Imaji Penyair tentang Proklamator
IMAJI dalam puisi tentang
proklamator menjadi pertaruhan untuk mengekspresikan pengalaman indera dan
intuisi penyair. Dari beberapa puisi yang mengangkat sosok proklamator, saya
memilih lima yang populer. Lima puisi ini dicipta dengan intensitas imaji untuk
memberi makna pergerakan dalam kemerdekaan. Saya tertarik pada lima puisi yang mengekspresikan
ketajaman imaji penyair untuk menyingkap berbagai etos nasionalisme dalam mewujudkan
dan menjaga kemerdekaan.
Kelima puisi itu adalah “Aku Serdadumu”
karya Ali Hasjmy, “Persetujuan dengan Bung Karno” karya Chairil Anwar, “Surat
Bertanggal 17 Agustus 1946” karya Saini K.M., “Pemimpin Sejati” karya Sutrisno
Martoatmojo, dan “Proklamasi, 2” karya Hamid Jabbar. Kepekaan imaji menjadi kekuatan
para penyair untuk menyingkap perjuangan kemerdekaan dalam konfrontasi kolonialisme.
Kelima penyair ini menyingkap pengalaman indera yang berbeda tentang
konfrontasi kolonialisme, dan bagaimana mengisi kemerdekaan.
Dengan kekuatan imaji, diksi, dan bahasa
simbol, kelima penyair ini mencipta keluhuran makna pengorbanan dan dekonstruksi
tentang kesejahteraan bangsa pascakolonial. Berkembanglah tafsir puisi tentang
proklamator yang memiliki etos dan pengorbanan terhadap negeri ini.
Saya terkesima
dengan pandangan otentik penyair seperti Hamid Jabbar untuk menemukan
pengucapannya sendiri terhadap proklamator bangsa dengan bahasa satire.
***
DALAM
puisi “Aku
Serdadumu” karya Ali Hasjmy, proklamator merupakan sosok panutan dalam melawan
kolonal, yang membakar semangat untuk berjihat. Bung Karno telah menggerakkan hasrat
perlawanan terhadap kaum kolonial. Ia memberi inspirasi bagi segenap kalangan
untuk menghidupkan semangat bertempur melawan penjajah: Bung Karno/ Pacu
kuda jihadmu/ Jangan mundur lagi/ Kami turunan Iskandar Muda/ Tetesan darah
Ratu Safiah/ Anak cucu Mujahit Tiro/ Kemenakan Umar Pahlawan/ Telah siap
bertempur/ Kami sedang menggempur//. Dalam larik puisi selanjutnya
dikisahkan bahwa perlawanan senjata terhadap kaum penjajah merupakan bagian
dari perjuangan Hikayat Perang Sabi, yang menerima imbalan surga.
Selaras dengan Ali Hasjmy, Chairil
Anwar memuja sosok Bung Karno, sebagai proklamator, yang memiliki ketulusan dalam
proses kemerdekaan, dalam puisi “Persetujuan dengan Bung Karno”. Semangat
perjuangan, sugesti tentang kemerdekaan, pidato yang membakar konfrontasi
terhadap kaum kolonial, menjadi api semangat, ideologi yang merasuk ke dalam
sanubari, dan kebesaran jiwa masyarakat. Penyair memanfaatkan simbol “api”
sebagai semangat konfrontasi terhadap dominasi kekuasaan kaum kolonial dan simbol
“laut” untuk mengekspresikan imaji tentang keluasan jiwa nasionalisme: Ayo!
Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji/ Aku sudah cukup lama dengar
bicaramu/ dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu// Dari mulai tgl. 17
Agustus 1945/ Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu/ Aku sekarang api
aku sekarang laut//. Dalam larik
berikutnya, penyair menyingkap simbol integritas penyair ke dalam ideologi
proklamator dalam mengarungi kehidupan dan menyandarkan harapan tentang
kemerdekaan.
Etos proklamasi dan nasionalisme diekspresikan dalam puisi
Saini K.M. dalam “Surat Bertanggal 17 Agustus 1946”. Ia tidak menyebut nama
Bung Karno sebagai sosok proklamator, tetapi semangat pembebasan diri dari
dominasi kekuasaan kaum kolonial, telah menjadi jiwa puisi ini. Anak-anak muda memiliki
ketangguhan untuk menjaga tanah air dari perenggutan tangan kolonial.
Konfrontasi bersenjata melawan kaum kolonial merasuki kehidupan anak muda: Hari
ini pemuda-pemuda mengganti hati mereka dengan baja/ Agar bisa tidur berbantal
batu dan berselimut angin/ Sedang bagi gadis-gadis kami hadiahkan mawar api/
Kembang di ujung senapan, bau mesiu alangkah wangi!//.
Penyingkapan etos perlawanan terhadap dominasi
kekuasaan kaum kolonial menjadi roh penciptaan puisi “Pemimpin Sejati” karya
Sutrisno Martoatmojo. Proklamator menjadi tokoh panutan bagi penyair, yang ikhlas
dalam melakukan perjuangan. Keluasan jiwa, semangat, ketangguhan menghadapi
konfrontasi terhadap dominasi kekuasaan, merupakan teladan sosok proklamator: bung
Karno/ jiwamu ada di dalam laut lepas menggelora/ gemuruh/ menggelegar/
membuih pecah berderai/ beriak penuh relung senyum di tengah badai//.
Cara pandang yang menyimpang
terhadap proklamator dilakukan Hamid Jabbar dalam puisi “Proklamasi, 2”. Ia
memandang proklamasi di sebuah zaman baru, ketika Bung Karno tak lagi berkuasa.
Puisi ini dicipta penyair pada zaman Orba, ketika persoalan kehidupan mulai
bergeser, bukan lagi berhadapan dengan kaum kolonial, melainkan berhadapan
dengan hak asasi manusia dan kesejahteraan hidup: Kami bangsa Indonesia/
dengan ini menyatakan/ kemerdekaan Indonesia/ untuk kedua kalinya// Hal-hal
yang mengenai/ hak asasi manusia/ utang piutang/ dan lain-lain/ yang tak
habis-habisnya/ insya-Allah/ akan habis/ diselenggarakan/ dengan cara saksama/
dan dalam tempo/ yang sesingkat-singkatnya//. Ia telah mendekonstruksi tokoh
proklamator dengan menyebut: Atas nama nangsa Indonesia/ Boleh Siapa Saja//.
***
SATIRE yang diekspresikan Hamid Jabbar membedakannya dengan
puisi penyair lain yang mengukuhkan mitos kepahlawanan Bung Karno sebagai
proklamator. Saya memilah dua pandangan penyair terhadap proklamator. Pertama,
pandangan penyair yang memanfaatkan diksi dan simbol untuk menciptakan etos tentang
nasionalisme dan perlawanan terhadap dominasi kekuasaan kolonial. Kedua,
penyair yang melihat etos proklamator dari sisi kurun waktu rezim yang berbeda,
yang berhadapan dengan tantangan hak asasi manusia dan kesejahteraan di hadapan
bangsa lain.
Kelima penyair ini menyampaikan sugesti
tentang proklamasi untuk mencipta dialog batin tentang keteladanan moral, etos,
dan ketulusan jiwa. Puisi mereka mengekspresikan identitas, kedaulatan,
perjuangan, kebebasan demokrasi dan kesejahteraan bangsa. Kelima penyair ini sedang
menarik kita – dengan kekuatan diksi masing-masing – untuk merenung, berdialog
batin, dan menemukan kearifan. Kekuatan imaji mereka membangkitkan kesadaran
pembaca agar waspada terhadap makna kemerdekaan dalam konteks zaman yang terus
bergeser. ***