Sudut-pandang Transendental Puisi Lirik A.
Mustofa Bisri
Abdul Wachid B.S.
Pengantar
Ciri-ciri umum puisi lirik, secara
spontan melahirkan dan mewujudkan perasaan batin seseorang. Sifat-sifatnya
ialah mengutamakan nada dan irama, abstraksi terhadap waktu dan tempat
tertentu, serta gaya yang langsung menyapa perasaan pembaca atau pendengar.
Berdasarkan hubungan antara aku dengan kenyataan dibedakan lirik yang langsung
(suara batin langsung diperdengarkan) dan lirik tidak langsung (aku
menyembunyikan diri di belakang lambang-lambang) (Hartoko dan Rahmanto,
1986:79). Hal pokok dari puisi lirik sebagaimana dikemukakan oleh Herman J.
Waluyo (2010:157) bahwa “Dalam puisi lirik, penyair mengungkapkan aku-lirik
atau gagasan pribadinya. Ia tidak bercerita.”
Penting untuk
disepakati terlebih dahulu bahwa lirik
dan liris memiliki perbedaan dalam
penggunaannya. Penggunaan “liris” dikaitkan dengan “Prosa liris atau lirikal,
prosa yang diperkaya dengan gaya lirik, seperti irama, simbolik bunyi,
metafora, dengan demikian menyampaikan perasaan batin pengarang. Contoh, Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG
(Hartoko dan Rahmanto, 1986:79).
Biasanya,
seorang penyair mempunyai judul sajak yang berhubungan dengan kata “lirik”,
tetapi A. Mustofa Bisri dari sembilan buku kumpulan sajaknya tidak ada satu pun
dengan judul “lirik”. Apakah dengan demikian sajak-sajak A. Mustofa Bisri tidak
berlandaskan pada tradisi lirik? Untuk mengidentifikasi tradisi lirik perpuisian A. Mustofa Bisri ini, penulis membaca
secara berulang seluruh sajak yang ada dalam sembilan buku puisi karya A.
Mustofa Bisri ini :
1. Ohoi (Cet. I stensilan, 1988; Cet. II-1990, P3M
Jakarta; Cet.III-1991, Pustaka Firdaus, Jakarta),
2. Tadarus (Cet.I-1993, Prima Pustaka, Yogyakarta; Cet.II-2003, Adi Cita,
Yogyakarta), 3. Pahlawan dan Tikus (Cet.I-1995, Pustaka
Firdaus, Jakarta; Cet.II-2005, Hikayat Publishing, Yogyakarta), 4. Rubayat Angin dan rumput (Cet.I & II-1995, kerjasama Majalah Humor
dan PT. Matra Multi Media, Jakarta), 5. Wekwekwek
: Sajak-sajak Bumilangit (Cet.I-1996, Risalah Gusti, Surabaya),
6. Gelap Berlapis-lapis (Cet.I-1998, Yayasan
Al-Ibriz Rembang kerjasama Fatma Press Jakarta), 7. Sajak-sajak
Cinta Gandrung (Cet.I-2000, Yayasan
Al-Ibriz, Rembang), 8. Negeri Daging (Cet.I-2002,
Bentang Budaya, 2002), dan 9. Aku Manusia (Cet.I-2006; Cet.II-2016).
Hasil pembacaan tersebut, aku-lirik
menjadi dasar dari sudut-pandang “sosok pribadi dalam sajak” perpuian karya A.
Mustofa Bisri (istilah yang digagas oleh Subagio Sastrowardoyo dalam bukunya
dengan judul Sosok Pribadi dalam Sajak, 1980). Bahkan, dalam sajak
“Identitas Atawa Aku Dalam Angka”, A. Mustofa Bisri dengan sengaja dan
“eksplisit” menguatkan sosok pribadi tersebut, dengan mengidentifikasi “aku-lirik”
sebagai “mustofa bin bisri mustofa”, yang tiada lain ialah diri penyair sendiri,
selengkapnya dikutip berikut ini.
IDENTITAS ATAWA AKU DALAM ANGKA
namaku mustofa bin bisri
mustofa
lahir sebelum masa anak
cukup 2
sebagai anak ke 2 dari 9
bersaudara
rumah kami nomor 3 jalan
mulia
termasuk 1 dari 17 erte di
desa
leteh namanya - 1 dari 34 desa
di kecamatan kota -
rembang namanya - 1 dari 5
kabupaten
di karesidenan pati -
1 dari 6 karesidenan di
propinsi jawa tengah -
1 dari 27 propinsi di
indonesia
1 dari 6 negara-negara
asean di asia - 1 dari 5 benua di dunia -
1 dari sekian “kacang hijau”
di semesta.
cukup jelaskah aku?
1987
(Ohoi, 1991:6)
Posisi sajak “Identitas
Atawa Aku Dalam Angka” ini menjadi penting untuk membaca dan menilai perpuisian
A. Mustofa Bisri dalam sajak-sajak yang ditulisnya kemudian. Mengapa hal itu
demikian?
Pertama, hal tersebut untuk membuktikan bahwa perpuisian
A. Mustofa Bisri berbasis pada puisi lirik, sebagaimana diungkapkan oleh Herman
J. Waluyo bahwa “Dalam puisi lirik, penyair mengungkapkan aku-lirik atau
gagasan pribadinya. Ia tidak bercerita.”
Kedua, sudut-pandang aku-lirik ini sekalipun menegaskan “namaku
mustofa bin bisri mustofa/...”, namun sajak yang ditulis oleh A. Mustofa Bisri bukanlah
“buku harian atau diary”, bahkan
ketika “identitas” aku-lirik di dalam sajak tersebut nyaris seperti “data kependudukan”
karena detailnya. Sajak A. Mustofa Bisri semacam “Identitas Atawa Aku Dalam Angka” justru menjadi
tipikalitas perpuisiannya sebagai karya seni sastra. Karenanya, bukan suatu
kebetulan sajak tersebut diposisikan sebagai sajak urutan pertama dalam antologi
pertama pula, yaitu Ohoi Kumpulan Puisi-puisi Balsem. Mengapa sajak
semacam “Identitas Atawa Aku Dalam Angka” ini tetap bisa dipandang sebagai
karya seni sastra?
Ketiga, sekalipun realitas sastra di dalam sajak A. Mustofa Bisri
sebagai teks ditampilkan sebagai
realitas yang bisa dicarikan rujukan atau konteksnya
di dalam realitas sosial sehari-hari, namun tidak berarti sajak A. Mustofa
Bisri kehilangan esensinya sebagai karya sastra, yang menurut Rene Wellek dan
Austin Warren mensyaratkan sifat estetik
dan imajinatif. Sudut-pandang
aku-lirik terhadap realitas itulah yang menjadikannya sebagai “realitas” baru, yang
justru melahirkan sifat-sifat keindahan sehingga bersifat imajinatif, memperkaya
imajinasi pembaca. Realitas hidup aku-lirik yang dihadirkan nyata itu, dari
baris ke-1 hingga baris ke-11 bukan saja disikapi secara semantik, melainkan disikapi secara reflektif oleh aku-lirik, “.../ 1 dari sekian “kacang hijau” di semesta./
cukup jelaskah aku?” Jawabnya pasti semakin “tidak jelas” secara mata wadag
sebab aku-lirik sebagai manusia melihat dirinya dari realitas keluarga,
membesar kepada realitas RT, desa, kecamatan, kabupaten, karesidenan, propinsi,
Asean, benua, bahkan kian membesar hingga melihat dirinya berada di dalam “.../
1 dari sekian “kacang hijau” di semesta/...” Tafsir secara eksistensial,
betapa kecilnya manusia dihadapkan pada semesta yang begitu luas tidak
terbatas. Padahal, semesta yang begitu luas tidak terbatas ini pun merupakan
ciptaan Tuhan Yang Maha Besar (al-Kabiir), Yang Maha Pencipta (al-Khaaliq),
Rabbul ‘alamiin (Tuhan semesta alam), yaitu Allah SWT. Dengan
sudut-pandang transendental, maka eksistensi aku-manusia menjadi jelas bahwa
dirinya ialah ciptaan Tuhan. Di sinilah letak estetik dan imajinatifnya aku-lirik
dalam membaca realitas bahwa tiada suatu realitas pun jika ia tidak Ilahiah. Dengan
demikian, realitas alamnya sama, tetapi karena sudut-pandang aku-lirik
berperspektif transendental, maka melahirkan pengalaman yang batiniah, yang
imajinatif, yang indah, dan karenanya menjadi “pengalaman puitik”, pengalaman
religius. Melalui pengalaman religius ini, maka realitas, baik realitas alam
maupun realitas budaya, dipersepsi menjadi lambang-lambang (ayat kauniyah)
bagi “keberadaan” Sang Maha Pencipta (al-Khaaliq), yang bisa dikenali Sifat-sifat-Nya
melalui dunia ciptaan-Nya.
Dengan begitu, sudut-pandang
aku-lirik dalam perpuisian A. Mustofa Bisri keluar dari tradisi lirik perpuisian
Indonesia pada umumnya yang karena sifat kelirisannya menjadi “mengutamakan nada
dan irama, abstraksi terhadap waktu dan tempat tertentu”. Dengan sudut-pandang
transendental itu, realitas tidak perlu diindah-indahkan, baik di dalam maupun
di luar realitas puisi, karenanya hal itu berpengaruh pada penyikapan terhadap
bahasa sajak. Bagi A. Mustofa Bisri, bahasa sajak disikapi sebagaimana “Aku Tak
Akan Memperindah Kata-kata”. Bahkan, sudut-pandang aku-lirik yang transendental
itu pun tidak saja ditampilkan
melalui bahasa sajak yang simbolik, melainkan dinyatakan secara langsung, dikutip selengkapnya berikut ini.
AKU TAK
AKAN MEMPERINDAH KATA-KATA
Aku tak
akan memperindah kata-kata
Karena aku
hanya ingin menyatakan
Cinta dan
kebenaran
Adakah
yang lebih indah dari
Cinta dan
kebenaran
Maka
memerlukan kata-kata indah?
1997
(Gandrung, 2000:21)
“Cinta dan kebenaran”, memang, tidak memerlukan “kata-kata indah” sebab cinta dan kebenaran itu sendiri adalah keindahan. Cinta yang dimaksudkan ialah mahabbah, cinta mutlak kepada Allah SWT: “Ya Allah, ya Tuhanku yang Maha Pengasih/ Ya Allah ya Tuhanku yang Maha Penyayang/ Kiranya tak ada permintaan yang lebih besar/ dariku---/ dan tak ada anugerah sebesar apa pun dariMu/ dapat mengurangi kebesaranMu---/ : ya Tuhan, aku memohon cinta dan kasih sayang!//” (Sajak “Doa Pecinta 2”, Gandrung, 2000:68). Menurut Ibnu ‘Arabi (via Affifi, 1989:238), basis timbulnya cinta itu disebabkan oleh keindahan. Di samping itu, “Islam sendiri benar-benar menganggap aspek Ketuhanan sebagai keindahan, dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti (haqaa’iq) ajaran Islam” (Nasr via Hadi W.M., 2001:10).
Aspek Pandangan Hidup daripada “Sekadar” Bahasa Puisi
Tentang cinta kepada Allah, al-Ghazali (via Hadi W.M., 2001:52) merumuskan lima sebab yang menimbulkannya, di antaranya ialah “... mencintai kepada setiap keindahan sebab
keindahan itu sendiri, bukan sebab keuntungan lain, di balik itu ada keindahan
Allah.” Pandangan
al-Ghazali bertemu dengan pandangan Ibnu ‘Arabi bahwa semua cinta itu
disebabkan oleh keindahan. Pada konteks keindahan, semua pengalaman
spiritualitas digerakkan dan diekspresikan, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW, “Sesungguhnya Allah itu Yang Maha Indah dan mencintai
keindahan (InnaLlaha jamil wa yuhibbul jamal),” (H.R., Muslim, Shahih 2 Muslim, jilid I, hal.52). Oleh karena itu, para sufi-penyair yang bergerak menuju kepada Yang Mahaindah (al-Jamal),
baik dalam perjalanan spiritualitas dari maqam ke maqam maupun
mengungkap pengalaman religiositasnya melalui keadaan mental (hal),
mereka masuk ke pengalaman keindahan Yang Mahaindah sekaligus tergerak mengungkapkan
pengalamannya melalui ungkapan bahasa yang mampu mewadahinya. Meminjam pengertian Ludwig Wittgenstein bahwa:
“... Pengalaman religius demikian dalam kenyataannya tak pernah bisa ditunjuk secara langsung sebab bukan
pengalaman inderawi. Sementara itu, bahasa mempunyai keterbatasan hanya dapat
mengungkap apa yang menjadi realitas inderawi. Karenanya, ada realitas yang
dapat disentuh dengan bahasa, dan ada yang tidak (the unutterable). Meskipun
begitu, ada yang disebut bahasa religius, yang punya logika tersendiri, seperti
pernah diungkapkan Peter L. Berger. Bahasa religius bersifat analogi, sebagian
sama dan sebagian berbeda dengan bahasa dan situasi manusia sehari-hari.
Di samping itu, pengalaman religius menurut Ludwig Wittgenstein bersifat konatif, yakni pengalaman yang dialami secara langsung antara subjek dan objek, berlangsung dalam taraf tak sadar, dan karenanya berlangsung tanpa bahasa. Tetapi, saat subjek membahasakan pengalaman religiusnya, maka aspek konatif itu masuk ke aspek reflektif, yakni pengalaman religius yang telah terabstraksikan ke pola inderawi. Perpindahan ini dalam bahasa religius berlangsung dengan jalan analogi.” (via Rachman, Ulumul Qur’an, No.6, Juli-September 1990:88-89).
Pengalaman
religius yang dibahasakan dengan jalan analogi itulah bahasa puisi, terutama sekali puisi lirik. Hal itulah sebabnya
penyair Pujangga Baru, Sanusi Pane dan Amir Hamzah mengumandangkan puisi
sebagai “Gerakan sukma yang mengalir ke
indah kata,” menjadi dasar penciptaan dari puisi lirik. Oleh sebab
itu, sepanjang sejarah mistisisme, banyak sufi-penyair, penyair dan filosof profetik, menuliskan pengalaman mistiknya melalui puisi.
Penyair sekaligus pelaku
pengalaman religius itu dalam puisinya tidak merasa perlu memperindah kata-kata
sebab “//Adakah yang lebih indah dari/ Cinta dan kebenaran/ Maka memerlukan kata-kata indah?”
Demikian pula A. Mustofa Bisri dalam perpuisiannya. Intensitas puisi yang ditulisnya didasarkan kepada intensitas pengalaman religius dalam menjalani realitas hidup, karenanya puisinya didominasi oleh pengucapan puisi lirik, dan karenanya pula melampaui batasan pemakaian bahasa yang diindah-indahkan. Hal itu sebab kualitas puisi lebih dibaca pada aspek peristiwa, aspek pengalaman religius, aspek pandangan hidup (weltanschauung), daripada “sekadar” bahasa puisi yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa lain karenanya puisi menjadi kehilangan “puisi”-nya.
Kesadaran Transendental yang Profetik dan yang Mistik
Dalam pandangan profetik, puisi lebih dipersepsi dan
diposisikan sebagai buah dari hikmah membaca realitas, “iqra’ bismirabbikal ladzi khalaq,” bacalah dengan Nama Tuhanmu yang
menciptakan (Q.S. al-‘Alaq, [96]:1). Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa:
Sejumlah
puisi mengandung hikmah; Hikmah adalah onta orang beriman yang hilang, apabila
ia menemukan kembali, ia memiliki kebenaran terbaiknya (al-Hujwiri melalui Hadi W.M., 1985:31).
Dalam pandangan puisi lirik yang profetik, realitas dan bahasa tidak perlu diindah-indahkan sebab keindahan itu bukan cuma keindahan lahir, melainkan juga keindahan batin. Dalam tradisi puisi lirik profetik karya dunia, “tidak memperindah kata-kata” tersebut menjadikan “kesahajaan bahasa sajak”, yang hal itu justru menjadi sebuah pilihan. Mengapa “kesahajaan bahasa sajak” itu dipertahankan? Hal ini sebagaimana pernah diungkapkan dengan indah oleh Annemarie Schimmel dalam bukunya Menyingkap Yang-Tersembunyi (Terj. Saini K.M., Cet. I, 2005:40) :
“Sesungguhnya, ketunggalan-nada yang lugas dan lurus dalam pesan profetis memang diperlukan agar isi wahyu yang diterima Nabi dapat dipertahankan kemurniannya, sehingga tidak ada perubahan padanya. Sebagai akibatnya, seorang penyair Muslim yang menulis sajak dalam tradisi “profetis” cenderung menggunakan bentuk yang sederhana untuk menekankan pesannya ke dalam pembacanya.”
Dengan
demikian, penyair dalam tradisi “profetis” menulis puisinya dengan
kesadaran penuh bahwa dia
mengurai pengalaman religiusnya yang
eksoterik. Oleh sebab itu, formula sajak dan pengalaman religius yang dikabarkannya pun bukanlah “Menyingkap
Yang-Tersembunyi”, melainkan dunia dan “Puisi-puisi Terang” seperti diistilahkan
sendiri oleh A. Mustofa Bisri dalam salah satu subbagian buku puisinya Pahlawan
dan Tikus (Cet.II-2005:45).
Akan tetapi, baik penyair
profetik maupun penyair mistik pun memiliki kesadaran transendental bahwa mereka
berhadapan dengan mukjizat yang berupa bahasa al-Qur’an yang tidak mungkin
ditandingi. Oleh sebab itu, para penyair profetik dan penyair mistik secara
terus-menerus merenungkan al-Qur’an, dengan begitu :
“suatu ingatan yang ter-Qur’an-kan (qoranisation de la memoire) dapat dicapai, yang dengan itu para mistikus kemudian memandang segala sesuatu dari sudut-pandang wahyu. Mereka pun setiap saat mengambil inspirasi al-Qur’an, dan menerapkan lambang-lambangnya ke pengalaman mereka sendiri” (Schimmel, 2005:42-43).
“Hidup di dalam dan melalui al-Qur’an seperti
itu membantu pembentukan pengalaman para mistikus dan bahasa mereka” (Schimmel, 2005:43). Pengalaman tentang cinta yang merentang antara Tuhan dan manusia
ditemukan ungkapannya dalam surah al-Maa’idah (5) ayat 54, “Dia mencintai
mereka dan mereka mencintai-Nya”. Dalam konteks ini, bagaimana dengan
perpuisian lirik A. Mustofa
Bisri?
Tatkala memasuki dunia keprofetikan, tentu saja perpuisian A. Mustofa Bisri akan berbeda nuansa, ekspresi kebahasaan, simbolitas, bahkan persepsi dan pemosisian aku-lirik dalam sajak, dibandingkan dengan sajak sufistis (dan sufismenya). Yang paling mudah membedakan antara keduanya ialah tatkala mempersepsi dan memposisikan “aku” di dalam sajak.
Dalam konteks keprofetikan, Tuhan dipersepsi dan diposisikan sebagai Yang Maha Transenden (“Jauh di Atas Sana”). Sementara itu, manusia berada di bawah langit, bersimpuh di hamparan bumi dalam kedinginan hidupnya yang membutuhkan uluran kehangatan pelukan Tuhan. Namun, ada tabir di antara keduanya sebab manusia hanyalah makhluk, sedangkan Tuhan adalah Sang Maha Pencipta (Al-Khaliq) atas semua makhluk. Bagaimana mungkin keduanya bisa saling berdekatan? Cukuplah kiranya manusia dalam persepsi dan posisi ini memuja-Nya sebagai Yang Maha Tinggi (Al-Aliyy), Yang Maha Kuasa (Al-Qadir), Yang Maha Penyiksa manusia yang lalai (Al-Muntaqim), Yang Maha Mematikan (Al-Mumit), dan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya yang maskulin semacam itu. Sudut-pandang keprofetikan ini memang dominan dalam perpuisian A. Mustofa Bisri, terutama sekali dalam buku puisi ke-1 Ohoi (1991), ke-2 Tadarus (1993), ke-3 Pahlawan dan Tikus (Cet.I-1995), ke-4 Rubayat Angin dan rumput (1995), ke-5 Wekwekwek : Sajak-sajak Bumilangit (1996), ke-6 Gelap Berlapis-lapis (1998), kemudian dalam buku puisi ke-8 Negeri Daging (2002), dan ke-9 Aku Manusia (2016). Sementara itu, buku puisi yang terbit pada urutan ke-7 Sajak-sajak Cinta Gandrung (2000), diwarnai oleh sudut-pandang mistisisme Islam.
Tipikal mencitrakan keprofetikan A. Mustofa Bisri itu di antaranya dalam sajak “Ketika Tuhan” dari buku puisi Pahlawan dan Tikus. Sajak berikut ini mengkontekstualisasikan teks al-Qur’an sebagai salah satu ciri dari tradisi perpuisian profetik, ketika Tuhan dan para malaikat-Nya berdialog tentang maksud penciptaan manusia (al-Baqarah, 2:30):
“Perhatikanlah sewaktu Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat,
‘Aku akan
menciptakan khalifah di bumi.’
Mereka
bertanya keheranan, ‘Mengapa
Engkau
akan menciptakan makhluk yang
akan
selalu menimbulkan kerusakan
dan
pertumpahan darah di bumi,
sementara
kami senantiasa bertasbih memuji
dan
mensucikan Engkau? ‘
Allah
berfirman, ‘Aku Mahatahu akan hal-hal yang tidak kamu ketahui.”
KETIKA
TUHAN
Ketika
Tuhan menyampaikan
MaksudNya
menciptakan manusia
Sebagai
khalifahNya di dunia
Para
malaikat pun berkata
Tuhan,
mengapa Paduka
Hendak
mencipta
Makhluk
perusak di sana
Penumpah
darah semena-mena
Sedangkan
kita
Terus
bertasbih dan memuja
Paduka?
Tuhan pun
bersabda
Aku tahu
apa
Yang
kalian buta
Terhadapnya
Ketika
sang khalifah benar-benar semena-mena
Merusak
dan menumpahkan darah di mana-mana
Di dunia
Apakah kita
akan membenarkan para malaikat dan berkata
KepadaNya
seperti mereka lalu siapakah kita
Yang tahu
kehendak Sang Pencipta?
1414
(Pahlawan dan Tikus, Cet.II-2005:33).
Namun demikian, pada tingkat keruhanian tertentu seorang penyair profetik sekaligus memasuki kehidupan mistik, seperti A. Mustofa Bisri, akan tidak “sekadar” mengungkapkan bahasa profetis yang bersetia secara normatif kepada kebakuan simbol yang diadopsi dari al-Qur’an. Hal itu sebab pada dasarnya penyair profetik yang sekaligus mistikus adalah seorang “petualang mandiri”, yang tujuan akhirnya adalah keakraban dengan Tuhan (uns). Dalam keakraban cinta di tengah malam tahajud, seorang mistikus menjelma menjadi seorang kekasih, yang memuja Maha Kekasihnya. Oleh sebab itu, dia tidak lagi memanggil-Nya dengan “Wahai Tuhanku .....” sebagaimana hal itu diungkapkan dalam bahasa doa oleh seorang ulama fikih di tengah umat di siang hari. Akan tetapi, dia menjelma seorang pencinta, dengan bisikan-bisikan dalam kemesraan yang dalam, “Wahai Kekasihku, wahai Cintaku.....” Demikian halnya A. Mustofa Bisri, terutama sekali dalam buku puisi Gandrung (2000), dia menjelma menjadi seorang mistikus cinta yang sejati, seperti di dalam “Sajak Cinta” berikut ini.
SAJAK CINTA
cintaku
kepadamu belum pernah ada contohnya
cinta
romeo kepada juliet si majnun qais kepada laila
belum
apa-apa
temu pisah
kita lebih bermakna
dibanding
temu-pisah Yusuf dan Zulaikha
rindu-dendam
kita melebihi rindu-dendam Adam
dan Hawa
aku adalah
ombak samuderamu
yang
lari-datang bagimu
hujan yang
berkilat dan berguruh mendungmu
aku adalah
wangi bungamu
luka
berdarah-darah durimu
semilir
sampai badai anginmu
aku adalah
kicau burungmu
kabut
puncak gunungmu
tuah tenungmu
aku adalah
titik-titik hurufmu
huruf-huruf
katamu
kata-kata
maknamu
aku adalah
sinar silau panasmu
dan
bayang-bayang hangat mentarimu
bumi
pasrah langitmu
aku adalah
jasad ruhmu
fayakun
kunmu
aku adalah
a-k-u
k-a-u
mu
Rembang,
30.9.1995
(Gandrung, 2000:12-13)
Penutup
Setiap pendakian jalan ruhani (thariqah) yang dilalui oleh seorang mistikus penyair pada hakikatnya menuju kepada puncak yang sama, yaitu Allah.
Namun demikian, setiap pengalaman religius-mistik itu
bentuk-bentuknya tidaklah sama sehingga prioritas jalan ruhani yang ditempuh pun menjadi berbeda-beda. Oleh karenanya, tingkatan-tingkatan ruhani (maqamat) yang ditempuh juga memiliki
penekanan yang berbeda-beda sehingga
menghasilkan pengungkapan mistik yang estetik berbeda-beda
pula. Oleh sebab itu, selalu saja ada yang
baru dan segar dari setiap pengungkapan pengalaman religius-mistik di dalam puisi setiap mistikus penyair ataupun profetik.
Pengalaman religius-mistik yang mandiri tersebut menghasilkan bahasa sajak yang mandiri pula, hal ini dapat dimaknakan sebagai “kemerdekaan” berekspresi melalui bahasa “sajak-bebas” agar kebebasan penyair (licensia poetica) untuk menyimpang dari konvensi kebahasaan dapat dilakukannya. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh A. Mustofa Bisri tersebut menjadi karakter pandangan hidup aku-lirik di dalam seluruh puisi lirik karyanya.***
Daftar Pustaka
Affifi, Abu
al-Ala. 1964. The Mystical Philosopy 0f
Muhyi al-Din al-‘Arabi. Cambridge: Cambridge University Press.
Al-Ataftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1997. Sufi dari Zaman ke
Zaman. Terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. 1983/1984. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI.
Aveling, Harry.
2003. Rahasia Membutuhkan Kata (Secrets
Need Words). Magelang: Indonesiatera.
Bachri, Sutardji Calzoum.1981. O, Amuk, Kapak.
Jakarta: Sinar Harapan.
Bisri, A. Mustofa. 1991. Ohoi (Kumpulan Puisi Balsem). Jakarta:
Pustaka Firdaus.
________. 1993. Tadarus (Antologi Puisi). Cet.II, 2003.
Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
________. 1995. Pahlawan dan Tikus (Kumpulan Puisi).
Cet.II, 2005. Yogyakarta: Hikayat.
________. 1995. Rubayat Angin dan Rumput (Kumpulan
Puisi). Jakarta: Majalah Humor bekerjasama dengan PT Matra Multi Media.
________. 1996. Wekwekwek (Sajak-sajak Bumilangit).
Surabaya: Risalah Gusti.
________. 1998. Gelap Berlapis-lapis. Jakarta: Fatma Press.
________. 2000. Sajak-sajak
Cinta, Gandrung. Rembang: Yayasan
al-Ibriz.
________. 2002. Negeri Daging. Yogyakarta: Bentang
Budaya.
________. 2006. Aku Manusia. Rembang: CV MataAir
Indonesia.
________. 2008. Album Sajak-Sajak A. Mustofa
Bisri. Ed. Ken Sawitri. Surabaya: MataAir.
________. 2009.
“Meneguhkan Islam Budaya Menuju Harmoni Kemanusiaan”, Pidato Penganugerahan Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam
Bidang Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga.
_________. 2016. Saleh Ritual Saleh
Sosial. Yogyakarta: Diva Press.
Damono, Sapardi
Djoko. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Dewan Kesenian Jakarta. 1984. Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta:
Sinar Harapan.
Hadi W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
________ . (Ed.). 1985-b. Rumi Sufi dan Penyair. Bandung: Penerbit
Pustaka.
________. 2001. Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik
terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Penerbit Paramadina.
________. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas,
Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.
Hamzah, Amir. 1985-a. Nyanyi Sunyi. Cet.X. Jakarta: Dian Rakyat.
_______. 1985-b. Buah Rindu. Cet. VII. Jakarta:
Dian Rakyat.
Hartoko, Dick dan Rahmanto, B.
1986. Pemandu di Dunia Sastra.
Yogyakarta: Kanisius.
Hoerip,
Satyagraha (Ed.). 1982. Sejumlah Masalah
Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.
Ismail, Taufiq.
1993. Tirani dan Benteng. Jakarta:
Yayasan Ananda.
Izutsu, Toshihiko. 2016. Sufisme:
Samudra Makrifat Makrifat Ibn ‘Arabi. Jakarta: Mizan.
Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik
dan Esai (1). Jakarta: PT. Gramedia.
_______. (Peny. Oyon Sofyan).
2013. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
Yogyakarta: Narasi.
_______. 2013. Pujangga Baru. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., 1988.
Mohamad.
Goenawan. 1971. Pariksit. Jakarta:
Litera.
Rachman, Budhy Munawar. “Pengalaman Religius dan Logika Bahasa”. Jakarta: Ulumul Qur’an, No. 6, Juli-September
1990.
Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Cet. II.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Schimmel,
Annemarie. 2005. Menyingkap Yang-Tersembunyi. Terj. Saini K.M. Cet. I. Bandung: Mizan.
Wachid B.S., Abdul. 2005. Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A.
Mustofa Bisri. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.
________. 2008. Gandrung Cinta Tafsir terhadap Puisi Sufi A.
Mustofa Bisri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga:
Widya Sari Press.