Sudut-pandang Transendental Puisi Lirik A. Mustofa Bisri - Abdul Wachid B.S.

@kontributor 8/20/2023

Sudut-pandang Transendental Puisi Lirik A. Mustofa Bisri

Abdul Wachid B.S. 



Pengantar

Ciri-ciri umum puisi lirik, secara spontan melahirkan dan mewujudkan perasaan batin seseorang. Sifat-sifatnya ialah mengutamakan nada dan irama, abstraksi terhadap waktu dan tempat tertentu, serta gaya yang langsung menyapa perasaan pembaca atau pendengar. Berdasarkan hubungan antara aku dengan kenyataan dibedakan lirik yang langsung (suara batin langsung diperdengarkan) dan lirik tidak langsung (aku menyembunyikan diri di belakang lambang-lambang) (Hartoko dan Rahmanto, 1986:79). Hal pokok dari puisi lirik sebagaimana dikemukakan oleh Herman J. Waluyo (2010:157) bahwa “Dalam puisi lirik, penyair mengungkapkan aku-lirik atau gagasan pribadinya. Ia tidak bercerita.”

Penting untuk disepakati terlebih dahulu bahwa lirik dan liris memiliki perbedaan dalam penggunaannya. Penggunaan “liris” dikaitkan dengan “Prosa liris atau lirikal, prosa yang diperkaya dengan gaya lirik, seperti irama, simbolik bunyi, metafora, dengan demikian menyampaikan perasaan batin pengarang. Contoh, Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG (Hartoko dan Rahmanto, 1986:79).

 Puisi A. Mustofa Bisri Tidak Berlandaskan Tradisi Lirik?

Biasanya, seorang penyair mempunyai judul sajak yang berhubungan dengan kata “lirik”, tetapi A. Mustofa Bisri dari sembilan buku kumpulan sajaknya tidak ada satu pun dengan judul “lirik”. Apakah dengan demikian sajak-sajak A. Mustofa Bisri tidak berlandaskan pada tradisi lirik? Untuk mengidentifikasi tradisi lirik perpuisian A. Mustofa Bisri ini, penulis membaca secara berulang seluruh sajak yang ada dalam sembilan buku puisi karya A. Mustofa Bisri ini : 1. Ohoi (Cet. I stensilan, 1988; Cet. II-1990, P3M Jakarta; Cet.III-1991, Pustaka Firdaus, Jakarta), 2. Tadarus (Cet.I-1993, Prima Pustaka, Yogyakarta; Cet.II-2003, Adi Cita, Yogyakarta), 3. Pahlawan dan Tikus (Cet.I-1995, Pustaka Firdaus, Jakarta; Cet.II-2005, Hikayat Publishing, Yogyakarta), 4. Rubayat Angin dan rumput (Cet.I & II-1995, kerjasama Majalah Humor dan PT. Matra Multi Media, Jakarta), 5. Wekwekwek : Sajak-sajak Bumilangit (Cet.I-1996, Risalah Gusti, Surabaya), 6. Gelap Berlapis-lapis (Cet.I-1998, Yayasan Al-Ibriz Rembang kerjasama Fatma Press Jakarta), 7. Sajak-sajak Cinta Gandrung (Cet.I-2000, Yayasan Al-Ibriz, Rembang), 8. Negeri Daging (Cet.I-2002, Bentang Budaya, 2002), dan 9. Aku Manusia (Cet.I-2006; Cet.II-2016).

Hasil pembacaan tersebut, aku-lirik menjadi dasar dari sudut-pandang “sosok pribadi dalam sajak” perpuian karya A. Mustofa Bisri (istilah yang digagas oleh Subagio Sastrowardoyo dalam bukunya dengan judul Sosok Pribadi dalam Sajak, 1980). Bahkan, dalam sajak “Identitas Atawa Aku Dalam Angka”, A. Mustofa Bisri dengan sengaja dan “eksplisit” menguatkan sosok pribadi tersebut, dengan mengidentifikasi “aku-lirik” sebagai “mustofa bin bisri mustofa”, yang tiada lain ialah diri penyair sendiri, selengkapnya dikutip berikut ini.

 

IDENTITAS ATAWA AKU DALAM ANGKA

 

namaku mustofa bin bisri mustofa

lahir sebelum masa anak cukup 2

sebagai anak ke 2 dari 9 bersaudara

rumah kami nomor 3 jalan mulia

termasuk 1 dari 17 erte di desa

leteh namanya - 1 dari 34 desa di kecamatan kota -

rembang namanya - 1 dari 5 kabupaten

di karesidenan pati -

1 dari 6 karesidenan di propinsi jawa tengah -

1 dari 27 propinsi di indonesia

1 dari 6 negara-negara asean di asia - 1 dari 5 benua di dunia -

1 dari sekian “kacang hijau” di semesta.

cukup jelaskah aku?

 

1987

(Ohoi, 1991:6)

 

Posisi sajak “Identitas Atawa Aku Dalam Angka” ini menjadi penting untuk membaca dan menilai perpuisian A. Mustofa Bisri dalam sajak-sajak yang ditulisnya kemudian. Mengapa hal itu demikian?

Pertama, hal tersebut untuk membuktikan bahwa perpuisian A. Mustofa Bisri berbasis pada puisi lirik, sebagaimana diungkapkan oleh Herman J. Waluyo bahwa “Dalam puisi lirik, penyair mengungkapkan aku-lirik atau gagasan pribadinya. Ia tidak bercerita.”

Kedua, sudut-pandang aku-lirik ini sekalipun menegaskan “namaku mustofa bin bisri mustofa/...”, namun sajak yang ditulis oleh A. Mustofa Bisri bukanlah “buku harian atau diary”, bahkan ketika “identitas” aku-lirik di dalam sajak tersebut nyaris seperti “data kependudukan” karena detailnya. Sajak A. Mustofa Bisri semacam “Identitas Atawa Aku Dalam Angka” justru menjadi tipikalitas perpuisiannya sebagai karya seni sastra. Karenanya, bukan suatu kebetulan sajak tersebut diposisikan sebagai sajak urutan pertama dalam antologi pertama pula, yaitu Ohoi Kumpulan Puisi-puisi Balsem. Mengapa sajak semacam “Identitas Atawa Aku Dalam Angka” ini tetap bisa dipandang sebagai karya seni sastra?

Ketiga, sekalipun realitas sastra di dalam sajak A. Mustofa Bisri sebagai teks ditampilkan sebagai realitas yang bisa dicarikan rujukan atau konteksnya di dalam realitas sosial sehari-hari, namun tidak berarti sajak A. Mustofa Bisri kehilangan esensinya sebagai karya sastra, yang menurut Rene Wellek dan Austin Warren mensyaratkan sifat estetik dan imajinatif. Sudut-pandang aku-lirik terhadap realitas itulah yang menjadikannya sebagai “realitas” baru, yang justru melahirkan sifat-sifat keindahan sehingga bersifat imajinatif, memperkaya imajinasi pembaca. Realitas hidup aku-lirik yang dihadirkan nyata itu, dari baris ke-1 hingga baris ke-11 bukan saja disikapi secara semantik, melainkan disikapi secara reflektif oleh aku-lirik, “.../ 1 dari sekian “kacang hijau” di semesta./ cukup jelaskah aku?” Jawabnya pasti semakin “tidak jelas” secara mata wadag sebab aku-lirik sebagai manusia melihat dirinya dari realitas keluarga, membesar kepada realitas RT, desa, kecamatan, kabupaten, karesidenan, propinsi, Asean, benua, bahkan kian membesar hingga melihat dirinya berada di dalam “.../ 1 dari sekian “kacang hijau” di semesta/...” Tafsir secara eksistensial, betapa kecilnya manusia dihadapkan pada semesta yang begitu luas tidak terbatas. Padahal, semesta yang begitu luas tidak terbatas ini pun merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Besar (al-Kabiir), Yang Maha Pencipta (al-Khaaliq), Rabbul ‘alamiin (Tuhan semesta alam), yaitu Allah SWT. Dengan sudut-pandang transendental, maka eksistensi aku-manusia menjadi jelas bahwa dirinya ialah ciptaan Tuhan. Di sinilah letak estetik dan imajinatifnya aku-lirik dalam membaca realitas bahwa tiada suatu realitas pun jika ia tidak Ilahiah. Dengan demikian, realitas alamnya sama, tetapi karena sudut-pandang aku-lirik berperspektif transendental, maka melahirkan pengalaman yang batiniah, yang imajinatif, yang indah, dan karenanya menjadi “pengalaman puitik”, pengalaman religius. Melalui pengalaman religius ini, maka realitas, baik realitas alam maupun realitas budaya, dipersepsi menjadi lambang-lambang (ayat kauniyah) bagi “keberadaan” Sang Maha Pencipta (al-Khaaliq), yang bisa dikenali Sifat-sifat-Nya melalui dunia ciptaan-Nya.

Dengan begitu, sudut-pandang aku-lirik dalam perpuisian A. Mustofa Bisri keluar dari tradisi lirik perpuisian Indonesia pada umumnya yang karena sifat kelirisannya menjadi “mengutamakan nada dan irama, abstraksi terhadap waktu dan tempat tertentu”. Dengan sudut-pandang transendental itu, realitas tidak perlu diindah-indahkan, baik di dalam maupun di luar realitas puisi, karenanya hal itu berpengaruh pada penyikapan terhadap bahasa sajak. Bagi A. Mustofa Bisri, bahasa sajak disikapi sebagaimana “Aku Tak Akan Memperindah Kata-kata”. Bahkan, sudut-pandang aku-lirik yang transendental itu pun tidak saja ditampilkan melalui bahasa sajak yang simbolik, melainkan dinyatakan secara langsung, dikutip selengkapnya berikut ini.

AKU TAK AKAN MEMPERINDAH KATA-KATA

 

Aku tak akan memperindah kata-kata

Karena aku hanya ingin menyatakan

Cinta dan kebenaran

 

Adakah yang lebih indah dari

Cinta dan kebenaran

Maka memerlukan kata-kata indah?

 

1997

(Gandrung, 2000:21)

 

“Cinta dan kebenaran”, memang, tidak memerlukan “kata-kata indah” sebab cinta dan kebenaran itu sendiri adalah keindahan. Cinta yang dimaksudkan ialah mahabbah, cinta mutlak kepada Allah SWT: “Ya Allah, ya Tuhanku yang Maha Pengasih/ Ya Allah ya Tuhanku yang Maha Penyayang/ Kiranya tak ada permintaan yang lebih besar/ dariku---/ dan tak ada anugerah sebesar apa pun dariMu/ dapat mengurangi kebesaranMu---/ : ya Tuhan, aku memohon cinta dan kasih sayang!//” (Sajak “Doa Pecinta 2”, Gandrung, 2000:68). Menurut Ibnu ‘Arabi (via Affifi, 1989:238), basis timbulnya cinta itu disebabkan oleh keindahan. Di samping itu, “Islam sendiri benar-benar menganggap aspek Ketuhanan sebagai keindahan, dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti (haqaa’iq) ajaran Islam (Nasr via Hadi W.M., 2001:10). 

Aspek Pandangan Hidup daripada “Sekadar” Bahasa Puisi

Tentang cinta kepada Allah, al-Ghazali (via Hadi W.M., 2001:52) merumuskan lima sebab yang menimbulkannya, di antaranya ialah “... mencintai kepada setiap keindahan sebab keindahan itu sendiri, bukan sebab keuntungan lain, di balik itu ada keindahan Allah.” Pandangan al-Ghazali bertemu dengan pandangan Ibnu ‘Arabi bahwa semua cinta itu disebabkan oleh keindahan. Pada konteks keindahan, semua pengalaman spiritualitas digerakkan dan diekspresikan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya Allah itu Yang Maha Indah dan mencintai keindahan (InnaLlaha jamil wa yuhibbul jamal),” (H.R., Muslim, Shahih 2 Muslim, jilid I, hal.52). Oleh karena itu, para sufi-penyair yang bergerak menuju kepada Yang Mahaindah (al-Jamal), baik dalam perjalanan spiritualitas dari maqam ke maqam maupun mengungkap pengalaman religiositasnya melalui keadaan mental (hal), mereka masuk ke pengalaman keindahan Yang Mahaindah sekaligus tergerak mengungkapkan pengalamannya melalui ungkapan bahasa yang mampu mewadahinya. Meminjam pengertian Ludwig Wittgenstein bahwa:

“... Pengalaman religius demikian dalam kenyataannya tak pernah bisa ditunjuk secara langsung sebab bukan pengalaman inderawi. Sementara itu, bahasa mempunyai keterbatasan hanya dapat mengungkap apa yang menjadi realitas inderawi. Karenanya, ada realitas yang dapat disentuh dengan bahasa, dan ada yang tidak (the unutterable). Meskipun begitu, ada yang disebut bahasa religius, yang punya logika tersendiri, seperti pernah diungkapkan Peter L. Berger. Bahasa religius bersifat analogi, sebagian sama dan sebagian berbeda dengan bahasa dan situasi manusia sehari-hari.

Di samping itu, pengalaman religius menurut Ludwig Wittgenstein bersifat konatif, yakni pengalaman yang dialami secara langsung antara subjek dan objek, berlangsung dalam taraf tak sadar, dan karenanya berlangsung tanpa bahasa. Tetapi, saat subjek membahasakan pengalaman religiusnya, maka aspek konatif itu masuk ke aspek reflektif, yakni pengalaman religius yang telah terabstraksikan ke pola inderawi. Perpindahan ini dalam bahasa religius berlangsung dengan jalan analogi.” (via Rachman, Ulumul Qur’an, No.6, Juli-September 1990:88-89).

Pengalaman religius yang dibahasakan dengan jalan analogi itulah bahasa puisi, terutama sekali puisi lirik. Hal itulah sebabnya penyair Pujangga Baru, Sanusi Pane dan Amir Hamzah mengumandangkan puisi sebagai “Gerakan sukma yang mengalir ke indah kata,” menjadi dasar penciptaan dari puisi lirik. Oleh sebab itu, sepanjang sejarah mistisisme, banyak sufi-penyair, penyair dan filosof profetik, menuliskan pengalaman mistiknya melalui puisi. Penyair sekaligus pelaku pengalaman religius itu dalam puisinya tidak merasa perlu memperindah kata-kata sebab “//Adakah yang lebih indah dari/ Cinta dan kebenaran/ Maka memerlukan kata-kata indah?

Demikian pula A. Mustofa Bisri dalam perpuisiannya. Intensitas puisi yang ditulisnya didasarkan kepada intensitas pengalaman religius dalam menjalani realitas hidup, karenanya puisinya didominasi oleh pengucapan puisi lirik, dan karenanya pula melampaui batasan pemakaian bahasa yang diindah-indahkan. Hal itu sebab kualitas puisi lebih dibaca pada aspek peristiwa, aspek pengalaman religius, aspek pandangan hidup (weltanschauung), daripada sekadar” bahasa puisi yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa lain karenanya puisi menjadi kehilangan “puisi”-nya.

Kesadaran Transendental yang Profetik dan yang Mistik

Dalam pandangan profetik, puisi lebih dipersepsi dan diposisikan sebagai buah dari hikmah membaca realitas, “iqra’ bismirabbikal ladzi khalaq,” bacalah dengan Nama Tuhanmu yang menciptakan (Q.S. al-‘Alaq, [96]:1). Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa:

Sejumlah puisi mengandung hikmah; Hikmah adalah onta orang beriman yang hilang, apabila ia menemukan kembali, ia memiliki kebenaran terbaiknya (al-Hujwiri melalui Hadi W.M., 1985:31).

Dalam pandangan puisi lirik yang profetik, realitas dan bahasa tidak perlu diindah-indahkan sebab keindahan itu bukan cuma keindahan lahir, melainkan juga keindahan batin. Dalam tradisi puisi lirik profetik karya dunia, “tidak memperindah kata-kata” tersebut menjadikan “kesahajaan bahasa sajak”, yang hal itu justru menjadi sebuah pilihan. Mengapa “kesahajaan bahasa sajak” itu dipertahankan? Hal ini sebagaimana pernah diungkapkan dengan indah oleh Annemarie Schimmel dalam bukunya Menyingkap Yang-Tersembunyi (Terj. Saini K.M., Cet. I, 2005:40) :

“Sesungguhnya, ketunggalan-nada yang lugas dan lurus dalam pesan profetis memang diperlukan agar isi wahyu yang diterima Nabi dapat dipertahankan kemurniannya, sehingga tidak ada perubahan padanya. Sebagai akibatnya, seorang penyair Muslim yang menulis sajak dalam tradisi “profetis” cenderung menggunakan bentuk yang sederhana untuk menekankan pesannya ke dalam pembacanya.”

            Dengan demikian, penyair dalam tradisi “profetis” menulis puisinya dengan kesadaran penuh bahwa dia mengurai pengalaman religiusnya yang eksoterik. Oleh sebab itu, formula sajak dan pengalaman religius yang dikabarkannya pun bukanlah “Menyingkap Yang-Tersembunyi”, melainkan dunia dan “Puisi-puisi Terang” seperti diistilahkan sendiri oleh A. Mustofa Bisri dalam salah satu subbagian buku puisinya Pahlawan dan Tikus (Cet.II-2005:45).

Akan tetapi, baik penyair profetik maupun penyair mistik pun memiliki kesadaran transendental bahwa mereka berhadapan dengan mukjizat yang berupa bahasa al-Qur’an yang tidak mungkin ditandingi. Oleh sebab itu, para penyair profetik dan penyair mistik secara terus-menerus merenungkan al-Qur’an, dengan begitu :

“suatu ingatan yang ter-Qur’an-kan (qoranisation de la memoire) dapat dicapai, yang dengan itu para mistikus kemudian memandang segala sesuatu dari sudut-pandang wahyu. Mereka pun setiap saat mengambil inspirasi al-Qur’an, dan menerapkan lambang-lambangnya ke pengalaman mereka sendiri” (Schimmel, 2005:42-43).

Hidup di dalam dan melalui al-Qur’an seperti itu membantu pembentukan pengalaman para mistikus dan bahasa mereka(Schimmel, 2005:43). Pengalaman tentang cinta yang merentang antara Tuhan dan manusia ditemukan ungkapannya dalam surah al-Maa’idah (5) ayat 54, “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya”. Dalam konteks ini, bagaimana dengan perpuisian lirik A. Mustofa Bisri?

Tatkala memasuki dunia keprofetikan, tentu saja perpuisian A. Mustofa Bisri akan berbeda nuansa, ekspresi kebahasaan, simbolitas, bahkan persepsi dan pemosisian aku-lirik dalam sajak, dibandingkan dengan sajak sufistis (dan sufismenya). Yang paling mudah membedakan antara keduanya ialah tatkala mempersepsi dan memposisikan “aku” di dalam sajak.

Dalam konteks keprofetikan, Tuhan dipersepsi dan diposisikan sebagai Yang Maha Transenden (“Jauh di Atas Sana”). Sementara itu, manusia berada di bawah langit, bersimpuh di hamparan bumi dalam kedinginan hidupnya yang membutuhkan uluran kehangatan pelukan Tuhan. Namun, ada tabir di antara keduanya sebab manusia hanyalah makhluk, sedangkan Tuhan adalah Sang Maha Pencipta (Al-Khaliq) atas semua makhluk. Bagaimana mungkin keduanya bisa saling berdekatan? Cukuplah kiranya manusia dalam persepsi dan posisi ini memuja-Nya sebagai Yang Maha Tinggi (Al-Aliyy), Yang Maha Kuasa (Al-Qadir), Yang Maha Penyiksa manusia yang lalai (Al-Muntaqim), Yang Maha Mematikan (Al-Mumit), dan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya yang maskulin semacam itu. Sudut-pandang keprofetikan ini memang dominan dalam perpuisian A. Mustofa Bisri, terutama sekali dalam buku puisi ke-1 Ohoi (1991), ke-2 Tadarus (1993), ke-3 Pahlawan dan Tikus (Cet.I-1995), ke-4 Rubayat Angin dan rumput (1995), ke-5 Wekwekwek : Sajak-sajak Bumilangit (1996), ke-6 Gelap Berlapis-lapis (1998), kemudian dalam buku puisi ke-8 Negeri Daging (2002), dan ke-9 Aku Manusia (2016). Sementara itu, buku puisi yang terbit pada urutan ke-7 Sajak-sajak Cinta Gandrung (2000), diwarnai oleh sudut-pandang mistisisme Islam.

Tipikal mencitrakan keprofetikan A. Mustofa Bisri itu di antaranya dalam sajak “Ketika Tuhan” dari buku puisi Pahlawan dan Tikus. Sajak berikut ini mengkontekstualisasikan teks al-Qur’an sebagai salah satu ciri dari tradisi perpuisian profetik, ketika Tuhan dan para malaikat-Nya berdialog tentang maksud penciptaan manusia (al-Baqarah, 2:30):

“Perhatikanlah sewaktu Tuhanmu berfirman

kepada para malaikat,

 

‘Aku akan menciptakan khalifah di bumi.’

 

Mereka bertanya keheranan, ‘Mengapa

Engkau akan menciptakan makhluk yang

akan selalu menimbulkan kerusakan

 

dan pertumpahan darah di bumi,

 

sementara kami senantiasa bertasbih memuji

dan mensucikan Engkau? ‘

 

Allah berfirman, ‘Aku Mahatahu akan hal-hal yang tidak kamu ketahui.”

 

KETIKA TUHAN

 

Ketika Tuhan menyampaikan

MaksudNya menciptakan manusia

Sebagai khalifahNya di dunia

Para malaikat pun berkata

Tuhan, mengapa Paduka

Hendak mencipta

Makhluk perusak di sana

Penumpah darah semena-mena

Sedangkan kita

Terus bertasbih dan memuja

Paduka?

Tuhan pun bersabda

Aku tahu apa

Yang kalian buta

Terhadapnya

 

Ketika sang khalifah benar-benar semena-mena

Merusak dan menumpahkan darah di mana-mana

Di dunia

Apakah kita akan membenarkan para malaikat dan berkata

KepadaNya seperti mereka lalu siapakah kita

Yang tahu kehendak Sang Pencipta?

 

1414

(Pahlawan dan Tikus, Cet.II-2005:33). 

Namun demikian, pada tingkat keruhanian tertentu seorang penyair profetik sekaligus memasuki kehidupan mistik, seperti A. Mustofa Bisri, akan tidak “sekadar” mengungkapkan bahasa profetis yang bersetia secara normatif kepada kebakuan simbol yang diadopsi dari al-Qur’an. Hal itu sebab pada dasarnya penyair profetik yang sekaligus mistikus adalah seorang “petualang mandiri”, yang tujuan akhirnya adalah keakraban dengan Tuhan (uns). Dalam keakraban cinta di tengah malam tahajud, seorang mistikus menjelma menjadi seorang kekasih, yang memuja Maha Kekasihnya. Oleh sebab itu, dia tidak lagi memanggil-Nya dengan “Wahai Tuhanku .....” sebagaimana hal itu diungkapkan dalam bahasa doa oleh seorang ulama fikih di tengah umat di siang hari. Akan tetapi, dia menjelma seorang pencinta, dengan bisikan-bisikan dalam kemesraan yang dalam, “Wahai Kekasihku, wahai Cintaku.....” Demikian halnya A. Mustofa Bisri, terutama sekali dalam buku puisi Gandrung (2000), dia menjelma menjadi seorang mistikus cinta yang sejati, seperti di dalam “Sajak Cinta” berikut ini.

SAJAK CINTA

 

cintaku kepadamu belum pernah ada contohnya

cinta romeo kepada juliet si majnun qais kepada laila

belum apa-apa

temu pisah kita lebih bermakna

dibanding temu-pisah Yusuf dan Zulaikha

rindu-dendam kita melebihi rindu-dendam Adam

dan Hawa

 

aku adalah ombak samuderamu

yang lari-datang bagimu

hujan yang berkilat dan berguruh mendungmu

 

aku adalah wangi bungamu

luka berdarah-darah durimu

semilir sampai badai anginmu

 

aku adalah kicau burungmu

kabut puncak gunungmu

tuah tenungmu

aku adalah titik-titik hurufmu

huruf-huruf katamu

kata-kata maknamu

 

aku adalah sinar silau panasmu

dan bayang-bayang hangat mentarimu

bumi pasrah langitmu

 

aku adalah jasad ruhmu

fayakun kunmu

 

aku adalah a-k-u

k-a-u

mu

 

Rembang, 30.9.1995

(Gandrung, 2000:12-13)

 Ekspresi “petualang mandiri” demi keakraban dengan Tuhan (uns) ini pun berpengaruh kepada ekspresi bahasa sajaknya yang juga mandiri, tak terkecuali sajak di atas, dan karenanya khas, bukan tiruan dari ekspresi bahasa sajak penyair lain sehingga orisinal. Hal itu sebab pada dasarnya setiap perpuisian yang estetik dan orisinal merupakan hasil dari pengalaman religius bahkan pengalaman mistik, yang juga estetik, orisinal, dan mandiri sebab bersifat personal : “cintaku kepadamu belum pernah ada contohnya/ .../ temu-pisah kita lebih bermakna/ dibanding temu-pisah Yusuf dan Zulaikha/...” Demikian ungkapan A. Mustofa Bisri begitu personal, antara Tuhan dan dirinya. Personalitas pengalaman religius inilah yang menuntun kepada personalitas ekspresi bahasa sajak, baik di dalam sajak karya seorang penyair profetik, terlebih lagi di dalam sajak karya penyair mistik sehingga ada keunikan yang tidak dimiliki oleh penyair lain.

Penutup

Setiap pendakian jalan ruhani (thariqah) yang dilalui oleh seorang mistikus penyair pada hakikatnya menuju kepada puncak yang sama, yaitu Allah. Namun demikian, setiap pengalaman religius-mistik itu bentuk-bentuknya tidaklah sama sehingga prioritas jalan ruhani yang ditempuh pun menjadi berbeda-beda. Oleh karenanya, tingkatan-tingkatan ruhani (maqamat) yang ditempuh juga memiliki penekanan yang berbeda-beda sehingga menghasilkan pengungkapan mistik yang estetik berbeda-beda pula. Oleh sebab itu, selalu saja ada yang baru dan segar dari setiap pengungkapan pengalaman religius-mistik di dalam puisi setiap mistikus penyair ataupun profetik.

Pengalaman religius-mistik yang mandiri tersebut menghasilkan bahasa sajak yang mandiri pula, hal ini dapat dimaknakan sebagai “kemerdekaan” berekspresi melalui bahasa “sajak-bebas” agar kebebasan penyair (licensia poetica) untuk menyimpang dari konvensi kebahasaan dapat dilakukannya. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh A. Mustofa Bisri tersebut menjadi karakter pandangan hidup aku-lirik di dalam seluruh puisi lirik karyanya.***


Daftar Pustaka

 

Affifi, Abu al-Ala. 1964. The Mystical Philosopy 0f Muhyi al-Din al-‘Arabi. Cambridge: Cambridge University Press.

Al-Ataftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1997. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka.

Al-Qur’an dan Terjemahannya. 1983/1984. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI.

Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata (Secrets Need Words). Magelang: Indonesiatera.

Bachri, Sutardji Calzoum.1981. O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.

Bisri, A. Mustofa. 1991. Ohoi (Kumpulan Puisi Balsem). Jakarta: Pustaka Firdaus.

________. 1993. Tadarus (Antologi Puisi). Cet.II, 2003. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

________. 1995. Pahlawan dan Tikus (Kumpulan Puisi). Cet.II, 2005. Yogyakarta: Hikayat.

________. 1995. Rubayat Angin dan Rumput (Kumpulan Puisi). Jakarta: Majalah Humor bekerjasama dengan PT Matra Multi Media.

________. 1996. Wekwekwek (Sajak-sajak Bumilangit). Surabaya: Risalah Gusti.

________. 1998. Gelap Berlapis-lapis. Jakarta: Fatma Press.

________. 2000. Sajak-sajak Cinta, Gandrung. Rembang: Yayasan al-Ibriz.

________. 2002. Negeri Daging. Yogyakarta: Bentang Budaya.

________. 2006. Aku Manusia. Rembang: CV MataAir Indonesia.

________. 2008. Album Sajak-Sajak A. Mustofa Bisri. Ed. Ken Sawitri. Surabaya: MataAir.

________. 2009. “Meneguhkan Islam Budaya Menuju Harmoni Kemanusiaan”, Pidato Penganugerahan Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam Bidang Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.

_________. 2016. Saleh Ritual Saleh Sosial. Yogyakarta: Diva Press.

Damono, Sapardi Djoko. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Dewan Kesenian Jakarta. 1984. Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan.

Hadi W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

________ . (Ed.). 1985-b. Rumi Sufi dan Penyair. Bandung: Penerbit Pustaka.

________. 2001. Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Penerbit Paramadina.

________. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.

Hamzah, Amir. 1985-a. Nyanyi Sunyi. Cet.X. Jakarta: Dian Rakyat.

_______. 1985-b. Buah Rindu. Cet. VII. Jakarta: Dian Rakyat.

Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Hoerip, Satyagraha (Ed.). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.

Ismail, Taufiq. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda.

Izutsu, Toshihiko. 2016. Sufisme: Samudra Makrifat Makrifat Ibn ‘Arabi. Jakarta: Mizan.

Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (1). Jakarta: PT. Gramedia.

_______. (Peny. Oyon Sofyan). 2013. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Yogyakarta: Narasi.

_______. 2013. Pujangga Baru. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., 1988.

Mohamad. Goenawan. 1971. Pariksit. Jakarta: Litera.

Rachman, Budhy Munawar. “Pengalaman Religius dan Logika Bahasa”. Jakarta: Ulumul Qur’an, No. 6, Juli-September 1990.

Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Cet. II. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Schimmel, Annemarie. 2005. Menyingkap Yang-Tersembunyi. Terj. Saini K.M. Cet. I. Bandung: Mizan.

Wachid B.S., Abdul. 2005. Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.

________. 2008. Gandrung Cinta Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »