Melbourne - Herdi Sahrasad

@kontributor 9/17/2023
MELBOURNE 




I
Engkau datang dari musim dingin yang akut
Bagai siluet yang jatuh ke katedral
kesunyianmu tersangkut kabut
Mengganjal. Menggigir penyair terlunta yang bengal

Dari bening sungai Yarra, hening hidup terkaca
Di permukaan kolam: masih membekas guratan
sesal dan luka

Burung burung ngembara dengan mimpi misteri
Ke selatan, kabut menjarah kenangan
Kata kata dan desah hujan bertabrakan:
Daging di balik celanamu bergambut
bergolak dalam kesunyian

Kasihku di halte kota lama
Meraungkan lagu senja
Angin yang tersangkut ranting sepi
Menghembuskan berahi yang tak terbagi

Seperti sepasang angsa tersaruk saruk
meremuk kantuk
Gadis gadis hanyut di sungai peluk
Dan malam pun mabuk. Terkutuk

Di luar, musim memintas
Mencium dingin bergegas
Di kamar, senggamamu yang keras
seperti hujan beringas:
kabut, ranjang dan selimut lepas,
seluruh sunyi kau hempas dan kau libas!


II
September menetes ke rongga sejarah
kelam. Seperti jiwa yang padam
Terkutuklah penyair dan pengembara 
yang jatuh ke pelukan malam
Hanya karena berlari dari
kekosongan

Apa yang diburu
Luput dari genggaman
Dan gerimis menitik dari petualangan
Ia yang berwajah duka
terbujur dilupakan

Melbourne, kota yang ungu
di mana pendatang Asia dicerca
dengan sapuan garis kelabu

Keangkuhan bersemayam
di balik garis ras
balada pedih di negeri kaum putih yang keras
hatiku cemas, tanganku lepas

III
Gerimis terentang
bagai bendera putih setengah tiang

Dengan trem pagi di musim gugur
Taring taring kota menyeretmu dari tidur
Petualangan tersayat sayat
Terlempar dari mereka yang hampir terkubur

“Para diktator Asia tak kunjung jatuh,”
tivi pagi berbicara. Potret potret lama kita terbakar
kota yang hingar
Tapi ciumanmu masih membekas di tembok kamar

“Demokrasi adalah hutan tropis yang hangus
Api para tiran yang melahap gubuk gubuk kardus,”
kau berkata

Lalu kita rapatkan diri
dengan kecupan beruntun
di luar angin menanggalkan daun daun

Musim mendadak kosong
hanya lorong lorong
yang memanjang seperti sungai Mekong

Aku pun gemetar. Hujan tiba tiba mengundurkan diri
dari langit. Surya menjauh ke bukit bukit
Dan jam membawakan gemanya ke halaman

“Di Asia para diktator terus berkuasa,”
sapa tivi pagi pada pengembara. Angin jatuh
Di koran koran, para pemimpin otoriter terbunuh,
rakyat menyapu diktator
seperti hujan menyeret longsor

Gelombang taman yang suram
dipagut musim gugur menggeram

Aku bayangkan seseorang diam
dipukau gelombang kelam

Kota gemetar
di udara senja

Sunyi memijar
di kaca kaca jendela

Kuketuk pintumu,
hati yang lama lekang
Kupeluk jantungmu.
kasih yang lama hilang

IV
Gairah hidup membuncah, membentang bayang
Di apartemen hitam Parkville Avenue
aku merasa kau bicara
dalam tiktok jam
Angin diam

Dirajam tiang tiang yang padam
dan pemabuk memekik malam
wajahku mendadak seram
Sunyi yang muram
Menjelma angin berdentam
Sampai ke potretmu

Mendadak lidahmu yang berahi
Membersit dari langit
Mengulurkan diri

Tapi ranjang hanya angin
dan derit besi yang dingin
Impian jalang berlumur luka
sejak harum rambutmu tak pernah ada

V
Di antara losmen,
dinding dinding kota dan
lembah sungai Yarra
Perburuan liar menyimpan airmata

Di pegunungan Mount Buller
jauh di selatan Victoria
Kau mengucap badai reda

Tiba tiba suaramu berubah gerimis dan senja beku
Cuaca mengendap di atap atap bersalju
Kita ke sana, menembus Zen dan keheningan waktu
Pengembaraan setia, menjejak segala tuju

Hari yang letih
terbaring di sajak putih

VI
Melbourne baru bangun pagi
tapi pengantin baru telah memulai
puncak dari puncak sepi:
Ranjang yang dingin terbakar kembali

Mendadak aku ingin bicara
kepada kenangan kenangan lama
yang membentuk buku harian tua
dan meninggalkan kesendirianmu di sana

Ada yang hilang
oleh gelombang perubahan
dan wajahku menggoreskan kekerasan
di kota, di mana patung patung ingin ngembara

Hidup yang berjalan penuh luka
memperpanjang pendarahan
Dan waktu terus menanggalkan daunan
dari pohon yang kefanaan

Kita tersaruk saruk
didera senja dan utopia

Pengembaraan misteri
memburu makna
dalam makna

Penyair tak sempurna
melacak siapa dirinya

Aku berkaca
dan tahu,
Setiap kali pencarian
harus dimulai di bumi
Dari mana kehudupan bangkit
menolak mati!

VII
Di halte kota lama
angin tersangkut sepi
membunuh berahi yang tak terbagi

Lelaki-perempuan pirang tekuk menekuk
meremuk kantuk

Siluet gereja abad delapan belas
mencium badai yang lepas

Kau mengigau hujan mengembara

Tapi siapa yang berkaca
ke arus sungai yang iba
Wajahmu terkesima
Kita dengar kota mengirim lonceng gereja
dan trem dengan suara gemeretak baja

Dan langit menurunkan
malam berjelaga

Buruh angkutan yang kembali mogok
membiarkan bus bus jadi tembok

Di Monash dan pusat kota
protes mengenai Timor Timur perlahan reda

Kita lewati kegelapan
taman Parkville Avenue seperti firdaus yang ditinggalkan

Hanya lampu lampu neon
mendesak kelam ke pohon pohon

Deru hujan di kejauhan
memperkeras sepi para pejalan
Jejak sepatu mereka berkilatan
ditingkah jam memburu malam

Esoknya hari terentang di pantai
dan sepimu terlerai

Dan waktu terus berjalan
mempercepat rambut putih keperakan
menghitamkan pepohonan

Di seberang jalan seorang tua
duduk memandang truk

Kota terus sibuk melupa hari buruk
aku terbatuk batuk 

Dan ketika perahu kecilmu
di sungai Yarra berlayar
Kudengar ada yang gemetar
: maut menyiapkan kamar

Karena takut pada dosa
kulupakan ancaman hari kemudian,
juga Tuhan

Tapi musim yang dingin
menggurat bayangan kefanaan

“Apa tak percuma membaca kitab suci
ketika hati tak ada api?”
kau bertanya

Kudengar angin tersaruk saruk
Di luar jendela, di antara daun daun yang ambruk

Gerimis subuh jatuh
menggapai gapai
menara lunglai
Di antara puncak katedral tua dan musim Aborigin yang dilupakan
sosok kabut berjalan
menyeret hujan
dan mungkin juga bayangan bulan

Kemudian gemuruh
dan selebihnya apartemen sepi

Tubuh yang rapuh
Terbujur seperti bayi mati

Melbourne, 1992-2022

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »