Kisah Muram dari Sebuah Kandang - Tjak S. Parlan

@kontributor 9/03/2023

Kisah Muram dari Sebuah Kandang

Tjak S. Parlan

 


Murtopo membisu, memandangi sisa-sisa jerami yang teronggok di dalam palungan. Beberapa hari itu, ia kerap melihat Marjan berdiri di tempat yang sama, mengasongkan jerami ke moncong seekor sapi, atau sedang mengelus-elus ternak kesayangannya yang tidak henti-hentinya memamah biak, hingga Murtopo berpikir bahwa seekor sapi sengaja diciptakan hanya untuk mengunyah, berak, lantas disembelih. Namun, sejak Minggu pagi yang nahas itu, ia tidak pernah lagi melihat Marjan di sana. Sapi itu telah tewas, kedua matanya yang terbuka tampak muram dan suwung. Murtopo bisa merasakan kemuraman yang sama di wajah Marjan—kemuraman yang mengubah suasana kandang itu mati-nyenyat serupa kuburan. Barangkali satu-satunya tanda kehidupan yang paling nyata adalah dengung sekawanan lalat mengerumuni bau pesing di antara tumpukan kotoran sapi.

 “Bagaimana bapakmu?” sapa Suwiryo, seorang tetangga yang tiba-tiba telah berdiri di belakangnya. “Kang Marjan menyayangi betul semua binatang piaraannya. Ya, begitulah.”

“Kasihan juga sapi itu, kebanyakan makan jerami. Saya curiga, jerami sialan ini yang jadi penyebabnya!” tanggap Murtopo seraya menghamburkan jerami dari palungan ke lantai kandang dengan kasar.

Suwiryo terdiam sebelum kemudian menepuk-nepuk pundak Murtopo. “Saya jadi tak enak,” ujarnya. “Encoknya kumat, bapakmu minta saya carikan rumput yang cukup buat pakan selama tiga hari. Tapi saya tak sanggup karena waktu itu mesti bolak-balik ke desa sebelah. Akhirnya Marji nekad mungut jerami sisa-sisa gagal panen di sawah.”

“Bukan salah Marji atau Lik Wiryo. Sekarang memang sedang musim sekarat. Rumput saja sulit tumbuh di ladang,” ujar Murtopo seraya memandang ke ladang.

Kandang sapi itu berada di belakang rumah, berjarak sepenggalah dari perigi yang airnya mulai menyusut. Sejak puluhan tahun silam, kandang itu tidak bergeser seruas bambu pun dari tempatnya berdiri. Kalaupun ada yang berubah, paling-paling atap ijuk ilalang, lantai kandang dari kayu pilihan, dinding gedek, palungan bambu, bagian-bagian lain yang memang harus digantikan dengan yang baru karena telah lapuk dimakan waktu. Di belakang kandang, sepetak ladang membentang hingga ke sebuah sungai yang tebingnya terus digerus banjir dari tahun ke tahun. Penghujan dua tahun lalu, air sungai menggenangi kandang itu, dan seekor babon gemuk yang malang, hilang terseret arus deras. Namun, Marjan tampak baik-baik saja, hanya sedih sewajarnya. Barangkali karena ia masih bisa menyelamatkan seekor pedet yang terjebak dalam rumpun bambu pada malam banjir bandang itu.

“Sekarang semakin sulit cari rumput bagus.” Suwiryo meraih sapu lidi yang tergeletak di bawah palungan dan mulai mengumpulkan ceceran jerami di satu tempat. “Ladang-ladang sengaja ditanami rumput. Dulu rumput bisa tumbuh di mana-mana, tanpa perlu repot-repot ditanam, dan orang-orang boleh menyabit rumput di mana saja. Tak pernah ada yang ribut-ribut soal rumput. Kamu masih ingat, kan?”

Murtopo kembali mengangguk. “Bapak pernah cerita soal itu ke saya. Katanya ada warga kampung yang saling bacok gara-gara cekcok soal rumput.”

“Benar-benar saling bacok, dua-duanya dilarikan ke Puskesmas. Hampir tewas!”

“Miris sekali. Sampai separah itu, ya?”

“Tapi kalau penghujan, urusan pakan lebih gampang. Ada saja yang minta saya untuk cari rumput. Upahnya bisa bantu-bantu beli beras.”

“Terus, siapa yang mengurus sapinya Lik Wiryo?”

“Marji sudah besar. Dia yang kadang-kadang cari rumput. Dia masih kecil waktu kamu pergi dari kampung. Sudah ketemu dia, belum?”

Kening Murtopo mengedut, lalu menggeleng lemah. Selepas lulus SMP ia nekad meninggalkan kampung halaman—itu cita-citanya sejak masih kelas enam SD, karena terpantik peristiwa pada suatu sore. Ketika itu ia terburu-buru karena teman-teman sebayanya telah menunggunya di sebuah ladang terbengkalai untuk bermain bola. Maka ia mengisi setengah karung rumputnya dengan daun pisang, jenis pakan yang paling dibenci oleh bapaknya. Sisanya, sengaja ia jejalkan hijauan kolonjono ke mulut karung untuk menutupi kecurangannya—kolonjono merupakan rumput yang paling disukai ternak piaraan bapaknya. Setibanya di rumah, kecurangan itu dengan mudah terbongkar. Sebelum tangan kecilnya sempat menjangkau timba perigi untuk membasahi tenggorokan, Marjan menghadangnya di depan kandang. Tanpa banyak bicara, orangtua keras kepala itu melecut Murtopo berkali-kali dengan batang beluntas. Ia bisa menerima bilur-bilur merah yang meninggalkan rasa perih di punggungnya selama berhari-hari. Namun, hatinya tidak bisa menerima ketika Marjan mengumpatnya sebagai anak lonte, sebutan yang telanjur dianggapnya sebagai mahluk bejat dan ia tahu kepada siapa sebutan itu dialamatkan: tak lain kepada Suliana, emak kandungnya, yang sialnya, dua hari kemudian minggat bersama seorang blantik sapi.

Murtopo sama sekali tidak menduga bapaknya akan semurka itu kepadanya. Padahal, hal semacam itu sesekali juga dilakukan oleh anak-anak lainnya, terutama ketika musim paceklik pakan ternak; dan mereka baik-baik saja, sebatas mendapatkan omelan sewajarnya dari orangtuanya. Sejak peristiwa itu, Murtopo selalu berharap—bahkan berdoa—agar sapi-sapi itu mati pada suatu hari, atau kabur meninggalkan kandang, atau digondol para pencuri hingga tidak tersisa seekor pun; dengan begitu ia terbebas dari kewajiban menyabit rumput yang merampas sebagian waktunya bermain bola bersama teman-teman sebayanya. Entah kebetulan—atau memang doa itu terkabul—harapan itu pun menjadi kenyataan.

“Kalau pun ketemu, saya pasti pangling.” Murtopo masih berusaha mengingat-ingat sosok wajah Marji. “Kira-kira dia umur berapa waktu itu, ya?”

“Sekitar lima tahun, dan istri saya sedang hamil besar waktu itu. Dia melahirkan di kandang sapi. Dan Marji yang teriak-teriak minta tolong memanggil emakmu. Waktu itu…”

“Saya ingat sekarang,” sela Murtopo. “Itu sehari setelah gerhana matahari, kan?”

“Yang saya takutkan, dia melahirkan pas hari gerhana itu. Waktu itu…”

Suwiryo tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Tiba-tiba pandangannya menunduk, sebelum kemudian pamit dengan tergesa-gesa. “Saya mau nempil bambu pembatas ladang di pinggir kali itu. Nanti kalau bapakmu sudah bisa diajak bicara, tolong sampaikan, ya!”

Murtopo bergeming. Seraya tersenyum tipis, pandangannya mengikuti punggung Suwiryo yang tersamarkan di antara rumpun pohon pisang kurus di ladang gersang; hal serupa yang ia lakukan sekitar dua puluhan tahun lalu ketika dirinya memergoki tetangga dekatnya itu menuntun seekor sapi milik bapaknya pada sebuah siang yang redup—siang yang semestinya orang-orang kampung mendekam di dalam rumah dan memukul-mukul lesung agar matahari segera terlepas dari mulut Batara Kala. Namun Murtopo dan Suwiryo tidak sepatuh yang lainnya; Murtopo penasaran ingin melihat bayangan matahari gosong di permukaan sungai, sementara Suwiryo harus secepatnya menyelesaikan utang-piutang yang melilit kencang-kencang hingga ke lehernya.

* * *

“Lik Wiryo tak usah macam-macam! Apa maksudnya ini?” tegur Murtopo seraya menekan suaranya agar tidak terdengar sampai ke dalam rumah.

Mulut Suwiryo membisu. Ia malah sibuk mencacah daun-daun pisang di dalam palungan. Murtopo benar-benar tidak habis pikir, ia terbangun lebih awal pagi itu, udara kemarau yang kering-dingin mengambang bersama kabut tipis ke seluruh penjuru kandang, dan pada saat itulah ia melihat Suwiryo berdiri di depan palungan sedang mengelus-elus kepala seekor sapi—pemandangan yang pada mata Murtopo seperti sebuah mimpi.

“Bapakmu sudah bisa diajak bicara? Sepertinya dia sangat sedih dengan kematian sapi itu. Di mana dia sekarang?”

“Sebentar dulu! Ini sapi siapa dan kenapa ada di sini?” tanya Murtopo seraya menahan geram. “Bapak masih meringkuk di dipan. Subuh tadi baru pulang dari ladang. Mungkin dia tidur di kuburan sapi itu seperti kemarin malam.”

Suwiryo tampak tidak percaya, pandangannya menyelidik wajah Murtopo. “Mur, saya ingin bicara soal penting dengamu. Saya minta, kamu mau mendengarnya dengan sungguh-sungguh.”

“Tak perlu mutar-mutar, Lik. Cepatlah bicara mumpung orang tua itu belum bangun!”

“Saya…” Suwiryo mendadak ragu dan pandangannya menunduk, menghindari tatapan Murtopo yang tiba-tiba terasa seperti ingin menelanjanginya. “Maaf, apa benar, kamu tak pernah bilang ke siapa pun soal sapi bapakmu yang hilang dua puluh tahun lalu?”

Sampean pelakunya, kan? Saya lihat sendiri, karena memang tak ada yang berani keluar rumah. Rahasia itu masih saya simpan sampai sekarang, Lik. Meski kadang-kadang saya punya niat menceritakannya pada bapak. Tapi, sudahlah!”

“Saya simpan rasa bersalah itu bertahun-tahun. Makanya, saya tak pernah menolak sewaktu bapakmu membutuhkan saya. Saya pikir itu bisa mengobati rasa bersalah saya, tapi ternyata tidak sama sekali. Laknat, bangsat, bajingan betul saya ini!”

Terasa ada perih-nyeri yang mendadak naik ke ulu hati Murtopo ketika mendengar apa yang diucapkan Suwiryo. Meski tidak pernah mengatakannya, ia menyimpan rasa bersalah yang sama. Kini, setelah kepulangan sementaranya ke kampung halaman, ia masih gentar membongkar rahasia yang tersimpan selama puluhan tahun itu. Murtopo tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ia berani berterus terang kepada bapaknya, bisa-bisa Suwiryo hanya akan tinggal nama.

“Sekarang mumpung kamu di kampung, saya butuh bantuanmu,” lanjut Suwiryo dengan nada memelas. “Biarkan sapi ini jadi milik bapakmu mulai hari ini. Coba lihat, warna kulitnya mirip sekali dengan sapi yang sudah mati itu, kan? Ya, meskipun ini masih pedet.”

Seketika Murtopo terhenyak. “Sampean jangan main-main! Saya juga ingin membelikannya sapi. Tapi uang saya belum cukup. Saya bukan orang kaya di perantauan. Jangan coba-coba memanfaatkan keadaan!”

“Duh, Gusti, saya tak bermaksud…” Suwiryo mencoba menenangkan Murtopo.

“Tak bermaksud apa?”

Derit pintu terdengar dari dapur. Marjan muncul dengan sabit di tangan dan malangkah lurus-lurus menuju kandang. Ia menatap penuh selidik Murtopo dan Suwiryo yang mulai salah tingkah. Lalu, dengan murka, Marjan menghantamkan punggung sabit ke palungan bambu. “Ini kandang sapi saya! Siapa yang berani kurang ajar bawa-bawa sapi kurus ini ke sini? Kalian pikir lucu? Jangan macam-macam sama saya!”

Wajah Suwiryo mendadak pucat, dan Murtopo mengalihkan pandangan ke tempat lain; sementara sapi itu terus mengunyah seolah tidak terjadi apa-apa di tempat itu.

Setelah jeda yang bisu dan serba salah tingkah itu, Suwiryo memberanikan berbicara dengan suara gemetar. “Maafkan saya, tak memberi tahu sebelumnya. Sapi ini memang milik Kang Marjan. Saya menjualnya untuk kebutuhan Marji yang mau melanjutkan sekolah di kota. Dan Murtopo sengaja membelinya untuk sampean. Benar kan, Mur?”

Murtopo tergeragap, tapi secepatnya mengangguk, berusaha bersikap sewajarnya. Marjan tampak curiga, ia bergantian menyelidik wajah anak bungsunya itu dan Suwiryo. “Benar begitu, Mur?” ujarnya setelah jeda beberapa lama.

Murtopo kembali mengangguk.

“Apa kalian tahu, saya pelihara sapi itu sejak masih pedet?” lanjut Marjan dengan wajah sedih. “Babonnya hilang terseret banjir. Saya selalu pilihkan rumput yang bagus untuk sapi itu sampai tumbuh besar, gemuk, dan siapa pun yang melihatnya pasti senang. Sudah berapa blantik yang menawarnya, tapi saya tak mau melepasnya. Saya punya rencana sendiri dengan sapi itu. Apa kalian tahu?”

Murtopo dan Suwiryo hanya saling pandang.

“Punya hewan piaraan itu bisa melipur hati seorang tua bangka semacam saya. Tapi sapi yang satu itu...” Suara Marjan semakin lirih dan gemetar. “Saya siapkan sapi pilihan itu sebagai hewan kurban. Saya ingin ber-kurban tahun ini, atas nama saya pribadi! Tapi gara-gara jerami bangsat itu...”

Marjan tidak melanjutkan kata-katanya. Tidak ada satu pun yang ingin mulai berkata-kata. Tiba-tiba udara terasa lebih kering dan dingin, kabut tipis telah menguap, dan matahari mulai menyepuh atap ijuk ilalang yang telah lapuk dilahap musim. Kedua lutut Murtopo terasa lemas mendengar apa yang baru saja diungkapkan orangtuanya—dan dia bertahan memeram rasa haru di dalam hatinya. Setelah keheningan yang cukup panjang itu, tiba-tiba Marjan menyambar keranjang bambu yang teronggok di sudut kandang. “Kalian boleh membiarkan sapi kurus itu tetap di sini,” ujarnya seraya menatap tajam kedua laki-laki yang masih dihantam rasa bersalah itu. “Tapi cepat singkirkan daun pisang itu dari palungan. Masih ada makanan lain yang lebih pantas untuk seekor sapi!”

Tanpa menoleh lagi, Marjan bergegas menuju ladang. Murtopo dan Suwiryo tidak melakukan apa pun hingga punggung Marjan yang membungkuk semakin menjauh, menghilang di balik rimbunan bambu di pinggir sungai, bahkan mereka membiarkan sapi kurus itu menggasak daun-daun pisang dengan lahap. ()

 

Ampenan, 17 Juni 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »