Romantisisme Chairil Anwar: Tak Pelak, Harus Terus Terbang[1]
Dwi Pranoto
“mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat”
(Chairil Anwar, baris ketiga terakhir puisi “Buat Gadis Rasid”)
Tak serta merta gelombang
romantisisme yang meyapu Eropa pada akhir abad 18 menerjang pantai-pantai
kepulauan Indonesia. Mungkin baru pada tahun 30-an, riak gelombang pertama
romantisisme Eropa mencium pasir pantai Indonesia dan membangunkan Sutan Takdir
Alisjahbana. Namun, semangat sturm und drang[2] yang
menggelegakkan subjektivitas individual dalam mengungkapkan ekspresi puitik
masih terkekang oleh rasionalisme Pencerahan pada tahun-tahun itu. Gagasan
modernisme Takdir adalah campuran aneh antara semboyan Pencerahan yang terlalu
menyilaukan dan gelora romantisme yang aras-arasan. Hasilnya adalah
ungkapan perasaan individual yang nyaris selalu didaktik dan terperangkap
kaidah puitik tradisional, seperti pantun. Bayangan kolektivitas komunal yang diikat
oleh nomoi (kaidah sosial yang dipetrifikasi dalam bentuk
puitik tradisional) seperti selimut basah bagi ethos individual
yang digigilkan oleh mimpi kebebasan individual. Takdir memang menolak mewarisi
Borobudur, menolak ikatan-ikatan komunal lama, tapi penolakan tersebut didasari
oleh anggapan bahwa jiwa yang melahirkan Borobudur tidak bersangkut-paut dengan
semangat kebangsaan.[3] Ia tampaknya lebih
memilih ikatan sosial baru yang rasional: bangsa, buah dari revolusi sosial
radikal penggulingan kekuasaan monarki yang lambat-laun menunjukkan wajah
borjuasinya. Bangsa pada ruang kolonial masa itu kerap merupakan wilayah
perjuangan kaum bangsawan terpelajar. Tahun-tahun itu, tahun 30-an, tidak ada
setapak dan jalan raya Revolusi Prancis yang membawa kaki kaum tani dan para
jelata lainnya menderap pergi meninggalkan rumah-rumah mereka menyongsong
kebebasan di tanah-tanah terbuka yang berdebu dan berlumpur dalam
pertempuran-pertempuran yang jauh dari kampung halaman. Dampak samping besar
politik etis kolonial yang membuka akses pendidikan baca-tulis bagi sebagian
kaum jelata untuk memenuhi kebutuhan tenaga administratur pemerintahan dan perkebunan
masih menunggu di ruang-ruang gelap untuk meledak. Penerbitan dan sirkulasi
bacaan liar, semisal roman-roman perkebunan di Sumatera, seperti mimpi-mimpi
malam subversif kaum buruh di Prancis pada abad sembilan belas dalam Proletarian
Nights-nya Jacques Ranciere.
Tibanya fasisme
Jepang tahun 1942 yang diikuti mobilisasi massa besar-besaran melalui
pembentukan pasukan perang PETA, Heiho dan pasukan kerja paksa Romusha untuk
berperang dan membangun infrastrukstur perang – jalan raya, rel, kubu
pertahanan, dan jembatan – di medan-medan pertempuran Perang Dunia II di Asia
Tengggara mengingatkan pada istilah the removal of the masses (pemindahaan
massa)-nya Paul Virilio[4] dalam masa Revolusi
Prancis pada tahun 1793. Rasionalisasi penculikan massa untuk membentuk
organisasi baru dalam aliran sirkulasi sosial pada zaman Jepang itu tak beda
jauh dari Revolusi Perancis; atas nama membela dan memperjuangkan kemerdekaan
tanah air. Para milisi tentara dan pekerja paksa itu meninggalkan
kampung-kampung halaman mereka, berpergian ke wilayah-wilayah Indonesia dan
Asia Tenggara, memutus ikatan sosial kampung halaman dan menyerap
pengalaman-pengalaman inderawi baru. Inilah momen kelahiran puisi liris;
terbentuknya poros yang menghubungkan politik dan keterpersepsian inderawi.
Penyair liris seperti para milisi tentara dan pekerja paksa yang pergi
kelayapan, terbebas dari ikatan sosial kampung halaman, dan menemukan dunia
puitik baru. Penemuan dunia puitik baru ini tidak direpresentasikan sebagai subjek
puisi berupa pohonan, langit, pantai, lanskap yang dipahami begitu saja dalam
artian langsungnya, tetapi berada di luar batasan-batasan mimesis klasik yang
membentuk fiksionalitas tulisan dengan mengadopsi teknik retorika pidato lisan:
prinsip representasi dengan kaidah inventio, dispositio,
dan elocutio yang diikatkan pada decorum dan
terkoneksi pada kaidah lexis yang mengatur bentuk-bentuk
tuturan dan penuturnya.
Chairil Anwar
berdiri paling depan dalam tradisi petualangan romantik ini, meninggalkan
kegarda-depanan Pujangga Baru yang berdiri bimbang; satu kaki pada
kebangsawanan tradisional dan satu kaki pada aristokrasi modern (borjuasi).
Puisi-puisi Chairil lahir dari pengalaman baru seibarat pengalaman perjalanan
para milisi PETA dan Romusha, kemudian perjalanan para milisi BKR dan TKR pada
Perang Kemerdekaan dalam agresi Belanda pertama dan kedua, bukan lahir di atas
meja dalam lembaga-lembaga bentukan kolonial Belanda dan Jepang. Puisi-puisi
Chairil adalah suara jalanan yang dicurinya dalam perjalanan
dari rak-rak perpustakaan ke rak-rak perpustakaan dan dari toko buku ke toko
buku. Chairil Anwar seolah-olah adalah Veronique Graslin dalam Village
Rector-nya Balzac yang ketemu Paul and Virginia di etalase
toko buku pinggir jalan dan terpaut secara personal pada novel asmara berlatar
Revolusi Perancis tersebut sepanjang hayat setelah membacanya.
Tulisan ibarat memperpanjang ruas setapak dan jalan raya para petualang romantik yang “baru saja” dapat mencerna aksara-aksara sebagai bahasa menuju tempat-tempat dan waktu-waktu yang tidak dikenali. Perluasan akses pendidikan bagi penduduk Indonesia yang dimulai sejak kebijakan politik etis kolonial yang mengimplikasikan pertumbuhan bacaan-bacaan liar dan para pembaca liar sebagai petualangan mimpi-mimpi malam subversif kaum menengah dan jelata menemukan realitas kedagingannya dalam mobilisasi massa pada zaman Jepang dan Perang Kemerdekaan. Prinsip representasi mimesis dalam produksi dan evaluasi fiksi runtuh ke dalam mode bahasa yang menyanakan kesatuan kata-kata dan penuturnya, kesatuan suara dan asal suara. Relasi antara subjek penyair dan subjek puisi dalam lirisme romantik bukan lagi hubungan antara subjek penyair dan representasi karakter-karakter yang tindakan-tindakan dan laku tuturnya ditentukan oleh tata krama dan pembelahan sosial. Lirisme, oleh karenanya, tidak dapat semata-mata didefinisikan sebagai ekspresi psikologis karena dorongan baru untuk mengeksplorasi diri sendiri; seperti kritik ganzheit-nya Arief Budiman yang memanggil Chairil pada Sebuah Pertemuan untuk membicarakan obsesi kematiannya sendiri secara psikologi. Puisi lirik adalah cara spesifik untuk memaklumkan hapusnya jarak representasi mimesis antara subjek penyair dan subjek puisi, cara mengiringi apa yang dikatakan subjek puisi dengan meletakkannya dalam ruang persepsi dan membubuhkan irama perjalanan, pergerakan, dan petualangan. Irama perjalanan seperti kawan seiring yang membantu ego sajak bertaut dengan suatu dunia yang membentuk persepsi dan penangkapan tanpa penangguhan, dan penghadiran subjek penyair yang memandu memasuki dunia dapat menentukan relasinya dengan subjek puisi secara bebas tanpa mengindahkan kekangan kaidah kepatutan sosial.
Lirisme romantik pertama-tama adalah etos kejalangan individual, sikap tidak konform pada nomoi kolektivitas komunal yang diwujudkan secara sastrawi dengan menolak prinsip representasi mimesis dan mencampakan mode lexis. Di Indonesia, Chairil Anwar berdiri paling depan dalam mengafirmasi etos kejalangan romantik. Tetapi etos kejalangan yang membawa Chairil sebagai pembaharu dunia puisi Indonesia ini ditolak dengan sengit oleh Nirwan Dewanto. Bagi Nirwan, “… kejalangan hanya akan membawa Chairil dalam kelisanan . . .”[5]. Namun Nirwan tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kelisanan.
Menolak penilaian
bahwa Chairil merupakan penyair pembaharu yang menentang tradisi, Nirwan
menyatakan bahwa Chairil justru memperluas tradisi. Nirwan melandaskan
pernyataannya tersebut dengan mengambil contoh puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”
yang disebutnya lahir dari visi hormat terhadap syair, pantun, atau kuatrin
konvensional. “Senja di Pelabuhan Kecil” dianggap secara sekilas tampak seperti
bentuk kuatrin konvensional hanya karena puisi tersebut terdiri dari empat
baris tiap baitnya dan mempunyai rima akhir. Perluasan bentuk kuatrin oleh
Chairil terletak pada susunan kata tiap baris yang menurut Nirwan bisa jadi
merupakan kalimat atau frase yang tak lengkap. Sungguh, Nirwan seharusnya memahami
dulu apa itu konvensi kuatrin, sajak empat baris yang pengkategoriannya
ditentukan oleh kriteria skema rima dan pola irama tertentu: semisal elegiac stanza, ruba’i, ballad stanza. Elegiac
stanza, contohnya, mempunyai skema rima AABB atau ABAB dengan sepuluh
silabel (suku kata) (iambic pentameter) yang penekanannya jatuh pada
suku kata kedua. Jadi gak ada urusan dengan susunan kata-kata per barisnya
apakah kalimat atau frase tak lengkap, karena pilihan kata atau susunan kata
lebih tercakup pada prinsip licentia poetica berkait dengan
penyesuaian pada konvensi skema rima dan pola irama pada kuatrin. Lagi pula,
Boen Oemarjati, dalam Chairil Anwar: The Poet dan His Language (1972),
saat menginvestigasi apakah Chairil sadar atau tidak menggunakan skema rima
pada puisinya, Boen menemukan ketidak-konsistenan Chairil dalam menerapkan
skema rima akhir dalam puisi-puisinya sebagai “…a fixed and guiding
principle . . .”[6] Lebih jauh lagi, Bahasa
Indonesia yang kosa katanya secara kuantitatif didominasi oleh vokal “a” lebih
dari separuh dan sekitar 15%-nya adalah “i” atau “u”, menurut Boen, akan
menyulitkan untuk menentukan apakah kita punya kesadaran dalam menggunakan rima
atau hanya rima aksidental.
Argumen berikutnya
yang digunakan Nirwan untuk membuktikan bahwa Chairil punya kesetiaan besar
pada bentuk-bentuk puisi lama adalah Chairil memperluas pantun. Bagi Nirwan Dewanto,
dua bait pertama puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” adalah sampiran, dan bait
ketiga adalah isi. Barangkali Nirwan menganggap Chairil memperluas pantun
dengan mengubah atau memodifikasi bagian sampiran yang sebelumnya satu baris
(pada pantun dua baris atau kuplet) atau dua baris menjadi dua bait yang tiap
baitnya berjumlah empat baris dan mengubah bagian isi yang sebelumnya satu atau
dua baris menjadi satu bait berjumlah empat baris. Istilah “perluasan” untuk
perubahan kuantitatif pada sampiran dan isi seolah-olah menekankan bahwa
Chairil mengubah pantun namun tetap setia pada konsep khas atau utama dari
pantun, yakni konsep sampiran dan isi. Tetapi, problem pertama, Chairil tidak
secara konsisten menerapkan prosodi pantun pada “Senja di
Pelabuhan Kecil” temuannya dalam puisi-puisi lainnya. Tanpa penerapan prosodi
pantun temuannya secara konsisten sulit untuk menyatakan bahwa Chairil dengan
sadar melakukan perluasan pantun. Kedua, Nirwan dengan gampangan mereduksi
pantun hanya dengan adanya keberadaan sampiran dan isi. Padahal keberadaan
pantun tidak hanya ditentukan oleh jumlah baris, sampiran, dan isi. Aturan
prosodi pantun lebih rumit dari sekadar jumlah baris, mencakup pola variasi
jumlah kata tiap baris, pola variasi jumlah suku kata tiap baris, skema rima
(rima akhir dan rima dalam/asonansi), pola irama (aspek musikal menyangkut
panjang-pendek dan lemah-keras penekanan dalam pelafalan suku katanya), dan
hubungan antara sampiran dan isi. Sebagai contoh, hanya untuk menentukan jumlah
kata saja kita harus memperhatikan karakter bahasa Melayu atau bahasa Indonesia
berkait dengan gejala-gejala afiksasi, (re)duplikasi, dan preposisi dalam
hubungannya dengan kata bentukan. Tetapi kita tidak akan membahas pantun lebih
jauh di sini. Lebih baik kita coba memeriksa apakah “Senja di Pelabuhan Kecil”
masih dapat disebut memperluas pantun berdasarkan konsep sampiran dan isi
seperti dinyatakan Nirwan. Mari kita baca “Senja di Pelabuhan Kecil”:
Senja di Pelabuhan Kecil
buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap. [7]
Nirwan menyatakan dua bait
pertama yang berfungsi sampiran disebutnya sebagai lanskap murni. Dalam pantun,
sampiran bisa saja menggambarkan lanskap murni, mengungkapkan pencecepan
inderawi, atau menyebut angka-angka seperti pada pantun jenaka/anak-anak.
Maksudnya, apa yang disampaikan dalam sampiran bukanlah ciri khas yang
ditentukan pada bentuk pantun, karena itu, penggambaran lanskap murni dalam
sampiran tidak dapat dikatakan bersetia pada bentuk pantun atau dikatakan
melakukan perluasan bentuk pantun. Siapa narator atau penutur dalam sampiran
atau isi juga tidak diatur baku dalam pantun. Jadi, jika Nirwan mengatakan
sampiran pada “Senja di Pelabuhan Kecil” dituturkan oleh orang ketiga dan isi
dituturkan oleh orang pertama, dua hal tersebut tidak dapat dinyatakan patokan
apakah Chairil bersetia pada pantun atau memperluas pantun. Begitu juga nada
tutur dalam bagian isi, bukan suatu ketentuan baku pada pantun. Isi pantun bisa
bernada lembut dan keras; bisa merajuk, menghardik, merengek, menyesal,
menyindir, dan sebagainya.
Faktor penting dalam konsep sampiran dan isi pada pantun adalah hubungan keduanya. Pertama, hubungan antara sampiran dan isi pada pantun diatur, paling tidak, sebagai keberpautan skema rima akhir antara sampiran dan isi. Rima akhir stanza pantun biasanya AB-AB, rima akhir baris pertama sampiran diulang pada rima akhir baris pertama isi dan rima akhir baris kedua sampiran diulang pada rima akhir baris kedua isi. Pada “Senja di Pelabuhan Kecil” kita sama sekali tidak menemukan keberpautan skema rima antara sampiran yang terdiri dari dua bait – yang masing-masing baitnya berjumlah empat baris – dengan satu bait isi yang terdiri dari empat baris. Kedua, hubungan antara sampiran dan isi pada pantun adalah keberpautan sugestif, hubungan antara pembayang maksud dan maksud. Amir Hamzah menyebut sebagai tali-sakti yang mengikat dua baris sampiran dan dua baris isi, yang ikatannya “. . . hanya dapat dirasa-rasakan tiada mungkin diuraikan nyata”,[8] kata Amir Hamzah. Hubungan sugestif antara sampiran dan isi yang merupakan hubungan antara kiasan dan apa yang dikiaskan tersebut berlangsung dalam pararelitas simbolik yang dapat bersifat kontradiktif ironi atau pun penegasan. Kita tidak diberitahu oleh Nirwan Dewanto bagaimana hubungan antara sampiran dan isi dalam “Senja di Pelabuhan Kecil”. Nirwan hanya menyatakan bahwa kemunculan sekonyong-konyong subjek pertama tunggal (aku) pada bait ketiga (isi) bersifat menggarisbawahi “apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu”[9].
Jikapun menggarisbawahi sama
dengan penegasan maksud isi atas pembayang maksud sampiran, hubungan sampiran
dan isi yang menegaskan dalam “Senja di Pelabuhan Kecil” tidak berlangsung
dalam pararelitas yang memisahkan bagian sampiran dari isi atau isi dari
sampiran. Maksudnya, tidak ada retakan antara bagian sampiran dan isi yang
hanya mungkin diikat oleh tali-sakti-nya Amir Hamzah. Bagian
sampiran dan bagian isi pada “Senja di Pelabuhan Kecil” meleleh bersama dan
menutup retakan atau celah di antara keduanya untuk menjadi konsep bersinambung
tunggal. “Senja di Pelabuhan Kecil” sama sekali bukan cerminan perluasan bentuk
pantun, baik dalam hubungan antara sampiran dan isi maupun dalam organisasi
bunyi yang mencakup skema rima dan pola irama.[10]
Tidak ada satu pun
puisi Chairil Anwar yang dapat disebut pantun atau dapat disebut memperluas
bentuk pantun, jika pantun dikarakterisasi oleh hubungan antara sampiran dan
isi yang merupakan hubungan sugestif yang berlangsung secara pararel dan diatur
oleh organisasi bunyi berupa skema rima dan pola irama tertentu. Bahkan puisi
Chairil yang dikenali secara umum sebagai puisi pertamanya dan kerap dianggap
meneladani pantun, “Nisan”, hanyalah bentuk kuatrin yang mencerminkan bentuk
luar pantun berupa skema rima dan pola irama. Bagi Francois Rene Daillie,
bentuk kuatrin yang hanya diatur berdasarkan skema rima dan pola irama pantun
tapi tidak menunjukkan korespondensi antara pembayang dan maksud dalam hubungan
antara sampiran dan isi adalah bukan pantun. Berikut contoh pantun, kuatrin
dengan skema rima dan pola irama pantun, dan puisi “Nisan”:
Pantun
Apa digulai orang di ladang,
Pucuk kacang bersela-sela.
Apakah untung anak dagang,
Hari petang tangga berhela.[11]
Kuatrin dengan skema rima dan pola irama pantun
Jalan-jalan sepanjang jalan,
Singgah menyinggah di pagar orang.
Pura-pura mencari ayam,
Ekor mata di anak orang.[12]
Nisan
Untuk neneknda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta.[13]
Oktober 1942
Representasi dalam
bentuk-bentuk sastra lama (termasuk puisi) oleh karenanya membasis pada teknik
produksi mimesis yang dibingkai oleh decorum. Bentuk-bentuk sastra
lama, meskipun sudah dalam bentuk tertulis, masih dibayang-bayangi oleh
pengalaman kelisanan berbahasa pada interaksi komunikasi langsung dalam suatu
komunitas kolektif yang mensyaratkan kehadiran aktual tubuh komunikan dan
bunyi. Licentia poetica dalam sastra lama, bukan sertifikat
untuk bebas melanggar aturan berbahasa semaunya, namun kebebasan berbahasa
dalam rangka mengikuti kaidah prosodik bentuk sastra yang membasis pada prinsip
representasi mimesis.
Berbeda dengan
sastra lama yang representasinya membasis pada teknik produksi mimesis,
representasi pada puisi bebas membasis pada mode bahasa. Pelepasan diri puisi
bebas dari prinsip representasi mimesis, dengan begitu melepaskan diri dari
kepatutan sosial, dikarakterisasi oleh pengalaman membaca bahasa tulis secara
individual. Dalam konteks puisi bebas Chairil Anwar, temuan puitika lirisme romantiknya
berakar pada perluasan pendidikan membaca yang dimulai dari kebijakan politik
etis kolonialisme Belanda. Bagaimanapun, perluasan pendidikan masa kolonial
Belanda yang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja
administratif pada lembaga-lembaga birokrasi pemerintahan dan perkebunan tidak
mendidik dan melatih para siswa untuk memahami kaidah-kaidah bentuk sastra.
Namun demikian, pendidikan membaca yang ditujukan untuk dapat memahami dan
menerapkan bahasa instruksional administratif tersebut pada gilirannya
menciptakan massa melek aksara yang kemampuan membacanya tidak hanya digunakan
untuk membaca bacaan-bacaan keadministrasian, pun sekaligus digunakan untuk
membaca bacaan apa saja termasuk karya sastra. Massa yang melek aksara membaca
karya-karya sastra tanpa didasarkan pada kaidah-kaidah sastrawi yang membasis
pada prinsip representasi mimesis yang merupakan medium teknis bagi mode bahasa
untuk dapat terproyeksikan sebagai suatu cerminan realitas tertentu. Massa
melek aksara membaca karya sastra persis seperti membaca bacaan instruksional
administratif yang basis pokok representasinya adalah mode bahasa yang diacu
sebagai penyerupaan langsung atas realitas. Pemaknaan bahasa (tulis) yang
didasarkan pada hubungan tanda (simbol grafis bunyi) dengan penanda (gambar
mental) langsung terproyeksikan sebagai suatu realitas atau ekspresi aktual.
Tidak mengherankan, dalam menulis puisi-puisi bebas Chairil Anwar mengandalkan
tenaga kata untuk dapat dengan tepat merepresentasikan perasaannya. Chairil menyeru,
“Sesudah masa mendurhaka pada Kata kita lupa bahwa Kata adalah jang
mendjalar mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan,
Mimpi, Pengharapan, Tjinta dan Dendam manusia. Kata ialah Kebenaran!!!”[14].
Tulisan memberikan pengalaman
berbeda dari kelisanan. Kelisanan dialami dalam pertemuan langsung,
menghadirkan subjek fisik pembicara dan pendengar serta suara yang secara
simultan merupakan penghadiran suatu otoritas. Sedangkan tulisan adalah
pengembaraan bahasa bisu yang meninggalkan otoritas pembicaranya entah di mana
dan mengubah otonomi pemaknaan penulis yang dibentuk oleh latar belakang
kepribadian dan sosio-kulturalnya menjadi heterogenisasi pemaknaan atas
pembacaan secara individual bersama latar belakang sosio-kulturalnya sendiri.
Bentuk sastra sebagai proyeksi dari kaidah sosial tertentu kerap kehilangan
relevansinya dalam praktik pembacaan individual semacam itu dan menyisakan mode
bahasa sebagai satu-satunya instrumen pemaknaan yang memungkinkan. Pengembaraan
sastra sebagai bahasa bisu yang meninggalkan batas-batas sosio-kulturalnya
dalam bentuk simbol-simbol grafis bunyi hanya mungkin kembali melahirkan bentuk
artistik dari pengembaraan individual yang yang dipersepsi dan dialami untuk
membebaskan diri dari kekangan kaidah sosial. Pendudukan Jepang yang
memobilisasi massa untuk meninggalkan kampung halaman sebagai Heiho, PETA, dan
Romusha dengan janji kemerdekaan atau kebebasan menciptakan situasi
pengembaraan yang dapat dipersepsi dan dialami secara individual. Momen
mobilisasi massa pada pendudukan Jepang membuat pengembaraan sastra sebagai
bahasa bisu menemukan acuan kedagingan dan bunyinya kembali dalam persepsi dan
pengalaman individual sebagai bahasa yang hidup. Bentuk sastra yang sebelumnya
terikat pada kaidah sosial runtuh ke dalam “kaidah individual”. Oleh sebab itu
dalam menguraikan tentang bentuk dan isi, Chairil menekankan peran seniman
dengan perasaan individualnya yang dapat menentukan isi dan bentuk, “Tetapi
‘pembatasan’ jang sangat njata dan terang antara bentuk dan isi ini tidak pula
bisa dikemukakan, sebab dalam kesenian bentuk dan isi ini tidak hanja rapat
berdjalan sama, mereka gonta-ganti tutup-menutupi. Karena hanjalah
perasaan-perasaan si seniman jang benar-benar djadi bentuk dan tjaranya
menjatakan jang istimewa, tersendiri jang sanggup membikin si penglihat,
pembatja atau pendengar terharu – melambung atau terhenjak”[15].
Aspek kejalangan dan
pembaharuan Chairil tidak hanya karena ia menulis puisi-puisi bebas dalam
artian tidak terikat pada aturan skema rima dan pola irama tradisional yang
menekankan keseimbangan, simetri, dan keteraturan. Jika hanya menulis
puisi-puisi bebas, kita tahu beberapa penyair Pujangga Baru, seperti J.E.
Tatengkeng dan Roestam Effendi, juga menulis puisi-puisi bebas. Lebih dari itu,
puisi-puisi bebas Chairil Anwar tidak hanya mendeskripsikan perasaan
individual, tapi melesapkan perasaan individual ke dalam objek-objek yang
dipersepsi, menghapuskan dikotomi subjek-objek. Dalam konteks lexis,
penghapusan dikotomi objek-subjek adalah meleburnya subjek puisi sebagai modus
pemeranan karakter tertentu ke dalam subjek penyair. Dalam puisi-puisi Chairil
Anwar subjek penyair mengiringi subjek puisi dengan menavigasinya dalam
perjalanan mengarungi alam sebagai situasi yang dipersepsi dan dialami secara
inderawi. Mari kita bandingkan antara puisi bebas J.E. Tatengkeng yang
berbicara tentang taman buatan yang menyebalkan dan puisi bebas Chairil Anwar
yang berbicara tentang taman sebagai vinyet percintaan yang manis.
J.E. Tatengkeng
Berikan Daku Belukar
Terhanyut oleh aliran zaman,
Aku terdampar di dalam taman,
Kuheran amat,
Memandang tempat!
Di situ nyata kuasa otak,
Taman dibagi berpetak-petak,
Empat segi, tiga segi …..
Yang coreng-moreng tak ada
lagi.
Rumput digunting serata-rata,
Licin sebagai birun kaca,
Bunga ditanam beratur-atur,
Tegak sebagai bijian catur.
Jalan digaris selurus-lurus,
Bersih, sehari disapu terus!
Indahlah taman,
Di mata zaman ……
Dan kalau hari sudah petang,
Ribuan orang ke taman datang,
………………………………..
Beri daku Belukar saja,
Tempat aku memuji Rasa.[16]
Chairil Anwar
Taman
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain
dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh
warna
Padang rumputnya tak
berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita itu bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
Tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia[17]
J. E Tatengkeng dalam “Berikan
Daku Belukar” adalah subjek penyair yang menghilang di balik subjek puisi “aku”
yang keheranan memandang taman. Namun, ketika mendeskripsikan taman; Taman
dibagi berpetak-petak/Empat segi tiga segi…../. . ./ Bunga
ditanam beratur-atur; J. E Tatengkeng menggunakan mode plain
diegesis untuk mendemonstrasikan suatu deskripsi objektif dengan menggunakan
“kalimat pasif” yang mengindikasikan bahwa subjek puisi atau karakter “aku”
yang merupakan imitasi subjek penyair tidak terlibat dalam pengaturan taman.
Pada bait selanjutnya, kuplet dalam bait tersebut memunculkan subjek ketiga
“mata zaman” yang dapat diasumsikan adalah subjek yang berbicara dengan
mode plain diegesis tersebut. Dalam lexis mode
narrator/subjek-penyair yang berhubungan dengan genre komedi dan tragedi dalam
representasi mimetik, subjek penyair “orang baik” hanya dapat menjelma ke dalam
karakter jika karakter tersebut memerankan “orang baik”. Bila karakter,
kemudian, menjadi buruk, subjek penyair melakukan transposisi dari subjek
pertama ke subjek ketiga dan menggunakan mode plain diegesis yang
mengindikasikan ketakterlibatan dalam suatu keburukan. Dalam “Berikan Daku
Belukar”, karakter “aku/daku” adalah imitasi subjek penyair, “orang baik” yang
tertransposisi menjadi subjek ketiga (“mata zaman” dan juga “ribuan orang”)
saat jatuh pada keburukan. Pemilahan “orang baik” dan “orang buruk” merupakan
penerapan tata krama sosial, decorum, pada prinsip
representasi mimesis.
Pada masa Yunani kuno, “orang
baik” dan “orang buruk” merupakan struktur sosial yang ditentukan oleh
kelahiran dan keturunan dan menempati ruang dan waktu berbeda. “Orang baik”
adalah segelintir elite yang menempati pusat negara (kota) dan waktunya dapat
digunakan untuk urusan publik. Sedangkan “orang buruk” yang terdiri dari
masyarakat jelata, perempuan, budak, dan anak-anak, pun binatang dan
tumbuh-tumbuhan, yang menempati pinggiran atau luar kota dan hanya punya waktu
untuk dirinya sendiri, waktunya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan diri
sendiri. Prinsip representasi mimesis diterapkan untuk merefleksikan secara
statis struktur sosial, pemilahan hirarkis dua kualitas manusia, entah berlaku
dalam kehidupan sosial aktual atau dalam kehidupan sosial yang diidealkan.
Tidak terjalinnya kontak yang setara antar dua kelompok masyarakat tersebut dan
nyaris tak mungkin terjadinya mobilitas sosial direfleksikan dengan
konsep lexis pada kaidah mimetik sebagai pengaturan relasi
antara narrator/subjek penyair dan karakter/subjek puisi yang disokong dengan
pemilihan mode diegesis yang tepat. “Berikan Daku Belukar” Tatengkeng tentu
saja tidak merepresentasikan struktur sosial Yunani kuno. Namun pemilahan
subjek-subjek puisi dalam hubungannya dengan subjek penyair dan pilihan
kelayakan penerapan mode narasi diegesis yang menyesuaikannya, merefleksikan
suatu kondisi statis yang tidak hanya mengkarakterisasi hubungan sosial yang
hirarkis, pun hubungan antara subjek dan objek yang juga terpilah secara
hirarkis dalam penggambaraan taman dalam puisi. Kita tahu, “Berikan Daku Belukar”
J.E Tatengkeng adalah alusi anti-rasionalitas, elan yang lahir dari
romantisisme. Namun demikian, lirik romantik Tatengkeng tidak berangkat dari
hubungan subjek-objek yang lebur dalam suatu peristiwa yang memberikan
pengalaman inderawi – pelukisan gerak tubuh yang terlibat dalam suatu peristiwa
yang membuat semua indera tertala –, dan implikasinya, disajikan tanpa dapat
dirasakan secara somatis.
Pada sisi lain, objek dan
subjek dalam “Taman” Chairil Anwar berdiri tak saling berjarak. Taman dalam
“Taman” adalah taman yang diacu sebagai suatu peristiwa percintaan yang
dilibati subjek, yang dipersepsi dan dialami oleh subjek. Begitupun
dengan kau, hadir dalam hubungan yang rapat dengan aku sebagai
suatu peristiwa percintaan yang dilibati bersama. Tidak ada dikotomi
objek-subjek dalam “Taman”. Di dalam “Taman”; aku, kau,
dan taman lebur dalam peristiwa percintaan. Deskripsi taman
seperti tak lebar luas, kecil saja; kembangnya tak berpuluh
warna; tak berbanding permadani; merupakan pendeskripsian yang
berkelindan rapat dengan subjek “aku” dan “kau” dalam suatu peristiwa
percintaan.
Narasi “Taman” berlangsung
dalam mode mimetic diegesis, yang mana subjek penyair menjelma
subjek puisi, karakter “aku”, yang terlibat dalam peristiwa. Apa yang menarik
dan menentukan hubungan antara subjek penyair dan subjek puisi dalam puisi
tersebut adalah kehadiran “kau”, subjek kedua yang biasanya diacu sebagai
penerima pesan langsung dari pembicara dalam kalimat langsung pada dialog
dramatik. Namun, dalam dialog dramatik, pembicara yang ucapannya dialamatkan
kepada “kau” selalu saja memerankan subjek ketiga dalam narasi. Ucapan yang
dialamatkan kepada “kau” yang dikatakan oleh pembicara subjek pertama selalu
saja melibatkan “kau” yang ada di luar teks. Jika, frasa Bagi kau dan
aku cukuplah dalam puisi “Taman” diacu sebagai teks dialog dramatik,
yang mana “aku” dan “kau” merupakan imitasi, maka subjek penyair harus kita letakkan
di dalam teks sebagai subjek ketiga. Tetapi, subjek penyair selalu saja persona
aktual dan hanya mungkin diimpersonasi melalui teknik representasi mimesis
dengan menjelma subjek puisi. Tidak ada jalan lain, jika narator kita paksa
menjalani impersonisasi untuk menjelma subjek ketiga, maka subjek penyair harus
“dibunuh” agar “Taman” menjadi teks tulis sepenuhnya. Jika narator diacu
sebagai persona subjek penyair aktual, maka “Taman” adalah teks lisan
sepenuhnya. Ada dunia ganda dalam puisi “Taman”, dunia lisan sekaligus dunia
tulisan; subjek penyair dan representasinya – subjek puisi –, hadir secara
simultan sebagai suara tubuh dan bunyi bisu tulisan. Inilah fenomena puitik
“ajaib” dalam lirik romantik yang sudah dinyatakan sebelumnya; subjek penyair
mengiringi subjek puisi untuk menavigasi perjalanan menjelajahi dunia melalui
persepsi dan pengalaman inderawi, dan membebaskan hubungan antara subjek
penyair dan subjek puisi.
Pelanggaran batas pemilahan
subjek penyair dan subjek puisi bersifat endemik dalam puisi-puisi Chairal
Anwar. Simultanitas kehadiran teks sebagai tubuh dan tubuh sebagai teks dalam
puisi-puisi Chairil saling merefleksikan dengan pengembaraan teks menemui
tubuh-tubuh menengah dan jelata yang mulai melek huruf dan pengembaraan
tubuh-tubuh menengah dan jelata yang menggenapi teks propaganda “pembebasan”
oleh kolonial Jepang sebagai PETA, Heiho, dan Romusha. Keduanya mengindikasikan
kekacauan sosial, hilangnya tatakrama yang terinternalisasi secara sosial
sebagai tradisi yang berkait dengan kepatutan perilaku dan sikap dalam
interaksi sosial kolektif. Kekacauan sosial ini sekaligus juga diperparah oleh
pelarangan bahasa Belanda yang dituturkan hanya oleh kelompok elit dan mendudukkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi yang penuturnya mencakup berbagai golongan sosial. Mesin revolusi
mulai terdengar berderak-derak pada masa kolonial Jepang. Namun, tenaga
revolusi sesungguhnya yang telah meledak menjadi dengusan lokomotif yang sedang
bergerak lari adalah ekspresi puitik Chairil Anwar. Ketika sebagian besar
anggota kaum elit yang menjadi penjamboeng lidah rakjat menyerukan
kebebasan yang berpagar kilat-kilat bayonet senapan fasisme Jepang, Chairil dan
puisi-puisinya adalah lidah rakyat itu sendiri yang dengan mata berkilat
menantang bayonet-bayonet tentara Jepang. Dengarlah kalimat penghabisan pidato
Chairil Anwar 7 Juli 1943 di depan Angkatan Baru Pusat Kebudayaan bentukan
Jepang, catatan-catatan pribadi yang dibocorkan dari sejumlah buku hariannya
yang ditujukan kepada Ida: “Ketika Djaman Djepang kita memang musti
bertindak, sekurang-kurangnja berpikir serta merasa dengan bertentangan tadjam
melawan suasana di masa itu supaja djangan sampai hilang zelfrespect kita”[18]. Lebih dua tahun
kemudian, dalam “Hoppla!”, Chairil seperti mendeskripsikan suasana yang
ia sebut dalam pidato di atas: “Maka datanglah “Kulturkammer” Djepang
dengan nama “Pusat Kebudajaan” jang memberi kesempatan tumbuhnja “kesenian”
dengan garis-garis Asia Raja – djarak – kapas – memperlipat ganda hasil bumi –
romusha – menabung – pembikinan kapal dan lain-lain. Dan terdjelma pulalah
pasukan seniman muda jang dengan patuhnja tinggal dalam garis-garis tersebut,
tidak sedikitpun berdaja meninggalkannja!!!”.[19]
Propaganda “kebebasan” kolonial Jepang diterjemahkan dan dijelmakan sebagai pembebasan tubuh dan teks puisi oleh Chairil: tubuh yang dihidupi dengan ethos yang menentang nomoi produktivitas tubuh secara militeristis yang menjadi kaidah sosial umum masa itu dan teks puisi yang menghapuskan lexis sebagai perangkat teknis yang mengaitkan bentuk tuturan dan imaji penutur puitik sebagai tradisi representasi mimetiknya. Oleh karena itu, puisi-puisi Chairil menjadi politis bukan karena puisi-puisi tersebut dimaknai dengan cara memindahkannya pada konteks sosio-politik yang berbeda seperti yang dilakukan Goenawan Mohamad[20]. Puisi-puisi Chairil telah sejak mula berwatak politis karena memutus konektivitas suatu pengaturan hubungan antara cara membuat/melakukan (poiesis) dan cara mengada (aisthesis) yang merupakan kaidah mimesis. Putusnya konektivitas poiesis dan aisthesis membuat puisi-puisi Chairil kehilangan visi kodrat kemanusiaan yang dilandaskan pada distribusi sensible [21](persepsi inderawiah) yang memilah secara hirarkis antara mereka yang dianugerahi kehalusan persepsi inderawiah dan massa yang memiliki kekasaran persepsi inderawiah. Namun, putusnya konektivitas tersebut membawa serta janji bentuk kehidupan individual dan kehidupan sosial kolektif baru, yakni kebebasan. Janji atau cita-cita kebebasan yang tanah berpijaknya berada di seberang inilah yang mendorong Chairil Anwar terus terbang untuk menghambur dari hari ini ke masa depan, terbang dari distopia hari ini ke utopia masa depan. Namun ia tahu, merasakan, bahwa cita-cita adalah suatu penangguhan yang merentangkan ruang-waktu ketakpastian antara janji dan perwujudannya di mana distopia dan utopia berkait-kelindan sebagai diatopia. Dalam “Buat Gadis Rasid”, Chairil melukiskan situasi diatopia ini dalam alam Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan dan memutuskan untuk terus terbang meski mungkin bakal tidak mendapat. Kebebasan adalah telos; tujuan paripurna; tanah yang secara permanen berada di seberang; tenaga yang mendorong hari ini terus bergerak, mengembara, kelayapan terbang.***
Daftar Pustaka
Anwar, Chairil. 1989. Kerikil Tajam dan Yang Terampas Dan Yang
Putus. Jakarta: Dian Rakyat.
Budiman, Arief. 1976. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Daillie, Francois Rene. 2002. Alam Pantun Melayu: Studies on the
Malay Pantun. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Eneste, Pamusuk (ed.). 2011. Chairil Anwar: Aku Ini Binatang
Jalang, Koleksi Sajak 1942 – 1949. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hamzah, Amir. 1996. Sastra Melayu dan Raja-Rajanya. Jakarta:
Dian Rakyat.
Jassin, H.B. 1956. Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45. Jakarta:
Gunung Agung.
Kratz, Ulrich E. (penyusun). Benedanto, Pax (ed.). 2000. Sumber
terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Mohamad, Goenawan. 2016. “Chairil” dalam Tempo (Edisi Hari
Kemerdekaan), 15 – 21 Agustus 2016.
Oemarjati, Boen S..1972. Chairil Anwar: The Poet and His Language.
The Hague – Martinus Nijhoff.
Ranciere, Jacques. Rockhil, Gabriel (trans.). 2011. The Politics of
Aesthetics: The Distribution of the Sensible. London. New York: Continuum.
Ranciere, Jacques. Drury, John (trans.). 2012. Proletarian Nights:
The Workers’ Dream in Nineteenth-Century France. London. New York: Verso.
Sutjianingsih, Sri, Dra. 2009. Chairil Anwar: Hasil Karya dan
Pengabdiannya. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Tatengkeng, J.E. 1974. Rindu Dendam. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Virilio, Paul. Polizzotti, Marc (trans). 2006. Speed and Politics.
Los Angeles: Semiotext(e).
Catatan Kaki
[1] Terjemahan
dari – the only possible non-stop flight; baris kedua terakhir
puisi “Buat Gadis Rasyid” karya Chairil Anwar
[2] Secara
harfiah dapat diterjemahkan sebagai badai dan tekanan; suatu
gerakan dalam musik dan sastra di Jerman pada tahun 1760-an – 1780-an yang
dianggap sebagai gerakan proto-romantik. Dalam gerakan yang dinamai sama dengan
judul drama Friedrich Maxmilian Klinger ini menekankan pengutamaan
subjektifitas individual dan pengekspresian emosi ekstrem untuk menentang
kekangan rasionalisme dan gerakan-gerakan estetik yang berhubungan dengan
gagasan Pencerahan.
[3] Baca Sutan
Takdir Alisjahbana, “Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru” dalam E. Ulrich
Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, hal. 50 –
61.
[4] Paul Virilio
dalam Speed and Politics menyebut masa Revolusi Perancis tahun
1793 yang mengiringi tak lain adalah organisasi rasional untuk penculikan
sosial. Gerakan sans culottes yang terdiri dari buruh miskin
dan kaum Jacobin radikal yang melempangkan jalan untuk berkuasanya Robbespiere
dan Pemerintahan Teror untuk taraf tertentu semirip Heiho, PETA, dan Romusha,
sama-sama termakan propaganda pembebasan yang ironisnya juga menjauhkan dan
menghalangi revolusi sesungguhnya dengan berbagai teror dan intimidasi. Baca
Paul Virilio, Speed and Politics, terutama hal. 44 – 45.
[5] Baca Kata
Pembuka Nirwan Dewanto untuk Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang:
Koleksi Sajak 1942 – 1949, hal. xiv.
[6] Kutipan
tersebut lebih lengkapnya sebagai berikut “. . . that Chairil Anwar does not
use final rhyme as a fixed and guiding principle”. Baca Boen S. Oemarjati
dalam Chairil Anwar: The Poet dan His Language, hal. 4.
[7] Dari Chairil
Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, hal. 71.
[8] Baca Amir
Hamzah, “Pantun Melayu” dalam Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya,
hal. 24.
[9] Baca Kata
Pembuka Nirwan Dewanto untuk Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang:
Koleksi Sajak 1942 – 1949, hal. xvii.
[10] Sebagai
perbandingan, barangkali Nirwan Dewanto perlu juga meninjau pantun versi
Perancis, Pantoum, yang kerap dihubungkan dengan Victor Hugo
sebagai pelopornya. Pantoum lebih mengacu pada bentuk pantun
berkait yang mereduksi kualitas puitik pantun hanya pada skema rima dan pola
irama serta pengulangan baris kedua dan keempat bait pertama pada baris pertama
dan baris ketiga bait kedua tanpa memahami hubungan antara sampiran dan isi
dalam pantun. Baca Francois Rene Daillie, “From the ‘Pantoum’ a la francaise to
the Malay Pantun” dalam Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun,
hal. 17 – 35.
[11] Dari
Francois Rene Daillie, Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun,
hal. 97.
[12] Ibid.,
hal. 100.
[13] Dari Chairil
Anwar, Kerikil Tajam dan Yang Terampas Dan Yang Putus, hal. 7.
[14] Chairil
Anwar, “Hoppla!” dalam H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45,
hal. 119.
[15] Ibid.,
hal. 129.
[16] Dari J.E.
Tatengkeng, Rindu Dendam, hal. 37.
[17] Dari Chairil
Anwar, Kerikil Tajam dan Yang Terampas Dan Yang Putus, hal. 18.
[18] Dari Chairil
Anwar, “Pidato Chairil Anwar 1943” dalam H.B. Jassin Chairil Anwar
Pelopor Angkatan 45, hal. 114.
[19] Ibid.
“Hoppla!”, hal. 119.
[20] Tahun 1986
Goenawan Mohamad menerbitan tulisan berjudul “Chairil” untuk Catatan
Pinggir-nya di Majalah Tempo yang kemudian dimuat ulang pada
tahun 2016 pada majalah yang sama. Dalam “Chairil”, Goenawan menulis
dengan nada menghimbau: “Seandainya Chairil Anwar hidup hari ini,
mungkin lebih baik ia tidak menulis sajak”. Tulisan Goenawan itu,
tentu saja, tidak sungguh-sungguh menghimbau Chairil untuk tidak menulis sajak
pada masa Orde Baru itu. Tulisan itu sebenarnya menyindir kondisi kebebasan
berkesenian pada masa Orde Baru dibandingkan dengan tahun awal 40-an sampai awal
kemerdekaan. Goenawan memindahkan sorga, dalam puisi Chairil untuk Basuki
Resobowo, yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu/bertabur
bidadari beribu, dari tahun awal 40-an ke tahun 80-an Orde Baru untuk
menyingkapkan sifat politis puisi tersebut. Pemindahan konteks politik untuk
menyingkapkan sifat politis semacam itu seperti menyatakan bahwa teks puisi
Chairil Anwar tidak sejak mula bersifat politis.
[21] Bagi Jacques Ranciere, politik bukan hanya cara memperoleh dan menggunakan kekuasaan. Politik adalah suatu sistem distribusi sensible – pemilahan persepsi inderawiah antara yang dapat dibagi secara umum dan yang bersifat eksklusif di dalam masyarakat – yang merupakan basis cara karya seni dibuat dan yang mempengaruhi cara mempersepsi karya seni. Konsep distribusi sensible sebagai titik potong antara politik dan estetik menjadi semacam landasan pokok dalam kajian-kajian Ranciere. Silahkan periksa dalam buku-buku karangan Ranciere seperti The Distribution of the Sensible, Dissensus: on Politics and Aesthetics, Mute Speech, The Flesh of Words: The Politics of Writing, dan lain-lain.