Kisah Muram dari Sebuah Kandang
Murtopo membisu, memandangi sisa-sisa jerami yang teronggok
di dalam palungan. Beberapa hari itu, ia kerap melihat Marjan berdiri di tempat
yang sama, mengasongkan jerami ke moncong seekor sapi, atau sedang
mengelus-elus ternak kesayangannya yang tidak henti-hentinya memamah biak,
hingga Murtopo berpikir bahwa seekor sapi sengaja diciptakan hanya untuk
mengunyah, berak, lantas disembelih. Namun, sejak Minggu pagi yang nahas itu,
ia tidak pernah lagi melihat Marjan di sana. Sapi itu telah tewas, kedua
matanya yang terbuka tampak muram dan suwung. Murtopo bisa merasakan kemuraman yang
sama di wajah Marjan—kemuraman yang mengubah suasana kandang itu mati-nyenyat
serupa kuburan. Barangkali satu-satunya tanda kehidupan yang paling nyata
adalah dengung sekawanan lalat mengerumuni bau pesing di antara tumpukan
kotoran sapi.
“Bagaimana
bapakmu?” sapa Suwiryo, seorang tetangga yang tiba-tiba telah berdiri di
belakangnya. “Kang Marjan menyayangi betul semua binatang piaraannya. Ya,
begitulah.”
“Kasihan juga sapi itu, kebanyakan makan
jerami. Saya curiga, jerami sialan ini yang jadi penyebabnya!” tanggap Murtopo
seraya menghamburkan jerami dari palungan ke lantai kandang dengan kasar.
Suwiryo terdiam sebelum kemudian
menepuk-nepuk pundak Murtopo. “Saya jadi tak enak,” ujarnya. “Encoknya kumat, bapakmu
minta saya carikan rumput yang cukup buat pakan selama tiga hari. Tapi saya tak
sanggup karena waktu itu mesti bolak-balik ke desa sebelah. Akhirnya Marji
nekad mungut jerami sisa-sisa gagal panen di sawah.”
“Bukan salah Marji atau Lik Wiryo. Sekarang
memang sedang musim sekarat. Rumput saja sulit tumbuh di ladang,” ujar Murtopo
seraya memandang ke ladang.
Kandang sapi itu berada di belakang rumah,
berjarak sepenggalah dari perigi yang airnya mulai menyusut. Sejak puluhan
tahun silam, kandang itu tidak bergeser seruas bambu pun dari tempatnya
berdiri. Kalaupun ada yang berubah, paling-paling atap ijuk ilalang, lantai
kandang dari kayu pilihan, dinding gedek, palungan bambu, bagian-bagian lain
yang memang harus digantikan dengan yang baru karena telah lapuk dimakan waktu.
Di belakang kandang, sepetak ladang membentang hingga ke sebuah sungai yang
tebingnya terus digerus banjir dari tahun ke tahun. Penghujan dua tahun lalu, air
sungai menggenangi kandang itu, dan seekor babon gemuk yang malang, hilang
terseret arus deras. Namun, Marjan tampak baik-baik saja, hanya sedih
sewajarnya. Barangkali karena ia masih bisa menyelamatkan seekor pedet yang
terjebak dalam rumpun bambu pada malam banjir bandang itu.
“Sekarang semakin sulit cari rumput bagus.” Suwiryo
meraih sapu lidi yang tergeletak di bawah palungan dan mulai mengumpulkan
ceceran jerami di satu tempat. “Ladang-ladang sengaja ditanami rumput. Dulu
rumput bisa tumbuh di mana-mana, tanpa perlu repot-repot ditanam, dan orang-orang
boleh menyabit rumput di mana saja. Tak pernah ada yang ribut-ribut soal
rumput. Kamu masih ingat, kan?”
Murtopo kembali mengangguk. “Bapak pernah
cerita soal itu ke saya. Katanya ada warga kampung yang saling bacok gara-gara
cekcok soal rumput.”
“Benar-benar saling bacok, dua-duanya
dilarikan ke Puskesmas. Hampir tewas!”
“Miris sekali. Sampai separah itu, ya?”
“Tapi kalau penghujan, urusan pakan lebih gampang.
Ada saja yang minta saya untuk cari rumput. Upahnya bisa bantu-bantu beli
beras.”
“Terus, siapa yang mengurus sapinya Lik
Wiryo?”
“Marji sudah besar. Dia yang kadang-kadang cari
rumput. Dia masih kecil waktu kamu pergi dari kampung. Sudah ketemu dia, belum?”
Kening Murtopo mengedut, lalu menggeleng
lemah. Selepas lulus SMP ia nekad meninggalkan kampung halaman—itu cita-citanya
sejak masih kelas enam SD, karena terpantik peristiwa pada suatu sore. Ketika
itu ia terburu-buru karena teman-teman sebayanya telah menunggunya di sebuah
ladang terbengkalai untuk bermain bola. Maka ia mengisi setengah karung
rumputnya dengan daun pisang, jenis pakan yang paling dibenci oleh bapaknya. Sisanya,
sengaja ia jejalkan hijauan kolonjono ke mulut karung untuk menutupi
kecurangannya—kolonjono merupakan rumput yang paling disukai ternak piaraan
bapaknya. Setibanya di rumah, kecurangan itu dengan mudah terbongkar. Sebelum
tangan kecilnya sempat menjangkau timba perigi untuk membasahi tenggorokan, Marjan
menghadangnya di depan kandang. Tanpa banyak bicara, orangtua keras kepala itu
melecut Murtopo berkali-kali dengan batang beluntas. Ia bisa menerima
bilur-bilur merah yang meninggalkan rasa perih di punggungnya selama
berhari-hari. Namun, hatinya tidak bisa menerima ketika Marjan mengumpatnya sebagai
anak lonte, sebutan yang telanjur dianggapnya sebagai mahluk bejat dan ia tahu
kepada siapa sebutan itu dialamatkan: tak lain kepada Suliana, emak kandungnya,
yang sialnya, dua hari kemudian minggat bersama seorang blantik sapi.
Murtopo sama sekali tidak menduga bapaknya akan
semurka itu kepadanya. Padahal, hal semacam itu sesekali juga dilakukan oleh
anak-anak lainnya, terutama ketika musim paceklik pakan ternak; dan mereka baik-baik
saja, sebatas mendapatkan omelan sewajarnya dari orangtuanya. Sejak peristiwa
itu, Murtopo selalu berharap—bahkan berdoa—agar sapi-sapi itu mati pada suatu
hari, atau kabur meninggalkan kandang, atau digondol para pencuri hingga tidak
tersisa seekor pun; dengan begitu ia terbebas dari kewajiban menyabit rumput
yang merampas sebagian waktunya bermain bola bersama teman-teman sebayanya. Entah
kebetulan—atau memang doa itu terkabul—harapan itu pun menjadi kenyataan.
“Kalau pun ketemu, saya pasti pangling.” Murtopo
masih berusaha mengingat-ingat sosok wajah Marji. “Kira-kira dia umur berapa
waktu itu, ya?”
“Sekitar lima tahun, dan istri saya sedang
hamil besar waktu itu. Dia melahirkan di kandang sapi. Dan Marji yang teriak-teriak
minta tolong memanggil emakmu. Waktu itu…”
“Saya ingat sekarang,” sela Murtopo. “Itu
sehari setelah gerhana matahari, kan?”
“Yang saya takutkan, dia melahirkan pas hari
gerhana itu. Waktu itu…”
Suwiryo tidak sanggup meneruskan
kata-katanya. Tiba-tiba pandangannya menunduk, sebelum kemudian pamit dengan tergesa-gesa.
“Saya mau nempil bambu pembatas
ladang di pinggir kali itu. Nanti kalau bapakmu sudah bisa diajak bicara,
tolong sampaikan, ya!”
Murtopo bergeming. Seraya tersenyum tipis,
pandangannya mengikuti punggung Suwiryo yang tersamarkan di antara rumpun pohon
pisang kurus di ladang gersang; hal serupa yang ia lakukan sekitar dua puluhan
tahun lalu ketika dirinya memergoki tetangga dekatnya itu menuntun seekor sapi
milik bapaknya pada sebuah siang yang redup—siang yang semestinya orang-orang
kampung mendekam di dalam rumah dan memukul-mukul lesung agar matahari segera
terlepas dari mulut Batara Kala. Namun Murtopo dan Suwiryo tidak sepatuh yang
lainnya; Murtopo penasaran ingin melihat bayangan matahari gosong di permukaan
sungai, sementara Suwiryo harus secepatnya menyelesaikan utang-piutang yang
melilit kencang-kencang hingga ke lehernya.
* * *
“Lik Wiryo tak usah macam-macam! Apa
maksudnya ini?” tegur Murtopo seraya menekan suaranya agar tidak terdengar
sampai ke dalam rumah.
Mulut Suwiryo membisu. Ia malah sibuk mencacah
daun-daun pisang di dalam palungan. Murtopo benar-benar tidak habis pikir, ia
terbangun lebih awal pagi itu, udara kemarau yang kering-dingin mengambang
bersama kabut tipis ke seluruh penjuru kandang, dan pada saat itulah ia melihat
Suwiryo berdiri di depan palungan sedang mengelus-elus kepala seekor sapi—pemandangan
yang pada mata Murtopo seperti sebuah mimpi.
“Bapakmu sudah bisa diajak bicara? Sepertinya
dia sangat sedih dengan kematian sapi itu. Di mana dia sekarang?”
“Sebentar dulu! Ini sapi siapa dan kenapa ada
di sini?” tanya Murtopo seraya menahan geram. “Bapak masih meringkuk di dipan.
Subuh tadi baru pulang dari ladang. Mungkin dia tidur di kuburan sapi itu
seperti kemarin malam.”
Suwiryo tampak tidak percaya, pandangannya menyelidik
wajah Murtopo. “Mur, saya ingin bicara soal penting dengamu. Saya minta, kamu
mau mendengarnya dengan sungguh-sungguh.”
“Tak perlu mutar-mutar, Lik. Cepatlah bicara
mumpung orang tua itu belum bangun!”
“Saya…” Suwiryo mendadak ragu dan
pandangannya menunduk, menghindari tatapan Murtopo yang tiba-tiba terasa seperti
ingin menelanjanginya. “Maaf, apa benar, kamu tak pernah bilang ke siapa pun
soal sapi bapakmu yang hilang dua puluh tahun lalu?”
“Sampean
pelakunya, kan? Saya lihat sendiri, karena memang tak ada yang berani keluar
rumah. Rahasia itu masih saya simpan sampai sekarang, Lik. Meski kadang-kadang
saya punya niat menceritakannya pada bapak. Tapi, sudahlah!”
“Saya simpan rasa bersalah itu
bertahun-tahun. Makanya, saya tak pernah menolak sewaktu bapakmu membutuhkan
saya. Saya pikir itu bisa mengobati rasa bersalah saya, tapi ternyata tidak
sama sekali. Laknat, bangsat, bajingan betul saya ini!”
Terasa ada perih-nyeri yang mendadak naik ke
ulu hati Murtopo ketika mendengar apa yang diucapkan Suwiryo. Meski tidak
pernah mengatakannya, ia menyimpan rasa bersalah yang sama. Kini, setelah
kepulangan sementaranya ke kampung halaman, ia masih gentar membongkar rahasia
yang tersimpan selama puluhan tahun itu. Murtopo tidak bisa membayangkan apa
yang akan terjadi jika ia berani berterus terang kepada bapaknya, bisa-bisa
Suwiryo hanya akan tinggal nama.
“Sekarang mumpung kamu di kampung, saya butuh
bantuanmu,” lanjut Suwiryo dengan nada memelas. “Biarkan sapi ini jadi milik
bapakmu mulai hari ini. Coba lihat, warna kulitnya mirip sekali dengan sapi
yang sudah mati itu, kan? Ya, meskipun ini masih pedet.”
Seketika Murtopo terhenyak. “Sampean jangan main-main! Saya juga
ingin membelikannya sapi. Tapi uang saya belum cukup. Saya bukan orang kaya di perantauan.
Jangan coba-coba memanfaatkan keadaan!”
“Duh, Gusti, saya tak bermaksud…” Suwiryo
mencoba menenangkan Murtopo.
“Tak bermaksud apa?”
Derit pintu terdengar dari dapur. Marjan
muncul dengan sabit di tangan dan malangkah lurus-lurus menuju kandang. Ia
menatap penuh selidik Murtopo dan Suwiryo yang mulai salah tingkah. Lalu, dengan
murka, Marjan menghantamkan punggung sabit ke palungan bambu. “Ini kandang sapi
saya! Siapa yang berani kurang ajar bawa-bawa sapi kurus ini ke sini? Kalian
pikir lucu? Jangan macam-macam sama saya!”
Wajah Suwiryo mendadak pucat, dan Murtopo
mengalihkan pandangan ke tempat lain; sementara sapi itu terus mengunyah seolah
tidak terjadi apa-apa di tempat itu.
Setelah jeda yang bisu dan serba salah
tingkah itu, Suwiryo memberanikan berbicara dengan suara gemetar. “Maafkan saya,
tak memberi tahu sebelumnya. Sapi ini memang milik Kang Marjan. Saya menjualnya
untuk kebutuhan Marji yang mau melanjutkan sekolah di kota. Dan Murtopo sengaja
membelinya untuk sampean. Benar kan,
Mur?”
Murtopo tergeragap, tapi secepatnya
mengangguk, berusaha bersikap sewajarnya. Marjan tampak curiga, ia bergantian
menyelidik wajah anak bungsunya itu dan Suwiryo. “Benar begitu, Mur?” ujarnya
setelah jeda beberapa lama.
Murtopo kembali mengangguk.
“Apa kalian tahu, saya pelihara sapi itu
sejak masih pedet?” lanjut Marjan dengan wajah sedih. “Babonnya hilang terseret
banjir. Saya selalu pilihkan rumput yang bagus untuk sapi itu sampai tumbuh
besar, gemuk, dan siapa pun yang melihatnya pasti senang. Sudah berapa blantik
yang menawarnya, tapi saya tak mau melepasnya. Saya punya rencana sendiri dengan
sapi itu. Apa kalian tahu?”
Murtopo dan Suwiryo hanya saling pandang.
“Punya hewan piaraan itu bisa melipur hati seorang
tua bangka semacam saya. Tapi sapi yang satu itu...” Suara Marjan semakin lirih
dan gemetar. “Saya siapkan sapi pilihan itu sebagai hewan kurban. Saya ingin
ber-kurban tahun ini, atas nama saya pribadi! Tapi gara-gara jerami bangsat
itu...”
Marjan tidak melanjutkan kata-katanya. Tidak
ada satu pun yang ingin mulai berkata-kata. Tiba-tiba udara terasa lebih kering
dan dingin, kabut tipis telah menguap, dan matahari mulai menyepuh atap ijuk
ilalang yang telah lapuk dilahap musim. Kedua lutut Murtopo terasa lemas
mendengar apa yang baru saja diungkapkan orangtuanya—dan dia bertahan memeram
rasa haru di dalam hatinya. Setelah keheningan yang cukup panjang itu,
tiba-tiba Marjan menyambar keranjang bambu yang teronggok di sudut kandang. “Kalian
boleh membiarkan sapi kurus itu tetap di sini,” ujarnya seraya menatap tajam
kedua laki-laki yang masih dihantam rasa bersalah itu. “Tapi cepat singkirkan
daun pisang itu dari palungan. Masih ada makanan lain yang lebih pantas untuk
seekor sapi!”
Tanpa menoleh lagi, Marjan bergegas menuju
ladang. Murtopo dan Suwiryo tidak melakukan apa pun hingga punggung Marjan yang
membungkuk semakin menjauh, menghilang di balik rimbunan bambu di pinggir sungai,
bahkan mereka membiarkan sapi kurus itu menggasak daun-daun pisang dengan
lahap. ()
Ampenan, 17 Juni 2023