Mungkin Memang Pernikahan Tak Butuh Kecerdasan
Ilda Karwayu
“Usianya sudah 22,”
telunjuk kananku mengarah kepada Rio, “enggan kuliah, enggan bekerja, tak tahu
harus apa, tak bis…”
“Kamu ndak
tahu rasanya jadi ibu!”
“Memang tidak, dan
tak juga mau.”
Dia terdiam.
Tatapannya yang sedari tadi fokus ke arahku kini makin tajam menembus ke dalam
bola mataku. Apakah dia sedang mencari jalur masuk ke jalan pikiranku?
Rio, yang sedari
tadi sungguh kentara berusaha menghabiskan makanannya, mulai memberanikan diri menggeser
jauh piringnya ke tengah meja.
“Jangan dipaksa
habis kalau sudah kenyang, Nak. Makanya tadi ibu bilang kalau ambil lauk itu ya
secukupnya.”
Seketika lembut.
Bajingan. Kamu lebih menyedihkan dari bajingan berkaki empat kurus tak terurus
yang sering kutengok bersama seseorang di taman kota. Kamu lebih tak tahu diri
dari para pelacur yang tiap malam mangkal di pinggir jalanan kota, yang tahu
betul bahwa menggugurkan kandungan ialah siasat menyelamatkan diri dan si
jabang bayi itu sendiri. Dasar pengukur dungu.
Melihat Rio yang menggangguk
enteng kemudian pergi pelan-pelan meninggalkan dapur, aku pun melangkah mundur
sedepa; menyambar kunci motor di atas meja, juga tas kantor di kursi makan
tempatku seharusnya duduk menyantap makan malam.
“Banyak sekali
sambalnya, Mbak!” seru pramusaji yang mengantarkan teh hangat. Oh, pegawai
baru? Aku tak punya energi untuk menjelaskan apapun kepadanya, dan enggan
tersenyum manis sebagai respons basa-basi paling sederhana. Maka yang didapati
si pramusaji adalah ekspresi tak bersahabat—yang kemudian selalu memancing
ekspresi tak suka sebagai timbal baliknya. Ia pun meninggalkan mejaku
dengan wajah masam, dan langkah lebarnya itu tampak lucu di mataku; seperti pemain
sirkus dengan kaki panjang palsu yang sedang berusaha berlari menghindari
kejaran singa.
Singa? Aku lebih
suka serigala. Gagah. Dingin. Terhormat.
“Joana!”
Aku melirik pelan
ke arah sumber suara.
“Ponselmu mati?”
Kalau bisa tubuhku
juga.
Tanpa menunggu
jawaban dariku, laki-laki ini meletakkan pantatnya perlahan ke kursi di
seberang mejaku. “Duduk di bawah kipas begini bikin bakso cepat dingin,
segeralah makan.”
“Kamu?”
“Sudah.”
Sama istrimu?
Ia berdeham sejenak
sebelum akhirnya menatapku lekat-lekat. “Barusan aku jumpa Tenten di galeri.
Dia bilang tadi ketemu kamu di sini.” Ia rapatkan kursinya ke meja, membuat bakso
halus seukuran bola pingpong yang sedang kucoba tusuk ini bergerak menjauhi
garpu.
“Kutelpon kamu
untuk memastikan, tapi kok panggilan suara terus.”
Kuseruput mi soun
lurus lembut secepat mungkin. Rasanya ruangku pelan-pelan menyempit.
“Okay, to
the point, sepertinya kita harus ubah jadwal pameran bulan depan. Tenten
ingin aku menambah beberapa untuk dikurasi kembali. Kepalaku mau pecah...” Ia
menarik rambut cut-wolfnya yang tampak lepek ke belakang; dan semakin
jelaslah ekspresi wajahnya yang seperti anak anjing kelelahan mengaing.
“Butuh waktu
setahun,” kataku enteng.
Dia terdiam.
Tatapannya yang sedari tadi fokus ke arahku kini makin tajam menembus ke dalam
bola mataku. Apakah dia sedang mencari jalur masuk ke jalan pikiranku?
Pramusaji yang
sama, yang tadi meninggalkan mejaku dengan wajah masam, datang dengan secangkir
kopi. Kopi hitam dengan aroma yang membuatku stop mengunyah mi kuning dan bakso.
Aku mau kopi, tapi sudah pesan teh. Aku mau cicip yang itu, tapi gengsi.
Sialan!
“Silakan, Mas.”
Pramusaji meletakkan kopi bersama senyumnya yang bagiku kelewat manis. Tubuh feminin
dengan senyum yang demikian itu selalu membuatku cemburu sebab aku tak cukup feminin
dan tak pula cukup manis untuk menggaet perhatian siapa pun orang asing. Orang
butuh waktu—paling tidak beberapa kali perjumpaan—untuk akhirnya melemparkan
perhatian kepadaku tanpa perlu menghiraukan kekurangmenarikkan tubuh dan
wajahku, serta ekspresi tak bersahabat dariku. Merepotkan.
“Aku tak tahu apa
yang sedang membuatmu tak enak hati terhadap kehadiranku, tapi rasanya malam
ini aura hitam menyelimuti tubuhmu. Jujur, itu mengganggu.”
Aku berhenti
memotong-motong bakso urat sebesar bola tenis ini dan mengernyitkan dahi. Percaya
diri seperti biasa, ya.
“Bukan tentang
kamu.”
“Tapi kenapa jutek
ke aku?”
“Pergilah. Toh aku
tak minta ketemu.”
“Women!”
“Plural?”
Dia memalingkan
muka. Betapa bodoh.
“Ayolah, aku tak
menemukan logikanya kenapa harus sampai setahun,” ujarnya sembari kembali
menatapku. Nada bicaranya mulai memelas, tapi tak mengubah spekulasiku—yang kupikir-pikir
ternyata cukup beralasan juga meski tadi terucap enteng—terhadap persiapan
pamerannya. Meski begitu aku tak punya energi untuk menjelaskan apapun, dan
enggan meladeni asumsi-asumsinya.
“Bercanda.”
“Tidak, kamu tidak
bercanda.”
“Terserah”
“Women!”
Baksoku habis.
Tehku yang tak lagi bisa disebut teh hangat pun sebentar lagi tandas. Barangkali
sekarang benar-benar akan kutinggalkan laki-laki merepotkan ini, sebagaimana ia
dulu meninggalkanku untuk yang tak lebih cerdas dariku. Mungkin memang
pernikahan tak butuh kecerdasan. Tindakannya, juga tindakan orangtua kandungku,
ataupun segala tindakan teman-temanku terhadap pernikahan mereka, menguatkan
itu. Jika pernikahan tak butuh kecerdasan, bahkan menjadikan satu sama lain
bodoh dan makin bodoh, untuk apa menikah?
Seketika pikiranku
yang lain menjambak pikiranku yang barusan. Ia melontarkan pendapat: ada banyak
pernikahan yang dilandasi kecerdasan dan kesadaran politis, hanya saja kita tak
bersentuhan dengan pengalaman yang demikian, atau bisa jadi tak sempat menilik
lebih jauh ke dalam kehidupan orang-orang terdekat kita. Komentar itu dibalas
lagi oleh pikiranku yang berceloteh di awal tadi: sok bijak! Jangan menambah
ilusi soal pernikahan ke dalam pikiran Joana kita tercinta, ia sudah
muak dengan itu.
“Kupikir kamu perlu
cari manajer lain. Aku berencana pergi dari sini untuk waktu yang cukup lama,”
ujarku sembari mengumpulkan tisu-tisu bekas mengelap kuah di meja, dan mencemplungkannya
ke mangkuk kosong. Tak lama, tehku juga tandas. “Tadi juga Tenten sudah
kuberitahu soal ini, dan dia siap carikan orang baru. Kurator kita itu kenal
banyak orang, jadi tak perlu khawatir.”
Wajah lawan
bicaraku ini memerah perlahan, dan kini giliranku menatapnya lekat-lekat. Jari-jari
di kedua tangannya diketuk-ketukkan ke meja. Ketukannya yang berantakan tanpa
tedeng aling-aling menarik kembali segala memori menyebalkan antara kami
berdua.
“Kamu butuh
berapa?” tanyanya tepat setelah ketukan dari jari-jari ia hentikan.
Aku mendengus, dan
tersenyum. Ada getar yang tak harmonis pada kalimatnya. Barangkali itu kunci
untuk menutup pintu hubungan ini selamanya. Bajingan. Kamu lebih menyedihkan
dari bajingan berkaki empat kurus tak terurus yang sering kita tengok di taman
kota. Kamu lebih tak tahu diri dari tikus-tikus bau yang sering kita cemooh kehidupannya
di belakang galeri tempatmu mencipta lukisan-lukisan tempera—yang kelewat berat
menanggung konsep karbitan. Dasar penilik dungu.
Kunyalakan ponsel
untuk cari penginapan terdekat. Begitu nyala sempurna, notifikasi beberapa
panggilan tak terjawab dan pesan singkat masuk; seluruhnya dari Rio.
Ceppat pulaaaang! Fertigo
ibuk kumatt!!!
Dimana? Cepat
pulllangg!!
Angkat
telponnnyyaaa!!
Oh, Rio, kamu lucu
sekali. Uruslah ibumu itu. Beri dia kesempatan untuk merasakan sentuhan tangan
dewasamu, jangan dibiarkan terus-menerus terlena pada euforia keberhasilan
melahirkan manusia berpenis, sampai lupa bahwa kamu juga mesti berfungsi di
rumah itu.
“Oh, sudah kubayar!” ucapku cepat ketika laki-laki di hadapanku ini berlagak mengeluarkan dompet dari kantong belakang celananya.
2023