Mungkin Memang Pernikahan Tak Butuh Kecerdasan - Ilda Karwayu

@kontributor 8/13/2023

Mungkin Memang Pernikahan Tak Butuh Kecerdasan

Ilda Karwayu



“Usianya sudah 22,” telunjuk kananku mengarah kepada Rio, “enggan kuliah, enggan bekerja, tak tahu harus apa, tak bis…”

“Kamu ndak tahu rasanya jadi ibu!”

“Memang tidak, dan tak juga mau.”

Dia terdiam. Tatapannya yang sedari tadi fokus ke arahku kini makin tajam menembus ke dalam bola mataku. Apakah dia sedang mencari jalur masuk ke jalan pikiranku?

Rio, yang sedari tadi sungguh kentara berusaha menghabiskan makanannya, mulai memberanikan diri menggeser jauh piringnya ke tengah meja.

“Jangan dipaksa habis kalau sudah kenyang, Nak. Makanya tadi ibu bilang kalau ambil lauk itu ya secukupnya.”

Seketika lembut. Bajingan. Kamu lebih menyedihkan dari bajingan berkaki empat kurus tak terurus yang sering kutengok bersama seseorang di taman kota. Kamu lebih tak tahu diri dari para pelacur yang tiap malam mangkal di pinggir jalanan kota, yang tahu betul bahwa menggugurkan kandungan ialah siasat menyelamatkan diri dan si jabang bayi itu sendiri. Dasar pengukur dungu.

Melihat Rio yang menggangguk enteng kemudian pergi pelan-pelan meninggalkan dapur, aku pun melangkah mundur sedepa; menyambar kunci motor di atas meja, juga tas kantor di kursi makan tempatku seharusnya duduk menyantap makan malam.

 

“Banyak sekali sambalnya, Mbak!” seru pramusaji yang mengantarkan teh hangat. Oh, pegawai baru? Aku tak punya energi untuk menjelaskan apapun kepadanya, dan enggan tersenyum manis sebagai respons basa-basi paling sederhana. Maka yang didapati si pramusaji adalah ekspresi tak bersahabat—yang kemudian selalu memancing ekspresi tak suka sebagai timbal baliknya. Ia pun meninggalkan mejaku dengan wajah masam, dan langkah lebarnya itu tampak lucu di mataku; seperti pemain sirkus dengan kaki panjang palsu yang sedang berusaha berlari menghindari kejaran singa.

Singa? Aku lebih suka serigala. Gagah. Dingin. Terhormat.

“Joana!”

Aku melirik pelan ke arah sumber suara.

“Ponselmu mati?”

Kalau bisa tubuhku juga.

Tanpa menunggu jawaban dariku, laki-laki ini meletakkan pantatnya perlahan ke kursi di seberang mejaku. “Duduk di bawah kipas begini bikin bakso cepat dingin, segeralah makan.”

“Kamu?”

“Sudah.”

Sama istrimu?

Ia berdeham sejenak sebelum akhirnya menatapku lekat-lekat. “Barusan aku jumpa Tenten di galeri. Dia bilang tadi ketemu kamu di sini.” Ia rapatkan kursinya ke meja, membuat bakso halus seukuran bola pingpong yang sedang kucoba tusuk ini bergerak menjauhi garpu.

“Kutelpon kamu untuk memastikan, tapi kok panggilan suara terus.”

Kuseruput mi soun lurus lembut secepat mungkin. Rasanya ruangku pelan-pelan menyempit.

Okay, to the point, sepertinya kita harus ubah jadwal pameran bulan depan. Tenten ingin aku menambah beberapa untuk dikurasi kembali. Kepalaku mau pecah...” Ia menarik rambut cut-wolfnya yang tampak lepek ke belakang; dan semakin jelaslah ekspresi wajahnya yang seperti anak anjing kelelahan mengaing.

“Butuh waktu setahun,” kataku enteng.

Dia terdiam. Tatapannya yang sedari tadi fokus ke arahku kini makin tajam menembus ke dalam bola mataku. Apakah dia sedang mencari jalur masuk ke jalan pikiranku?

Pramusaji yang sama, yang tadi meninggalkan mejaku dengan wajah masam, datang dengan secangkir kopi. Kopi hitam dengan aroma yang membuatku stop mengunyah mi kuning dan bakso. Aku mau kopi, tapi sudah pesan teh. Aku mau cicip yang itu, tapi gengsi. Sialan!

“Silakan, Mas.” Pramusaji meletakkan kopi bersama senyumnya yang bagiku kelewat manis. Tubuh feminin dengan senyum yang demikian itu selalu membuatku cemburu sebab aku tak cukup feminin dan tak pula cukup manis untuk menggaet perhatian siapa pun orang asing. Orang butuh waktu—paling tidak beberapa kali perjumpaan—untuk akhirnya melemparkan perhatian kepadaku tanpa perlu menghiraukan kekurangmenarikkan tubuh dan wajahku, serta ekspresi tak bersahabat dariku. Merepotkan.

“Aku tak tahu apa yang sedang membuatmu tak enak hati terhadap kehadiranku, tapi rasanya malam ini aura hitam menyelimuti tubuhmu. Jujur, itu mengganggu.”

Aku berhenti memotong-motong bakso urat sebesar bola tenis ini dan mengernyitkan dahi. Percaya diri seperti biasa, ya.

“Bukan tentang kamu.”

“Tapi kenapa jutek ke aku?”

“Pergilah. Toh aku tak minta ketemu.”

Women!”

“Plural?”

Dia memalingkan muka. Betapa bodoh.

“Ayolah, aku tak menemukan logikanya kenapa harus sampai setahun,” ujarnya sembari kembali menatapku. Nada bicaranya mulai memelas, tapi tak mengubah spekulasiku—yang kupikir-pikir ternyata cukup beralasan juga meski tadi terucap enteng—terhadap persiapan pamerannya. Meski begitu aku tak punya energi untuk menjelaskan apapun, dan enggan meladeni asumsi-asumsinya.

“Bercanda.”

“Tidak, kamu tidak bercanda.”

“Terserah”

Women!”

Baksoku habis. Tehku yang tak lagi bisa disebut teh hangat pun sebentar lagi tandas. Barangkali sekarang benar-benar akan kutinggalkan laki-laki merepotkan ini, sebagaimana ia dulu meninggalkanku untuk yang tak lebih cerdas dariku. Mungkin memang pernikahan tak butuh kecerdasan. Tindakannya, juga tindakan orangtua kandungku, ataupun segala tindakan teman-temanku terhadap pernikahan mereka, menguatkan itu. Jika pernikahan tak butuh kecerdasan, bahkan menjadikan satu sama lain bodoh dan makin bodoh, untuk apa menikah?

Seketika pikiranku yang lain menjambak pikiranku yang barusan. Ia melontarkan pendapat: ada banyak pernikahan yang dilandasi kecerdasan dan kesadaran politis, hanya saja kita tak bersentuhan dengan pengalaman yang demikian, atau bisa jadi tak sempat menilik lebih jauh ke dalam kehidupan orang-orang terdekat kita. Komentar itu dibalas lagi oleh pikiranku yang berceloteh di awal tadi: sok bijak! Jangan menambah ilusi soal pernikahan ke dalam pikiran Joana kita tercinta, ia sudah muak dengan itu.

“Kupikir kamu perlu cari manajer lain. Aku berencana pergi dari sini untuk waktu yang cukup lama,” ujarku sembari mengumpulkan tisu-tisu bekas mengelap kuah di meja, dan mencemplungkannya ke mangkuk kosong. Tak lama, tehku juga tandas. “Tadi juga Tenten sudah kuberitahu soal ini, dan dia siap carikan orang baru. Kurator kita itu kenal banyak orang, jadi tak perlu khawatir.”

Wajah lawan bicaraku ini memerah perlahan, dan kini giliranku menatapnya lekat-lekat. Jari-jari di kedua tangannya diketuk-ketukkan ke meja. Ketukannya yang berantakan tanpa tedeng aling-aling menarik kembali segala memori menyebalkan antara kami berdua.

“Kamu butuh berapa?” tanyanya tepat setelah ketukan dari jari-jari ia hentikan.

Aku mendengus, dan tersenyum. Ada getar yang tak harmonis pada kalimatnya. Barangkali itu kunci untuk menutup pintu hubungan ini selamanya. Bajingan. Kamu lebih menyedihkan dari bajingan berkaki empat kurus tak terurus yang sering kita tengok di taman kota. Kamu lebih tak tahu diri dari tikus-tikus bau yang sering kita cemooh kehidupannya di belakang galeri tempatmu mencipta lukisan-lukisan tempera—yang kelewat berat menanggung konsep karbitan. Dasar penilik dungu.

Kunyalakan ponsel untuk cari penginapan terdekat. Begitu nyala sempurna, notifikasi beberapa panggilan tak terjawab dan pesan singkat masuk; seluruhnya dari Rio.

Ceppat pulaaaang! Fertigo ibuk kumatt!!!

Dimana? Cepat pulllangg!!

Angkat telponnnyyaaa!!

Oh, Rio, kamu lucu sekali. Uruslah ibumu itu. Beri dia kesempatan untuk merasakan sentuhan tangan dewasamu, jangan dibiarkan terus-menerus terlena pada euforia keberhasilan melahirkan manusia berpenis, sampai lupa bahwa kamu juga mesti berfungsi di rumah itu.

“Oh, sudah kubayar!” ucapku cepat ketika laki-laki di hadapanku ini berlagak mengeluarkan dompet dari kantong belakang celananya.

2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »