Kebanggaan - Humam S. Chudori

@kontributor 9/24/2023

Kebanggaan

Humam S. Chudori



“Apa bezoek harus di rumah sakit, Mas?” Tanya Nina, tatkala diajak suaminya menjenguk Budiono yang dirawat di rumah sakit.

            Mendapat pertanyaan ini, Rukiat diam. Ia tidak tahu bagaimana menyampaikan maksud kepada istrinya. Lantaran Nina sering tak sepakat dengannya. Apalagi sesuatu yang ada urusannya dengan orang lain.

            Sesuatu yang tak ada hubungannya dengan orang lain pun, Nina sering tak mau menuruti keinginan suaminya. Ya, perempuan bersorot mata tajam itu bukan sekali dua kali menolak ajakan Rukiat di tempat tidur. Padahal Nina tidak sedang terlarang untuk berhubungan.

            Bukan cuma urusan kasur, melainkan urusan dapur pun perempuan ini sering tak peduli.

Betapa tidak, ketika hendak berangkat kerja tak jarang perut Rukiat kosong. Lantaran Nina belum memasak apa-apa. Bahkan secangkir kopi pun belum membasahi tenggorokan suaminya. Terpaksa Rukiat sarapan dan ngopi di warung dekat tempat kerjanya. Demikian pula, saat Rukiat pulang kerja. Adakalanya di rumah tidak ada apa-apa. Akhirnya perutnya hanya diisi mie instant.

Lantaran sang istri jarang masak, adakalanya Rukiat makan terlebih dulu di warung sebelum tiba di rumah. Sialnya, jika perutnya sudah kenyang justru pada saat Nina memasak.

“Kamu nggak suka masakan saya? Itu makan apa main-main?” Nina akan memberondong pertanyaan ini kepada Rukiat, apabila lelaki itu makan sedikit.

Rukiat malas melayani istrinya. Ia membiarkan Nina ngedumel. Kendati telinganya terasa panas. Namun, lelaki berkumis tipis itu memilih diam. Membisu. Jika meladeni sang istri, ia takut kehilangan kontrol. Dan, Rukiat bisa melampiaskan emosi kepada barang yang ada di hadapannya.

Ya, Rukiat pernah membanting piring. Piring yang berisi nasi dan lauk berantakan di lantai. Lantaran Nina tak henti-hentinya ngoceh ketika suaminya makan. Rupanya ia tak kuat mendengar ocehan sang istri. Ia langsung piring yang ada di hadapannya hingga pecah berantakan di lantai.

Lelaki itu baru menyadari perbuatannya setelah Yanti, anaknya, berteriak kaget. Menangis. Gadis berusia enam tahun itu ketakutan melihat ulah sang ayah. Berbagai bujukan disampaikan ibunya, agar ia berhenti menangis dan melanjutkan makan. Namun, tak ada hasilnya. Ia tetap tidak mau makan.

Malam itu, Rukiat kehilangan selera makan. Ia tidur di sofa sambil menahan lapar.

Peristiwa lain yang pernah terjadi ketika Rukiat hendak berangkat kerja. Saat itu istrinya – entah apa sebabnya – terus menerus menggerutu. Lelaki yang tengah bercermin itu tak bisa mengontrol emosinya. Dan, tanpa pikir panjang ia meninju cermin di hadapannya.

Praannnggg!

Celakanya bersamaan dengan itu Yanti pulang. Karena buku pr-nya ketinggalan. Memang. Sekolah anak itu tidak jauh dari rumah. Dan, sejak kelas dua esde ia tak pernah diantar lagi.

 Yanti tidak menangis seperti ketika ayahnya membanting piring, dua tahun lalu. Meskipun begitu wajah gadis kecil itu terlihat ketakutan menyaksikan orangtua laki-lakinya meninju cermin. Rukiat tak peduli. Ia langsung berangkat kerja.

Sejak itu, Rukiat tak mau lagi melampiaskan kemarahan. Jika sang istri terlihat ada tanda-tanda akan marah, menggerutu, atau kesal. Ia cenderung meninggalkan rumah.

Entah sejak kapan persisnya, Nina berani membantah suami. Yang jelas perempuan itu pada tahun-tahun pertama menjadi istri Rukiat tidak demikian. Karena itu tak jarang Rukiat akan membanggakan istrinya. Baik kepada teman kerja atau tetangganya.

“Saya benar-benar beruntung punya istri yang masih bisa menerima konsep suwargo nunut neroko katut, demikian Rukiat membanggakan punya istri, Nina.

Namun, tanpa sebab yang jelas, beberapa tahun belakangan sering terjadi kesalahpahaman jika mereka berbincang-bincang. Percakapan acapkali berakhir dengan percekcokan. Itu sebabnya Rukiat mulai malas bercakap-cakap dengan istrinya.

Pernah terpikir oleh Rukiat untuk memulangkan Nina kepada orangtuanya. Namun, niat itu ia urungkan. Bukan lantaran sudah ada anak. Melainkan ia ingat janjinya kepada sang ibu.

Ya, sehari setelah ia mengajak Nina ke rumahnya. Orangtua perempuan Rukiat itu sempat bertanya tentang gadis yang dikenalkan itu.

“Kamu yakin perempuan itu ingin kamu jadikan istri?” Tanya Kasturah.

“Ya, iya lah Bu. Makanya saya ajak ke sini. Biar ibu tahu,” jawab Rukiat, “Memangnya kenapa Bu?”

“Ibu melihat perempuan itu....” Kasturah menghentikan sendiri kalimatnya. Namun, batin Kasturah berkata, “Mata yang mencerminkan mata perlawanan.”

Rukiat diam. Ia menunggu kalimat lanjutan ibunya.

Sebetulnya Kasturah kurang setuju dengan gadis yang dikenalkan anaknya. Ia punya firasat kurang bagus dengan perempuan itu. Namun, ia tidak ingin Rukiat membujang selamanya.

Betapa tidak, sejak putus dengan Kartina – lima belas tahun yang lalu – Rukiat tak mencari pengganti. Ia seperti patah hati. Bahkan seperti tak peduli lagi dengan perempuan.

Itu sebabnya Kasturah merasa senang ketika Rukiat mengatakan sudah menemukan gadis yang dicintainya. Berarti anaknya sudah melupakan Kartina. Anak lelakinya yang semata wayang akan berumahtangga. Dari keempat orang anaknya, hanya Rukiat yang belum menikah.

Kasturah berharap, sebelum ia menyusul suami ke alam baka, kesemua anaknya sudah berumahtangga.

Sayang, gadis yang dikenalkan berbeda jauh dengan Kartina. Bukan hanya kecantikannya. Kendati baru sekali Nina datang. Kasturah menilai gadis itu kurang ideal untuk menjadi seorang istri. Lantaran hampir seharian gadis itu berada di rumahnya. Dan, sepanjang waktu tersebut Kasturah dapat menilai. Apalagi ketika ia melihat sorot mata sang gadis bila diajak bicara. Sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan, nalurinya mengatakan gadis itu bukan tipe perempuan ideal jadi istri.

“Kenapa Bu?” Tanya Rukiat, setelah cukup lama ibunya diam.

“Apakah sudah kamu pikir matang, kalau Nina akan kamu jadikan istri?”

Memangnya ada masalah?” Jawab Rukiat.

Kasturah diam. Ia tak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaannya. Namun, akhirnya ia bicara juga, Ibu Cuma mau bilang, kamu sudah mantap dengan pilihan itu. Karena perkawinan itu sakral. Ibu tak ingin nanti Kamu…”

“Pasti tidaklah Bu.”

Ibu tidak ridho apabila ia sudah jadi istri lalu karena sesuatu hal Kamu menceraikannya. Dalam kamus Ibu tak ada istilah cerai kecuali oleh kematian. Perkawinan itu sekali seumur hidup. Kecuali jika istrimu meninggal, Kamu boleh saja mencari pengganti.”

Percakapan dengan almarhumah ibunya inilah yang membuat Rukiat tidak pernah berani merealisasikan keinginannya – memulangkan Nina ke orangtuanya. Jika menceraikan Nina artinya ia telah mengingkari janji kepada almarhum orangtua perempuannya.

“Kenapa Nina bisa berubah seperti...”

“Besok saja kalau dia sudah pulang,” kata Nina, menghentikan pikiran Rukiat, “Toh, tidak ada keharusan menjenguk orang sakit ketika ia masih di rumah sakit.”

“Memang betul, tidak ada keharusan seperti itu.”

“Ya, sudah kalau begitu. Kalau Kamu tetap mau ke rumah sakit, pergi saja sendiri. Atau ajak orang lain.

***

            Sudah sepuluh hari Budiono di rumah sakit. Suami Utami itu menderita komplikasi. Entah sudah berapa kali ia bolak balik ke rumah sakit, sejak pertama kali dirawat dua tahun yang lalu.

            Meskipun demikian, baru sekali Nina menjenguk tetangga yang tinggal satu wilayah RT tersebut. Itu pun dilakukannya bersama dengan ibu-ibu tetangga. Ya, saat pertama kali Budiono dirawat di rumah sakit.

            Namun, sejak pertama Budiono di-opname di rumah sakit Rukiat belum pernah menjenguk di rumah sakit. Tugas Rukiat tak memungkinkan bisa menjenguk orang yang dirawat di rumah sakit. Karena rumah sakit punya aturan jam berkunjung. Padahal saat jam tersebut Rukiat belum tiba di rumahnya.

***

Ketika hendak ke rumah sakit Rukiat melihat mobil sang tetangga lewat depan rumahnya. Tanda sang tetangga sudah pulang dari rumah sakit.

Malamnya, Rukiat bertandang ke rumah Budiono. Namun, ia tak mengajak istrinya.

“Ah, tidak apa-apa kok Pak,” kata Utami, tatkala Rukiat mengatakan rencananya ingin menjenguk Budiono di rumah sakit, “Saya maklum Pak. Ya, Namanya orang kerja. Apalagi Pak Rukiat selalu pulang malam.”

Rukiat diam.

“Justru kalau harus bezoek di rumah sakit, artinya suami saya harus lebih lama lagi dirawat di sana. Padahal, nambah sehari saja biayanya lumayan besar,” lanjut Utami.

Lalu ia menyebut jumlah biaya yang telah dikeluarkan selama suaminya di rumah sakit.

“Apa tidak pakai bpjs, Bu?”

“BPJS?” Utami balik bertanya. Ada nada sinis ketika melontarkan pertanyaan ini.

Rukiat mengangguk.

“Pakai bpjs ribet. Birokrasinya ruwet. Pasien tidak langsung ditangani. Banyak aturan yang menyangkut ini itu. Masa, pasien harus menunggu urusan ini itunya selesai dulu. Baru dilayani.”

Rukiat diam.

“Ini bukan cerita isapan jempol, Pak. Tapi, kami alami sendiri waktu pertama kali suami saya harus dirawat di rumah sakit.”

“Apa tidak dilaporkan ke...”

“Lapor?” Kembali Utami memotong kalimat yang belum usai dilontarkan Rukiat, “Lapor kemana? Lagi pula buat apa? Nanti malah kita sibuk mengurusi laporan yang belum tentu ditindak lanjuti. Padahal yang harus cepat ditangani ya mestinya pasien.”

Rukiat masih tetap diam. “Benar juga sih, bukan rahasia umum lagi jika layanan kesehatan yang satu itu tak pernah ada beresnya. Bahkan bukan sekali dua kali soal bpjs ini diberitakan tapi juga tak pernah ada perbaikan,” pikirnya.

Budiono tidak bicara apa-apa. Karena sudah tak bisa berucap sepatah kata pun. Lelaki yang duduk di kursi roda itu hanya menyimak percakapan istrinya dengan Rukiat. Sesekali tangan kirinya mengelap mulutnya. Lantaran dari mulutnya tak henti-henti air liurnya menetes.

“Coba Pak Rukiat bayangkan andaikata bukan suami saya yang sakit. Siapa bisa membayar biaya rumah sakit sebesar itu?”

***

 “Itu sebabnya saya malas,” ujar Nina, usai sang suami menceritakan percakapannya saat menjenguk tetangga yang baru pulang dari rumah sakit.

            “Lha kita bezoek maksudnya ingin tahu kondisi pasien. Eh, malah yang diceritakan bukan itu. Tapi, biaya rumah sakit yang mahal. Seolah-olah kalau bukan Pak Budi yang sakit pasti tidak akan tertolong. Lantaran biaya rumah sakitnya mahal. Lho, memangnya, tidak ada BPJS?” Lanjut Nina.

            Rukiat diam.

            “Yang membuat saya sakit hati, waktu dulu menjenguk Pak Budi di rumah sakit. Kita yang dijadikan perbandingan sama Bu Tami. Apa dia bilang, coba kalau yang sakit Pak Rukiat mana mungkin mampu membayar biaya sebesar itu,” tambah Nina, “Tapi, bagaimana kondisi suami Bu Tami sekarang? Sembuh? Malah strook bukan?”

            Rukiat masih diam.

            “Bangga dengan mahalnya biaya rumah sakit akhirnya ya terus-terusan sakit. Tuhan kasih kesempatan Bu Tami untuk terus membanggakan kemampuannya membayar rumah sakit,” Nina terlihat makin sewot.

            Rukiat tetap diam.

“Benar juga ya, kata Nina,” Rukiat membatin, “Tetapi, kenapa ketika saya membanggakan istri yang manut. Kok perempuan ini justru sering melawan saya.”

***

            Malam itu, Rukiat nyaris tak bisa tidur. Bukan karena memikirkan nasib tetangganya yang sudah berkursi roda. Melainkan percakapannya dengan Nina. Ya, Utami bangga dengan mahalnya biaya rumah sakit. Tuhan memberi kesempatan perempuan itu untuk terus bangga – suaminya tak sembuh-sembuh dari sakitnya. Utami tetap diberi kesempatan untuk menceritakan kebanggaannya – mampu membayar biaya rumah sakit meski tanpa bpjs. Sementara dirinya sering membanggakan punya istri yang baik. Malahan yang terjadi sebaliknya.

            “Tuhan, tidak bolehkah saya membanggakan jodoh yang Kau berikan padaku?” Lelaki yang sudah tergeletak di atas kasus itu bertanya dalam batin.

Rukiat baru tertidur, setelah seluruh tubuhnya merasa tak berdaya.***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »