MELBOURNE
I
Engkau datang dari musim dingin yang akut
Bagai siluet yang jatuh ke katedral
kesunyianmu tersangkut kabut
Mengganjal. Menggigir penyair terlunta yang bengal
Dari bening sungai Yarra, hening hidup terkaca
Di permukaan kolam: masih membekas guratan
sesal dan luka
Burung burung ngembara dengan mimpi misteri
Ke selatan, kabut menjarah kenangan
Kata kata dan desah hujan bertabrakan:
Daging di balik celanamu bergambut
bergolak dalam kesunyian
Kasihku di halte kota lama
Meraungkan lagu senja
Angin yang tersangkut ranting sepi
Menghembuskan berahi yang tak terbagi
Seperti sepasang angsa tersaruk saruk
meremuk kantuk
Gadis gadis hanyut di sungai peluk
Dan malam pun mabuk. Terkutuk
Di luar, musim memintas
Mencium dingin bergegas
Di kamar, senggamamu yang keras
seperti hujan beringas:
kabut, ranjang dan selimut lepas,
seluruh sunyi kau hempas dan kau libas!
II
September menetes ke rongga sejarah
kelam. Seperti jiwa yang padam
Terkutuklah penyair dan pengembara
yang jatuh ke pelukan malam
Hanya karena berlari dari
kekosongan
Apa yang diburu
Luput dari genggaman
Dan gerimis menitik dari petualangan
Ia yang berwajah duka
terbujur dilupakan
Melbourne, kota yang ungu
di mana pendatang Asia dicerca
dengan sapuan garis kelabu
Keangkuhan bersemayam
di balik garis ras
balada pedih di negeri kaum putih yang keras
hatiku cemas, tanganku lepas
III
Gerimis terentang
bagai bendera putih setengah tiang
Dengan trem pagi di musim gugur
Taring taring kota menyeretmu dari tidur
Petualangan tersayat sayat
Terlempar dari mereka yang hampir terkubur
“Para diktator Asia tak kunjung jatuh,”
tivi pagi berbicara. Potret potret lama kita terbakar
kota yang hingar
Tapi ciumanmu masih membekas di tembok kamar
“Demokrasi adalah hutan tropis yang hangus
Api para tiran yang melahap gubuk gubuk kardus,”
kau berkata
Lalu kita rapatkan diri
dengan kecupan beruntun
di luar angin menanggalkan daun daun
Musim mendadak kosong
hanya lorong lorong
yang memanjang seperti sungai Mekong
Aku pun gemetar. Hujan tiba tiba mengundurkan diri
dari langit. Surya menjauh ke bukit bukit
Dan jam membawakan gemanya ke halaman
“Di Asia para diktator terus berkuasa,”
sapa tivi pagi pada pengembara. Angin jatuh
Di koran koran, para pemimpin otoriter terbunuh,
rakyat menyapu diktator
seperti hujan menyeret longsor
Gelombang taman yang suram
dipagut musim gugur menggeram
Aku bayangkan seseorang diam
dipukau gelombang kelam
Kota gemetar
di udara senja
Sunyi memijar
di kaca kaca jendela
Kuketuk pintumu,
hati yang lama lekang
Kupeluk jantungmu.
kasih yang lama hilang
IV
Gairah hidup membuncah, membentang bayang
Di apartemen hitam Parkville Avenue
aku merasa kau bicara
dalam tiktok jam
Angin diam
Dirajam tiang tiang yang padam
dan pemabuk memekik malam
wajahku mendadak seram
Sunyi yang muram
Menjelma angin berdentam
Sampai ke potretmu
Mendadak lidahmu yang berahi
Membersit dari langit
Mengulurkan diri
Tapi ranjang hanya angin
dan derit besi yang dingin
Impian jalang berlumur luka
sejak harum rambutmu tak pernah ada
V
Di antara losmen,
dinding dinding kota dan
lembah sungai Yarra
Perburuan liar menyimpan airmata
Di pegunungan Mount Buller
jauh di selatan Victoria
Kau mengucap badai reda
Tiba tiba suaramu berubah gerimis dan senja beku
Cuaca mengendap di atap atap bersalju
Kita ke sana, menembus Zen dan keheningan waktu
Pengembaraan setia, menjejak segala tuju
Hari yang letih
terbaring di sajak putih
VI
Melbourne baru bangun pagi
tapi pengantin baru telah memulai
puncak dari puncak sepi:
Ranjang yang dingin terbakar kembali
Mendadak aku ingin bicara
kepada kenangan kenangan lama
yang membentuk buku harian tua
dan meninggalkan kesendirianmu di sana
Ada yang hilang
oleh gelombang perubahan
dan wajahku menggoreskan kekerasan
di kota, di mana patung patung ingin ngembara
Hidup yang berjalan penuh luka
memperpanjang pendarahan
Dan waktu terus menanggalkan daunan
dari pohon yang kefanaan
Kita tersaruk saruk
didera senja dan utopia
Pengembaraan misteri
memburu makna
dalam makna
Penyair tak sempurna
melacak siapa dirinya
Aku berkaca
dan tahu,
Setiap kali pencarian
harus dimulai di bumi
Dari mana kehudupan bangkit
menolak mati!
VII
Di halte kota lama
angin tersangkut sepi
membunuh berahi yang tak terbagi
Lelaki-perempuan pirang tekuk menekuk
meremuk kantuk
Siluet gereja abad delapan belas
mencium badai yang lepas
Kau mengigau hujan mengembara
Tapi siapa yang berkaca
ke arus sungai yang iba
Wajahmu terkesima
Kita dengar kota mengirim lonceng gereja
dan trem dengan suara gemeretak baja
Dan langit menurunkan
malam berjelaga
Buruh angkutan yang kembali mogok
membiarkan bus bus jadi tembok
Di Monash dan pusat kota
protes mengenai Timor Timur perlahan reda
Kita lewati kegelapan
taman Parkville Avenue seperti firdaus yang ditinggalkan
Hanya lampu lampu neon
mendesak kelam ke pohon pohon
Deru hujan di kejauhan
memperkeras sepi para pejalan
Jejak sepatu mereka berkilatan
ditingkah jam memburu malam
Esoknya hari terentang di pantai
dan sepimu terlerai
Dan waktu terus berjalan
mempercepat rambut putih keperakan
menghitamkan pepohonan
Di seberang jalan seorang tua
duduk memandang truk
Kota terus sibuk melupa hari buruk
aku terbatuk batuk
Dan ketika perahu kecilmu
di sungai Yarra berlayar
Kudengar ada yang gemetar
: maut menyiapkan kamar
Karena takut pada dosa
kulupakan ancaman hari kemudian,
juga Tuhan
Tapi musim yang dingin
menggurat bayangan kefanaan
“Apa tak percuma membaca kitab suci
ketika hati tak ada api?”
kau bertanya
Kudengar angin tersaruk saruk
Di luar jendela, di antara daun daun yang ambruk
Gerimis subuh jatuh
menggapai gapai
menara lunglai
Di antara puncak katedral tua dan musim Aborigin yang dilupakan
sosok kabut berjalan
menyeret hujan
dan mungkin juga bayangan bulan
Kemudian gemuruh
dan selebihnya apartemen sepi
Tubuh yang rapuh
Terbujur seperti bayi mati
Melbourne, 1992-2022