia kembali membayangkan anak-anak yatim piatu itu, yang sebagian bahkan dihabisi bersama kedua orang tuanya. Diwan membatin, apakah anak-anak yang dihabisi bersama orang tuanya harus dikasihani atau justru harus diberi ucapan selamat karena tak harus menempuh kehidupan yang suram di sisa hidupnya? Ia tak berniat menjawab itu. Dilihatnya beberapa anak yatim piatu yang mengungsi dan diungsikan di perkampungan ini. Beberapa dari mereka bisa tertawa dengan lepas. Entah itu adalah bentuk kebahagiaan murni ataukah bukan, ia sama sekali tidak tahu. Anak-anak itu bermain dengan memegang tangan satu sama lain. Mereka menciptakan lingkaran kecil dan berjalan, mengelilingi seorang anak perempuan yang menutup mata di tengah-tengahnya. Adegan ini mengingatkan Diwan pada permainan kagome-kagome. Setelah memerhatikan anak-anak itu, pandangannya menjadi kosong. Semilir angin menyentuh rambutnya. Ia mencoba mengingat masa lalunya, masa kanak-kanaknya. Mengingat masa kanak-kanak adalah usaha terberat yang bisa dilakukan orang dewasa, sebab ingatan di sana begitu suci—bahkan terlalu suci—untuk bisa dikenang secara cuma-cuma. Orang dewasa tak berhak menjajah semesta kanak-kanak. Diwan paham betul hal ini. Namun, ia terus saja mencobanya. Mengingat masa lalu ketika orang tuanya direnggut di depan matanya oleh senapan. Selubung pekat memasuki rongga dada lelaki itu. Pening menyergap kening. Diwan menekan-nekan keningnya dengan ujung jari.

            Kebenaran kejam yang mereka genggam, sampai kapankah akan terus berlanjut?

        Anne sedang bermain dengan Maria. Mereka saling mengejar dan tertawa satu sama lain. Ketenteraman yang hangat menyelamatkan Diwan dari perasaan rawan yang semula datang karena ingatan samar masa lalunya. Ia kini tersenyum tipis. Senyum dan sorot matanya mengungkapkan sebuah simpati pada Anne (apabila ia merupakan anak yang melalui hal serupa dengannya), juga mengungkapkan perasaan kuat untuk melindungi Maria agar tak mengalami hal pahit serupa. Tangannya mengepal, gerahamnya menggeretak, sorot matanya tiba-tiba menyiratkan amarah kuat tanpa daya. Ia mencoba meraih cangkir teh di sampingnya, tetapi urung dan kembali merenung.

            Maria menghampiri Diwan.

            “Ayah, bolehkan aku mengajak Anne melihat bunga ke hutan?”

            Hutan? Diwan berpikir sejenak. Kemudian memutuskan untuk melarangnya.

            “Sebaiknya kamu dan Anne melihat bunga di sekitar sini saja. Jangan pergi ke hutan. Bahaya.”

            “Tapi di sini tidak banyak bunga yang cantik seperti di hutan dan kami sudah melihatnya setiap hari,” Maria menyampaikan keinginannya yang semula tertahan oleh rasa ragu.

            Diwan menggeleng kembali. Kemudian mengusap rambut Maria dengan lembut. Ia menangkap ketidakpuasan dari sorot mata Maria. Cukup sulit menyampaikan marabahaya kepada anak-anak, menimbang bahwa mereka cenderung memandang positif banyak hal secara lugu. Diwan tak bisa membayangkan apabila anaknya harus menanggung derita begitu rupa seperti kebanyakan anak lainnya. Ia ingin selalu mampu melindunginya, meski hal itu tentu saja tak bisa ia pastikan. Bahaya tak terduga selalu merongrong tengkuknya. Manusia tak bisa lepas dari marabahaya selama mereka hidup, apalagi jika manusia itu tak memiliki kekuatan untuk melawan. Dan Diwan tak memiliki kekuatan semacam itu. Ia hanya mampu memiliki harapan, yang ia ketahui betul bahwa segala bentuk pengharapan adalah hal yang rapuh. Meskipun begitu, ia tak punya pilihan.

        Pada era semacam ini, ketika kekuasaan dianggap lebih penting daripada kemanusiaan, anak-anak terlantar yang orang tuanya direnggut melalui agresi militer adalah hal yang dapat dikatakan wajar. Peradaban berkembang beriringan dengan risiko-risikonya.

            Peradaban… Diwan lagi-lagi membatin.

            Diwan kemudian menoleh ke arah Anne. Sorot matanya kosong, tetapi Diwan dapat menangkap berbagai kisah di sana—kisah kelam yang masih belum dapat dimengerti oleh Anne. Sorot mata semacam itu tiba-tiba mengingatkannya kepada dirinya sendiri. Kini ia bisa sedikit menjangkau semesta kanak-kanaknya sendiri di masa lalu.

            Diwan bersikeras melarang mereka meski meyakini sesuatu: tak semua orang dewasa, secerdas apa pun, mampu menyampaikan sesuatu kepada anak-anak dengan baik. Kecemasan menyergap punggungnya. Kedua anak yang dipenuhi kehendak itu akhirnya bungkam tanpa perlawanan. Diwan bisa sedikit tenang meski tetap tak bisa memastikan bahwa mereka akan mematuhinya. Maka ia mencoba menegaskan larangannya kembali.

            Matahari menggelincir, sore yang penuh kehangatan terhampar di tanah. Diwan pamit pergi sebentar untuk menemui seseorang (seperti biasanya). Ia memberi izin kepada Maria dan Anne untuk bermain di pekarangan rumah, serta tetap menekankan larangan untuk pergi ke hutan.

            Maria dan Anne bermain-main di pekarangan. Ketidakpuasan merasuki Maria. Ia kemudian mengajak Anne ke hutan.

            “Bukannya kita dilarang Om Diwan?”

            “Sudahlah. Orang tua hanya bisa melarang. Mereka tidak bisa memahami kita.”

            Kemudian mereka pun berjalan sambil melompat-lompat, menuju hutan yang rimbun dan teduh.

            Setelah melihat beberapa bunga, Maria terpikat oleh kupu-kupu dengan sepasang sayap berwarna ungu cerah. Ia terbang dengan indah seperti angan-angan di antara bebungaan. Bola mata Maria berbinar-binar, Anne pun sama terbuainya. Mereka terus berjalan ke dalam hutan.

            Kupu-kupu itu kini hinggap di sebuah kelopak bunga daisy berwarna putih. Mereka berdua mendekatinya perlahan-lahan, berusaha untuk tidak mengagetkan kupu-kupu itu.

            Indahnya… gumam Anne. Warna ungu yang cerah di sayap kupu-kupu itu sekilas mengingatkannya pada liontinnya yang juga meruapkan warna ungu. Maria kini sibuk dengan bunga-bunga lain yang berwarna-warni, Anne tetap mengikuti kupu-kupu itu. Mereka kini berada di tengah-tengah hutan. Hari berangsur-angsur gelap.

            “Anne, sudah mau malam. Aku takut. Ayo kita pulang saja,” Maria menoleh ke sekitar, mencari Anne, tetapi tak ia temukan.

            “Anne? Anne?” Maria berjalan ke tempat terakhir ia melihat Anne. Sejenak hening. Gemeretak ranting disapu angin. Maria merasa cemas. Ia tak tahan sendirian. Kemudian terdengar suara jeritan singkat dan nyaring.

            “Anne? Anne…!” Maria berlari ke sumber suara itu. Ia melihat sebuah daratan yang landai. Menerka-nerka apakah Anne terperosok ke bawah sana atau tidak. Ia kemudian dengan hati-hati memilih jalan untuk turun, berusaha mencari Anne.

            “Anne?! Kamu di mana?!”

            Maria terus berjalan, di bawah sore yang kian meredup. Jantungnya berdebar. Ia melihat Anne telungkup dan segera menghampirinya. Dengan terengah-engah, Maria mencoba menyadarkan Anne.

            Ketika ia membalikkan tubuh Anne, dilihatnya wajah temannya itu yang seolah meleleh. Matanya tertutup, bibirnya pucat dan membiru, terlihat cairan-cairan lembap di beberapa bagian tubuhnya. Saat memerhatikan tubuh Anne yang aneh itu, Maria mendapati beberapa lubang bekas peluru. Kini Maria menyadari bahwa ada beberapa belatung kecil yang menggeliat di lubang itu, dan hal itu menebarkan perasaan yang ganjil. Bau busuk kini meruap ke seluruh penjuru. Maria tertegun. Ia berpikir apakah mungkin seseorang yang terjatuh di tempat ini akan langsung membusuk?

        Diwan baru saja pulang dan kemudian membuka pintu rumah. Ia tak menemukan kedua anak itu. Apakah mereka masih melihat bunga? batinnya. Rasa cemas menjalar ke tengkuk. Diwan berusaha untuk tidak membayangkan hal-hal buruk. Mungkin mereka akan kembali sebentar lagi. Ia mencoba menenangkan perasaannya sendiri. Diwan kemudian memutuskan untuk menunggu sambil melanjutkan membaca Republik yang sempat terputus—ketika ia melarikan diri dari kejaran serdadu-serdadu tanpa wajah tempo hari.

 

Yogyakarta, Jumat 1 Mei 2020. 03.01

 

Note:

Kagome: Sebuah permainan dari Jepang bernama kagome-kagome disebut mempunyai kisah horor di belakangnya. Permainan ini dimainkan oleh sekelompok anak yang terdiri dari 5 hingga 6 orang. Mereka bernyanyi sambil berjalan bergandengan tangan, melingkari seorang anak yang menjadi oni atau iblis. Permainan ini konon dimainkan oleh anak-anak yang dijadikan bahan eksperimen.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »