Romantisisme Chairil Anwar: Tak Pelak, Harus Terus Terbang - Dwi Pranoto

@kontributor 8/13/2023

Romantisisme Chairil Anwar: Tak Pelak, Harus Terus Terbang[1]

Dwi Pranoto 

 


“mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat”

(Chairil Anwar, baris ketiga terakhir puisi “Buat Gadis Rasid”)

 

Tak serta merta gelombang romantisisme yang meyapu Eropa pada akhir abad 18 menerjang pantai-pantai kepulauan Indonesia. Mungkin baru pada tahun 30-an, riak gelombang pertama romantisisme Eropa mencium pasir pantai Indonesia dan membangunkan Sutan Takdir Alisjahbana. Namun, semangat sturm und drang[2] yang menggelegakkan subjektivitas individual dalam mengungkapkan ekspresi puitik masih terkekang oleh rasionalisme Pencerahan pada tahun-tahun itu. Gagasan modernisme Takdir adalah campuran aneh antara semboyan Pencerahan yang terlalu menyilaukan dan gelora romantisme yang aras-arasan. Hasilnya adalah ungkapan perasaan individual yang nyaris selalu didaktik dan terperangkap kaidah puitik tradisional, seperti pantun. Bayangan kolektivitas komunal yang diikat oleh nomoi (kaidah sosial yang dipetrifikasi dalam bentuk puitik tradisional) seperti selimut basah bagi ethos individual yang digigilkan oleh mimpi kebebasan individual. Takdir memang menolak mewarisi Borobudur, menolak ikatan-ikatan komunal lama, tapi penolakan tersebut didasari oleh anggapan bahwa jiwa yang melahirkan Borobudur tidak bersangkut-paut dengan semangat kebangsaan.[3] Ia tampaknya lebih memilih ikatan sosial baru yang rasional: bangsa, buah dari revolusi sosial radikal penggulingan kekuasaan monarki yang lambat-laun menunjukkan wajah borjuasinya. Bangsa pada ruang kolonial masa itu kerap merupakan wilayah perjuangan kaum bangsawan terpelajar. Tahun-tahun itu, tahun 30-an, tidak ada setapak dan jalan raya Revolusi Prancis yang membawa kaki kaum tani dan para jelata lainnya menderap pergi meninggalkan rumah-rumah mereka menyongsong kebebasan di tanah-tanah terbuka yang berdebu dan berlumpur dalam pertempuran-pertempuran yang jauh dari kampung halaman. Dampak samping besar politik etis kolonial yang membuka akses pendidikan baca-tulis bagi sebagian kaum jelata untuk memenuhi kebutuhan tenaga administratur pemerintahan dan perkebunan masih menunggu di ruang-ruang gelap untuk meledak. Penerbitan dan sirkulasi bacaan liar, semisal roman-roman perkebunan di Sumatera, seperti mimpi-mimpi malam subversif kaum buruh di Prancis pada abad sembilan belas dalam Proletarian Nights-nya Jacques Ranciere.

Tibanya fasisme Jepang tahun 1942 yang diikuti mobilisasi massa besar-besaran melalui pembentukan pasukan perang PETA, Heiho dan pasukan kerja paksa Romusha untuk berperang dan membangun infrastrukstur perang – jalan raya, rel, kubu pertahanan, dan jembatan – di medan-medan pertempuran Perang Dunia II di Asia Tengggara mengingatkan pada istilah the removal of the masses (pemindahaan massa)-nya Paul Virilio[4] dalam masa Revolusi Prancis pada tahun 1793. Rasionalisasi penculikan massa untuk membentuk organisasi baru dalam aliran sirkulasi sosial pada zaman Jepang itu tak beda jauh dari Revolusi Perancis; atas nama membela dan memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Para milisi tentara dan pekerja paksa itu meninggalkan kampung-kampung halaman mereka, berpergian ke wilayah-wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, memutus ikatan sosial kampung halaman dan menyerap pengalaman-pengalaman inderawi baru. Inilah momen kelahiran puisi liris; terbentuknya poros yang menghubungkan politik dan keterpersepsian inderawi. Penyair liris seperti para milisi tentara dan pekerja paksa yang pergi kelayapan, terbebas dari ikatan sosial kampung halaman, dan menemukan dunia puitik baru. Penemuan dunia puitik baru ini tidak direpresentasikan sebagai subjek puisi berupa pohonan, langit, pantai, lanskap yang dipahami begitu saja dalam artian langsungnya, tetapi berada di luar batasan-batasan mimesis klasik yang membentuk fiksionalitas tulisan dengan mengadopsi teknik retorika pidato lisan: prinsip representasi dengan kaidah inventiodispositio, dan elocutio yang diikatkan pada decorum dan terkoneksi pada kaidah lexis yang mengatur bentuk-bentuk tuturan dan penuturnya.

Chairil Anwar berdiri paling depan dalam tradisi petualangan romantik ini, meninggalkan kegarda-depanan Pujangga Baru yang berdiri bimbang; satu kaki pada kebangsawanan tradisional dan satu kaki pada aristokrasi modern (borjuasi). Puisi-puisi Chairil lahir dari pengalaman baru seibarat pengalaman perjalanan para milisi PETA dan Romusha, kemudian perjalanan para milisi BKR dan TKR pada Perang Kemerdekaan dalam agresi Belanda pertama dan kedua, bukan lahir di atas meja dalam lembaga-lembaga bentukan kolonial Belanda dan Jepang. Puisi-puisi Chairil adalah suara jalanan yang dicurinya dalam perjalanan dari rak-rak perpustakaan ke rak-rak perpustakaan dan dari toko buku ke toko buku. Chairil Anwar seolah-olah adalah Veronique Graslin dalam Village Rector-nya Balzac yang ketemu Paul and Virginia di etalase toko buku pinggir jalan dan terpaut secara personal pada novel asmara berlatar Revolusi Perancis tersebut sepanjang hayat setelah membacanya.

Tulisan ibarat memperpanjang ruas setapak dan jalan raya para petualang romantik yang “baru saja” dapat mencerna aksara-aksara sebagai bahasa menuju tempat-tempat dan waktu-waktu yang tidak dikenali. Perluasan akses pendidikan bagi penduduk Indonesia yang dimulai sejak kebijakan politik etis kolonial yang mengimplikasikan pertumbuhan bacaan-bacaan liar dan para pembaca liar sebagai petualangan mimpi-mimpi malam subversif kaum menengah dan jelata menemukan realitas kedagingannya dalam mobilisasi massa pada zaman Jepang dan Perang Kemerdekaan. Prinsip representasi mimesis dalam produksi dan evaluasi fiksi runtuh ke dalam mode bahasa yang menyanakan kesatuan kata-kata dan penuturnya, kesatuan suara dan asal suara. Relasi antara subjek penyair dan subjek puisi dalam lirisme romantik bukan lagi hubungan antara subjek penyair dan representasi karakter-karakter yang tindakan-tindakan dan laku tuturnya ditentukan oleh tata krama dan pembelahan sosial. Lirisme, oleh karenanya, tidak dapat semata-mata didefinisikan sebagai ekspresi psikologis karena dorongan baru untuk mengeksplorasi diri sendiri; seperti kritik ganzheit-nya Arief Budiman yang memanggil Chairil pada Sebuah Pertemuan untuk membicarakan obsesi kematiannya sendiri secara psikologi. Puisi lirik adalah cara spesifik untuk memaklumkan hapusnya jarak representasi mimesis antara subjek penyair dan subjek puisi, cara mengiringi apa yang dikatakan subjek puisi dengan meletakkannya dalam ruang persepsi dan membubuhkan irama perjalanan, pergerakan, dan petualangan. Irama perjalanan seperti kawan seiring yang membantu ego sajak bertaut dengan suatu dunia yang membentuk persepsi dan penangkapan tanpa penangguhan, dan penghadiran subjek penyair yang memandu memasuki dunia dapat menentukan relasinya dengan subjek puisi secara bebas tanpa mengindahkan kekangan kaidah kepatutan sosial.

Lirisme romantik pertama-tama adalah etos kejalangan individual, sikap tidak konform pada nomoi kolektivitas komunal yang diwujudkan secara sastrawi dengan menolak prinsip representasi mimesis dan mencampakan mode lexis. Di Indonesia, Chairil Anwar berdiri paling depan dalam mengafirmasi etos kejalangan romantik. Tetapi etos kejalangan yang membawa Chairil sebagai pembaharu dunia puisi Indonesia ini ditolak dengan sengit oleh Nirwan Dewanto. Bagi Nirwan, “… kejalangan hanya akan membawa Chairil dalam kelisanan . . .”[5]. Namun Nirwan tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kelisanan.

Menolak penilaian bahwa Chairil merupakan penyair pembaharu yang menentang tradisi, Nirwan menyatakan bahwa Chairil justru memperluas tradisi. Nirwan melandaskan pernyataannya tersebut dengan mengambil contoh puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” yang disebutnya lahir dari visi hormat terhadap syair, pantun, atau kuatrin konvensional. “Senja di Pelabuhan Kecil” dianggap secara sekilas tampak seperti bentuk kuatrin konvensional hanya karena puisi tersebut terdiri dari empat baris tiap baitnya dan mempunyai rima akhir. Perluasan bentuk kuatrin oleh Chairil terletak pada susunan kata tiap baris yang menurut Nirwan bisa jadi merupakan kalimat atau frase yang tak lengkap. Sungguh, Nirwan seharusnya memahami dulu apa itu konvensi kuatrin, sajak empat baris yang pengkategoriannya ditentukan oleh kriteria skema rima dan pola irama tertentu: semisal elegiac stanzaruba’iballad stanzaElegiac stanza, contohnya, mempunyai skema rima AABB atau ABAB dengan sepuluh silabel (suku kata) (iambic pentameter) yang penekanannya jatuh pada suku kata kedua. Jadi gak ada urusan dengan susunan kata-kata per barisnya apakah kalimat atau frase tak lengkap, karena pilihan kata atau susunan kata lebih tercakup pada prinsip licentia poetica berkait dengan penyesuaian pada konvensi skema rima dan pola irama pada kuatrin. Lagi pula, Boen Oemarjati, dalam Chairil Anwar: The Poet dan His Language (1972), saat menginvestigasi apakah Chairil sadar atau tidak menggunakan skema rima pada puisinya, Boen menemukan ketidak-konsistenan Chairil dalam menerapkan skema rima akhir dalam puisi-puisinya sebagai “…a fixed and guiding principle . . .”[6] Lebih jauh lagi, Bahasa Indonesia yang kosa katanya secara kuantitatif didominasi oleh vokal “a” lebih dari separuh dan sekitar 15%-nya adalah “i” atau “u”, menurut Boen, akan menyulitkan untuk menentukan apakah kita punya kesadaran dalam menggunakan rima atau hanya rima aksidental.

Argumen berikutnya yang digunakan Nirwan untuk membuktikan bahwa Chairil punya kesetiaan besar pada bentuk-bentuk puisi lama adalah Chairil memperluas pantun. Bagi Nirwan Dewanto, dua bait pertama puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Barangkali Nirwan menganggap Chairil memperluas pantun dengan mengubah atau memodifikasi bagian sampiran yang sebelumnya satu baris (pada pantun dua baris atau kuplet) atau dua baris menjadi dua bait yang tiap baitnya berjumlah empat baris dan mengubah bagian isi yang sebelumnya satu atau dua baris menjadi satu bait berjumlah empat baris. Istilah “perluasan” untuk perubahan kuantitatif pada sampiran dan isi seolah-olah menekankan bahwa Chairil mengubah pantun namun tetap setia pada konsep khas atau utama dari pantun, yakni konsep sampiran dan isi. Tetapi, problem pertama, Chairil tidak secara konsisten menerapkan prosodi pantun pada “Senja di Pelabuhan Kecil” temuannya dalam puisi-puisi lainnya. Tanpa penerapan prosodi pantun temuannya secara konsisten sulit untuk menyatakan bahwa Chairil dengan sadar melakukan perluasan pantun. Kedua, Nirwan dengan gampangan mereduksi pantun hanya dengan adanya keberadaan sampiran dan isi. Padahal keberadaan pantun tidak hanya ditentukan oleh jumlah baris, sampiran, dan isi. Aturan prosodi pantun lebih rumit dari sekadar jumlah baris, mencakup pola variasi jumlah kata tiap baris, pola variasi jumlah suku kata tiap baris, skema rima (rima akhir dan rima dalam/asonansi), pola irama (aspek musikal menyangkut panjang-pendek dan lemah-keras penekanan dalam pelafalan suku katanya), dan hubungan antara sampiran dan isi. Sebagai contoh, hanya untuk menentukan jumlah kata saja kita harus memperhatikan karakter bahasa Melayu atau bahasa Indonesia berkait dengan gejala-gejala afiksasi, (re)duplikasi, dan preposisi dalam hubungannya dengan kata bentukan. Tetapi kita tidak akan membahas pantun lebih jauh di sini. Lebih baik kita coba memeriksa apakah “Senja di Pelabuhan Kecil” masih dapat disebut memperluas pantun berdasarkan konsep sampiran dan isi seperti dinyatakan Nirwan. Mari kita baca “Senja di Pelabuhan Kecil”:

 

Senja di Pelabuhan Kecil

buat Sri Ajati  

 

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

 

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

 

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap. [7]

 

Nirwan menyatakan dua bait pertama yang berfungsi sampiran disebutnya sebagai lanskap murni. Dalam pantun, sampiran bisa saja menggambarkan lanskap murni, mengungkapkan pencecepan inderawi, atau menyebut angka-angka seperti pada pantun jenaka/anak-anak. Maksudnya, apa yang disampaikan dalam sampiran bukanlah ciri khas yang ditentukan pada bentuk pantun, karena itu, penggambaran lanskap murni dalam sampiran tidak dapat dikatakan bersetia pada bentuk pantun atau dikatakan melakukan perluasan bentuk pantun. Siapa narator atau penutur dalam sampiran atau isi juga tidak diatur baku dalam pantun. Jadi, jika Nirwan mengatakan sampiran pada “Senja di Pelabuhan Kecil” dituturkan oleh orang ketiga dan isi dituturkan oleh orang pertama, dua hal tersebut tidak dapat dinyatakan patokan apakah Chairil bersetia pada pantun atau memperluas pantun. Begitu juga nada tutur dalam bagian isi, bukan suatu ketentuan baku pada pantun. Isi pantun bisa bernada lembut dan keras; bisa merajuk, menghardik, merengek, menyesal, menyindir, dan sebagainya.

Faktor penting dalam konsep sampiran dan isi pada pantun adalah hubungan keduanya. Pertama, hubungan antara sampiran dan isi pada pantun diatur, paling tidak, sebagai keberpautan skema rima akhir antara sampiran dan isi. Rima akhir stanza pantun biasanya AB-AB, rima akhir baris pertama sampiran diulang pada rima akhir baris pertama isi dan rima akhir baris kedua sampiran diulang pada rima akhir baris kedua isi. Pada “Senja di Pelabuhan Kecil” kita sama sekali tidak menemukan keberpautan skema rima antara sampiran yang terdiri dari dua bait – yang masing-masing baitnya berjumlah empat baris – dengan satu bait isi yang terdiri dari empat baris. Kedua, hubungan antara sampiran dan isi pada pantun adalah keberpautan sugestif, hubungan antara pembayang maksud dan maksud. Amir Hamzah menyebut sebagai tali-sakti yang mengikat dua baris sampiran dan dua baris isi, yang ikatannya “. . . hanya dapat dirasa-rasakan tiada mungkin diuraikan nyata”,[8] kata Amir Hamzah. Hubungan sugestif antara sampiran dan isi yang merupakan hubungan antara kiasan dan apa yang dikiaskan tersebut berlangsung dalam pararelitas simbolik yang dapat bersifat kontradiktif ironi atau pun penegasan. Kita tidak diberitahu oleh Nirwan Dewanto bagaimana hubungan antara sampiran dan isi dalam “Senja di Pelabuhan Kecil”. Nirwan hanya menyatakan bahwa kemunculan sekonyong-konyong subjek pertama tunggal (aku) pada bait ketiga (isi) bersifat menggarisbawahi “apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu”[9]

Jikapun menggarisbawahi sama dengan penegasan maksud isi atas pembayang maksud sampiran, hubungan sampiran dan isi yang menegaskan dalam “Senja di Pelabuhan Kecil” tidak berlangsung dalam pararelitas yang memisahkan bagian sampiran dari isi atau isi dari sampiran. Maksudnya, tidak ada retakan antara bagian sampiran dan isi yang hanya mungkin diikat oleh tali-sakti-nya Amir Hamzah. Bagian sampiran dan bagian isi pada “Senja di Pelabuhan Kecil” meleleh bersama dan menutup retakan atau celah di antara keduanya untuk menjadi konsep bersinambung tunggal. “Senja di Pelabuhan Kecil” sama sekali bukan cerminan perluasan bentuk pantun, baik dalam hubungan antara sampiran dan isi maupun dalam organisasi bunyi yang mencakup skema rima dan pola irama.[10]

Tidak ada satu pun puisi Chairil Anwar yang dapat disebut pantun atau dapat disebut memperluas bentuk pantun, jika pantun dikarakterisasi oleh hubungan antara sampiran dan isi yang merupakan hubungan sugestif yang berlangsung secara pararel dan diatur oleh organisasi bunyi berupa skema rima dan pola irama tertentu. Bahkan puisi Chairil yang dikenali secara umum sebagai puisi pertamanya dan kerap dianggap meneladani pantun, “Nisan”, hanyalah bentuk kuatrin yang mencerminkan bentuk luar pantun berupa skema rima dan pola irama. Bagi Francois Rene Daillie, bentuk kuatrin yang hanya diatur berdasarkan skema rima dan pola irama pantun tapi tidak menunjukkan korespondensi antara pembayang dan maksud dalam hubungan antara sampiran dan isi adalah bukan pantun. Berikut contoh pantun, kuatrin dengan skema rima dan pola irama pantun, dan puisi “Nisan”:

 

Pantun


Apa digulai orang di ladang,

Pucuk kacang bersela-sela.

Apakah untung anak dagang,

Hari petang tangga berhela.[11]


Kuatrin dengan skema rima dan pola irama pantun


Jalan-jalan sepanjang jalan,

Singgah menyinggah di pagar orang.

Pura-pura mencari ayam,

Ekor mata di anak orang.[12]

 

Nisan

Untuk neneknda

 

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu itu atas debu

Dan duka maha tuan bertakhta.[13]

 

Oktober 1942

 Bagaimanapun, puisi-puisi Chairil Anwar adalah puisi-puisi bebas. Puisi-puisi yang cenderung tidak terikat pada aturan skema rima dan pola irama tertentu yang merupakan salah satu aspek dari prinsip representasi mimesis, elocutio atau eloquent, yang diikat oleh decorum atau tatakrama sosial. Pantun, misalnya, meskipun relatif tidak terikat oleh inventio (penemuan karakter) dan dispositio (menetapkan tindakan karakter) namun kefasihan mengorganisasi bunyi (elocutio) merupakan representasi keterikatannya pada kepatutan tatakrama (decorum) dalam interaksi sosial untuk mengemukakan maksud secara sopan.

Representasi dalam bentuk-bentuk sastra lama (termasuk puisi) oleh karenanya membasis pada teknik produksi mimesis yang dibingkai oleh decorum. Bentuk-bentuk sastra lama, meskipun sudah dalam bentuk tertulis, masih dibayang-bayangi oleh pengalaman kelisanan berbahasa pada interaksi komunikasi langsung dalam suatu komunitas kolektif yang mensyaratkan kehadiran aktual tubuh komunikan dan bunyi. Licentia poetica dalam sastra lama, bukan sertifikat untuk bebas melanggar aturan berbahasa semaunya, namun kebebasan berbahasa dalam rangka mengikuti kaidah prosodik bentuk sastra yang membasis pada prinsip representasi mimesis.

Berbeda dengan sastra lama yang representasinya membasis pada teknik produksi mimesis, representasi pada puisi bebas membasis pada mode bahasa. Pelepasan diri puisi bebas dari prinsip representasi mimesis, dengan begitu melepaskan diri dari kepatutan sosial, dikarakterisasi oleh pengalaman membaca bahasa tulis secara individual. Dalam konteks puisi bebas Chairil Anwar, temuan puitika lirisme romantiknya berakar pada perluasan pendidikan membaca yang dimulai dari kebijakan politik etis kolonialisme Belanda. Bagaimanapun, perluasan pendidikan masa kolonial Belanda yang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja administratif pada lembaga-lembaga birokrasi pemerintahan dan perkebunan tidak mendidik dan melatih para siswa untuk memahami kaidah-kaidah bentuk sastra. Namun demikian, pendidikan membaca yang ditujukan untuk dapat memahami dan menerapkan bahasa instruksional administratif tersebut pada gilirannya menciptakan massa melek aksara yang kemampuan membacanya tidak hanya digunakan untuk membaca bacaan-bacaan keadministrasian, pun sekaligus digunakan untuk membaca bacaan apa saja termasuk karya sastra. Massa yang melek aksara membaca karya-karya sastra tanpa didasarkan pada kaidah-kaidah sastrawi yang membasis pada prinsip representasi mimesis yang merupakan medium teknis bagi mode bahasa untuk dapat terproyeksikan sebagai suatu cerminan realitas tertentu. Massa melek aksara membaca karya sastra persis seperti membaca bacaan instruksional administratif yang basis pokok representasinya adalah mode bahasa yang diacu sebagai penyerupaan langsung atas realitas. Pemaknaan bahasa (tulis) yang didasarkan pada hubungan tanda (simbol grafis bunyi) dengan penanda (gambar mental) langsung terproyeksikan sebagai suatu realitas atau ekspresi aktual. Tidak mengherankan, dalam menulis puisi-puisi bebas Chairil Anwar mengandalkan tenaga kata untuk dapat dengan tepat merepresentasikan perasaannya. Chairil menyeru, “Sesudah masa mendurhaka pada Kata kita lupa bahwa Kata adalah jang mendjalar mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, Mimpi, Pengharapan, Tjinta dan Dendam manusia. Kata ialah Kebenaran!!!”[14].

Tulisan memberikan pengalaman berbeda dari kelisanan. Kelisanan dialami dalam pertemuan langsung, menghadirkan subjek fisik pembicara dan pendengar serta suara yang secara simultan merupakan penghadiran suatu otoritas. Sedangkan tulisan adalah pengembaraan bahasa bisu yang meninggalkan otoritas pembicaranya entah di mana dan mengubah otonomi pemaknaan penulis yang dibentuk oleh latar belakang kepribadian dan sosio-kulturalnya menjadi heterogenisasi pemaknaan atas pembacaan secara individual bersama latar belakang sosio-kulturalnya sendiri. Bentuk sastra sebagai proyeksi dari kaidah sosial tertentu kerap kehilangan relevansinya dalam praktik pembacaan individual semacam itu dan menyisakan mode bahasa sebagai satu-satunya instrumen pemaknaan yang memungkinkan. Pengembaraan sastra sebagai bahasa bisu yang meninggalkan batas-batas sosio-kulturalnya dalam bentuk simbol-simbol grafis bunyi hanya mungkin kembali melahirkan bentuk artistik dari pengembaraan individual yang yang dipersepsi dan dialami untuk membebaskan diri dari kekangan kaidah sosial. Pendudukan Jepang yang memobilisasi massa untuk meninggalkan kampung halaman sebagai Heiho, PETA, dan Romusha dengan janji kemerdekaan atau kebebasan menciptakan situasi pengembaraan yang dapat dipersepsi dan dialami secara individual. Momen mobilisasi massa pada pendudukan Jepang membuat pengembaraan sastra sebagai bahasa bisu menemukan acuan kedagingan dan bunyinya kembali dalam persepsi dan pengalaman individual sebagai bahasa yang hidup. Bentuk sastra yang sebelumnya terikat pada kaidah sosial runtuh ke dalam “kaidah individual”. Oleh sebab itu dalam menguraikan tentang bentuk dan isi, Chairil menekankan peran seniman dengan perasaan individualnya yang dapat menentukan isi dan bentuk, “Tetapi ‘pembatasan’ jang sangat njata dan terang antara bentuk dan isi ini tidak pula bisa dikemukakan, sebab dalam kesenian bentuk dan isi ini tidak hanja rapat berdjalan sama, mereka gonta-ganti tutup-menutupi. Karena hanjalah perasaan-perasaan si seniman jang benar-benar djadi bentuk dan tjaranya menjatakan jang istimewa, tersendiri jang sanggup membikin si penglihat, pembatja atau pendengar terharu – melambung atau terhenjak”[15].

Aspek kejalangan dan pembaharuan Chairil tidak hanya karena ia menulis puisi-puisi bebas dalam artian tidak terikat pada aturan skema rima dan pola irama tradisional yang menekankan keseimbangan, simetri, dan keteraturan. Jika hanya menulis puisi-puisi bebas, kita tahu beberapa penyair Pujangga Baru, seperti J.E. Tatengkeng dan Roestam Effendi, juga menulis puisi-puisi bebas. Lebih dari itu, puisi-puisi bebas Chairil Anwar tidak hanya mendeskripsikan perasaan individual, tapi melesapkan perasaan individual ke dalam objek-objek yang dipersepsi, menghapuskan dikotomi subjek-objek. Dalam konteks lexis, penghapusan dikotomi objek-subjek adalah meleburnya subjek puisi sebagai modus pemeranan karakter tertentu ke dalam subjek penyair. Dalam puisi-puisi Chairil Anwar subjek penyair mengiringi subjek puisi dengan menavigasinya dalam perjalanan mengarungi alam sebagai situasi yang dipersepsi dan dialami secara inderawi. Mari kita bandingkan antara puisi bebas J.E. Tatengkeng yang berbicara tentang taman buatan yang menyebalkan dan puisi bebas Chairil Anwar yang berbicara tentang taman sebagai vinyet percintaan yang manis.


J.E. Tatengkeng

Berikan Daku Belukar

 

Terhanyut oleh aliran zaman,

Aku terdampar di dalam taman,

Kuheran amat,

Memandang tempat!

Di situ nyata kuasa otak,

Taman dibagi berpetak-petak,

Empat segi, tiga segi …..

Yang coreng-moreng tak ada lagi.

Rumput digunting serata-rata,

Licin sebagai birun kaca,

Bunga ditanam beratur-atur,

Tegak sebagai bijian catur.

Jalan digaris selurus-lurus,

Bersih, sehari disapu terus!

 

Indahlah taman,

Di mata zaman ……

 

Dan kalau hari sudah petang,

Ribuan orang ke taman datang,

………………………………..

 

Beri daku Belukar saja,

Tempat aku memuji Rasa.[16]

 

 

Chairil Anwar

Taman

 

Taman punya kita berdua

tak lebar luas, kecil saja

satu tak kehilangan lain dalamnya.

Bagi kau dan aku cukuplah

Taman kembangnya tak berpuluh warna

Padang rumputnya tak berbanding permadani

halus lembut dipijak kaki.

Bagi kita itu bukan halangan.

Karena

dalam taman punya berdua

Kau kembang, aku kumbang

aku kumbang, kau kembang.

Kecil, penuh surya taman kita

Tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia[17]

J. E Tatengkeng dalam “Berikan Daku Belukar” adalah subjek penyair yang menghilang di balik subjek puisi “aku” yang keheranan memandang taman. Namun, ketika mendeskripsikan taman; Taman dibagi berpetak-petak/Empat segi tiga segi…../. . ./ Bunga ditanam beratur-atur; J. E Tatengkeng menggunakan mode plain diegesis untuk mendemonstrasikan suatu deskripsi objektif dengan menggunakan “kalimat pasif” yang mengindikasikan bahwa subjek puisi atau karakter “aku” yang merupakan imitasi subjek penyair tidak terlibat dalam pengaturan taman. Pada bait selanjutnya, kuplet dalam bait tersebut memunculkan subjek ketiga “mata zaman” yang dapat diasumsikan adalah subjek yang berbicara dengan mode plain diegesis tersebut. Dalam lexis mode narrator/subjek-penyair yang berhubungan dengan genre komedi dan tragedi dalam representasi mimetik, subjek penyair “orang baik” hanya dapat menjelma ke dalam karakter jika karakter tersebut memerankan “orang baik”. Bila karakter, kemudian, menjadi buruk, subjek penyair melakukan transposisi dari subjek pertama ke subjek ketiga dan menggunakan mode plain diegesis yang mengindikasikan ketakterlibatan dalam suatu keburukan. Dalam “Berikan Daku Belukar”, karakter “aku/daku” adalah imitasi subjek penyair, “orang baik” yang tertransposisi menjadi subjek ketiga (“mata zaman” dan juga “ribuan orang”) saat jatuh pada keburukan. Pemilahan “orang baik” dan “orang buruk” merupakan penerapan tata krama sosial, decorum, pada prinsip representasi mimesis.

Pada masa Yunani kuno, “orang baik” dan “orang buruk” merupakan struktur sosial yang ditentukan oleh kelahiran dan keturunan dan menempati ruang dan waktu berbeda. “Orang baik” adalah segelintir elite yang menempati pusat negara (kota) dan waktunya dapat digunakan untuk urusan publik. Sedangkan “orang buruk” yang terdiri dari masyarakat jelata, perempuan, budak, dan anak-anak, pun binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang menempati pinggiran atau luar kota dan hanya punya waktu untuk dirinya sendiri, waktunya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Prinsip representasi mimesis diterapkan untuk merefleksikan secara statis struktur sosial, pemilahan hirarkis dua kualitas manusia, entah berlaku dalam kehidupan sosial aktual atau dalam kehidupan sosial yang diidealkan. Tidak terjalinnya kontak yang setara antar dua kelompok masyarakat tersebut dan nyaris tak mungkin terjadinya mobilitas sosial direfleksikan dengan konsep lexis pada kaidah mimetik sebagai pengaturan relasi antara narrator/subjek penyair dan karakter/subjek puisi yang disokong dengan pemilihan mode diegesis yang tepat. “Berikan Daku Belukar” Tatengkeng tentu saja tidak merepresentasikan struktur sosial Yunani kuno. Namun pemilahan subjek-subjek puisi dalam hubungannya dengan subjek penyair dan pilihan kelayakan penerapan mode narasi diegesis yang menyesuaikannya, merefleksikan suatu kondisi statis yang tidak hanya mengkarakterisasi hubungan sosial yang hirarkis, pun hubungan antara subjek dan objek yang juga terpilah secara hirarkis dalam penggambaraan taman dalam puisi. Kita tahu, “Berikan Daku Belukar” J.E Tatengkeng adalah alusi anti-rasionalitas, elan yang lahir dari romantisisme. Namun demikian, lirik romantik Tatengkeng tidak berangkat dari hubungan subjek-objek yang lebur dalam suatu peristiwa yang memberikan pengalaman inderawi – pelukisan gerak tubuh yang terlibat dalam suatu peristiwa yang membuat semua indera tertala –, dan implikasinya, disajikan tanpa dapat dirasakan secara somatis.

Pada sisi lain, objek dan subjek dalam “Taman” Chairil Anwar berdiri tak saling berjarak. Taman dalam “Taman” adalah taman yang diacu sebagai suatu peristiwa percintaan yang dilibati subjek, yang dipersepsi dan dialami oleh subjek. Begitupun dengan kau, hadir dalam hubungan yang rapat dengan aku sebagai suatu peristiwa percintaan yang dilibati bersama. Tidak ada dikotomi objek-subjek dalam “Taman”. Di dalam “Taman”; akukau, dan taman lebur dalam peristiwa percintaan. Deskripsi taman seperti tak lebar luas, kecil sajakembangnya tak berpuluh warnatak berbanding permadani; merupakan pendeskripsian yang berkelindan rapat dengan subjek “aku” dan “kau” dalam suatu peristiwa percintaan.

Narasi “Taman” berlangsung dalam mode mimetic diegesis, yang mana subjek penyair menjelma subjek puisi, karakter “aku”, yang terlibat dalam peristiwa. Apa yang menarik dan menentukan hubungan antara subjek penyair dan subjek puisi dalam puisi tersebut adalah kehadiran “kau”, subjek kedua yang biasanya diacu sebagai penerima pesan langsung dari pembicara dalam kalimat langsung pada dialog dramatik. Namun, dalam dialog dramatik, pembicara yang ucapannya dialamatkan kepada “kau” selalu saja memerankan subjek ketiga dalam narasi. Ucapan yang dialamatkan kepada “kau” yang dikatakan oleh pembicara subjek pertama selalu saja melibatkan “kau” yang ada di luar teks. Jika, frasa Bagi kau dan aku cukuplah dalam puisi “Taman” diacu sebagai teks dialog dramatik, yang mana “aku” dan “kau” merupakan imitasi, maka subjek penyair harus kita letakkan di dalam teks sebagai subjek ketiga. Tetapi, subjek penyair selalu saja persona aktual dan hanya mungkin diimpersonasi melalui teknik representasi mimesis dengan menjelma subjek puisi. Tidak ada jalan lain, jika narator kita paksa menjalani impersonisasi untuk menjelma subjek ketiga, maka subjek penyair harus “dibunuh” agar “Taman” menjadi teks tulis sepenuhnya. Jika narator diacu sebagai persona subjek penyair aktual, maka “Taman” adalah teks lisan sepenuhnya. Ada dunia ganda dalam puisi “Taman”, dunia lisan sekaligus dunia tulisan; subjek penyair dan representasinya – subjek puisi –, hadir secara simultan sebagai suara tubuh dan bunyi bisu tulisan. Inilah fenomena puitik “ajaib” dalam lirik romantik yang sudah dinyatakan sebelumnya; subjek penyair mengiringi subjek puisi untuk menavigasi perjalanan menjelajahi dunia melalui persepsi dan pengalaman inderawi, dan membebaskan hubungan antara subjek penyair dan subjek puisi.

Pelanggaran batas pemilahan subjek penyair dan subjek puisi bersifat endemik dalam puisi-puisi Chairal Anwar. Simultanitas kehadiran teks sebagai tubuh dan tubuh sebagai teks dalam puisi-puisi Chairil saling merefleksikan dengan pengembaraan teks menemui tubuh-tubuh menengah dan jelata yang mulai melek huruf dan pengembaraan tubuh-tubuh menengah dan jelata yang menggenapi teks propaganda “pembebasan” oleh kolonial Jepang sebagai PETA, Heiho, dan Romusha. Keduanya mengindikasikan kekacauan sosial, hilangnya tatakrama yang terinternalisasi secara sosial sebagai tradisi yang berkait dengan kepatutan perilaku dan sikap dalam interaksi sosial kolektif. Kekacauan sosial ini sekaligus juga diperparah oleh pelarangan bahasa Belanda yang dituturkan hanya oleh kelompok elit dan mendudukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang penuturnya mencakup berbagai golongan sosial. Mesin revolusi mulai terdengar berderak-derak pada masa kolonial Jepang. Namun, tenaga revolusi sesungguhnya yang telah meledak menjadi dengusan lokomotif yang sedang bergerak lari adalah ekspresi puitik Chairil Anwar. Ketika sebagian besar anggota kaum elit yang menjadi penjamboeng lidah rakjat menyerukan kebebasan yang berpagar kilat-kilat bayonet senapan fasisme Jepang, Chairil dan puisi-puisinya adalah lidah rakyat itu sendiri yang dengan mata berkilat menantang bayonet-bayonet tentara Jepang. Dengarlah kalimat penghabisan pidato Chairil Anwar 7 Juli 1943 di depan Angkatan Baru Pusat Kebudayaan bentukan Jepang, catatan-catatan pribadi yang dibocorkan dari sejumlah buku hariannya yang ditujukan kepada Ida: “Ketika Djaman Djepang kita memang musti bertindak, sekurang-kurangnja berpikir serta merasa dengan bertentangan tadjam melawan suasana di masa itu supaja djangan sampai hilang zelfrespect kita”[18]. Lebih dua tahun kemudian, dalam “Hoppla!”, Chairil seperti mendeskripsikan suasana yang ia sebut dalam pidato di atas: “Maka datanglah “Kulturkammer” Djepang dengan nama “Pusat Kebudajaan” jang memberi kesempatan tumbuhnja “kesenian” dengan garis-garis Asia Raja – djarak – kapas – memperlipat ganda hasil bumi – romusha – menabung – pembikinan kapal dan lain-lain. Dan terdjelma pulalah pasukan seniman muda jang dengan patuhnja tinggal dalam garis-garis tersebut, tidak sedikitpun berdaja meninggalkannja!!!”.[19]

Propaganda “kebebasan” kolonial Jepang diterjemahkan dan dijelmakan sebagai pembebasan tubuh dan teks puisi oleh Chairil: tubuh yang dihidupi dengan ethos yang menentang nomoi produktivitas tubuh secara militeristis yang menjadi kaidah sosial umum masa itu dan teks puisi yang menghapuskan lexis sebagai perangkat teknis yang mengaitkan bentuk tuturan dan imaji penutur puitik sebagai tradisi representasi mimetiknya. Oleh karena itu, puisi-puisi Chairil menjadi politis bukan karena puisi-puisi tersebut dimaknai dengan cara memindahkannya pada konteks sosio-politik yang berbeda seperti yang dilakukan Goenawan Mohamad[20]. Puisi-puisi Chairil telah sejak mula berwatak politis karena memutus konektivitas suatu pengaturan hubungan antara cara membuat/melakukan (poiesis) dan cara mengada (aisthesis) yang merupakan kaidah mimesis. Putusnya konektivitas poiesis dan aisthesis membuat puisi-puisi Chairil kehilangan visi kodrat kemanusiaan yang dilandaskan pada distribusi sensible [21](persepsi inderawiah) yang memilah secara hirarkis antara mereka yang dianugerahi kehalusan persepsi inderawiah dan massa yang memiliki kekasaran persepsi inderawiah. Namun, putusnya konektivitas tersebut membawa serta janji bentuk kehidupan individual dan kehidupan sosial kolektif baru, yakni kebebasan. Janji atau cita-cita kebebasan yang tanah berpijaknya berada di seberang inilah yang mendorong Chairil Anwar terus terbang untuk menghambur dari hari ini ke masa depan, terbang dari distopia hari ini ke utopia masa depan. Namun ia tahu, merasakan, bahwa cita-cita adalah suatu penangguhan yang merentangkan ruang-waktu ketakpastian antara janji dan perwujudannya di mana distopia dan utopia berkait-kelindan sebagai diatopia. Dalam “Buat Gadis Rasid”, Chairil melukiskan situasi diatopia ini dalam alam Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan dan memutuskan untuk terus terbang meski mungkin bakal tidak mendapat. Kebebasan adalah telos; tujuan paripurna; tanah yang secara permanen berada di seberang; tenaga yang mendorong hari ini terus bergerak, mengembara, kelayapan terbang.***


Daftar Pustaka

Anwar, Chairil. 1989. Kerikil Tajam dan Yang Terampas Dan Yang Putus. Jakarta: Dian Rakyat.

Budiman, Arief. 1976. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Daillie, Francois Rene. 2002. Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Eneste, Pamusuk (ed.). 2011. Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang, Koleksi Sajak 1942 – 1949. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hamzah, Amir. 1996. Sastra Melayu dan Raja-Rajanya. Jakarta: Dian Rakyat.

Jassin, H.B. 1956. Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung Agung.

Kratz, Ulrich E. (penyusun). Benedanto, Pax (ed.). 2000. Sumber terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Mohamad, Goenawan. 2016. “Chairil” dalam Tempo (Edisi Hari Kemerdekaan), 15 – 21 Agustus 2016.

Oemarjati, Boen S..1972. Chairil Anwar: The Poet and His Language. The Hague – Martinus Nijhoff. 

Ranciere, Jacques. Rockhil, Gabriel (trans.). 2011. The Politics of Aesthetics: The Distribution of the Sensible. London. New York: Continuum.

Ranciere, Jacques. Drury, John (trans.). 2012. Proletarian Nights: The Workers’ Dream in Nineteenth-Century France. London. New York: Verso.

Sutjianingsih, Sri, Dra. 2009. Chairil Anwar: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Tatengkeng, J.E. 1974. Rindu Dendam. Jakarta: Pustaka Jaya. 

Virilio, Paul. Polizzotti, Marc (trans). 2006. Speed and Politics. Los Angeles: Semiotext(e).

 

Catatan Kaki


[1] Terjemahan dari – the only possible non-stop flight; baris kedua terakhir puisi “Buat Gadis Rasyid” karya Chairil Anwar

[2] Secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai badai dan tekanan; suatu gerakan dalam musik dan sastra di Jerman pada tahun 1760-an – 1780-an yang dianggap sebagai gerakan proto-romantik. Dalam gerakan yang dinamai sama dengan judul drama Friedrich Maxmilian Klinger ini menekankan pengutamaan subjektifitas individual dan pengekspresian emosi ekstrem untuk menentang kekangan rasionalisme dan gerakan-gerakan estetik yang berhubungan dengan gagasan Pencerahan.

[3] Baca Sutan Takdir Alisjahbana, “Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru” dalam E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, hal. 50 – 61.

[4] Paul Virilio dalam Speed and Politics menyebut masa Revolusi Perancis tahun 1793 yang mengiringi tak lain adalah organisasi rasional untuk penculikan sosial. Gerakan sans culottes yang terdiri dari buruh miskin dan kaum Jacobin radikal yang melempangkan jalan untuk berkuasanya Robbespiere dan Pemerintahan Teror untuk taraf tertentu semirip Heiho, PETA, dan Romusha, sama-sama termakan propaganda pembebasan yang ironisnya juga menjauhkan dan menghalangi revolusi sesungguhnya dengan berbagai teror dan intimidasi. Baca Paul Virilio, Speed and Politics, terutama hal. 44 – 45. 

[5] Baca Kata Pembuka Nirwan Dewanto untuk Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: Koleksi Sajak 1942 – 1949, hal. xiv. 

[6] Kutipan tersebut lebih lengkapnya sebagai berikut “. . . that Chairil Anwar does not use final rhyme as a fixed and guiding principle”. Baca Boen S. Oemarjati dalam Chairil Anwar: The Poet dan His Language, hal. 4.

[7] Dari Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, hal. 71.

[8] Baca Amir Hamzah, “Pantun Melayu” dalam Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya, hal. 24. 

[9] Baca Kata Pembuka Nirwan Dewanto untuk Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: Koleksi Sajak 1942 – 1949, hal. xvii. 

[10] Sebagai perbandingan, barangkali Nirwan Dewanto perlu juga meninjau pantun versi Perancis, Pantoum, yang kerap dihubungkan dengan Victor Hugo sebagai pelopornya. Pantoum lebih mengacu pada bentuk pantun berkait yang mereduksi kualitas puitik pantun hanya pada skema rima dan pola irama serta pengulangan baris kedua dan keempat bait pertama pada baris pertama dan baris ketiga bait kedua tanpa memahami hubungan antara sampiran dan isi dalam pantun. Baca Francois Rene Daillie, “From the ‘Pantoum’ a la francaise to the Malay Pantun” dalam Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun, hal. 17 – 35. 

[11] Dari Francois Rene Daillie, Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun, hal. 97.

[12] Ibid., hal. 100.

[13] Dari Chairil Anwar, Kerikil Tajam dan Yang Terampas Dan Yang Putus, hal. 7.

[14] Chairil Anwar, “Hoppla!” dalam H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, hal. 119.

[15] Ibid., hal. 129.

[16] Dari J.E. Tatengkeng, Rindu Dendam, hal. 37.

[17] Dari Chairil Anwar, Kerikil Tajam dan Yang Terampas Dan Yang Putus, hal. 18.

[18] Dari Chairil Anwar, “Pidato Chairil Anwar 1943” dalam H.B. Jassin Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, hal. 114.

[19] Ibid. “Hoppla!”, hal. 119.

[20] Tahun 1986 Goenawan Mohamad menerbitan tulisan berjudul “Chairil” untuk Catatan Pinggir-nya di Majalah Tempo yang kemudian dimuat ulang pada tahun 2016 pada majalah yang sama. Dalam “Chairil”, Goenawan menulis dengan nada menghimbau: “Seandainya Chairil Anwar hidup hari ini, mungkin lebih baik ia tidak menulis sajak”. Tulisan Goenawan itu, tentu saja, tidak sungguh-sungguh menghimbau Chairil untuk tidak menulis sajak pada masa Orde Baru itu. Tulisan itu sebenarnya menyindir kondisi kebebasan berkesenian pada masa Orde Baru dibandingkan dengan tahun awal 40-an sampai awal kemerdekaan. Goenawan memindahkan sorga, dalam puisi Chairil untuk Basuki Resobowo, yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu/bertabur bidadari beribu, dari tahun awal 40-an ke tahun 80-an Orde Baru untuk menyingkapkan sifat politis puisi tersebut. Pemindahan konteks politik untuk menyingkapkan sifat politis semacam itu seperti menyatakan bahwa teks puisi Chairil Anwar tidak sejak mula bersifat politis.

[21] Bagi Jacques Ranciere, politik bukan hanya cara memperoleh dan menggunakan kekuasaan. Politik adalah suatu sistem distribusi sensible – pemilahan persepsi inderawiah antara yang dapat dibagi secara umum dan yang bersifat eksklusif di dalam masyarakat – yang merupakan basis cara karya seni dibuat dan yang mempengaruhi cara mempersepsi karya seni. Konsep distribusi sensible sebagai titik potong antara politik dan estetik menjadi semacam landasan pokok dalam kajian-kajian Ranciere. Silahkan periksa dalam buku-buku karangan Ranciere seperti The Distribution of the SensibleDissensus: on Politics and Aesthetics, Mute Speech, The Flesh of Words: The Politics of Writing, dan lain-lain.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »