Humam S. Chudori
“Apa bezoek
harus di rumah sakit, Mas?” Tanya Nina, tatkala diajak suaminya menjenguk Budiono yang
dirawat di rumah sakit.
Mendapat
pertanyaan ini, Rukiat diam. Ia tidak tahu bagaimana menyampaikan maksud kepada
istrinya. Lantaran Nina sering tak sepakat dengannya. Apalagi sesuatu yang ada
urusannya dengan orang lain.
Sesuatu yang tak ada hubungannya dengan orang lain pun, Nina
sering tak mau menuruti keinginan suaminya. Ya, perempuan bersorot mata tajam
itu bukan sekali dua kali menolak ajakan Rukiat di tempat tidur. Padahal Nina
tidak sedang terlarang untuk berhubungan.
Bukan
cuma urusan kasur, melainkan urusan
dapur pun perempuan ini
sering tak peduli.
Betapa tidak, ketika
hendak berangkat kerja tak jarang perut Rukiat kosong. Lantaran Nina belum memasak
apa-apa. Bahkan secangkir kopi pun belum membasahi tenggorokan
suaminya. Terpaksa Rukiat sarapan dan ngopi di warung dekat tempat kerjanya.
Demikian pula, saat Rukiat pulang kerja. Adakalanya di rumah tidak ada apa-apa.
Akhirnya perutnya hanya diisi mie instant.
Lantaran
sang istri jarang masak,
adakalanya Rukiat
makan terlebih dulu di warung sebelum tiba di rumah. Sialnya, jika perutnya
sudah kenyang justru pada saat Nina memasak.
“Kamu nggak
suka masakan saya? Itu makan apa main-main?” Nina akan memberondong pertanyaan
ini kepada Rukiat, apabila lelaki itu makan sedikit.
Rukiat malas
melayani istrinya. Ia membiarkan Nina ngedumel.
Kendati telinganya terasa panas. Namun, lelaki berkumis tipis itu memilih diam. Membisu. Jika meladeni sang istri, ia takut kehilangan
kontrol. Dan, Rukiat bisa melampiaskan emosi kepada barang yang ada di hadapannya.
Ya, Rukiat pernah membanting piring. Piring yang berisi nasi
dan lauk berantakan di lantai. Lantaran Nina
tak henti-hentinya ngoceh ketika
suaminya makan. Rupanya ia tak
kuat mendengar ocehan sang istri.
Ia langsung piring yang ada di hadapannya hingga pecah berantakan di lantai.
Lelaki itu baru menyadari perbuatannya setelah Yanti, anaknya, berteriak kaget. Menangis. Gadis berusia enam tahun itu ketakutan melihat ulah sang ayah. Berbagai
bujukan disampaikan ibunya, agar ia berhenti menangis dan melanjutkan makan.
Namun, tak ada hasilnya. Ia tetap tidak mau makan.
Malam itu, Rukiat
kehilangan selera makan. Ia tidur di sofa sambil menahan lapar.
Peristiwa lain
yang pernah terjadi ketika Rukiat hendak berangkat kerja. Saat itu istrinya –
entah apa sebabnya – terus menerus menggerutu. Lelaki yang tengah bercermin itu
tak bisa mengontrol emosinya. Dan, tanpa pikir panjang ia meninju cermin di
hadapannya.
Praannnggg!
Celakanya
bersamaan dengan itu Yanti pulang. Karena buku pr-nya ketinggalan. Memang. Sekolah anak itu tidak
jauh dari rumah. Dan, sejak kelas dua esde ia tak pernah diantar
lagi.
Yanti tidak menangis seperti ketika ayahnya
membanting piring, dua tahun lalu. Meskipun begitu wajah gadis kecil itu
terlihat ketakutan menyaksikan orangtua laki-lakinya meninju cermin. Rukiat tak peduli. Ia langsung berangkat kerja.
Sejak itu,
Rukiat tak mau lagi melampiaskan kemarahan. Jika sang istri terlihat ada
tanda-tanda akan marah, menggerutu, atau kesal. Ia cenderung meninggalkan rumah.
Entah sejak
kapan persisnya, Nina berani membantah suami. Yang jelas perempuan itu pada
tahun-tahun pertama menjadi istri Rukiat tidak demikian. Karena itu tak jarang
Rukiat akan membanggakan istrinya. Baik kepada teman kerja atau tetangganya.
“Saya benar-benar
beruntung punya istri yang masih bisa menerima konsep suwargo nunut neroko katut,” demikian Rukiat membanggakan punya istri,
Nina.
Namun, tanpa sebab
yang jelas, beberapa tahun belakangan sering terjadi
kesalahpahaman jika mereka berbincang-bincang. Percakapan acapkali berakhir dengan percekcokan. Itu
sebabnya Rukiat mulai malas bercakap-cakap dengan istrinya.
Pernah terpikir
oleh Rukiat untuk memulangkan Nina kepada orangtuanya. Namun, niat itu ia urungkan.
Bukan lantaran sudah ada anak. Melainkan ia ingat janjinya kepada sang ibu.
Ya, sehari setelah
ia mengajak Nina ke
rumahnya. Orangtua perempuan Rukiat itu sempat
bertanya tentang gadis yang dikenalkan itu.
“Kamu yakin
perempuan itu ingin kamu jadikan istri?” Tanya Kasturah.
“Ya, iya lah
Bu. Makanya saya ajak ke sini. Biar ibu tahu,” jawab Rukiat, “Memangnya kenapa
Bu?”
“Ibu melihat
perempuan itu....” Kasturah menghentikan sendiri kalimatnya. Namun, batin
Kasturah berkata, “Mata yang mencerminkan mata perlawanan.”
Rukiat diam. Ia
menunggu kalimat lanjutan ibunya.
Sebetulnya
Kasturah kurang setuju dengan gadis yang dikenalkan anaknya. Ia punya firasat kurang
bagus dengan perempuan itu. Namun, ia tidak ingin Rukiat membujang selamanya.
Betapa tidak,
sejak putus dengan Kartina – lima belas tahun yang lalu – Rukiat tak mencari
pengganti. Ia seperti patah hati. Bahkan seperti tak peduli lagi dengan perempuan.
Itu sebabnya
Kasturah merasa senang ketika Rukiat mengatakan sudah menemukan gadis yang dicintainya. Berarti anaknya sudah
melupakan Kartina. Anak lelakinya yang semata wayang akan berumahtangga. Dari
keempat orang anaknya, hanya Rukiat yang belum menikah.
Kasturah
berharap, sebelum ia menyusul suami ke alam baka, kesemua anaknya sudah
berumahtangga.
Sayang, gadis
yang dikenalkan berbeda jauh dengan Kartina. Bukan hanya kecantikannya. Kendati
baru sekali Nina datang. Kasturah menilai gadis itu kurang ideal untuk menjadi
seorang istri. Lantaran hampir seharian gadis itu berada di rumahnya. Dan, sepanjang waktu
tersebut Kasturah dapat menilai. Apalagi ketika ia melihat sorot mata sang
gadis bila diajak bicara. Sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan,
nalurinya mengatakan gadis itu bukan tipe perempuan ideal jadi istri.
“Kenapa Bu?” Tanya
Rukiat, setelah cukup lama ibunya diam.
“Apakah sudah
kamu pikir matang, kalau Nina akan kamu jadikan istri?”
“Memangnya ada masalah?” Jawab Rukiat.
Kasturah
diam. Ia tak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaannya. Namun, akhirnya ia
bicara juga, “Ibu Cuma mau
bilang, kamu sudah mantap dengan pilihan itu. Karena perkawinan itu sakral. Ibu
tak ingin nanti Kamu…”
“Pasti
tidaklah Bu.”
“Ibu tidak ridho apabila ia sudah jadi istri lalu karena
sesuatu hal Kamu menceraikannya. Dalam kamus Ibu tak ada istilah cerai kecuali
oleh kematian. Perkawinan itu sekali seumur hidup. Kecuali jika istrimu
meninggal, Kamu boleh saja mencari pengganti.”
Percakapan
dengan almarhumah ibunya inilah yang membuat Rukiat tidak pernah berani
merealisasikan keinginannya – memulangkan Nina ke orangtuanya. Jika menceraikan Nina artinya ia telah mengingkari janji kepada almarhum
orangtua perempuannya.
“Kenapa Nina
bisa berubah seperti...”
“Besok saja
kalau dia sudah pulang,” kata Nina, menghentikan pikiran Rukiat, “Toh, tidak ada keharusan menjenguk orang sakit ketika
ia masih di rumah sakit.”
“Memang betul,
tidak ada keharusan
seperti itu.”
“Ya, sudah
kalau begitu. Kalau Kamu tetap mau ke rumah sakit, pergi
saja sendiri. Atau ajak
orang lain.”
***
Sudah
sepuluh hari Budiono di rumah sakit. Suami Utami itu menderita komplikasi. Entah sudah berapa kali ia bolak
balik ke rumah sakit, sejak pertama kali dirawat dua tahun yang lalu.
Meskipun
demikian, baru sekali Nina menjenguk tetangga yang tinggal satu wilayah RT
tersebut. Itu pun dilakukannya bersama dengan ibu-ibu tetangga. Ya, saat pertama kali Budiono dirawat di rumah sakit.
Namun,
sejak pertama Budiono di-opname di
rumah sakit Rukiat belum pernah menjenguk di rumah sakit. Tugas Rukiat tak memungkinkan bisa menjenguk orang yang dirawat di rumah sakit. Karena rumah sakit punya aturan jam berkunjung. Padahal saat jam tersebut Rukiat belum tiba di rumahnya.
***
Ketika hendak
ke rumah sakit Rukiat melihat mobil sang tetangga lewat depan rumahnya. Tanda
sang tetangga sudah pulang dari rumah sakit.
Malamnya,
Rukiat bertandang ke rumah Budiono. Namun, ia tak mengajak istrinya.
“Ah, tidak
apa-apa kok Pak,” kata Utami, tatkala Rukiat mengatakan rencananya ingin
menjenguk Budiono di rumah sakit, “Saya maklum Pak. Ya, Namanya orang kerja.
Apalagi Pak Rukiat selalu pulang malam.”
Rukiat diam.
“Justru kalau
harus bezoek di rumah
sakit, artinya suami saya harus lebih lama lagi dirawat di sana. Padahal, nambah
sehari saja biayanya lumayan besar,” lanjut Utami.
Lalu ia menyebut
jumlah biaya yang telah dikeluarkan selama suaminya di rumah sakit.
“Apa tidak
pakai bpjs, Bu?”
“BPJS?” Utami
balik bertanya. Ada nada sinis ketika melontarkan pertanyaan ini.
Rukiat
mengangguk.
“Pakai bpjs
ribet. Birokrasinya ruwet. Pasien tidak langsung ditangani. Banyak aturan yang
menyangkut ini itu. Masa, pasien harus menunggu urusan ini itunya selesai dulu.
Baru dilayani.”
Rukiat diam.
“Ini bukan
cerita isapan jempol, Pak. Tapi, kami alami sendiri waktu pertama kali suami
saya harus dirawat di rumah sakit.”
“Apa tidak
dilaporkan ke...”
“Lapor?” Kembali
Utami memotong kalimat yang belum usai dilontarkan Rukiat, “Lapor kemana? Lagi
pula buat apa? Nanti malah kita sibuk mengurusi laporan yang belum tentu
ditindak lanjuti. Padahal yang harus cepat ditangani ya mestinya pasien.”
Rukiat masih
tetap diam. “Benar juga sih, bukan rahasia umum lagi jika layanan kesehatan
yang satu itu tak pernah ada beresnya. Bahkan bukan sekali dua kali soal bpjs
ini diberitakan tapi juga tak pernah ada perbaikan,” pikirnya.
Budiono tidak
bicara apa-apa. Karena sudah tak bisa berucap sepatah kata pun. Lelaki yang
duduk di kursi roda itu hanya menyimak percakapan istrinya dengan Rukiat. Sesekali
tangan kirinya mengelap mulutnya. Lantaran dari mulutnya tak henti-henti air
liurnya menetes.
“Coba Pak
Rukiat bayangkan andaikata bukan suami saya
yang sakit. Siapa bisa membayar biaya rumah sakit sebesar itu?”
***
“Itu sebabnya saya malas,” ujar Nina, usai
sang suami menceritakan percakapannya saat menjenguk tetangga yang baru pulang
dari rumah sakit.
“Lha
kita bezoek maksudnya ingin tahu kondisi pasien. Eh, malah yang
diceritakan bukan itu. Tapi, biaya rumah sakit yang mahal. Seolah-olah kalau
bukan Pak Budi yang sakit pasti tidak akan
tertolong. Lantaran biaya rumah sakitnya mahal. Lho, memangnya, tidak ada BPJS?”
Lanjut Nina.
Rukiat
diam.
“Yang
membuat saya sakit hati, waktu dulu menjenguk Pak Budi di rumah sakit. Kita
yang dijadikan perbandingan sama Bu Tami. Apa dia bilang, coba kalau yang sakit Pak Rukiat mana
mungkin mampu membayar biaya sebesar itu,” tambah Nina, “Tapi, bagaimana
kondisi suami Bu Tami sekarang? Sembuh? Malah strook
bukan?”
Rukiat
masih diam.
“Bangga
dengan mahalnya biaya rumah sakit akhirnya ya terus-terusan sakit. Tuhan kasih
kesempatan Bu Tami untuk terus membanggakan kemampuannya membayar rumah sakit,”
Nina terlihat makin sewot.
Rukiat
tetap diam.
“Benar juga ya,
kata Nina,” Rukiat membatin, “Tetapi, kenapa ketika saya membanggakan istri
yang manut. Kok perempuan ini justru
sering melawan saya.”
***
Malam itu, Rukiat nyaris tak bisa
tidur. Bukan karena memikirkan nasib tetangganya yang sudah berkursi roda.
Melainkan percakapannya dengan Nina. Ya, Utami bangga dengan mahalnya biaya
rumah sakit. Tuhan memberi kesempatan perempuan itu untuk terus bangga –
suaminya tak sembuh-sembuh dari sakitnya. Utami tetap diberi kesempatan untuk
menceritakan kebanggaannya – mampu membayar biaya rumah sakit meski tanpa bpjs.
Sementara dirinya sering membanggakan punya istri yang baik. Malahan yang terjadi sebaliknya.
“Tuhan,
tidak bolehkah saya membanggakan jodoh yang Kau berikan padaku?” Lelaki yang sudah tergeletak di atas kasus itu bertanya dalam batin.
Rukiat
baru tertidur, setelah seluruh tubuhnya merasa tak berdaya.***